“No man flatters the woman he truly loves”
Tersanjung: The Movie dan review-review positif yang dituainya – dengan asumsi review-review tersebut bukan dari golongan buzzer – adalah bukti bahwa sinetron masih akan terus laku di Indonesia. Karena, film Tersanjung ini adalah film paling nyinetron yang kutonton sejauh tahun ini berlalu. Kalimatku tadi itu bisa make sense dimaklumkan hanya karena Tersanjung: The Movie memanglah adaptasi bebas dari sinetron Tersanjung yang fenomenal di Indonesia tahun 90an. Maka, sutradara Hanung Bramantyo dan Pandu Adjisurya tentu saja berkewajiban untuk membuat film ini punya rasa yang menyerupai sinetron tersebut. And in that sense, mereka berhasil.
Elemen-elemen cerita dari ratusan episode sinetronnya yang dulu itu, dikutip, dikumpulkan, lalu disulap menjadi cerita yang lumayan baru. Generasi yang belum lahir saat sinetronnya booming masih akan bisa mengikuti film ini. Karena film ini seperti sudah disiapkan untuk menjadi cabang franchise Tersanjung yang baru. Film ini mengisahkan tentang Yura, perempuan muda yang sedang dalam proses perjodohan oleh keluarganya. Perjodohan Yura tersebut terjadi dalam rangka menyelamatkan karir bapaknya, Dalam artian, menyelamatkan ekonomi keluarga mereka. Tentu saja sebenarnya Yura-lah yang paling butuh untuk diselamatkan di sini. Terlebih ketika perjodohan tersebut hampir berubah menjadi suatu trauma mimpi buruk. Dua cowok sahabat Yura-lah yang datang membantu. Persahabatan Christian dan Oka menguatkan Yura. Bahkan secara finansial Yura pun mulai terbantu karena mereka bertiga kini membangun bisnis kuliner bersama. Tapi situasi pelik tampaknya belum reda bagi Yura, karena salah satu dari sahabatnya itu menyatakan cinta, membuka siapa dirinya sebenarnya, untuk kemudian menghilang selamanya.
See, sekarang mungkin kalian sudah mulai sedikit mengerti kenapa aku menyebut ini film ini me-nyinetron. Aku bahkan tidak bisa menuliskan sinopsis tanpa membeberkan hingga ke kejadian-kejadian di akhir film. Itu karena film ini tidak memberikan arc yang clear kepada karakter utamanya, yakni si Yura, melainkan memberikan arc singkat yang terus diulang sehingga seperti jadi episode-episode. Dia nemuin cinta, terus terluka, begitu terus sampai kemudian jadi happy karena durasi sudah terpenuhi. Tapi tetap di akhir itu tidak terasa seperti ending, melainkan lebih mirip berupa cliffhanger ala sinetron. Percaya deh, kita seakan nyaris bisa melihat ada tulisan “bersambung” pada shot terakhir film ini. Hanya seperti masalah yang udah kelar, lalu lantas disambung kembali oleh masalah baru.
Secara kualitas design produksi sih, film ini jauh di atas film-film ala sinetron. The film certainly looks good. Cantik banget malah. Aku maklum sekali kalo pujian-pujian berdatangan dari sini. Banyak shot-shot cakep. Misalnya, shot dari langit adegan Yura nangis di pusara ibu kandungnya, memperlihatkan barisan kotak-kotak kuburan. Sepi. Hening. Benar-benar sesuai dengan perasaan yang sedang dialamatkan kepada kita. Sutradara Hanung memastikan adegan-adegan tetap hidup dengan depth. Setiap kali memungkinkan, dia akan memasukkan banyak kegiatan yang berlangsung di belakang kejadian utama pada setiap framenya. Seperti pada saat di perkampungan, Hanung membuat kampung itu hidup oleh suasana warga sekitar. Ngomong-ngomong soal suasana, cerita film ini mengambil tempat di tahun 90an. Dan nyaris setiap shot menguar banget suasana 90an tersebut. Kerasa banget suasananya. Bukan hanya pada kostum dan properti, tapi juga dari ‘napas’ yang dihembuskan oleh ceritanya. 90an akhir adalah masa-masa chaos di Indonesia, dan film ini menyangkutkan permasalahan kerusuhan tersebut ke dalam cerita. Topik-topik khas sinetron 90an seperti perjodohan dan ketimpangan kelas menghiasi film ini. Beberapa kelebayan khas sinetron tahun segitu juga ditampilkan, seperti ibu tiri yang ngeselin, ibu mertua yang jahat. Semua itu digunakan untuk nostalgia sekaligus identitas. Gaya sinetronnya kuat. Namun gaya visual yang dilakukan Hanung tadi-lah yang mengelevasi film ini. Seperti dibuat dan disyut tahun 90an, tapi dengan peralatan kekinian.
