THE EYES OF MY MOTHER Review

“Being alone with your feeling is the worst because you have nowhere to run.”

 

 

Tumbuh di lingkungan peternakan sepertinya menyenangkan. Dekat dengan alam. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Hamparan hijau seluas mata memandang. Kesannya segar sekali gitu ya. Namun bagi anak-anak, kondisi melegakan tersebut bisa sekaligus jadi kurungan buat mereka. Dengan rumah tetangga paling dekat bermil jauhnya, Francisca bermain boneka sendirian. Aktivitas setiap harinya diselingi dengan melihat Ibu bekerja, memberi makan sapi-sapi, merawat, dan memotongnya sebagai makan malam.

Yup, ibu Francisca enggak segan-segan membawa pulang kepala sapi dan membedah matanya di depan mata Franny yang lugu, yang memegang teguh setiap cerita yang keluar dari mulut ibunya. Dia belajar apa yang diakukan oleh ibunya, dan untuk anak seusianya melakukan hal seperti demikian, jelas bukanlah pengalaman yang bikin sehat jiwa. Lingkungan tidak membaik bagi Franny karena kedatangan seorang asing ke rumah mereka, membuat Franny menyaksikan lebih banyak trauma. Film ini adalah tentang Franny yang perlahan ‘menggila’ sekaligus berusaha keras mempertahankan interaksi sosial. Dia mengurus jasad ayahnya, dia memberi makan orang yang ia sekap di gudang, The Eyes of My Mother akan membawa kita mengintip sedikit ke dalam kehidupan seorang yang berubah drastis dari korban menjadi seorang pembunuh.

meja makan keluarga ini isinya mata sapi beneran, bukan yang telur.

 

Kamera yang statis ngerekam adegan-adegan long take, komposisi warna hitam-putih, desain suara dan scoring yang mengendap dengan eerie abis, drama horor ini diarahkan dengan gaya yang sangat nyeni. Perspektif tokoh utama tidak kita alami langsung, melainkan kita amati dari jauh. Kita enggak diajak masuk ke dalam kepala Francisca yang trauma secara emosi, kita cuma melihatnya berinteraksi seperti Francisca melihat apa yang dilakukan oleh ibunya. Dan di sinilah ketika film menjadi sangat disturbing. Kita tidak pernah melihat Franny kecil bertanya kenapa. Moral tidak pernah jadi permasalahan bagi cerita. Ini murni selayang pandang (sukur Alhamdulillah horor ini hanya satu jam lebih sedikit, siapa tahan ngerasa unsettling lama-lama) kehidupan ‘normal’ yang abnormal, sehingga pertanyaan ‘kenapa’ itu justru datang bertubi-tubi kepada kita. Kenapa kita mesti ngeliat ini semua? Kenapa film ini dibikin, apa sih maksud sutradara Nicolas Pesce memperlihatkan ini semua? Kenapa membunuh itu mendatangkan perasaan menakjubkan? Kenapa oh kenapa?

Karena, baik sebagai pembunuh ataupun sebagai korban, mereka sama-sama adalah manusia.

 

Film ini membagi narasinya ke dalam tiga chapter, masing-masing berjudul Mother, Father, dan Family. Ketiganya dapat kita translasikan sebagai trait ataupun personality yang membentuk pribadi Francisca. Insting merawat yang ia dapat dari ibunya, insting kerahasiaan dan bertindak yang ia peroleh dari ayahnya, dan keduanya terhimpun menjadi jawaban atas masalah Francisca; dia butuh keluarga.

Di balik segala ke-uneasy-an, segala perasaan mengganggu, sesungguhnya ini adalah cerita psikologikal yang sangat humanis. Bukan tidak mungkin orang-orang biasa seperti kita mengalami hal yang sama. Sebab, ketakutkan hakiki dari cerita ini BERINTI KEPADA RASA KESEPIAN. Layaknya film-film horor modern yang keren, film ini pun mengerti bahwa rasa takut itu datangnya dari dalam jiwa manusia. Untuk kemudian diperkuat dengan monster, hantu, ataupun hal-hal gaib yang tak berwujud. Dalam film ini, rasa takut akan kesepian tersebut diamplify menjadi berkali-kali lebih kuat dan disturbing dengan membenturkannya dengan elemen psikopat. Francisca merasa menakjubkan saat membunuh orang, sementara tidak ada yang lebih dia inginkan daripada punya company, punya teman. Konflik inilah yang jadi emotional core dan pusat cerita. Motivasi Fransiska yang terpecah antara pembunuhan dengan merawat, sampai kepada titik Francisca terlihat menyalurkan insting keibuan, itulah yang membuat kita susah untung berpaling dari film ini, meskipun penceritaannya sangat bikin kita enggak-nyaman.

