MINI REVIEW VOLUME 13 (13 BOM DI JAKARTA, SALTBURN, MAY DECEMBER, PRISCILLA, THE FAMILY PLAN, DREAM SCENARIO, THANKSGIVING, THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES)

 

 

Batch terakhir sebelum ngisi rapor buat nyusun daftar Top-8 Movies of 2023, who’s excited? Dengan Volume ini, pr-ku rampung, dan semoga bisa liburan dengan tenang. Karena film-film di Volume ini bener-bener aku kejar tayang nonton! (eh, apa ‘kejar nonton’ aja kali istilahnya, ya?) Tapi sebagai penutup tahun, film-film ini ngasih experience yang ‘wah’ juga. So sebelum liburan dimulai, mari kita langsung saja ‘hajar’ dengan ulasan!!

 

 

13 BOM DI JAKARTA Review

Wow Volume 13, pembukanya film 13 Bom haha.. Anyway, tahun lalu sukses dengan action heist, Angga Dwimas Sasongko kini kembali dengan tawarkan action yang lebih gede. ‘Film action Indonesia terbesar tahun ini” begitu bunyi tagline di posternya. Kurang gede apa coba. Pasalnya, tahun lalu itu ‘kebetulan’ saja film Mencuri Raden Saleh disukai karena ngasih genre yang tergolong baru di film kita. Filmnya sendiri, seperti yang kuulas di sini, sebenarnya overrated lantaran naskahnya lemah. Pada 13 Bom di Jakarta terulang lagi kelemahan yang sama (kalo gak mau dibilang lebih parah). Actionnya sangat gede dan elaborate, tapi tanpa atau dengan sedikit sekali hal yang make sense soal kenapa action itu bisa sampai terjadi atau dipilih oleh karakter ceritanya.

Menarik sebenarnya, persoalan yang diangkat film ini. Soal terorisme, yang enggak terjebak di dalam lingkaran agama. Melainkan lebih ke celetukan sosial tentang gambaran keadaan ekonomi masyarakat. Jadi ceritanya sekelompok teroris tak dikenal mengancam Jakarta dengan 13 bom yang akan diledakkan satu per satu jika tuntutan mereka tak dipenuhi. Para teroris gak mau duit tunai, mereka meminta duit digital. Krypto. Bitcoin. Sehingga dua pemuda pemilik start-up bitcoin yang dipakai oleh teroris jadi terseret ke dalam kasus. Dicurigai, nyaris jadi korban. Kesalahan pertama naskah film ini adalah tidak dengan clear menunjuk siapa karakter utama. Apakah pemuda start-up. Apakah pimpinan teroris. Apakah agen perempuan di Badan Anti-Teroris yang somehow selalu ‘dilawan’ oleh partner cowoknya. Atau apakah pemimpin dari pasukan antiteroris itu sendiri. It would be much better jika film sedari awal mengarahkan ini sebagai cerita dari banyak perspektif.

Actionnya sendiri enggak jelek, tapi arahannya agak-agak cheesy. Film ini, aku bilang, kayak kalo Michael Bay trying to make film Nolan. Like, Bay mau bikin action explosive tapi dengan ‘kecerdasan’ ala Nolan. Hasilnya, film ini jadi snob yang berusaha kelihatan jago, berusaha terdengar pinter. Dengan ‘twist’ standar soal ada karakter yang sebenarnya jahat, dan scheme teroris yang sekilas tampak massive. Tapi kok ya dipikir-pikir sangat unnecessary. Like, kenapa musti 13 bom kalo ternyata si teroris sudah menyusupkan orang yang bisa dengan gampang langsung melancarkan ‘bom pamungkas’.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 13 BOM DI JAKARTA

 

 

DREAM SCENARIO Review

Karya Kristoffer Borgli ini bikin aku ngakak begitu menyadari bahwa komedi horor ini sebenarnya kayak dream counterpart dari yang dibahas oleh Budi Pekerti (2023). Film ini bahkan ada menggunakan istilah ‘pendagogy’ as opposed to Budi Pekerti yang judul internasionalnya adalah ‘andragogy’