Bagi para pemain pun, Hanung memberikan pengadeganan, banyak ruang untuk melakukan lebih dari yang diminta naskah sehingga aktor-aktor muda seperti Clara Bernadeth, Giorgino Abraham, Kevin Ardillova, dan Marthino Lio enggak hanya ada di sana sebagai penambah cantik visual semata. Bahkan pemenang Gadis Sampul 2018 Allya Syakila yang jadi adik Yura juga diberikan porsi yang lumayan gede; ya kalian tahu dong, aku senang sekali kalo ada anak Gadsam yang dapat peran di film. Para cast utama diberikan lahan bermain salah satunya berupa dialog-dialog yang quoteable, dan mereka berhasil mendelivernya tanpa terdengar kikuk ataupun cheesy. Ketika tidak sedang sibuk menjadikan adegannya terasa sinetron, Hanung mendaratkan film ini lewat celetukan-celetukan khasnya yang lumayan nyeleneh alias menantang. Misalnya, di film ini diperlihatkan orangtua suka menyebut anak mereka dengan panggilan sayang berupa ‘monyet’. Ataupun soal bagaimana orang Indonesia yang kebule-bulean ternyata kalah manusiawi daripada bule yang nge-indonesia. Aku pikir there must be deeper something in this, tapi untuk sekarang elemen-elemen demikianlah yang membuatku terhibur dan lupa sama panjangnya durasi ‘film-sinetron’ ini.
Jadi sebenarnya yang bagaimana lagi sih film yang menyerupai sinetron itu?
Tentu saja melihatnya dari cerita yang terlalu convenient. Alias cerita yang terlalu digampangkan. Sinetron kan biasanya penuh oleh elemen kebetulan, berpindah cepat antara satu konflik/drama ke konflik lain tanpa mengeksplorasi perjuangan atau struggle dalam cerita. Film Tersanjung ini persis seperti begitu. Ada beberapa kali ketika muncul bahasan yang sepertinya menarik jika diceritakan. Seperti bisnis kuliner yang dibangun Yura. Tadinya kupikir film ini bakal membahas struggle tiga sahabat yang diam-diam tumbuh cinta ini dalam membangun bisnis tersebut. Tapi ternyata tidak. Bisnis mereka berjalan dengan gampang. Tau-tau udah laku aja. Atau juga misalnya lagi, ketika cerita film ini sampai pada situasi seperti Crazy Rich Asians (2018).. Tadinya kupikir cerita benar-benar berubah haluan menjadi ke arah sana; ada sejumlah karakter baru yang muncul (dan di-mention) sehingga seolah bakal penting untuk ke depannya. Tapi ternyata juga enggak. Film glossed over this part. Either berfungsi sebagai penempatan kameo, atau memang ditahan untuk sekuel. Padahal kan bisa jadi cerita yang menarik. Bayangkan kalian mengetahui sahabat kalian ternyata seorang sultan, dan dia mencintai kalian. I’m pretty sure that is a lot to take, tapi Yura kelihatan biasa-biasa saja. Dan bagaimana denagn Yura yang trauma nyaris diperkosa? Nope, tak ada waktu untuk membahas ini. Perihal Yura membantu orangtuanya juga gak problematis amat. Bakat nyanyi ayahnya ternyata nurun ke dia, Yura cakap bernyanyi, sehingga heran juga kenapa keluarga mereka masih bergantung kepada kontrak ayahnya in the first place. Seharusnya ada yang bisa digali di sini. Relasi ayah dan anak itu mestinya bisa dieskplorasi. Tapi, sekali lagi, tidak. Semuanya harus digampangkan, gak perlu repot-repot yang membahas yang seperti itu di sini.