Kesepian juga adalah penyakit mental manusia sebagai makhluk sosial. Banyak orang merasa sepi padahal sedang berada di tengah-tengah kerumunan pesta. Bahkan faktanya, lebih dari 60% pasangan yang sudah menikah masih merasakan kesepian. Rasa sendiri dan sepi itu bergantung kepada kualitas hubungan yang kita jalin. Namun kesepian tidak pernah digolongkan sebagai abnormal. Campurkan ia dengan kejadian traumatis? Nah, barulah kita bicara dengan Francisca!

 

 

Dalam kasus ini, Francisca mendapat personality dari apa yang ia lihat pada ibunya. Her deepest desire adalah merawat, singkatnya bisa dibilang ia ingin menjadi seorang ibu. Sepanjang film kita akan melihat dia berusaha keras untuk melakukan hubungan sosial dengan orang-orang. Ada adegan ketika ia ingin memberi makan sapi, namun sapinya malah mundur menjauh. Dan kemudian kita melihat usahanya menjalin relationship gagal karena pasangannya menjauh, takut. For her psychopathic behavior. Jadi dia menemukan cara termudah dengan menyekap mereka. Dia tidak butuh teman yang balas bicara, dia cuma butuh tubuh untuk dia kasih makan, dia rawat sebaik yang ia yakini.

Gaya macabre film ini, toh, bukan lantas berlebihan. Kita tidak melihat kekerasan yang benar-benar gamblang. Enggak ada yang bikin kita memejamkan mata, dari segi kesadisan adegan. Warna monokrom juga berperan dalam menyamarkan imaji-imaji berlumuran darah. Dalam kata lain, dari segi gore, film ini enggak benar-benar bikin mual. Adegan-adegan sadis itu justru terjadi di luar kamera. Atau sangat jaaaauuuh dari kamera. Kita tidak betul-betul melihat apa yang dilakukan oleh Fransiska kepada cewek yang dia ajak pulang ke rumah. As far as blood splatters, kita hanya melihat darah ketika cairan itu sedang dibersihkan. Tapi tutur film ini begitu efektifnya, sampai-sampai kita merasa seolah tahu apa yang terjadi di antara potongan adegan. Hampir seperti adegan kekerasan tersebut terjadi di depan mata kita walaupun kita tidak pernah melihatnya. Dan jika apa yang tidak dinampakkan oleh film ini bisa dengan jelas kita bayangkan, maka gambar-gambar yang secara eksplisit ditampakkan – bak mandi dengan air seputih susu tempat Francisca berendam dengan mayat ayahnya, misalnya – akan terus terpatri dalam pandangan kita, bahkan jauh setelah kita menyaksikannya.

“look in my eyes, what do you see?”

 

Penampilan para pemain dieksekusi dengan hati-hati. Francisca diniatkan untuk terasa jauh sehingga saat rasa simpati timbul kepada tokoh ini, kita akan merasa semakin tidak nyaman. Kika Magalhaes memerankan Francisca dewasa dengan keanggunan dan level kemisteriusan yang membuatku membandingkannya dengan aktor lokal Shareefa Daanish yang juga kerap bermain di ranah horor. Di bawah pendekatannya, tokoh ini mampu menumbuhkan rasa simpati meskipun tak jarang aksi yang ia lakukan tak dapat kita pahami. Ada perasaan sedih yang merasuk kala kita melihat dia berusaha untuk berfungsi secara sosial in her own screwed up way.

 

 

Di babak awal, pace terasa agak sedikit diburu-buruin, namun secara keseluruhan, film ini digarap dengan kalkulasi yang sangat spesifik. Trauma dan Kesepian seolah dijahit dengan precise ke dalam narasi, menghasilkan sebuah cerita yang sangat mengganggu. Clearly, apa yang diceritakan oleh film ini bukan untuk semua orang. Film ini enggak butuh jumpscare ataupun trik-trik pembunuhan besar untuk bikin kita ngeri. Secara artistik, ini adalah arthouse horror yang amat ambisius. Untuk sebuah karya pertama, pencapaian Nicolas Pesce tergolong luar biasa. Kita bisa melihat visinya. Meskipun mungkin tidak selalu jelas kenapa. Perspektifnya yang enggak necessarily subjektif, membuatnya sedikit artifisial.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE EYES FOR MY MOTHER.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

Comments

Leave a Reply