Kenapa kusebut dream counterpart? Karena unlike di Budi Pekerti yang karakter gurunya jadi dimusuhin satu kota gara-gara videonya viral di sosial media, Dream Scenario bercerita tentang dosen yang diantagoniskan semua orang karena si dosen (yang diperankan dengan brilian oleh Nicholas Cage, yang tau betul timing dan pembawaan antara akting ‘nyata’ dengan ‘sureal’) for some reason, muncul dalam mimpi orang-orang. Jadi dosen ini dijauhi karena hal yang bahkan tidak ia lakukan hahaha… Dia yang tadinya menikmati perhatian semua orang karena dia jadi terkenal muncul di mimpi orang-orang sebagai bystander yang doing nothing, jadi stress saat mimpi orang-orang itu semakin aneh. Di mimpi mereka, si dosen jadi pembunuh!

Sebenarnya ini gambaran perilaku manusia yang jenius sekali sedang dilakukan oleh naskah. Tentang gimana kita, manusia pelaku media sekarang, suka kemakan khayalan sendiri. Kita mengelukan berlebihan orang yang tidak benar-benar kita kenal – karena tren tertentu, misalnya – dan lantas kita terganggu sendiri saat ‘image-image’ tentang orang tersebut, yang kita ciptakan sendiri secara kolektif, menjadi semakin liar. Kita menciptakan ‘dream scenario’ sendiri, dan menelannya bulat-bulat sebagai fakta. Kita kegocek ‘fakta impian’ kita sendiri. Buatku film ini berhasil menceritakan itu lewat kehidupan karakter yang bukan hanya terseret, tapi juga tetap ada pembelajaran dalam dirinya. Lapisan di balik karakterisasi dan situasi yang ia alami – aku gak bilang sampai demikian kompleks – tapi berhasil tersusun menjadi sebuah hiburan surealis. Bakal langka banget film kayak gini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DREAM SCENARIO

 

 

 

MAY DECEMBER Review

Dari komedi berlapis satu ke komedi berlapis yang lain. May December karya Todd Haynes ranahnya bukan sureal, tapi lebih ke drama psikologis dengan undertone yang sebenarnya dark. Sekilas, kayak kisah inosen seorang aktris yang ingin mendalami peran. Peran yang sedang dirisetnya itulah letak darknya. Dia memerankan seorang perempuan yang menikah dengan ‘daun muda’, yang jauh banget rentang usianya. Mereka menikah karena melakukan hal yang basically, itungannya udah tindak kriminal. Tante-tante kepada seorang anak SMP. Jadi, si aktris ini, Elizabeth, selama beberapa waktu hidup di keseharian keluarga ‘bermasalah’ tersebut, Gracie dan suaminya yang kini sudah dewasa, dan mereka punya tiga anak yang sudah masuk usia kuliah. Demi method acting, si Elizabeth ingin mengenal kehidupan Gracie, supaya dia bisa memerankannya nanti dengan lebih baik, lebih mengerti tentang apa yang dilalui Gracie. Karena, katanya, dia ingin bikin film yang tidak menjudge kehidupan Gracie dan keluarga.

Nonton ini bikin kita sadar bahwa there’s no way kita bisa mengerti kehidupan orang. Urusan orang, seharusnya jadi urusan mereka sendiri. Walaupun memang di film ini kita melihat Elizabeth jadi katalis bagi orang-orang di sekitar Gracie – terutama suaminya – untuk bisa melihat apa yang sudah ia lewatkan di dalam hidup. Mungkin inilah yang paling keren dilakukan oleh film. Membuka luka, memaksa karakter melihat luka, tapi bukan untuk disalah-salahin. Film ini menceritakan imbang, semuanya dikembalikan kepada karakter masing-masing. Bagi yang kelewat batas, mereka akan jadi seperti Gracie dan Elizabeth.  Dua orang yang bukan cuma ‘dimiripin’ secara fisik, tapi sebenarnya punya ‘masalah’ yang sama. Sama-sama terlalu naif, dan menggunakan kenaifan itu sebagai defense. Film berakhir ketika masing-masing mereka dihadapkan kepada akibat dari kenaifan tersebut.

Natalie Portman dan Julianne Moore. Man. Di sini akting mereka beneran ada berlapis-lapis. Susah kita menunjuk garis mana ketika Natalie jadi Elizabeth sebagai Elizabeth, mana ketika jadi Elizabeth try to be Gracie. Mana batas aktingnya. Mana batas Gracie bohong dan mana yang dia beneran sudah nerimo.  Aku selalu punya soft spot buat film yang nunjukin adegan-adegan belakang layar bikin film, dan ending film ini buatku adalah one of the best yang nunjukin gimana seorang aktris berusaha berakting karena sudah merasa sudah ngerti karakternya, tapi kemudian dia ragu sendiri.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MAY DECEMBER

 

 

 

PRISCILLA Review

Kadang aku takjub sendiri ama yang namanya kebetulan. Like, kompilasi ini kan urutannya berdasarkan abjad, tapi ternyata bisa nyambung. Tadi dari komedi berlapis, kini nyambung dari cerita relationship dengan minor satu ke yang lain. Film tentang Priscilla yang waktu masih sekolah, kebetulan, bertemu dengan orang yang kenal dengan Elvis Presley, dan mengajaknya ketemu Elvis. Sehingga Elvis jadi jatuh cinta kepada Priscilla. Sofia Coppola membuat ini sebagai biografi yang benar-benar menelisik romansa kompleks yang dirasakan seorang Priscilla ketika berhubungan dengan salah satu manusia paling tersohor di jagat dunia hiburan.

The respect is there. Kepada kedua sosok. Tapi yang paling bersinar tentu saja adalah karakter Priscilla. Yang benar-benar diselami. Ini particularly menarik, karena di awal tahun ini kita sudah melihat mereka dari sudut pandang cowok di biografi Elvis. Menarik kedua buatku adalah karena yang jadi Cilla adalah Cailee Spaeny, yang awal muncul di film yang lebih mainstream kayak Pacific Rim atau Bad Times at the El Royale. Di sini dia main bagus bangeett. Bukan mau bilang pasangan Elvis-Cilla bukan ‘mainstream’, loh. Cumak memang filmnya ini diarahkan bukan sebagai tontonan sensasional, melainkan lebih ke sebuah selaman terhadap tokoh figur itu sebagai sebuah karakter cerita. Film enggak main gampang, menuding Elvis sebagai predator atau manipulatif, misalnya. At least, di film ini dia diperlihatkan menegaskan Cilla untuk melanjutkan sekolah dulu. Perasaan Cilla sebagai seorang gadis biasa yang punya pacar superstar, yang berkecamuk oleh gairah, oleh insecurity. itu yang difokuskan oleh film.

Tapi juga sebagaimana film-film dari tokoh nyata, dari kehidupan mereka. ada aspek-aspek cerita yang enggak benar-benar klop untuk dimasukkan ke alur film. Ada beberapa hal yang mestinya bisa dibikin lebih dramatis atau gimana, tapi enggak bisa karena ‘bukan begitu kejadian aslinya’. Film ini buatku sering terkendala di hal-hal seperti begitu. Naik turun alurnya enggak bisa benar-benar diatur ke flow atau struktur film. Kadang konfliknya muncul, ilang lama, lalu muncul lagi. Gitu-gitu.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PRISCILLA

 




SALTBURN Review

Ingat tadi aku ngomongin soal kebetulan di urutan kompilasi ini? Well, yah, yang jadi Elvis di Priscilla adalah Jacob Elordi. Tahun ini dia main di tiga film lagi selain itu. Tebak satu judul film lainnya. Yup. Saltburn karya Emerald Fennell ini. But while Jacob Elordi di sini masih punya vibe superstar kayak Elvis, toh bintang sebenarnya di Saltburn adalah Barry Keoghan. Aktor satu ini, gila, dia tuh udah kayak spesialis karakter awkward gak ketebak tapi sekaligus juga tampak berbahaya. He was born for this role, for this story.

Saltburn juga actually sebuah dark comedy, yang benar-benar menekankan kepada kelamnya itu sendiri. Keoghan di sini jadi Olliver, maba (mahasiswa baru) yang cupu. Awalnya film ini tampak seperti kisah Olliver yang berusaha memberanikan diri untuk masuk ke circle karakternya si Elordi. Kita melihat cowok jangkung itu melalui gaze-nya Olliver, kita pikir ada cinta ‘terlarang’ di sana. Tapi perlahan gaze dan sikap Ollie tersebut menjadi semakin intens. Dari gairah menjadi semacam ingin memiliki. Ingin menguasai. Transformasi film lewat karakter utamanya itulah yang jadi kehebatan, sekaligus juga kelemahan pada film ini.

Secara penampilan akting, seperti yang disebut tadi, Keoghan terutama sangat fenomenal. Dia total banget. Adegan-adegan creepy dia hantam tanpa canggung. Film ini punya banyak ‘WTF’ momen. Nekat banget mereka bikin adegan kayak gitu. Kelemahan yang hadir dari cara bercerita ini adalah karakter si Ollie itu sendiri tidak punya growth. Dia tipe karakter ‘ternyata’. Kita tidak menyelam kepada siapa sebenarnya dirinya. Dia tidak punya development, melainkan sebuah revealing yang membuat kita melihat dia ternyata bukan seperti di awal. Perubahan dia bukan karena terdevelop tapi karena aslinya dia disimpan untuk ‘kejutan’ cerita. Jadi secara teknis, sebagai film, Saltburn is not really good, tapi sebagai tontonan, dia menghibur dan nawarin suatu kegelapan dengan perspektif tak biasa.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SALTBURN

 

 

 

THANKSGIVING Review

Origin film ini begitu menarik. Thanksgiving tadinya cuma fake trailer, segmen pendek dalam film horor Grindhouse tahun 2007. Cuma parodi dari skena horor gore yang dibuat oleh Eli Roth. Tapi fans tertarik melihat konsep pembunuh yang kayak jadi saingan Halloween tersebut. Permintaan fans akhirnya terkabul, Eli Roth benar-benar membuat film Thanksgiving. Dan aku agak kecewa sama hasilnya.

Mungkin karena bias dari pengaruh originalnya yang vibe-nya beneran low budget dan rough dan konyol tapi seru. Film actualnya ini terasa tidak memenuhi harapan. Sure, momen-momen yang ada di fake trailer, kayak pembantaian saat pawai, dimunculkan. Satir soal perilaku konsumtif orang Amerika terkait ‘tradisi’ Black Friday yang mengalahkan esensi sebenarnya dari Thanksgiving, juga ada. Gore-nya yang over the top dengan kematian-kematian sadis yang unik, juga berhasil menghiasi film menjadi nilai jual. Tapi overall, film ini terasa kosong. Karakter-karakternya cuma ada di sana untuk berusaha survive, menduga-duga siapa pelaku. Sementara naskahnya juga ke sana kemari ngasih red herring supaya pelakunya gak ketebak. Akhirnya film ini pun terasa jadi either terlalu Scream, terlalu I What You Did Last Summer. Terlalu gak really spesial karena toh sudah banyak thriller whodunit yang menjual hal serupa

Kalo dibilang membosankan sih, enggak. Cuma ya, biasa aja. Mendingan nonton Saltburn tadi sekalian. Kejutan dan momen WTF nya lebih membekas.

The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THANKSGIVING

 

 

 

THE FAMILY PLAN Review

My ultimate guily pleasure of the year hahaha… Komedi keluarga karya Simon Cellan Jones ini enggak bagus-bagus amat, tapi aku terhibur menontonnya. Enggak ngerasa bosan meskipun formulaic, dan bahkan konsepnya yang gabungin liburan keluarga dengan aksi assassin enggak dikembangkan dengan maksimal. Aku terhibur karena lucu aja melihat Mark Wahlberg jadi ayah yang sekilas kayak suami rumahan banget ternyata punya masa lalu tak terduga. Dia mantan assassin yang punya banyak musuh. Dia berhenti dari kerjaannya, dan sekian tahun ‘menyamar’ jadi pria biasa-biasa saja, sampe kemudian identitasnya kelacak dan dia terpaksa kabur. Membawa keluarganya yang tak tahu apa-apa, dengan dalih mau ngajak roadtrip.

Menurutku film ini mungkin bisa lebih mudah diterima penonton kalo dibikin sebagai animasi, kayak Boss Baby. Karena memang film ini seperti berjalan di garis antara gak make sense dengan cerita yang grounded tentang hubungan keluarga. Para karakter sentral, Mark dan keluarganya bermain di porsi yang pas, tapi harus diakui melihat mereka sebagai manusia ‘beneran’ membuat penonton bisa kesulitan memaklumkan banyak hal. Misalnya, bayi yang tahu rahasia ayahnya. Film tidak bisa maksimal melandaskan konsep yang diniatkan. Ketika bagian action, tidak bisa terlalu ‘gila’. Ketika bagian yang grounded, terasa gak klop. Jadinya film ini terasa setengah-setengah. Makanya, mungkin kalo dibikin sebagai animasi, mereka bisa meningkatkan aksi mustahil dan hati grounded yang dimiliki oleh naskahnya.

The Palace of Wisdom gives 5.5 gold star out of 10 for THE FAMILY PLAN

 

 

 

THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES Review

Hunger Games sering dibandingkan dengan Harry Potter, dan kupikir, film prekuelnya ini sukses bikin malu franchise Harry Potter yang film prekuelnya begitu maksa sehingga tidak terasa ditulis dengan proper. The Ballad of Songbirds & Snakes actually memang diangkat dari novel prekuel (bukan buku spin-off non-cerita yang dikembangkan serabutan) dan penulisannya kelihatan memiliki bobot. Karena di adaptasi karya Francis Lawrence ini kita benar-benar dikasih lihat development dari seorang Coriolanus Snow sebelum ia menjadi presiden yang ruthless.

Sering heran kok di luar sana banyak contoh mahasiswa aktivis ketika jadi ‘orang gede’ ternyata korup juga? Nah, journey Snow di film ini basically seperti itu. Kita melihat Snow dari yang awalnya dia mahasiswa pintar, yang actually peduli sama tribute dalam permainan Hunger Games. Kita melihat background dia dari keluarga macam apa. Apa yang dia inginkan. Dan bagaimana pada akhirnya dia memutuskan pilihan, bagaimana dia menjadi sampai seperti yang kita kenal di cerita Hunger Games original.  Inner journeynya tersebut yang membuat film ini layak ditonton. Hubungannya dengan Lucy Gray jadi heart of the story. Tak lupa film juga menyiapkan referensi ke Hunger Games-nya Katniss di sana-sini, supaya penonton merasakan gejolak nostalgia dari something yang familiar. Dan memang film ini berhasil menghadirkan vibe yang selaras dengan film-film Hunger Games sebelumnya. Desain produksinya total menghadirkan dunia itu kembali. Prekuel ini memang terasa seperti fondasi dari kejadian di film yang sudah kita kenal.

Tapi dari novel juga membawa sedikit sandungan bagi film ini. Durasi yang amat panjang, karena film terasa seperti pengen sama dengan novel, at least secara urutan. Dan ini membuat dirinya sebagai film, terasa agak aneh. Karena film ini kayak dua film yang disatukan. Bagian hunger gamesnya, dan bagian aftermath dari hunger games tersebut. Bagian yang satu terasa lebih menarik dibanding bagian lainnya. Menurutku harusnya cerita bisa lebih digodok lagi, bangunan ceritanya bisa lebih dimainkan lagi, supaya kesan terbagi dua ini bisa lebih mengabur. Supaya film bisa berjalan lebih mulus, dan penonton tidak diberikan momen untuk terlepas dari cerita yang disajikan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES

 




 

 

That’s all we have for now

Dengan ini, resmilah, review tahun 2023 sudah tutup buku. Film-film 2023 yang tayang setelah post ini terbit akan kuanggap sebagai film tahun 2024 (jika direview), dan itu at least ada dua film yang kayaknya memang gak tayang di kita jadi terpaksa nunggu digitalnya tahun depan. Akhir tahun nantikan rapor film 2023 di twitterku @aryaapepe dan menyusul beberapa hari setelahnya, tentu saja, daftar Top Movies 2023 di blog ini. Sampai ketemu tahun depan!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

Leave a Reply