Sinetron biasanya hobi banget pake soundtrack, ngulang-ngulang lagu sebagai cue adegan sedih, misalnya. Film ini, meskipun enggak separah itu, tapi tetep aja sangat bergantung kepada lagu soundtrack di latar untuk mengeja perasaan apa yang sedang disampaikan. Lucunya lagi, seringkali lagu latar tersebut enggak klop sama adegan yang sedang ditampilkan. Contohnya ketika berkumandang lirik “..kau penuhi janjimu itu…”, tapi adegan yang kita lihat sama sekali tidak ada orang yang sedang memenuhi janji. Adanya malah karakter yang disuruh berpura-pura menjadi suami Yura sedang dipaksa jadi partner senam hamil. Sejujurnya buatku bagian si karakter ini ‘dipaksa’ inilah yang membuat film ini jadi punya nilai minus. Ceritanya jadi sungguh canggung, dan juga sangat convenient. Inilah yang benar-benar memberikan cap film ini menjadi seperti sinetron. Aku gak bisa bilang banyak karena bakal spoiler berat. Aku paham yang diincar oleh film, yakni untuk menunjukkan bahwa feeling mereka memang mutual dan ada consent and everything. Hanya saja, film menunjukkannya dengan menyembunyikan di awal lalu kemudian melakukan pengungkapan kilas-balik. Ini menimbulkan banyak kekonyolan, seperti ibu tiri Yura jadi terlihat seperti mastermind dari semua hubungan tersebut. Cerita akan lebih bagus dan sama sekali tidak perlu flashback jika feeling karakter tersebut sudah diperlihatkan dan dibangun sedari awal. I mean, penonton toh sudah tahu (dari poster dan dari sinetronnya) bahwa Tersanjung adalah cinta segitiga, jadi kenapa masih pakai penceritaan dengan formula ‘ternyata’.
Yura dua kali terkecewakan oleh pria yang menyanjungnya. Dengan harta. Dengan kesempatan. Dengan janji. Perempuan itu kemudian menyadari cinta sejati tidak perlu sanjung-menyanjung. Cinta sejati langsung membuktikan dengan perbuatan. Dan sekarang, kepadanyalah Yura berpaling.
Sebenarnya sedari awal, film telah melakukan hal yang gak klop. Narasi voice-over Yura yang membimbing kita melewati adegan demi adegan, di bagian pembuka mengatakan bahwa cinta itu berawal manis. Tapi yang kita lihat saat itu justru tensi yang menguar dari adegan perjodohan. Ketidakterimaan yang menguar dari ekspresi ayah Yura, dan keengganan yang terpancar dari Yura sendiri. Mungkin memang inilah yang sedang diset oleh film. Bahwa keenggak klop-an akan konsisten hingga di akhir. Karena tahu tidak, lagu 90an apa yang diputar sebagai latar di adegan menjelang terakhir yang ceria di pernikahan? “Saat bulan purnama bersinar…” Ska dong! Tone-nya jadi drastis banget. It’s not even a 90’s song!
Apa lagi yang bisa kubilang? Film ini tahu persis dia mau jadi seperti apa. Mungkin memang ada tantangan tersendiri membuat film yang berasa sinetron. Siapa yang tahu? Yang jelas film ini berhasil menghidupkan kembali ruh sinetronnya. Dan tampil sangat cantik dalam melakukan itu semua. Konflik perasaan yang tak abis-abisnya. Penggambaran si kaya dan si miskin yang too good to be true. Dialog-dialog manis yang enak dipajang jadi caption instagram. Banyak hal dalam film ini yang bisa disukai oleh penonton kita. Tapi apakah ini termasuk film bagus? Aku pikir tidak. Cocoklah tayangnya di Netflix saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for TERSANJUNG: THE MOVIE.
That’s all we have for now.
Berhubung filmnya kayak end-credit film superhero, sepertinya film ini pantas untuk diteori-teori-in, don’t you think? Nah, bagaimana, apakah kalian punya teori tentang apa yang sebenarnya terjadi kepada Christian?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA