TOM AND JERRY Review

“Fighting in and of itself is not a threat to the relationship.”
 

 
 
Dibuat pada tahun 1940an, Tom and Jerry adalah masa kecil bagi banyak sekali orang. Abang-kakak kita suka. Emak-bapak kita tahu. Heck, bahkan mungkin ada yang nenek atau kakeknya punya kenangan duduk manis di hari Minggu pagi nontonin kucing dan tikus itu kejar-kejaran. We all love Tom and Jerry. Dulu aku setiap kali pergi ngerental vcd film dan smekdon, kalo si rentalnya gak ada uang kembalian, aku selalu minta kembaliannya dijadiin kaset Tom & Jerry aja. Hahaha enggak ding, maksudnya Tom & Jerry selalu tak ketinggalan untuk ikut kusewa. Nonton kartun mereka itu rasanya gak pernah bosan. Slapstick dan tingkah polah Tom yang ngejar Jerry yang usil selalu sukses bikin ngakak, gak peduli udah ditonton seberapa kalipun. That’s how timeless they are.
Tapi generasi kekinian, bisa jadi gak kenal ama Tom dan Jerry. Dan memang untuk itulah film ini dibikin. Kisah kejar-kejaran mereka dihidupkan kembali melalui dunia campuran animasi kartun dengan lingkungan nyata. Namun sayangnya pembuat film ini malah seperti lupa tujuan tadi. Di tengah dunia berisi manusia dan hewan-hewan kartun tersebut, film ini tersesat. Film ini malah menghabiskan waktu lebih banyak tanpa membahas Tom dan Jerry itu sendiri.
Sutradara Tim Story dan penulis naskah Kevin Costello sebenarnya udah kayak memojokkan diri mereka sendiri in the moment mereka memutuskan untuk “yok bikin film Tom dan Jerry kekinian, yook”. Karena si Tom dan Jerry itu sendiri adalah karakter yang tidak bicara. Dengan begitu, cerita pun harus distretch out; Story dan Costello jadi menggunakan karakter manusia dan karakter kartun lain untuk role bicara. Secara garis besar, outline konsep film ini sebenarnya sudah cukup jelas. Karakter Tom dan Jerry akan menghidupkan suasana lewat kejar-kejaran dan humor-fisik, sedangkan cerita akan dikembangkan lewat karakter manusianya. Namun Story dan Castello tidak tampak confident dalam mengembangkan komedi ala Tom dan Jerry. Entah karena ragu Tom & Jerry bisa tertranslasikan dengan sukes buat selera modern atau karena mereka simply gak mengerti apa yang membuat Tom dan Jerry itu digemari. Pembuat film tidak melakukan hal baru terhadap kejar-kejaran kucing dan tikus ini. Mereka hanya mengulang sketsa di kartun, untuk nostalgia. Di sisi lain, karakter-karakter manusia yang dibuat jadi vital itu juga gagal dikembangkan. Tak lebih dari karakter tumpul dan membosankan.

Bayangkan kalo Tom dan Jerry kejar-kejarannya di Hotel Cecil

 
Dari sinopsis IMDB-nya, film ini sebenarnya difungsikan sebagai semacam origin; kisah gimana Tom dan Jerry bertemu, kisah gimana kejar-kejaran abadi mereka bermula. Namun dari menonton film ini, tidak tampak seperti itu. Tom dan Jerry seperti sudah musuhan sejak lama, dan film ini tuh terasa seperti hanya satu episode dari episode kejar-kejaran mereka. ‘Origin dari kejar-kejaran’ mereka itu juga gak spesial-spesial amat. Jerry melihat Tom ngamen di taman, dan Jerry mengganggu Tom karena Jerry butuh duit. Gitu doang. Di sini, Jerry itu homeless, dia mencari tempat tinggal dan sampailah dia ke Hotel Royal Gate yang mewah. Tom si kucing yang jadi pianoless berkat Jerry, dendam dan mengejar si tikus hingga ke Hotel Royal Gate. Sementara itu ada manusia bernama Kayla (film kedua Chloe Grace Moretz di tahun 2021. Also, film keduanya di tahun 2021 yang zonk!) yang lagi jobless, sehingga dia akhirnya ‘mendapat’ kerja di Hotel Royal Gate. Di Hotel itulah konflik dan chaos terjadi. Kayla ditugasi mengusir Jerry, Kayla minta bantuan Tom, dan mereka harus cepat dan discreet about the job karena beberapa hari lagi akan ada pesta nikahan bergengsi di hotel tersebut!
See, ceritanya saja sudah langsung bermasalah. Keberhasilan pesta nikah itulah yang jadi tujuan ‘petualangan’ Kayla, atau Tom, atau Jerry, atau whoever the protagonist is. Alih-alih membahas (atau menghibur) dengan aksi Tom ngejar Jerry sambil saling ‘menyakiti’ pake benda-benda berat — which is the true selling points of Tom and Jerry, film malah fokus ke… pernikahan. Kenapa kita harus peduli sama pernikahan tersebut saat filmnya sendiri gak pernah benar-benar mengaitkan kepentingan pernikahan tersebut dengan journey Kayla, Tom, ataupun Jerry. Kita disuruh peduli sama pasangan interracial yang hendak nikah itu. Kupikir tadinya mereka adalah selebriti beneran, kayak cameo gitu. Tapi ternyata tidak, mereka karakter cerita. Yang disebutkan punya banyak penggemar, dan pengen wedding yang mewah (pake gajah!), tapi mempelai wanitanya sebenarnya enggak setuju-setuju amat. Kita disuruh peduli karena di cerita itu mereka orang terkenal, dan kita selalu suka ngikutin drama orang terkenal walaupun rekaan kan?
Not!
Kita nonton ini karena ingin melihat Tom dan Jerry. Banyak-banyak! Kita mau lebih banyak adegan seperti saat Tom nyebrang kabel listrik, berusaha mencapai Jerry yang lagi ngadem di jendela hotel. Tapi di sini mereka udah kayak karakter sampingan. Udah kayak karakter comedic-relief di antara adegan-adegan drama manusia yang karakternya random.

I get it. Film mungkin memang sedang membandingkan relationship unik antara Tom dan Jerry dengan pernikahan. Tom dan Jerry sering kejar-kejaran dan berantem, tapi mereka toh langgeng. Kisah mereka tak lekang waktu. Ketika harus baikan, mereka bisa kok jadi sahabat yang tak-terpisahkan. Supaya hubungan asmara bisa langgeng seperti itu, kita bisa meniru mereka. ‘Perlu’ sesekali bertengkar. Karena sesungguhnya bukan ribut dan berantem itu yang bikin renggang.

 
Dunia yang dihuni manusia dan hewan-hewan kartun itu sebenarnya menarik. Harusnya film mengeksplorasi ini lebih jauh. Tapi cerita malah dikurung di hotel. Hotel yang punya aturan gak boleh ada binatang, tapi karakter ceritanya pada selow aja bawa hewan-hewan ke hotel. Jadi, larangan itu gak dijadikan sebagai eksplorasi atau bahkan sebagai konflik. Kayla di sini tu enggak diam-diam nyelundupin hewan, dia mau ngusir tikus. Jadi aturan tersebut, setting hotel tersebut gak punya pengaruh sama sekali kepada karakter Kayla, atau Tom, atau Jerry. Film ini tuh kayak “Hey, ini situasinya bisa menarik” /  “Nah, let’s make it simple and dumb”

Mari setiap beberapa menit sekali kita rangkum cerita lewat merpati yang ngerap!

 
Si Kayla itu karakternya aneh. Dia nipu untuk mendapatkan kerja di hotel. Tapi arc-nya gak pernah benar-benar terbentuk sebagai cerita seseorang yang harus berbuat demikian, kemudian menyesal, dan berusaha redeem herself. Cerita Kayla dibuat untuk asik-asikan doang, dan dia nyesal dan berubah itu sama sekali gak ada perjuangan naik turunnya. Datang gitu aja sesuai durasi. Dibilang baik, enggak juga. Dibilang jahat, ya gak segitunya. Dibilang lucu, dia garing. Dia cuma ada di sana, mengambil tempat sebagai pusat cerita. Dan kita gak peduli sama dia. Emangnya kenapa kalo dia gagal nangkap Jerry. Emangnya kenapa kalo dia sampai ketahuan nipu. Emangnya kenapa kalo Jerry sampai dius… lupakan, gak bakal ada yang bisa nangkap Jerry – that mouse is slick!. EMANGNYA KENAPA KITA HARUS PEDULI SAMA WEDDING DUA SELEB-PALSU?!!
Semua stake film ini lemah, dan salah satunya dikembangkan dengan gak niat. Kita hanya peduli pada kejadian kocak yang terjadi pada Tom dan Jerry. Kenapa begitu susah untuk film ini memberikan itu kepada kita. Aku mulai berpikir film ini gak paham yang namanya komedi. Begini, ada banyak pemain komedi dalam film ini. Ada Michael Pena yang jadi atasan Kayla. Ada Ken Jeong yang jadi kepala koki di hotel. Ada Patsy Ferran yang jadi bell-girl. Tapi film ini gak ngasih apa-apa untuk mereka semua. Tidak ada dialog-dialog lucu. Bahkan one-liner konyol pun tidak ada. Yang dianggap sebagai komedi oleh film ini tu adalah ketika seseorang bicara sendiri, atau melakukan hal awkward sendiri, terus dia jadi tengsin karena diliatin atau malah karena lawan bicaranya sudah pergi. Hanya itu. Talenta komedian cuma mereka suruh begitu.
 
 
Sebenarnya Tom dan Jerry udah punya film-panjang, keluar tahun 1992. Full-animation. Sehingga film tersebut seenggaknya masih menampung spirit utuh dari serial kartunnya. Nah, di film baru ini, Story dan Costello yang udah membawa Tom Jerry ke setting dan konsep visual baru, tak punya banyak pilihan selain menampilkan karakter Tom dan Jerry seoriginal mungkin. Mereka kembali pada karakter yang tidak bicara. Role bicara diberikan kepada karakter-karakter manusia, dan karakter kartun yang lain. Akibatnya Tom dan Jerry jadi bener-bener kehilangan suara. Story dan Costello kesusahan mengembangkan cerita dari komedi Tom dan Jerry yang biasa. Mereka membuat sesuatu yang lebih seperti sebuah drama karakter manusia. Tapi itupun tidak maksimal karena penulisan yang punya mindset bahwa film untuk anak-anak harus dibuat sesimpel mungkin. Karakter manusia hampa semua. Dan parahnya kita terjebak pada mereka. Tom dan Jerry-nya cuma sesekali menghiasi layar, and we know we want more of them! 
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for TOM AND JERRY
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian bagaimana pertengkaran bisa menjadi penting dalam suatu relationship?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

STAND BY ME DORAEMON 2 Review

“You need to be happy with yourself or you’ll never be able to be happy in a relationship”
 

 
 
Tentu saja Doraemon punya tempat spesial di dalam diriku. Aku tumbuh besar dengan mengkhayal punya alat-alat ajaib seperti yang ada di kartun Doraemon yang tak pernah ketinggalan ditonton. Aku beberapa kali nekat bolos ngaji supaya bisa nonton Doraemon. Aku – yang waktu itu masih berumur empat tahun – bahkan bersikeras memberi adikku nama Nobita, meskipun ternyata adikku itu adalah perempuan. Orangtuaku ngalah, tapi toh mereka berhasil membujukku mengganti huruf ‘b’ di Nobita menjadi huruf ‘v’. Alhasil kasian adikku, sampai sekarang dia selalu dituduh lahir di bulan November padahal lahirnya itu di bulan September.
Mengenai Nobita, memang, orangtuaku dulu selalu mewanti-wanti untuk tidak menjadi seperti Nobita. Jangan jadi anak cengeng kayak Nobita. Gak boleh niru Nobita yang penakut. Jangan kerjanya malas-malasan nanti jadi kayak Nobita. Rajin belajar, jangan sampai nilainya nol kayak Nobita. Ah, Nobita, Nobita… Kalo dipikir-pikir sekarang, Nobita boleh saja selalu dapat nilai merah dalam pelajaran sekolah. Tapi untuk pelajaran kehidupan, Nobita tak pelak adalah juara kelasnya. Dalam film Stand by Me 2 ini saja, petualangan Nobita menembus waktu akan banyak memberikan dirinya – dan kita semua – pelajaran berharga tentang menemukan rasa bahagia atas diri sendiri demi membahagiakan semua orang di sekitar kita.

Akhirnya menikah, tapi kok malah sedih?

 
 
Hari itu berawal cukup normal di rumah Nobita. Doraemon sedang maintenance alat-alat di kantongnya. Dan Nobita… well, dia barusan kena omel sama Ibu karena ketahuan menyimpan nilai nol. Nobita jadi kangen sama neneknya yang udah meninggal. Kata Nobita nenek adalah satu-satunya yang sayang sama dia. Lantas pergilah Nobita dan Doraemon ke jaman dirinya masih kecil naik mesin waktu. Untuk bertemu Nenek. Cerita keseharian seperti inilah yang bikin Doraemon itu gampang melekat untuk anak kecil. Kita melihat kehidupan Nobita itu ya gak jauh dari kehidupan kita. Tentunya waktu kecil kita pernah sekali dua kali ngayal kita adalah anak pungut saat dimarahi ayah-ibu. Ngayal kalo ada orang dewasa lain di luar sana, yang lebih baik dan rajin beliin mainan, yang bakal datang menjemput kita karena mereka adalah orangtua kita yang sebenarnya. Kita lebih senang sama nenek kakek karena mereka gak pernah marahin dan selalu manjain kita. Menonton cerita seperti ini sekarang, berhasil melempar aku ke nostalgia. Bukan hanya nostalgia kepada dunia Doraemon yang ajaib dan penuh oleh karakter-karakter yang terasa akrab, tapi sekaligus juga nostalgia kepada masa kecil diriku sendiri.
Film ini tahu persis siapa penonton mereka. Aku benar-benar merasa film ini dibuat untuk diriku. Setelah menyambut kita dengan manisnya nostalgia, sutradara Ryuichi Yagi yang kali ini team up sama Takashi Yamazaki, mulai menghidangkan daging sesungguhnya dalam cerita. Sekuel Stand by Me ini dihadirkan sama seperti film pertama yang keluar enam tahun yang lalu; permasalahan Nobita dan Doraemon di sini bukanlah perihal petualangan besar ke dunia luar seperti pada film panjang kartunnya. Melainkan permasalahan yang lebih dekat ke ‘rumah’. Yagi dan Yamazaki mengajak penonton Nobita dan Doraemon yang kini telah dewasa untuk mengarungi permasalahan yang juga sama dewasanya. Nenek Nobita ingin melihat pasangan cucu kesayangannya tersebut saat menikah. Permintaan yang gampang bagi Nobita, karena dia sudah tahu di masa depan bakal menikah dengan Shizuka, dan dia tinggal mempertontonkan pesta mereka kepada Nenek lewat Televisi Waktu. Namun ada sesuatu yang salah. Pesta itu gak mulai-mulai, karena Nobita di masa depan, Nobita Dewasa yang akan menikah itu, tidak kelihatan ada di mana-mana. Maka bergegaslah Nobita dan Doraemon ke masa depan, mencari Nobita Dewasa dan membetulkan banyak hal sebelum semuanya terlambat. Sebelum masa depan Nobita berubah menjadi tanpa Shizuka.
Tidak seperti film pertamanya yang tersusun dari beragam cerita dan episode dari komik/kartun, film animasi 3D kedua ini lebih fokus pada satu permasalahan. Walau memang banyak yang actually akan dikejar dan dikerjakan Nobita, tapi semuanya mengerucut ke satu permasalahan yang sama. Yakni kenapa Nobita di masa depan menghilang dan seperti jadi bimbang (got cold feet) beberapa jam sebelum menikah. Film kali ini actually membahas sangat personal seputar karakter Nobita itu sendiri. Narasinya disusun sedemikian rupa dalam membangun rasa insecure dan ketidakpuasan Nobita terhadap dirinya sendiri. Mulai dari bagaimana Nobita penasaran dirinya anak pungut atau enggak, hingga ke bagaimana Nobita enggak suka sama namanya, dan tentu saja ke bagaimana Nobita Dewasa merasa kasihan sama Shizuka yang mau menikah karena ingin melindungi dirinya. Semua eksplorasi soal itu diceritakan dengan cukup subtil sehingga terlihat di permukaan sebagai celotehan anak bandel yang konyol. Ini tentu saja karena film ini tidak melupakan para penonton cilik. Kelucuan tingkah serta keajaiban dunia dan karakter-karakternya tetap dijadikan pesona utama untuk dinikmati oleh anak kecil. Sementara di balik itu semua, para penonton dewasa (yang sudah setia bersama Nobita dan Doraemon sejak kecil) bisa merasakan sesuatu yang relate alias mewakili perjalanan hidup mereka. Di balik Nobita mencela dan mendebat pilihan Nobita Dewasa lewat percakapan yang sangat amusing, kita tahu bahwa itu adalah cara film menggambarkan kontemplasi karakter lewat kekhususan dan identitas Doraemon itu sendiri.

Di dalam diri kita akan selalu ada sosok anak kecil yang rapuh dan selalu ‘ingin dimanja’. Di dalam diri kita semua, akan selalu ada si Nobita. Itulah yang diajarkan oleh film ini lewat kisah Nobita yang kabur dari pernikahannya sendiri. Bukan karena dia tidak cinta lagi, tetapi justru karena dia cinta makanya dia kasihan kepada Shizuka yang mau padanya. Kini hanya dirinya sendiri yang bisa menyelamatkan dirinya. Masalahnya dia justru menganggap dirinya sendiri sebagai masalah. Padahal Nobita – dan Nobita dalam diri kita yang vulnerable – bukanlah sesuatu yang perlu dibenci atau dienyahkan. 

 
Setting Nobita menikah bukan hanya kuat di nostalgia, tapi juga membentuk panggung yang menarik, yang mampu memikul banyak bobot emosional untuk disampaikan kepada kita. Karena perihal Nobita menikah dengan Shizuka itu sudah sejak dari zaman kartun televisi, bahkan zaman komiknya, selalu jadi goal dramatis dari karakter Nobita ‘si anak lemah’ itu sendiri.

Rasanya pengen menyelimuti diri sendiri dengan Selimut Waktu

 
 
Semua itu dilakukan dalam balutan petualangan menembus waktu. Elemen time-travel ini memang selalu jadi bagian penting dalam semesta Doraemon. Dan dalam film ini pun, sebagaimana film-film kartunnya, elemen time-travel ini dilakukan dengan detil tanpa menjadi memberatkan. Cerita didesain betul supaya elemen time-travelnya benar-benar terikat dan tidak menimbulkan loop yang mengganggu. Sehingga meskipun film ini periodenya luas – menyangkut masa lalu, masa kini, dan masa depan Nobita – tapi tetap terasa contained. Ceritanya tertutup dan gak meluas menjadi teori-teori yang gak perlu.
Akan tetapi, tentu saja elemen time travel yang bertemu dengan konsep alat-alat ajaib, akan beberapa kali membawa cerita sampai pada titik eksposisi. Akan ada beberapa adegan yang terdengar terlalu ‘telling’ dan membuat emosi film harus tertunda. Untuk sebuah cerita yang memfokuskan pada sisi emosional karakter, dan petualangan time travel, film ini memang at times sedikit terlalu mendikte. Ada beberapa dialog yang sepertinya bisa lebih manis dan berasa jika diperlihatkan lewat emosi atau ekspresi visual. Emosinya lebih banyak dituturkan. Mungkin ini ada kaitannya dengan budgetnya. Film ini walaupun terlihat sangat kawaii dan lembut, memainkan lingkungan tiga periode berbeda dengan detil dan distinctive, tapi dari segi karakter-karakter, mereka seperti terbatas.
 
 
Dengan lebih memfokuskan kepada karakter Nobita dibandingkan petualangan Doraemon dan kawan-kawan, film ini berhasil memberikan bobot kepada nostalgia dan haru-haruan yang mereka incar. Hubungan antara Nobita dengan karakter lain seperti Doraemon, Shizuka, Neneknya, Ayah-Ibunya, dan bahkan Giant dan Suneo berhasil dikembangkan dengan dewasa. Film ini menggunakan time-travel dengan ringkas sebagai elemen utama sehingga tidak memberatkan cerita. Malah film ini sebenarnya berhasil menjadi cukup simpel tapi sangat mengena bagi kita semua. Bahkan bagi penonton lepas yang somehow belum pernah nonton Doremon sebelumnya (jika ada)
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for STAND BY ME DORAEMON 2
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Saat masih kecil, alat doraemon apa yang kalian paling ingin punya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

EARWIG AND THE WITCH Review

“If you want something done, do it yourself”
 

 
Musik adalah magic. Untuk banyak orang, musik merupakan obat personal. Nada-nada yang dapat membawa beragam emosi dan mampu merepresentasikan banyak perasaan. Seperti sihir, musik bisa mempengaruhi orang tanpa-pandang bulu. Bahasanya adalah bahasa jiwa, sehingga menyentuh tanpa-limitasi. Film animasi terbaru dari Studio Ghibli berjudul Earwig and the Witch ini literally memasukkan musik dan sihir sebagai tema ceritanya. Ya, kalian gak salah membaca. Film ini memang tidak terlihat seperti animasi Ghibli yang biasa, dan itu karena sutradara Goro Miyazaki bereksperimen dengan menyulap animasi kali ini ke dalam efek komputer sepenuhnya. Jadi, dengan begitu kita bisa bilang ada tiga hal-ajaib yang bekerja membentuk film ini. Keajaiban musik, keajaiban komputer, dan keajaiban sihir/fantasi itu sendiri. But, why oh why, saat ditonton film ini malah terasa jauh dari keajaiban film-film Studio Ghibli yang biasa?
Goro Miyazaki seperti gagal memenuhi janji akan keajaiban-keajaiban yang sudah disiapkan. Seperti pada cerita, misalnya. Set up film ini sudah demikian menarik. Ini adalah kisah seorang anak perempuan di panti asuhan yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang penyihir. Adegan opening film ini mempertontonkan aksi sang ibu – penyihir berambut merah – di atas sepeda motor, melaju karena dikejar-kejar oleh sebuah mobil kuning. Si Ibu lantas menyihir sehelai rambut-merahnya menjadi cacing, yang dilemparkan ke kap depan mobil yang tengah dalam proses menunjukkan gerigi-gerigi yang siap menerkam. It is magical and fantastic. Ketika si penyihir menitipkan bayi dalam gendongannya di depan sebuah panti asuhan, kita excited untuk melihat ke depannya bakal seperti apa. What kind of magic would the baby girl had? Petualangan seperti apa yang bakal anak itu lewati?

Akankah nanti dia punya musuh botak seperti ular dan panti asuhannya secretly adalah sekolah sihir?

 
Ternyata, enggak ada lagi petualangan seheboh itu kita jumpai hingga akhir cerita. Setting cerita film ini berpindah dari panti asuhan ke rumah; settingnya actually menyempit. Jadi ceritanya, beberapa tahun kemudian, si anak (diberi nama Earwig oleh sang ibu, tapi diganti jadi Erica Wigg oleh matron panti) diadopsi oleh pasangan yang tampak aneh dan nyeremin. Erica dibawa tinggal di rumah mereka. Sebenarnya masih bisa menarik, karena pasangan yang mengadopsi Erica ternyata bukanlah pasangan. Mereka bahkan bukan ‘manusia’ biasa. Mereka adalah dua orang penyihir yang tinggal serumah. Harapanku di titik itu masih menyala. Kupikir rumah tersebut bakal jadi tempat fantastis dengan segala sihir dan keanehannya. Kupikir rumah tersebut akan jadi panggung bagi Erica untuk bertualang, mengeksplorasi kekuatan sihirnya sendiri. Tapi sekali lagi, film ini mengayunkan ekspektasi kita, tanpa menyambutnya. Ekspektasi kita jatuh berdebam di tanah!
Earwig and the Witch actually adalah salah satu film panjang terpendek dari Studio Ghibli. It’s clocked at 1 hour and 22 minutes. Dan sekarang aku jadi menyadari bahwa satu-satunya keajaiban dari film ini adalah membuat durasi sependek itu menjadi terasa lama. Film ini di tengahnya diisi oleh plot poin yang repetitif dan dipanjang-panjangain, baru kemudian kita sampai di bagian akhir yang mulai menarik, dan film ini udahan. Berhenti tepat ketika apa yang tampak seperti plot poin berikutnya datang. Sebagian besar film dihabiskan di ruangan, dapur penyihir; tempat Erica disuruh-suruh nyiapin bahan-bahan (motongin kaki kodok, menyilet kulit ular, atau sesekali ke halaman belakang motongin akar-akar herb). Jika bukan karena si kucing yang bisa bicara dan pintu yang menghilang, aku bisa-bisa lupa kalo yang kutonton ini bukan film Cinderella yang Cinderellanya tengil abis.
Ya, percikan menarik film ini memang hanya datang dari Erica itu sendiri. Yang karakternya dibikin pinter tapi bandel. Desain Erica aja dibikin mencuat dari anak-anak lain; dia punya dua ikat rambut yang berdiri seperti antena serangga (mungkin ini salah satu alasan kenapa dia diberi nama sama seperti nama serangga). Erica benci diadopsi dan dia berusaha untuk enggak terpilih setiap kali ada keluarga yang datang ke panti. Alasan Erica gak suka diadopsi bukan karena dia gak mau ninggalin teman-teman dan sayang sama semua orang di panti. Melainkan karena baginya hidup di panti itu enak, karena banyak yang bisa disuruh-suruh. Dia mendapatkan pelayanan dari orang-orang, dikasih makanan enak (dia punya pie kesukaan), dan bebas bermain-main sepanjang waktu. Kita melihat Erica melanggar jam malam dan kemudian ngeles sehingga membuatnya semakin disayang oleh matron panti. Erica ini manipulatif banget. Dia punya sahabat bernama Custard, yang fungsinya untuk ia suruh-suruh. Erica bahkan gak pamit sama si sahabat begitu dia diadopsi. Karakter Erica penuh oleh flaw, dan ini membuatnya menarik. Dia cerdik, berani, mandiri, tapi ia menggunakan semua itu untuk memastikan dirinya mendapat pelayanan maksimal. Maka, ketika dia diadopsi dan ternyata malah disuruh jadi asisten (baca: babu) si penyihir galak nyiapin ramuan-ramuan, motivasi Erica tersebut jadi mendapat tantangan. Inilah yang jadi whole story. Erica disuruh-suruh, dia dendam, dia akhirnya belajar sihir sendiri (dibantu ama kucing hitam, ‘familiar’ si penyihir), dan tak lupa dia menggunakan manipulasi untuk membuat si penyihir galak bertengkar dengan penyihir cowok yang jangkung dan misterius. Tujuan akhir Erica adalah supaya dia jadi dapat pelayanan maksimal dari kedua orangtua asuhnya – seperti ketika dia dilayani di panti.

Terlalu sibuk kian-kemari memikirkan rencana bikin mantra dan ramuan balas dendam demi membuat para penyihir tunduk melayaninya, Erica gak menyadari bahwa dia sebenarnya lebih dari sekadar capable dalam melakukan semuanya sendiri. I think the best take away yang bisa kita ambil dari karakter bandel dari Erica ini adalah bahwa dia enggak manja. Dia mandiri banget malah. Karakter ini menunjukkan kepada kita kekuatan dari determinasi dan mengerjakan segalanya sendiri. Being best at who we are. Sekiranya Erica sadar itu, pastilah dia enggak akan lagi merasa perlu untuk dilayani oleh orang lain.

 
Plot/arc Erica benar-benar aneh, bahkan untuk standar Jepang yang terkenal suka hal aneh itu sendiri. Film ini memberikan apa yang diinginkan oleh si protagonis, dan yang diinginkannya itu bukanlah hal terpuji. Dari cerita ini terbangun, sepertinya bakal ada pembelajaran yang bakal didapat oleh Erica, tapi cerita gak pernah sampai ke sana. Karena suddenly fokus cerita berpindah, ketiga karakter ini jadi bersatu karena musik, dan kita melihat flashback yang intriguing tentang hubungan sebenarnya antara si dua penyihir galak dengan ibu Erica. Dan film usai. Erica sama sekali tak tahu atau malah tak tampak peduli dengan siapa dirinya sebenarnya. Dia hanya peduli dengan penyihir berambut merah karena si penyihir adalah vokalis band yang ia suka. Dan masalah di antara para penyihir dewasa di opening itu, kita hanya dibiarkan menduga-duga. Film berakhir dengan abrupt sekali. Aku gak tahu cerita materi aslinya sepeti apa (film ini diadaptasi dari cerita anak karangan Diana Wynne Jones) Aku juga gak tau apakah film ini memang diniatkan bakal ada sambungannya, atau malah bakal jadi film serial. Karena benar-benar menggantung, belum ada resolusi atau apapun dari ceritanya.

Di film ini ada Sherina Munaf yang ngisi suara vokal Ibu Erica

 
Sepertinya itu semua ada hubungannya dengan permasalahan pada gaya animasi yang dipilih oleh sang sutradara. Desain karakter dan dunia film ini sebenarnya oke-oke aja. Gaya Goro Miyazaki memang selalu ‘polos’ kayak karakter From Up on Poppy Hill, bahkan petualangan Tales from Earthsea. Malah si Earwig ini bisa dibilang karya Goro yang desain karakternya paling nyentrik. Melakukan animasi yang sepenuhnya komputer alih-alih hand-drawn boleh jadi memang diniatkan sebagai gebrakan, tapi itu juga dapat menciptakan masalah baru, baik itu di biaya maupun dari pengerjaan. Film-film Ghibli kan biasanya penuh fantasi. Jikapun settingnya di lingkungan sehari-hari, kejadiannya pasti dibuat seemosional mungkin. Maka aneh aja, ketika mereka mengusung cerita fantasi, membuatnya jadi 3D, tapi ternyata momen-momen fantasi itu sedikit kali ditampilkan. Kenapa ‘mengurung’ cerita di dalam rumah ketika kini kau bermain dengan visual yang unik – yang di luar kebiasaan? Ketika ini adalah waktumu untuk membuktikan mampu bikin fantasi yang lebih wild dan fun dari ayahmu? Menurutku, bagi Goro sendiri, film ini jelas merupakan tantangan sekaligus pembuktian. Sehingga dia besar kemungkinan bukannya enggak mau untuk membuat film ini wah, melainkan ya karena keterbatasan teknis. Entah itu biaya, atau simply belum jago amat bikin animasi komputer.
Akibatnya film jadi gak banyak adegan fantasi, enggak banyak mengeksplor magic di luar ramuan-ramuan. Cerita pun gak bisa tuntas, aku pikir ini mungkin memang sengaja dipotong dengan harapan kalo laku, mereka bisa menyelesaikan cerita. Dan mereka berusaha melakukannya dengan elegan, sehingga film ini masih punya awal-tengah-akhir (meskipun enggak memuaskan dan plotnya terasa kayak gak benar-benar ada), memejeng ‘ending extra’ lewat kredit penutup (yang pakek animasi 2D seperti biasa, but actually nampak lebih hidup daripada keseluruhan film yang kita lihat ini) dan masih dianggap berdiri sendiri ketika hasil film ini flop dan gak bisa menyambung biaya.
 
 
Clearly, ini bukanlah yang terbaik yang dipersembahkan oleh Studio Ghibli. Dulu aku sempat bikin list Top-8 film Ghibli favorit, dan kehadiran film ini gak membuatku harus mengupdate apapun dari list tersebut. Walaupun filmnya punya karakter yang menarik, tapi ceritanya terasa bland dan belum sampai ke titik akhir. Tidak seimajinatif dan se-petualangan yang kita kira. Visual animasi komputernya pun tidak menambah apa-apa, malah jadi seperti penghalang utama yang menyebabkan film ini gak bisa bermain maksimal.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for EARWIG AND THE WITCH
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Flashback yang memperlihatkan Ibu Erica dan dua teman penyihirnya sempat memperlihatkan seolah ada cinta romantis di antara beberapa dari mereka (atau malah semua?) Apakah kalian punya teori sendiri tentang itu? Apakah mereka terlibat cinta segitiga? Sebenarnya siapa ayah Erica?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SOUL Review

“Life starts now.”
.

 
 
Bertahun-tahun pengen jadi bintang jazz, Joe (diisi suaranya oleh Jamie Foxx) yang bekerja jadi guru musik honorer akhirnya diterima untuk nampil bermain musik di klab bersama idolanya. Tentu saja Joe langsung memilih gig ini ketimbang tawaran untuk jadi guru tetap di sekolah dasar. Dalam perjalanan pulang, Joe yang begitu girang sibuk menelpon sehingga tak lagi memperhatikan jalan (itupun kalo dia pernah memperhatikan jalan sebelumnya). Joe mengalami kecelakaan. Dia jatuh tewas. Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai.
EIIIIITTSS, jangan keburu sedih dan depresi dulu. Karena Joe adalah tokoh utama dalam film Soul; film buatan Pixar. Dan jika ada satu hal yang kita ketahui tentang Pixar, maka itu adalah Pixar selalu merancang cerita dengan muatan perasaan yang real, yang nge-tackle masalah yang manusiawi seperti kematian, perpisahan, dibalut dengan konsep yang menyenangkan. Selalu ada lapisan kreatif yang menjadikan ceritanya menarik.
Kecelakaan tadi ternyata belumlah akhir dari semua bagi Joe. Karena dia mendapati dirinya – jiwanya – berada di sebuah tempat yang bisa membawanya hidup kembali. Joe kabur dari jembatan lorong ‘siratal mustaqim’, dan sampai di The Great Before. Tempat pelatihan dan seminar bagi jiwa-jiwa sebelum dilahirkan ke dunia. Joe yang menyamar menjadi salah satu mentor, ditugaskan untuk mengajari unborn soul bernama 22 (disuarakan oleh Tina Fey dengan suara yang menurut si karakter “annoys people”) tentang kehidupan duniawi. Si 22 ini sudah beribu-ribu tahun gagal terus lulus pelatihan, padahal mentor-mentornya adalah orang terkenal semua. Joe dan 22 yang bertualang bersama mencari spark untuk 22, akhirnya saling mengajari soal apa yang sebenarnya paling berharga dari kehidupan.
Film Soul ini digarap oleh Pete Docter yang sebelum ini menggarap Inside Out (2015). Jadi kita bisa mengharapkan eksplorasi dan world-building yang sama imajinatifnya di Soul ini. Dibandingkan dengan Inside Out, memang Soul terasa bahkan lebih ‘dalem’ lagi. Karena alih-alih soal emosi dan kepribadian bekerja, Soul adalah eksplorasi soal eksistensi dan jiwa itu sendiri. Docter dan co-director Kemp Powers menerjemahkan filosofi mengenai kehidupan, afterlife, dan apa yang membuat kita, kita ke dalam dunia ‘kartun’ versi mereka sendiri.

Dan tak lupa juga menampilkan ‘soul music’ alias musik Jazz

 
 
Menjelaskan soal filosofis seperti eksistensi ke dalam presentasi atau bentuk yang ringan, jelas adalah sebuah tantangan besar. Bahkan bagi sekelas Pixar. Kita tahu anak kecil memang ada kalanya nanyain hal-hal ‘sulit’; hal-hal yang enggan untuk kita bahas kepada usia mereka. Namun begitu, rasanya jarang sekali ada anak kecil yang nanyain ‘kenapa kita suka mengejar hobi yang dilarang oleh orangtua’. I’m not saying film Soul ini gak cocok untuk selera anak. Karena memang filmnya sendiri didesain untuk bisa ditonton oleh anak kecil. Desain visualnya mengundang. Karakter jiwa-jiwa itu berbentuk lucu, mereka tampak seperti gabungan awan dengan roh. Fluffy sembari garis tubuhnya agak-agak berpendar transparan. Masing-masing jiwa ini punya bentuk yang distinctive, yang sesuai dengan penampakan atau fisik tubuh manusia mereka. Sehingga menyenangkan untuk menebak-nebak atau membandingkan wujud asli dengan wujud jiwa beberapa karakter yang disebutkan. Selain itu ada juga karakter lain yang bentuknya tak kalah unik. Film ini juga punya antagonis, walaupun di sini tokoh antagonis itu tidak benar-benar punya niat jahat, melainkan hanya terlihat sebagai penghalang bagi Joe yang literally kabur dan pengen mengubah nasibnya. So yeah, film ini masih punya pesona khas animasi Pixar yang digemari anak-anak. Dialognya juga masih sempat untuk terdengar lucu dalam sebagian besar porsi adegan.
Hanya saja menu yang disajikan Pixar kali ini memang lebih cocok untuk konsumsi orang dewasa. Pixar mengambil langkah yang berani di sini; membuat tokoh utama yang bukan anak-anak, malah pria dewasa yang bahkan belum punya keluarga/anaknya sendiri. Segala konteks yang berusaha disederhanakan tadi itu juga pada akhirnya akan tetap jauh bagi anak kecil. Menonton film ini bagi anak-anak sekiranya bakal sama seperti ketika kita yang sudah dewasa menyaksikan Tenet (2020). Film Soul ini pun kadang terseok juga oleh kebutuhan untuk menjelaskan konteks dan pembangunan dunianya; itulah terutama yang memberatkan bagi anak yang belum dapat menangkap dengan baik gambaran besar ataupun maksud dari narasi yang diceritakan. Bagi kita orang dewasa, atau bagi penonton yang sudah mengerti permasalahan yang menimpa karakternya, film Soul ini akan jauh lebih emosional. Tidak akan terasa hampa seperti saat nonton Tenet. Karena tokoh utamanya, permasalahan dirinya, begitu universal dan terceritakan dengan baik oleh film. Penyederhanaan konteks filosofis, konsep dunia afterlife yang dijadikan ceria seperti camp pelatihan, tidak mengurangi penekanan kepada konflik emosional dan psikologi yang dirasakan oleh karakter Joe – dan bahkan juga si 22. Film ini pun semakin fleksibel dengan tone-nya, sebab di pertengahan akan ada bagian cerita jiwa yang tertukar tubuh, dan film berhasil untuk tidak tersesat menjadi komedi konyol. Melainkan malah semakin terasa penting sebagai suatu bagian dari perkembangan karakter.
Penulisan film ini luar biasa. Aku suka cara film menyelipkan hal-hal seperti kematian, keputusasaan ke dalam cerita. Hal-hal tersebut penting dan tidak-bisa tidak disebutkan ketika kita bicara tentang persoalan tujuan hidup, eksistensi, dan kebahagiaan seperti ini. Ada banyak aspek dalam film ini yang kalo kita pikirkan lagi ternyata sebenarnya sangat suram. Misalnya soal jiwa-jiwa yang segitu banyaknya muncul di dekat Joe di jembatan ke cahaya itu, menunjukkan segitu banyaknya manusia yang mati setiap hari. Ada yang muncul bertiga pula, mereka mati kecelakaan apa gimana. Dan Joe sendiri, dia gak sadar dirinya tewas karena dia begitu sibuk mengejar passionnya sebagai pemusik Jazz. Kalimat ‘Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai’ sesungguhnya sangat naas dan inilah yang jadi gagasan utama penulisan karakter Joe.
Berarti menurut film ini, semua manusia terlahir tanpa jiwa

 
 
Joe adalah seorang yang sangat passionate. Dia mengejar karir, and do what he loves. ‘Kesalahan’ yang harus Joe sadari adalah menyangka bahwa hidupnya baru akan dimulai – baru benar-benar berarti jika passion atau karir impiannya itu sudah tercapai. Film langsung membenturkan ini dengan membuat Joe celaka. Namun Joe gak mau nerima, dia kabur membawa jiwanya keluar dari kematian. Jiwanya berontak, bagaimana mungkin dia mati pada saat hidupnya justru baru dimulai – pada saat karirnya mulai mencapai titik terang. Joe tidak pernah benar-benar peduli pada hidupnya, selain untuk berhasil menjadi pianis jazz. Inilah yang membedakan Joe dengan 22 pada saat si unborn soul itu mencicipi seperti apa hidup untuk pertama kalinya. Joe tidak pernah duduk dan menangkap daun yang jatuh. Joe selalu mengejar karirnya sehingga lupa untuk melihat hidup. Tidak seperti 22 yang berhenti dan menikmati apapun yang ditawarkan kehidupan kepadanya. Ada momen yang sangat menyentuh ditampilkan oleh film ini yaitu ketika Joe melihat visual kehidupannya, yang ternyata sangat hampa. Dia tidak melakukan apa-apa padahal sudah hidup selama itu. Momen ini menunjukkan bahwa mengejar impian meskipun adalah suatu perjuangan hidup, tapi bukan berarti hidup jadi harus tentang itu.
Lebih lanjut film memperlihatkan Joe yang tetap tidak bahagia setelah berhasil menjadi anggota band jazz bareng idolanya. Karena dia ketinggalan semua hal lain kehidupannya. Dalam film ini ada makhluk yang disebut lost-soul. Para jiwa akan berubah menjadi makhluk ini jika tidak lagi senang dalam hidup. Meskipun dalam film ini tidak ditunjukkan, tapi aku yakin jika Joe tetap memilih ngeband dan melupakan 22 dan semua yang ia lalui tadi, maka Joe akan perlahan berubah menjadi lost-soul. Dan ultimately menjadi lost-soul adalah hal yang paling mengerikan yang bisa terjadi kepada sebuah jiwa. Karena yang terpenting adalah untuk menghidupi hidup.

Kita bisa mati kapan pun. Inilah yang diingatkan oleh film. Hidup tidak dimulai ketika kita lulus kuliah, atau ketika kita dapat kerja, atau ketika impian kita tercapai. Hidup sedang berlangsung. Sekarang juga! Maka tunggu apa lagi? Kejarlah yang dicita-citakan, tapi jangan lupa untuk membina hidup. Karena purpose of life is to live the life

 
Sehingga masuk akal jika film ini memberikan kesempatan kedua bagi Joe. Karena perkembangan karakternya diset sebagai orang yang kini mulai belajar untuk dengan benar-benar melihat hidup. Bukan hanya tentang musiknya, tapi juga tentang keluarganya, tentang teman-temannya. Dan kupikir cerita Soul yang dibikin seperti ini justru lebih indah dan mengena sebagai inspirasi ketimbang membuat cerita yang ‘kelam’ dengan membuat Joe benar-benar memutuskan untuk ‘terus’. Nah kembali lagi ke penulisan yang hebat, Soul tidak lantas memberikan kesempatan kedua itu saja dengan cuma-cuma kepada Joe. Dia dibuat pantas untuk mendapatkanya dengan membantu 22. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan telah menyadari apa ‘kesalahannya’ dalam memandang hidup. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan sudah menerima dan merelakan nasibnya.
Semua aspek sudah dipertimbangkan oleh film ini. Semua yang ditampilkan terasa masuk ke dalam suatu tujuan. Suatu makna. Sehingga membuat film ini semakin berbobot. Satu lagi yang paling aku suka dari cara film ini menangani karakternya adalah dengan bersikap open terhadap ‘ending’ karakter 22. Tokoh ini sangat menarik, awalnya dia gak suka untuk pergi ke bumi, dia menganggap semua kehidupan itu yang sama aja. Not worth, enakan di Great Before. Tapi hidup sesungguhnya benar seperti paradoks Cliche-22 (mungkin dari sini nama 22 itu); kita gak bakal tau seberapa enaknya hidup, tanpa pernah menjalani hidup itu sendiri. Si 22 memang akhirnya terjun untuk dilahirkan ke bumi, dan yang aku suka adalah kita tidak diperlihatkan terlahir atau menjadi siapa si 22 di Bumi. Film tidak memberikan kita adegan Joe bertemu dengan 22 versi manusia, dan menurutku ini sungguh langkah yang bijak. Karena menunjukkan hidup tidak bergantung kepada kita terlahir sebagai apa, bisanya apa, sukanya apa. Itu semua tidak berarti bagi 22, karena dia hanya ingin sekali untuk hidup.
 
 
 
Ini adalah karya Pixar yang paling berbeda. Mulai dari tokoh utamanya yang dibuat dewasa (not to mention merepresentasikan African-American yang belum pernah dijadikan tokoh utama oleh Pixar) hingga ke permasalahan yang berjarak dengan anak-anak. Konteksnya adalah tentang eksistensi yang berusaha diceritakan dengan sederhana. Dan ini memang tidak membuat Pixar keluar dari identitasnya. Yang kita lihat tetaplah sebuah journey yang imajinatif, penuh warna, dengan karakter yang adorable. sehingga nilai hiburannya tetap dipertahankan di balik bobot yang luar biasa. Sungguh sebuah tantangan yang gak ringan. Namun film ini berhasil. Ceritanya menyentuh dan terasa penting. Para karakter pada akhirnya tampil realistis karena bergelut dengan masalah yang sangat relatable. Kebingungan yang mungkin terjadi saat mempelajari konsep dunianya akan tertutupi oleh keunggulan penulisan karakter. Minus poin bagiku cuma minor, yaitu menurutku harusnya film sedikit lebih konklusif terhadap karakter Joe yang mendapat kesempatan kedua. Buatku alih-alih membuatnya hanya terlihat bersyukur dan menikmati hidup, mungkin bisa juga ditambah dia akhirnya mengambil tawaran sebagai guru; just to circle back ke pilihan yang dia dapatkan di awal cerita. Selebihnya buatku film ini beautiful dan penting, if you care about life and your existence. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SOUL.
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian sudah menemukan ‘spark’ di dalam hidup?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN Review

“The secret formula will always be love”
 
 

 
 
Sekitar pertengahan-akhir durasi, film ini menampilkan sekuen adegan yang layaknya seperti courtroom drama. Dalam adegan-adegan tersebut kita melihat Patrick, Sandy, Squidward, dan teman-teman SpongeBob yang lain bergantian memberikan kesaksian kepada Poseidon untuk membela SpongeBob yang jadi tersangka. Mereka menceritakan kisah pengalaman mereka bisa mengenal si Sponge Kuning itu waktu masih kecil. Kita pun dibawa flashback menyaksikan langsung pertemuan-pertemuan itu. Dan itulah satu-satunya bagian menarik yang ada dalam film ketiga SpongeBob, Sponge on the Run ini.
Flashback masa kecil itulah satu-satunya hal original, hal yang fresh, hal yang ingin kita tonton ketika begitu mengetahui bahwa semesta SpongeBob ini bakal dieksplorasi kembali. Kita tentu penasaran dan ingin melihat bagaimana SpongeBob dan Patrick bisa jadi sahabat seperti sekarang ini. Kita tentu ingin melihat cerita SpongeBob bertemu Squidward. Kita ingin tahu bagaimana SpongeBob dan teman-temannya menjadi berteman pada mulanya. Poin dari sekuen adegan tersebut adalah untuk menyimak seperti apa sih para sahabat memaknai si SpongeBob itu sendiri. Untuk menunjukkan arti persahabatan SpongeBob kepada mereka. Tak pelak, memang inilah yang menarik untuk dijadikan cerita film. Seharusnya sutradara Tim Hill mengerahkan semua komandonya untuk menyusun cerita semacam prequel tersebut dengan sebenar-benarnya, jika ia memang mau menghormati legacy kartun anak-anak (dengan selipan humor dewasa) yang fenomenal ini. Alih-alih, kisah-kisah itu hanya diperlihatkan singkat dan seperti dirangkum begitu saja dengan menempatkannya pada bingkai kesaksian pada courtroom drama. Tidak melalui narasi yang benar-benar kohesif.
Sponge on the Run mengikuti rutinitas cerita SpongeBob yang biasa. Menyapa Gary – kucin–eh, siput peliharaannya, pergi kerja ke Krusty Krab, masak Krabby Patty, bikin kesel Squidward, bikin seneng Mr. Krabs, pulang, dan … menemukan Gary kesayangannya hilang! Gary diculik oleh Poseidon sehingga SpongeBob dan Patrick memutuskan untuk hit the road menyelamatkan Gary. Selagi dua sahabat ini terlibat perjalanan absurd, Plankton menyatroni Krusty Krab, bermaksud mencuri resep rahasia. Namun sepeninggal SpongeBob, burger joint itu sepi. Mr. Krabs sedih karena tanpa SpongeBob usahanya gak bisa jalan. Karena sikap dan persahabatan SpongeBob bisa jadi adalah rahasia dalam resep rahasia itu sendiri.

Ohya, ada juga penampakan Keanu Reeves sebagai tumbleweed yang bijaksana

 
 
Memang bukan film SpongeBob namanya jika tidak absurd dan nyeleneh. Kita sudah menyaksikan gimana randomnya karakter-karakter dan kejadian dalam dua film layar lebar SpongeBob sebelumnya. Film ketiganya ini, berusaha mempertahankan cap dagang tersebut. Kita akan melihat begitu lebar range keabsurdan yang muncul, mulai dari robot hingga kemunculan zombie-zombie yang bisa menari. Namun semua itu tidak berarti apa-apa. Tidak pula menambah banyak ke dalam narasi; ke dalam journey yang dilalui oleh tokoh utama kita. Melainkan hanya seperti random things yang dikumpulkan begitu saja. Berharap supaya jadi lucu dengan mindset semakin random, maka semakin luculah ia. It doesn’t work.
Sekiranya memang ada perbedaan tegas antara random yang lucu dengan random yang cuma males. Petualangan absurd SpongeBob tentulah masih akan menjadi perjalanan yang menarik untuk disimak, dengan syarat hal-hal yang ia temui dalam perjalanan tersebut bakal jadi bangunan untuk sesuatu, entah itu pembelajaran atau hanya sekadar big punchline – jika film diarahkan sepenuhnya untuk komedi receh. Seperti ‘aturan dasar’ film roadtrip-lah. Dalam Sponge on the Run ini, kerandoman itu benar-benar jalan masing-masing. Seperti tidak ada benang merah, seperti film ini hanya ingin mencari alasan untuk memanjangkan durasi. Bagiku, film ini tampak seperti mereka memang ingin menceritakan tentang masa kecil SpongeBob dan awal persahabatan para karakter, tapi sekaligus juga mereka tidak ingin menceritakannya begitu saja. Jadi alih-alih memikirkan cara untuk membangun, katakanlah cerita prekuel itu, film malah memikirkan bagaimana mereka bisa menyelipkan prekuel tersebut tanpa benar-benar menceritakannya. Kedengarannya memang tak masuk akal. Namun persis seperti itulah film ini terasa. Mereka memasukkan banyak hal random sebagai pengantar untuk hal penting yang tak ingin mereka ekspos banyak-banyak. Suudzon mode on: film ini desperate mau jual apapun tentang SpongeBob tapi either pengen instant alias gak mau repot atau mau sok-sok memposisikan film sebagai test-the-water alias ‘nanti kita cerita tentang masa kecil SpongeBob’
However, jika mau berbaik sangka; film ini bisa jadi pengen mengajak kita untuk menghargai keberadaan SpongeBob itu sendiri. Karakter yang rela menempuh perjalanan jauh (dan supposedly sedikit berbahaya) demi hewan peliharaannya, aku akan bohong kalo bilang aku enggak relate dengan itu. I mean, kucingku gak pulang makan siang aja aku langsung nyariin keluar berkeliling kompleks, kok. Meskipun dia aneh dan ngasal dan seringkali bego, tapi SpongeBob dalam cerita ini merupakan sosok yang digambarkan sebagai teladan. Kualitas terbaik dalam diri SpongeBob adalah dia tidak pernah egois. Dia juga sangat menghargai persahabatan. Dia menyayangi peliharaannya sama besar dengan dia menyayangi teman, rekan kerja, bos, hingga saingan. Film ingin menonjolkan hal tersebut. Teman-temannya itulah yang pada cerita ini dibuat untuk menyadari peran kehadiran SpongeBob itu di dalam hidup mereka.

Cinta dan persahabatan SpongeBob terhadap teman-temannya merupakan resep rahasia yang membuat hidup mereka semua menjadi ceria. Bahkan Squidward yang penggerutu pun menyadari hal tersebut. Lebih jauh lagi, karakter SpongeBob yang demikian itulah yang jadi formula kesuksesan cerita kehidupan Bikini Bottom ini setelah sekian lama.

 

Setelah gede, kita semua jadi semakin relate kepada Squidward

 
 
Kerandoman yang disetel hingga maksimal itu bisa jadi dilakukan demi attention-span anak-anak yang konon semakin singkat. Maksudnya, dilakukan biar anak kecil yang nonton enggak cepet bosan. Drawbacknya tentu saja adalah si anak-anak tadi bisa jadi malah bingung dengan ceritanya. Aku sendiri, seumur-umur, belum pernah nemuin cerita SpongeBob yang setak-penting dan sekacau ini. Aku suka dua filmnya yang dulu; yang benar terasa petualangannya. Yang berusaha memasukkan hal segar yang tak bisa mereka lakukan di televisi. Nonton film ketiga ini, aku cuma bengong. Hal baru yang film ini buat cuma visualnya. Berbeda dengan SpongeBob klasik, film ini full animasi 3D. Ada juga beberapa adegan tertentu yang menyatukan dengan pemandangan live-action alias asli. Untuk sekadar menambah visual jadi lebih cantik, film ini berhasil. Namun 3D itu juga tidak menambah banyak untuk cerita. Tidak akan ada bedanya jika film ini tetap menggunakan gaya animasi dua dimensi seperti pada kartun televisinya. Sekali lagi, ini merupakan minimalisasi kreativitas dari pembuat. Karena pada film SpongeBob yang kedua kita sudah melihat visual 3D itu mampu mereka mainkan dengan efektik ke dalam cerita – enggak semata untuk mempercantik. But then again, sepertinya aspek visual ini diniatkan hanya untuk appeal ke anak-anak aja; karena sekarang animasi tiga dimensi memang lebih dinikmati. Sukur-sukur ada orang dewasa yang ‘nyasar’ – menyangka karena gambarnya kayak Pixar, maka kualitas cerita pun sama kayak Pixar.
 
 
 
 
 
Random dan absurd adalah yang membuat SpongeBob, SpongeBob. Namun cerita yang koheren adalah yang membuat film, film bagus. Enggak cukup hanya dengan menjadi SpongeBob saja. Film ini harusnya berbuat lebih banyak terhadap penggarapan ceritanya. Petualangan SpongeBob mencari Gary seharusnya bisa dibuat lebih berarti dan menarik lagi. Jikapun bukan tentang itu, film ini padahal punya hal menarik untuk diangkat yakni masa kecil SpongeBob dan teman-teman. Cerita awal mula mereka bisa bersama-sama hingga dewasa. Anehnya, film seperti belum mau membahas total soal ini. Mereka hanya menampilkannya dengan singkat.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN

 

 
 

 

That’s all we have for now.
SpongeBob sudah ada sejak begitu lama. Humornya selalu segar dan terkenal dengan ciri khas penus selipan jokes dewasa, tapi tetap mampu tampil inosen untuk hiburan anak-anak. Apakah kalian masih suka nonton SpongeBob saat sudah gede? Episode SpongeBob mana yang paling berkesan buat kalian?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

SCOOB! Review

“If your best friend is not jealous of your other friends, then you have no bestie”
 

 
 
Simon Cowell membuat geng Mystery Inc. terpecah di film animasi terbaru Scoob! Shaggy dan Scooby Doo dianggap sebagai beban yang tidak punya kontribusi apa-apa kepada grup (sementara Fred berfungsi sebagai otot, Velma sebagai otak, dan Daphne sebagai PR). Tapi bagaimana dengan persahabatan mereka – yang ternyata sudah terjalin secak kecil? “Persahabatan tidak akan bisa bertahan karena orang berubah”, begitu kata juri acara nyanyi yang bersedia jadi investor bagi Mystery Inc tersebut. Inilah yang kemudian menyebabkan Shaggy mengajak Scooby cabut. Kemudian terlibat masalah yang membuat Scooby Doo dan rest of the gang berada dalam bahaya.
Keseluruhan film ini adalah tentang menghargai dan memaknai persahabatan dengan cara yang benar. Doesn’t matter entah sahabatmu itu manusia, atau (especially dalam kasus Shaggy) binatang peliharaan, seperti Scooby. Sutradara Tony Cervone memulai cerita pada masa kecil para tokoh. Kita melihat pertemuan yang menghangatkan hati. Shaggy Kecil yang gak punya teman bertemu dengan anjing coklat yang lagi ngumpet diuber polisi karena nyolong makanan. Persahabatan dapat bermula dari hal kecil, seperti saling berbagi makanan, kayak yang terjadi pada Shaggy dan Scooby. Atau dari saling menolong dalam kesusahan, seperti ketika Shaggy dan Scooby dibantu oleh Fred, Velma, Daphne mengambil makanan Shaggy yang dibuang oleh bully ke rumah kosong – yang lantas menjadi tempat pertama geng ini memecahkan kasus supernatural bodong. Shaggy akhirnya mendapat teman; tiga sahabat manusia dan satu sohib berkaki-empat yang sangat ia sayangi. Namun setelah dewasa, mendadak teman-teman Shaggy menjadi lebih penting daripada dirinya. Velma, Fred, dan Daphne lebih berskill. Dan Scooby diincar oleh Dick Dastardly (dari Wacky Races; satu lagi kartun favoritku semasa kecil) karena dianggap sebagai kunci membuka gerbang harta karun Cerberus, serta dijadikan pahlawan super oleh superhero favorit mereka; Blue Falcon (another karakter dari kartun 90an produksi Hanna-Barbera)
Kesetiaan dalam film ini dilambangkan oleh hubungan persahabatan antara anjing dengan manusia. Bukan hanya Shaggy, Blue Falcon dan penjahat Dick Dastardly juga punya anjing yang mereka anggap lebih dari sekadar peliharaan. Melainkan teman bagi mereka. Rekan. Elemen persahabatan manusia dan teman-terbaiknya ini memang gampang untuk menjadi menyentuh. Bahkan si Dastardly aja hampir-hampir jadi bikin kita simpati padanya begitu kita sadar motivasi ia yang sebenarnya di balik pengen harta karun dan mengunleashed hantu Cerberus. Hanya saja, animasi komputer yang mulus ini bertekad kuat untuk menjadi ‘hitam-putih’. Ia tidak ingin menjadi terlalu complicated untuk dicerna anak-anak. Cerita hangat dan menyentuh di awal, di bagian para tokoh masih kecil, dengan cepat tergantikan oleh fast-paced attempt untuk menjadi seperti petualangan superhero. Yang setiap adegannya semakin konyol dan gak make sense. Kita semua tahu Scooby Doo memang berawal dari kartun, dengan adegan lelucon khas kartun, dan film toh berusaha menghadirkan sebanyak mungkin elemen aslinya supaya penonton dewasa bisa bernostalgia, tapi tetap saja film ini melupakan satu hal krusial yang membuat Scoob! itu Scooby Doo.

bersembunyi di balik kedok superhero

 

Mempertahankan sesuatu memang lebih sulit daripada meraih. tak terkecuali dalam hal persahabatan. Seiring kita dewasa, akan ada banyak perubahan yang terjadi bersama sahabat. Perjalanan Shaggy dalam film ini dapat mewakili permasalahan yang paling dekat bagi anak-anak yang menjadi target ceritanya. Bagaimana jika sahabat kita lebih baik daripada kita? Bagaimana jika sahabat kita punya sesuatu yang kita tidak punya? Bagaimana jika sahabat kita punya kenalan baru, punya kegiatan baru yang tidak bisa kita ikuti?
In the end, film ini akan mengajarkan untuk normal untuk merasa jealous sama sahabat sendiri, tapi kita harus ingat untuk tidak merasa rendah diri, dan tidak terjerumus menjadi dengki

 
Selain adegan awal dan beberapa elemen nostalgia (mereka nge-recreate opening kartun 90annya!), buatku film ini jadi terlalu standar. Saking standarnya, kita bisa lupa ini film Scooby Doo. Karena film ini memiliki cerita kartun generik dan terlalu banyak elemen-elemen nostalgia dari kartun Hanna-Barbera lainnya. Menonton adegan pembuka tersebut, aku sudah sempat merasa senang “akhirnya ada film misteri anak-anak lagi”. Mereka masuk rumah hantu, berhadapan dengan ‘hantu’ yang penampakannya seram, menguak misteri di baliknya. Begitulah Scooby Doo tontonan anak-anak generasi 90an dulu. Horor dan misteri jadi staple untuk tontonan dan bacaan anak. Kartun Scooby Doo merupakan salah satu yang berperan membentukku jadi suka cerita horor dan, bahkan, menulis. Waktu SD aku punya buku tulis khusus untuk mengarang cerita horor dengan tokoh-tokoh kartun Scooby Doo, yang judulnya kuambil dari buku-buku Goosebumps. Mengingat itu semua, aku senang gede di tahun segitu, karena aku gak yakin aku bakal tumbuh jadi suka horor dan suka nulis kalo gede di tahun generasi Z seperti sekarang. Tidak ada lagi yang seperti Goosebumps atau Scooby Doo. Sekalinya ada horor yang melibatkan anak, either horornya adalah eksploitasi terhadap tokoh anak – mereka jadi korban, atau horornya less fantasi dan lebih ke teknologi.
Zaman sudah berubah, dan Scooby Doo tempatnya adalah di 90an. Film Scoob! ini membuktikan relic tahun terdahulu itu tidak bisa dipindahkan, diremajakan dengan semudah itu. Mungkin malah lebih baik untuk dibiarkan saja. Scoob! ingin beresonansi dengan anak-anak generasi sekarang. Para tokoh diubah, bukan lagi hippie, melainkan anak kekinian. Mereka gede dengan internet, dan film mencerminkan itu dari dialog mereka yang menyebut sosial media dan pop-culture masa kini. Impresi ini dikuatkan oleh film dengan tidak lagi menggunakan pengisi suara yang lama untuk sebagian besar tokoh-tokohnya. It could be weird for us mendengar suara baru Shaggy yang canggung bilang “Zoink!” atau suara Velma yang kini gak lagi aneh dengan “Jinkies!“nya, tapi itu bukan masalah sebenarnya pada film ini. Napas dari keseluruhan Scooby Doo tersebut juga ikut diubah. Tidak lagi ceritanya membahas misteri ‘siapa-pelaku’, tidak lagi bertempat di tempat-tempat kuno seperti kastil atau museum berhantu. Setting Scoob! terlihat sangat futuristik, karena film kini menjadikan superhero sebagai appeal. Bukan horor, melainkan petualangan pahlawan super, karena superhero-lah yang sedang ngetren di kalangan anak jaman sekarang.
Mystery Inc berhadapan dengan musuh yang jelas. Tidak ada pemecahan misteri. Instead, mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat lain berburu benda. Tempo dan adegan bergerak cepat, plot poin film ini basically aksi satu ke aksi lain, tempat satu ke tempat lain. Mereka berbuat begitu supaya penonton kecil enggak cepat bosan. Film ini percaya anak-anak generasi internet punya attention-span yang pendek, sehingga mereka membuat alur jadi sangat frantic. Dan ada banyak tokoh yang kita jumpai pada film ini. See, film kartun produksi Hanna-Barbera sudah dikenal untuk sering melakukan cross-over. Sebelum ini kita melihat Scooby Doo ketemu Flinstone, Flintson ketemu Jetson, bahkan WWE pernah bikin kartun cross-over bareng Scooby Doo. It’s just, mereka punya begitu banyak seri kartun sehingga cara apa lagi yang paling bagus untuk mempromosikannya sekaligus, kan. Dan sekarang, saat cinematic universe jadi tren berkat jagad superhero, Scoob! pun sepertinya diarahkan untuk menjadi seperti demikian. Sehingga film fokus menampilkan banyak elemen dari kartun-kartun Hanna-Barbera, hampir seperti cerita film ini dibuat around those characters; bagaimana supaya bisa memuat banyak mereka. Kalo ini game, maka ia adalah sebuah party game. Karakter dari berbagai judul ada. Dan saat penonton lama akan menggelinjang nostalgia (dan mungkin bereaksi persis meme Leonardo lagi nunjuk), penonton anak-anak gak akan tahu siapa tokoh-tokoh itu.

aku hanya bersyukur mereka gak masukin si annoying Scrappy di film ini

 
Hal tersebut boleh saja bekerja memenuhi fungsinya sebagai clean-slate. Scoob! besar kemungkinan dijadikan reboot buat franchise dan keseluruhan kartun Hanna-Barbera, yang jika anak-anak penontonnya gak kenal, maka di sinilah mereka pertama kali kenalan ama tokoh-tokoh yang completely diberikan nafas yang berbeda. Namun tetap saja tidak berarti film ini bekerja dengan baik sebagai penceritaan keseluruhan. Tidak diberikan ruang untuk karakter-karakter ini diperkenalkan dengan benar. Mereka muncul, ada di sana, dan kita langsung bertualang. Film ini hanya memberikan sepuluh menit untuk anak kecil mengenal geng Mystery Inc, sebelum akhirnya para tokoh dilepas berlarian dan melucu dan apapun yang mereka lakukan – dan itu tidak termasuk memecahkan misteri selayaknya kartun Scooby Doo yang dulu kita kenal. Sepuluh menit awal itulah pencapaian tertinggi film ini, dengan genuine heart, pengenalan karakter menarik. Film should have just stay that way.
Scooby Doo dalam sejarah keberadaannya di film, bisa dibilang selalu mengalami krisis eksistensi. Ini sesungguhnya lebih cocok untuk abg-abg awal. Film live-action-nya malah terlihat terlalu dewasa daripada yang seharusnya. Dengan begitu banyak ‘belahan’ dan innuendo yang menjurus. Poinku adalah, kalo film ini memang diniatkan untuk anak-anak, sebagai reboot dari semuanya, kenapa tidak menjadikan tokoh-tokohnya masih kecil saja. Kreator bisa membuka banyak kemungkinan eksplorasi baru dengan ini. ‘Petualangan anak-anak yang menjadi detektif kasus hantu’ sekiranya lebih unik dan segar dibandingkan petualangan-superhero-serabutan-dengan-banyak karakter-yang-hanya-dikenal-oleh-orangtuamu
 
 
 
 
Tidak mempertahankan tone yang lebih grounded dan fokus ke geng memecahkan misteri supernatural palsu, dan mengganti arahan. So much sehingga film ini tidak lagi terasa seperti Scooby Doo, melainkan film petualangan dengan tokoh yang ada Scooby Doo-nya. Dalam upaya menghidupkan kembali, membuatnya menjadi menarik untuk tontonan anak masa kini, film ini sayang sekali terdorong keluar dari genre-nya. Sehingga dia tidak terasa genuine lagi. Ini seperti melihat pamanmu yang sudah tua nyebutin dan ngelakuin semua hal-hal kekinian demi berlagak muda.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for SCOOB!

 

 
 
That’s all we have for now.
Kata orang, kalo belum pernah iri sama sahabat sendiri berarti mereka bukan sahabatmu. Benarkah begitu? Apa pengalaman terkocakmu jealous ama sahabat/teman sendiri?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

TROLLS WORLD TOUR Review

“When people talk, listen completely.”
 

 
 
Dengan lagu-lagu cover yang ngehits dan vocal Anna Kendrick, Trolls – semenjak film pertamanya di 2015 dan kini, World Tour – udah kayak Pitch Perfect buat anak-anak. And by that I mean, film ini lebih berwarna. Lebih imajinatif. Dan juga lebih annoying.
Poppy, yang sekarang udah jadi Ratu, mendapat undangan untuk berkeliling dunia mengadakan konser besar-besaran dari seseorang bernama Barb, Ratu dari Troll Rock. Undangan tersebut menguak sejarah bahwa ternyata Poppy, Branch, Biggie, dan teman-teman di desa warna warni itu bukan satu-satunya Troll di dunia. Ada enam ‘jenis’ Troll lagi, dan masing-masing mereka menyanyikan musik yang berbeda. Ada rock, funk, country, classic, techno, dan tentu saja; pop, yang merupakan musik bangsa Troll Poppy. Mengetahui hal tersebut, Poppy berniat datang walaupun dilarang oleh ayahnya, karena Poppy yakin musik akan menyatukan perbedaan di antara keenam bangsa Troll yang terpisah karena leluhur masing-masing menyangka musik merekalah yang paling baik. Poppy pun berangkat diam-diam tanpa mengetahui bahwa Barb juga punya rencana seperti dirinya. Hanya saja rencananya jahat. Barb ingin mengambil Senar dari masing-masing bangsa (mengambil dalam artian merebut dan menghancurkan kota mereka), menyatukan keenamnya, sehingga nanti seluruh dunia akan bersatu di bawah kepemimpinannya.

One nation under rock!

 
Trolls selalu merupakan tipe film yang sangat cocok ditonton dalam masa-masa kita bosan gak ngapa-ngapain di rumah, karena memang tujuan film ini hanya pengen menghibur. Ini adalah teman bagi anak-anak untuk bernyanyi dan ketawa-tawa. Kita bisa saja menontonnya dengan kritis, but it would be pointless karena keseluruhan film ini vibe-nya adalah ‘we just don’t care selain buat mengisi waktu’. Tadinya aku juga gak kepikiran mau bikin review; aku ingin give it a pass, seperti yang kulakukan pada film pertama. Aku suka sama singing voice Kendrick sejak di Pitch Perfect, jadi aku nonton aja. Tapi Trolls World Tour ini ternyata sedikit spesial keberadaannya. Dia nongol saat semua dunia practically mengurung diri, dan tak-pelak menjadi film besar pertama yang beneran tayang sesuai jadwal di bioskop; di saat film-film lain mundur, Trolls World Tour dengan nekat ‘pindah’ dari bioskop ke VOD (Video on Demand). Jadi, film ini sekarang adalah bagian dari sejarah – siapa yang tahu pandemi ini bakal sampai kapan, film-film bioskop cepat atau lambat akan ngikutin langkah film ini – ia adalah pioneer, dan aku harus mencatat film ini di blog. But I’m not gonna go easy on this movie.
Sama seperti pada film pertama, Trolls World Tour sangat memanjakan mata anak-anak. Dunia yang tampak lucu, lembut, dan aman. Air terjun dari plastik yang berkilau, pohon dan bukit yang seperti dari gulungan benang, buku yang tampak begitu empuk terjahit dengan rapi. Dunia Troll yang lain pun tergambar dengan sama ‘manja’nya, benar-benar membuat kita berada seperti di dunia troll mainan. Setiap dunia diberikan kekhasan yang memuaskan imajinasi anak-anak. Film ini dengan niat dibuat untuk mereka. Bahkan dengan semua keimutan visual tersebut, demi menjamin anak kecil enggak cepat bosan, film menyiapkan banyak lagu-lagu cover. Pola film ini adalah cerita dikit – nyanyi – cerita dikit – nyanyi. Cerita kok dikit-dikit. Bagi penonton dewasa yang mengharapkan cerita yang lebih dikembangkan, film ini memang akan cukup menjengkelkan. Karena film seperti lebih tertarik untuk bernyanyi ketimbang bercerita. Dan yang lebih jengkel lagi adalah, lagu-lagu yang dinyanyikan begitu random. Lagu populer yang dipilih, bukan lagu original alias lagu yang diciptakan untuk film ini. Pemilihan lagunya tidak banyak melewati proses berpikir. Film memasukkan yang catchy dan enggak bikin bosen. Kreatif yang diperlihatkan hanya sebatas mengganti lirik bila diperlukan (seperti ‘girl’ menjadi ‘troll dalam lagu Girl Just Wanna Have Fun) biar lebih cocok dengan karakter.
Dari enam troll dengan musik yang berbeda-beda, pesan film untuk dibawa bersosialisasi oleh anak-anak terpampang cukup jelas. Bahwa semua orang berbeda dan kita harus merayakan perbedaan tersebut karena semua punya kekuatan dan kelemahan masing-masing. Enam bangsa Troll yang berbeda rupa karena ras dan golongan mengajarkan kepada anak menghormati dan mengenali setiap perbedaan, memberinya kesempatan untuk berkembang; bertoleransi alih-alih menyeragamkan. Tapi juga tak kalah pentingnya dari kiasaan tersebut adalah perbedaan yang literally dipampang oleh film, yakni perbedaan selera musik. Like, selain pop dalam film ini ada banyak genre musik yang ditampilkan. Trolls World Tour dapat membuka wawasan anak terhadap musik dengan cara yang simpel – ntar mereka pas udah dewasa bisa mempelajari sejarah musik beneran, but for now film ini berfungsi dengan baik sebagai penghantar. Dan personally aku senang film ini memperkenalkan musik rock kepada anak-anak jaman sekarang yang tahunya hanya musik-musik yang pakek auto-tune. Saat begitulah tepatnya aku sadar soal musik dalam film ini juga penting.
Musik adalah soal selera, dan saat bicara selera orang bakal cenderung fanatik. Kita terkotak-kotak karena hal-hal seperti selera film atau musik. Anak indie kopi senja ngeledek anak K-Pop. Anak rock ngeledek anak EDM. Anak punk ngeledek anak jazz. Anak hiphop ngeledek anak dangdut. Padahal toh semestinya tidak begitu. Film ini menunjukkan bahwa semua musik sama pentingnya karena mereka semua berasal dari hati. Film mengajarkan kita untuk berdampingan dengan selera orang lain, karena perbedaan menghasilkan harmoni yang lebih hebat dari apapun yang berjalan sendirian di muka bumi. Kita tidak harus mengotakkan diri pada perbedaan, ataupun tidak menyuruh perbedaan menjadi bersatu agar sama. Melainkan biarkan dan kenali perbedaan. Dengarkan nada-nada yang berbeda tersebut, karena di situlah persatuan yang sesungguhnya

Musik itu kayak orang. If you love them, you’d listen to them. Saat orang lain berbicara, maka dengarkanlah dengan tuntas. Masalahnya, kita cenderung seperti Poppy. Kita seringkali belum mendengarkan dengan baik. Kebanyakan kita hanya mendengarkan dengan tujuan untuk menjawab, untuk membalas. Padahal mendengarkan dengan baik itu maksudnya adalah kita mendengar mereka dengan niat untuk dapat mengerti apa yang sedang diutarakan.

 
 
Soal harmoni dan mengembrace perbedaan sebenarnya sudah duluan kita dapatkan dari film musikal anak buatan lokal tahun lalu. Jika kalian sempat menonton Doremi & You (2019) maka kalian akan menemukan banyak kesamaan gagasan modern juga disampaikan lewat mash up lagu-lagu. Gagasan film itu semakin terasa progresif karena tayang berbarengan dengan Rumah Merah Putih; film anak lain yang mengusung tema perbedaan tapi dengan cara yang lebih tradisional. Film tersebut memandang perbedaan sebagai sesuatu yang harus diseragamkan; anak dari suku bangsa berbeda bicara dengan logat yang sama, mereka berpakaian seragam, hormat dalam upacara bendera. Doremi & You hadir dengan warna-warna. Pakaian seragam sekolah tokohnya enggak sama persis, melainkan dengan corak dan warna berbeda. Para tokoh bernyanyi dan bicara dengan kekhasan daerah masing-masing. Meskipun konflik Doremi & You dengan Trolls World Tour jauh berbeda, akan tetapi inner journey tokoh Putri dan tokoh Poppy sama persis. Mereka tadinya sama-sama pengen menyatukan kelompok, mengambil persamaan dalam setiap perbedaan. Mereka sama-sama enggak mendengarkan dengan baik. Namun di akhir cerita, mereka sama-sama belajar cara yang benar dalam merayakan perbedaan; cara yang benar untuk menghormati semua orang.

Petualangan mengumpulkan Infinity Ston… eh, Six Strings!

 
 
Dari perbandingan dua karakter tadi, kita akan menemukan Doremi & You merupakan penceritaan yang sedikit lebih baik dibandingkan Trolls World Tour. Putri merepresentasikan tokoh anak masa kini dengan lebih pas; ‘cacat’ karakternya bisa kita pahami dan tidak tampak seperti kemalasan naskah. Sedangkan Poppy tergambar sebagai karakter dengan kesalahan dan outright annoying. Sikapnya yang berusaha selalu optimis terasa tidak genuine karena setiap pilihan yang ia lakukan just don’t make sense. Ketika Putri meyalahkan teman-temannya padahal salah dirinya lah mereka jadi bermain dan sembrono sehingga menyebabkan duit kas hilang, kita tahu dia anaknya ngeboss, dan memang ada anak yang berkarakter seperti demikian di luar sana; maka film itu bisa jadi pembelajaran yang berharga buat anak-anak seperti demikian. Namun pada kasus Poppy, Ratu yang berusaha menjadi ratu yang baik dan didengarkan oleh rakyat, kebanyakan pilihan dan perintahnya mengada-ada. Ketika Branch mau membaca manual menerbangkan balon udara, Poppy membuang buku dan menyuruhnya untuk ‘just do it’ sambil tertawa-tawa. Kita melihat mereka hampir nabrak karena ulahnya ini. Kita tidak menemukan alasan untuk berada di belakang Poppy, mengikuti journeynya, karena kita tidak dapat melihat ada representasi nyata dari karakter Poppy. Kita lebih gravitate ke arah Branch karena tokoh yang disuarakan Justin Timberlake ini simply lebih ‘manusiawi’.
 
 
 
Itu semua karena film tidak meluangkan banyak waktu untuk develop karakter-karakternya. Momen untuk film ini benar-benar banyak tidak banyak, karena sebagian besar durasi didedikasikan untuk lagu-lagu cover yang bahkan enggak punya pesan paralel dengan kejadian yang sedang terjadi selain mereka berusaha menyanyikan satu genre di tempat yang enggak menghargai genre tersebut. Lagu-lagunya hadir begitu saja, tanpa banyak alasan. Seolah kitalah yang bego dan gak-asik karena mikirin gimana ceritanya Gangnam Style termasuk lagu paling penting dalam kamus Poppy tapi kemudian mereka menganggap K-Pop sebagai hal asing dan bukan bagian dari Pop. Film ini, yang mestinya adalah petualangan, menjadi repetitif yang annoying. Lagu, kenaifan Poppy, lagu lagi. Film jadi seperti lebih ingin mengajak kita bernyanyi dan melihat desain-desain tokoh yang unik nan imut untuk dijadikan mainan. Dan ini tentunya bakal sangat menghibur, terutama di saat-saat kita semua sedang terkurung entah-sampai-kapan. But as far as film goes, ada banyak film anak-anak musikal lain yang sanggup menyampaikan pesan yang baik dalam penceritaan yang lebih asyik daripada film ini.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for TROLLS WORLD TOUR.

 
 
 
That’s all we have for now.
What’s your favorite kind of music? Jika kalian adalah troll, kalian bakal jadi Bangsa yang mana?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

RED SHOES AND THE SEVEN DWARFS Review

 

“Beauty is about being comfortable in your own skin.”

Sekilas Red Shoes and the Seven Dwarfs tampak sebagai parodi harmless dari dongeng Snow White dan Princess-Princess lainnya. Namun jika ditilik dari segi cerita, film ini sebenarnya lebih mirip Beauty and The Beast sebab membahas seputar tokoh yang dihukum menjadi makhluk bertampang ‘mengerikan’ sebagai akibat dari terlalu mementingkan fisik dan sudah judgmental terhadap penampilan-luar orang. Namunnya lagi, begitu kita mengingat bahwa animasi ini dibuat oleh Locus Animation yang merupakan studio asal Korea Selatan, you know, negara yang terkenal dengan ‘budaya’; kita tahu parodi film ini berada dalam tingkatan yang lain.

Tujuh kurcaci yang ada pada film ini bukanlah pekerja tambang bertubuh mungil yang dipanggil berdasarkan emosi yang mereka tampilkan. Di Negeri Dongeng ini mereka bukan emoji berjalan. Melainkan tujuh pangeran yang membasmi kejahatan. Mereka superhero. Pandang mereka tak ubahnya sebagai Boyband K-Pop. Lincah, keren, dan tampan. Mereka juga punya nama grup: Fearless Seven. Dan mereka sangat menyombongkan ke-goodlooking-an mereka, terutama Merlin. Akibat ulah Merlin yang salah serang Putri Peri (“Tampangnya kayak Penyihir!”) mereka semua dikutuk menjadi kurcaci kontet. Penawar kutukan tersebut adalah ciuman dari seorang gadis cantik jelita. Masalahnya adalah; cewek cakep mana yang mau nyium mereka dengan wujud enggak keren seperti itu. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Merlin yang tampak paling merindukan wujud aslinya.

Mereka lantas bertemu dengan Snow White – jauhkan imajinasimu dari Putri Salju Disney, karena di sini Snow White adalah seorang gadis baik hati berbodi tambun. Cewek ini buron karena mencuri sepatu ajaib milik ibu tirinya yang seorang penyihir jahat. Sepatu itu mengubah penampilan Snow White menjadi kutilang alias kurus – tinggi – langsing. Snow White yang ingin mencari ayahnya memilih untuk tetap menyamar, ia menamai dirinya yang ala model itu Red Shoes, simply karena Merlin dan teman-teman hanya semangat menolong cewek dengan rupa seperti demikian. Jadi mulailah petualangan – penuh sihir dan makhluk fantasi – dua pihak yang sama-sama bukan berada di tubuh asli dengan buah pelajaran ‘inner beauty jauh lebih penting ketimbang penampilan fisik’ yang siap untuk dipetik.

Aku akan membantu apapun yang bersuara seperti suara Chloe Grace Moretz

 

Salah satu film yang berhasil dengan baik dan dengan penuh hormat mengangkat pesan kecantikan-itu-berasal-dari-dalam dan jangan mau takluk oleh standar kecantikan masyarakat adalah Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan (2019). Imperfect sebenarnya berusaha tampil seimbang dengan tokoh kekasih sang tokoh utama, hanya saja tokoh tersebut agak sedikit terlalu ideal. Tetap saja ‘hanya’ berangkat dari sudut pandang cewek dalam permasalahan kecantikan tersebut. Ketika kita berceloteh tentang standar kecantikan, biasanya cewek-lah yang kita bebankan untuk harus menerima dan menghargai diri apa adanya. Cewek jangan diet berlebihan biar kurus, nanti malah sakit. Cewek jangan kebanyakan pake make up, gak baik untuk kulit. Cewek jangan ini, cewek jangan itu. Gak harus begini, gak harus begitu. Kalian cantik apa adanya. Kita jarang sekali mengeksplorasi dari sudut satunya. Bahwa penawaran itu ada karena ada permintaan. The rest of the world toh memang menunjukkan keberpihakan terhadap yang telah disepakati sebagai ‘cantik’. ‘The rest of the world’ ini tentu saja adalah cowok-cowok. Dan merekalah yang dijadikan fokus pada film ini.

Bagaimana dengan usaha cowok yang selalu mendahulukan versi mereka terhadap cantik. Cowoklah yang membuat versi tersebut, meresmikan, dan dijadikan tuntunan. Maka lewat film ini, giliran cowoklah untuk mengenali kecantikan tersebut sebenarnya, apa adanya. Merlin si tokoh utama kita fakboi banget awalnya. Jangankan cewek atau orang lain, dirinya yang sekarang aja ia rendahkan karena berkebalikan total dengan ‘rupa keren’nya yang asli.  Di awal-awal akan ada banyak sekali dialog-dialog merendahkan keluar dari mulut Merlin dan teman-temannya. Mereka menjadikan bodi-shaming sebagai candaan. Ketika bertemu Red Shoes yang meminta pertolongan, para Kurcaci ini mengobjektifikasi cewek itu. Mereka tidak tulus membantunya, tidak tulus menyambutnya. Melainkan mencari-cari kesempatan untuk menarik hati, demi sebuah ciuman yang bakal mengangkat kutukan mereka. Kita melihat Merlin dan teman-temannya semacam berlomba untuk mendapatkan ciuman Red Shoes. Bagi mereka, cewek tersebut bukan teman, melainkan sesuatu untuk dimenangkan, dan alat untuk mendapatkan tubuh mereka yang sempurna.

Makanya film ini banyak mendapatkan backlash saat pertama kali promosi ke publik dan festival tahun 2017 yang lalu. Tokohnya disebut pahlawan tapi mengglorifikasi body-shaming. Padahal cerita menyiapkan pembelajaran bagi tokoh ini di akhir, dan memang begitulah film; sebuah perjalanan seseorang menjadi dirinya yang lebih baik. Dengan konsep tersebut, film ini memenuhi fungsinya. Merlin menyadari kesalahannya dalam memperlakukan setiap makhluk. But still, masalah film ini terletak pada kita susah ngikut di belakang tokoh utama, karena kita tahu lebih baik daripada dia. Sedari awal kita tidak belajar bersamanya, melainkan kita tahu bahwa dia salah. Dan melihat sikapnya memang bisa jadi turn off bagi penonton. Kita tidak dibuat cukup peduli sehingga menginginkan dia untuk menjadi lebih baik. Penyebab kita susah melihat dia sebagai ‘orang malang yang salah sepanjang hidupnya’ adalah Merlin dan teman-temannya kurang penggalian. Kita tidak benar-benar mengenal siapa mereka, apa latar belakang yang melandasi kenapa mereka begitu narsis dan memandang dari fisik semata. Bahkan, meskipun jumlahnya tujuh, tiga di antara mereka punya wujud yang sama persis dan gak distinctive – triplet ini suka mesin, praktisnya tiga tokoh ini sebenarnya satu karakter yang sama; nama mereka aja berupa nama Pinokio dibagi tiga. Kelompok mereka ini hanya kita kenal sebatas pahlawan,yang kebetulan mereka gorgeous semua.
Snow White digambarkan sedikit lebih ‘terhormat’, dia tidak diperlihatkan mengincar untuk jadi cantik. Ketika menyadari dirinya berbeda karena pengaruh sepatu, bagi Snow White, iya itu adalah impian, tetapi ia melihatnya lebih sebagai sebuah kesempatan. Dia sepertinya paham dan lumrah; dia merasa lebih nyaman sebagai Red Shoes karena dia tahu persis cuma itulah cara dia bisa dibantu oleh orang lain. Namun bahkan Snow White pun tidak bisa sepenuhnya kita idolakan sebab walaupun dia yang jadi pemicu pembelajaran Merlin mengenai menilai orang, dia juga sekaligus part of the problem. Begini, sebenarnya bisa aja film membuat dia yang asli datang minta tolong dan Merlin bonding dengan Snow White apa adanya sedari awal – pembelajaran bagi Merlin akan sama saja, tapi film toh membuat cewek ini ‘cantik’ dulu karena persepsi itulah yang dibangun dan dijadikan kerangka gagasan film. Bahwa ‘cantik itu langsing dan semampai – jelek itu gendut dan pendek’ dipilih untuk jadi bingkai dan ditanamkan demi membuat pelajarannya nanti bisa bekerja.

Standar kecantikan itu sebenarnya berasal dari pikiran bahwa ada yang lebih baik dari diri sendiri, sehingga dijadikan tujuan untuk berubah. Orang gendut akan merasa pengen kurus, dan sebaliknya orang kurus pengen badannya berisi sedikit. Kita tidak pernah puas dengan diri sendiri. Inilah sebenarnya gagasan utama film, makanya kedua tokohnya dibuat berurusan dengan wujud sihiran dan wujud asli masing-masing. Karena apapun bentuk kita, warna kulit, dan segala macam, hal yang penting adalah sifat dan sikap kita. Semua orang akan terlihat menarik dari yang ia pancarkan kepada sekitar, tidak peduli apakah fisiknya bercacat atau gimana. Orang cakep pun bisa beneran cakep kalo gak sombong dengan kecakepannya. Ini adalah soal menerima diri sendiri apa adanya.

 

Framework cerita film yang demikian tersebut sangat beresonansi dengan masyarakat Korea Selatan, yang sudah rahasia umum punya kegandrungan terhadap operasi plastik demi penampilan luar. Negara tersebut punya pandangan homogen terhadap mana yang cantik dan mana yang tidak, yang semuanya berakar dari kelas sosial. Putih dinilai cantik karena berkulit gelap diidentikan dengan pekerjaan yang langsung di bawah sinar matahari. Ini senada dalam film, bahwa putri raja dan pangeran berkulit cerah sementara kurcaci dan peri berkulit hijau, atau lebih gelap. Bahkan ada satu dialog Merlin yang menegaskan hijau adalah warna kelas rendah. Jadi, Red Shoes and the Seven Dwarf ini clearly memparodikan masyarakat Korea Selatan itu sendiri; yang selalu ‘bicara’ tentang tren kecantikan yang satu dimensi, berlomba-lomba untuk jadi cantik seperti demikian dengan mengubah diri. Jadi kita bisa memahami pesan film soal penampilan luar itu tidak penting akan terasa kuat sekali bagi penonton dari negara asli filmnya. Makanya juga jadi wajar, jika film ini memang diniatkan oleh sutradaranya sebagai tontonan keluarga. Sebab penanaman cantik/tampan dan tekanan untuk menjadi cantik/tampan itu berawal dari ruang-ruang keluarga mereka.

Film turut bicara soal maskulinitas yang terbantu oleh understanding dan menerima wanita juga bisa lebih-kuat

 

Walaupun memang sebenarnya humor dan fun film ini tidak benar-benar tepat untuk sajian anak-anak. Paling tidak, anak-anak menonton ini harus bersama orangtua yang dapat menjelaskan pandangan sempit tokoh-tokoh cerita dan mencuatkan pembelajaran yang nantinya mereka dapatkan. Itupun kalo orangtua bersiap menghadapi banyak adegan dan dialog yang bisa bikin gak nyaman jika ditonton bersama anak-anak. Kurang lebih samalah kayak lihat adegan-adegan ngerayu cewek di film komedi kayak Dono dan sebagainya. Beberapa parodi ada juga yang cerdas, kayak saat satu tokoh bermain-main dengan menyebutkan sifat Princess-Princess Disney yang ingin ia undang ke pesta ulangtahun. Namun beberapa ada juga yang konyol dan maksa, misalnya kayak pohon ajaib berbuah apel yang kemudian apelnya berubah menjadi sepatu. Sepatu tumbuh di pohon, sedongeng-dongengnya cerita mestinya ada hal yang lebih magical lagi yang bisa dipakai untuk film yang bercerita tentang sepatu ajaib. Dan karena ini adalah film dari negara yang cukup hits lagu-lagu popnya, maka kita akan menemukan beberapa adegan yang menyisipkan lagu-lagu. Hanya saja, sisipan ini kesannya selalu entah-dari-mana; karakter tau-tau bernyanyi sebagai transisi antaradegan. Aku gak tau aslinya gimana, tapi nyanyian di film yang sudah disulih suara bahasa Inggris ini enggak ada yang catchy sama sekali.

Membawa pesan yang menekankan pentingnya kecantikan dari dalam hati, film ini hadir sebagai tantangan terhadap masyarakat yang penuh dengan prasangka sosial yang terkait dengan standar kecantikan fisik. Kali ini cowok dan masyarakatlah yang disuruh untuk berusaha membuka hatinya terhadap mana yang cantik-mana yang tidak. Buat cewek, film ini persis seperti penggalan lagu Alessia Cara, “You don’t have to change a thing, the world could change its heart”. Menuju pembelajaran dan momen penyadaran tokoh utama, cerita film ini sayangnya dapat hadir sangat mengganggu. Tokoh utama yang kurang digali membuat kita susah peduli sehingga menimbulkan kesan film ini sangat merendahkan dan mendukung body-shaming. Aku suka konsepnya, aku mengerti tujuan filmnya, tapi memang penceritaan mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik – mungkin dengan lebih subtil sehingga tidak begitu menyinggung dan memberikan ruang bagi penonton untuk masuk dan memahami tokoh utamanya yang bercacat hati itu.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for RED SHOES AND THE SEVEN DWARFS.

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang trend operasi plastik di Korea? Apakah menurut kalian K-Pop dan drama-drama Korea bakal mendapat sukses yang sama secara internasional jika tidak ada istilah operasi plastik di sana?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ONWARD Review

“A father’s a treasure; a brother’s a comfort; a friend is both.”
 

 
 
Tersamar di balik dongeng makhluk-makhluk fantasi yang hidup dalam dunia dengan kenyamanan dan kemudahan teknologi modern sehingga melupakan kemampuan ajaib mereka, ada pesan menyentuh tentang hubungan anak dengan orangtua yang gak sempat ia kenal, juga tentang eratnya persaudaraan yang bisa timbul dari situasi seperti demikian. Karena hubungan keluarga memang sebegitu magicnya, sehingga kita mau-tak mau bakal dapat merasakan keterikatan terhadap anggot keluarga pada setiap serat dari diri kita.
Pada ulangtahunnya yang ke-enambelas, Ian Lightfoot – seorang elf yang disuarakan oleh Tom Holland, orangnya pemalu, gak pedean, dan bukan seorang pemberani – menerima hadiah yang sudah disiapkan oleh ayah yang meninggal dunia semenjak ia masih dalam kandungan ibunya. Hadiah berupa sebuah tongkat kayu. Abang Ian, Barley, yang hobi main game kartu ala ‘Dungeons and Dragons’ percaya bahwa tongkat itu merupakan relik dari sejarah dunia fantasi mereka. Bukti bahwa bangsa mereka bisa sihir dan segala macam keajaiban yang kini sudah dianggap omong kosong oleh masyarakat. Ian juga tadinya enggak percaya sama abang yang menurut semua orang – dan ia sendiri setuju; aneh dan pecundang. Namun di tangannya sendiri, tongkat tersebut berhasil mengembalikan ayah, well… kaki sang ayah. Keajaiban memang ada dan Ia adalah pewarisnya. Ian bisa mengembalikan ayah khusus untuk satu hari asalkan bisa menemukan batu yang jadi sumber kekuatan. Maka berangkatlah Ian, bersama Barley yang dimainkan oleh Chris Pratt, dan bagian pinggang ke bawah ayah mereka, bertualang naik van rongsok demi berjumpa dengan ayah yang sangat ingin Ian kenal. Ian pengen menghabiskan hari, mengobrol, dan berbagi dengan sosok yang dijadikannya panutan tersebut.

untung gak jadi thriller “The Invisible Dad”

 
 
Sebagai abang (dari dua adek; cewek dan cowok) aku lumayan bangga dan terenyuh nonton film ini. Karena cukup jarang ada film – terutama film keluarga – yang benar-benar menghormati persaudaraan abang-adek seperti film ini. Enggak hanya dijadikan lelucon, atau diarahkan menjadi rivalry. Sure, bagi adek, abang-abang mereka seringkali kelihatan entah itu sok galak, nyebelin, atau sok asik. Di Onward juga nampilin seperti begitu; Ian sangat berbeda dengan sang abang. Malah, Ian bisa dibilang gak suka dan gak percaya sama Barley. Mereka tidak bermain bersama, mereka tidak punya hobi yang sama. Pada awalnya, Barley yang kekanakan dan penuh oleh ‘teori’ sejarah, memang terlihat seperti tokoh sidekick untuk lucu-lucuan. Kemudian seiring waktu, fokus film semakin jelas, dan ternyata hubungan persaudaraan Ian dengan Barley lah yang dijadikan menu utama. Akan ada banyak adegan mereka bonding mulai dari sekadar ngobrol atau melakukan tantangan bersama yang bakal mengingatkan kita kepada saudara di rumah. Ian bisa magic tapi dia gak percaya sepenuhnya, sehingga banyak momen-momen Barley menggempor semangatnya – mengajarinya dengan sabar. Adegan Ian gemetar menyeberang jurang dengan sihir jembatan-tak-terlihat dengan diikat tali yang dipegang oleh Barley, ia kerap neriakin “jangan dilepas” tanpa berani menoleh ke Barley di belakang, misalnya; ini seperti ketika seorang abang ngajarin adiknya naik sepeda, memegangi dari belakang. Adegan-adegan mereka seperti begini yang benar-benar hits home buatku.
Beberapa penonton mungkin merasa film ini gak konsisten karena seperti berganti topik; dari yang tadinya tentang anak yang ingin bertemu dengan ayah berubah menjadi tentang persaudaraan. Tapi memang justru itulah poin pembelajaran yang dialami oleh Ian di dalam film ini. Pixar selalu gemilang karena cerita-cerita yang disuguhkan selalu berhasil bekerja maksimal dalam formula/struktur penceritaan yang simpel-namun-bener. Supaya bisa gak merasa film ini enggak-konsisten, kita perlu mengingat hal paling dasar dalam premis dramatik seorang tokoh film. Yakni soal ‘wants’ dan ‘needs’; tokoh menginginkan sesuatu dan berjuang demi itu, hanya untuk menyadari hal sebenarnya yang ia butuhkan. Onward, pada inti emosionalnya, adalah tentang anak yatim yang ingin bertemu sekali saja dengan ayahnya – ia berjuang mencari tokoh panutan supaya bisa menjadi lebih baik dalam hidup, dan setelah petualangan yang ia lalui bersama abang, ia menyadari ia tak pernah kehilangan sosok itu. Selama ini, ada satu orang yang selalu menyemangati, mendorong dirinya menjadi lebih baik, percaya pada dirinya, dan orang itu harusnya ia hargai. Persoalan mencari ayah hanyalah lapisan luar dari permasalahan Ian. Dan film ini akan membuka hingga ke lapisan dalam dengan cara yang benar-benar menyentuh karena Ian juga serta merta harus come in terms dengan merelakan ayah yang tak pernah ia kenal.

Hanya abang atau saudara laki-laki yang lebih tua yang bisa mencintai seperti seorang ayah, menyebalkan kayak saudara cewek, peduli sebagaimana seorang ibu, sekaligus suportif dan bisa akrab layaknya sahabat karib.

 
Dan sesungguhnya kita beruntung film ini tidak memusatkan banyak kepada Ian dan kaki ayahnya. It’s a good thing film ini maju dan enggak mentok menjadi komedi konyol dua orang berusaha menyamarkan makhluk tak berbadan-atas sebagai orang normal. Kocak memang, tapi dengan cepat menjadi basi. Karena dunia mereka sudah terlalu fantastis. Melihat mereka berusaha memakaikan sweater dan kacamata hitam untuk samaran ayahnya – seolah bodinya utuh – terkesan jadi biasa saja karena normal di dunia cerita ini sendirinya sudah ajaib. Sukar membayangkan penduduk menjerit begitu melihat ayah mereka hanya kaki tatkala para penduduk itu adalah sebangsa cyclops, atau pixie, yang memelihara naga seolah anjing di rumah, dan unicorn kayak rakun atau pengais sampah. Onward ini kayak Shrek, atau animasi fantasi serupa, dengan elemen komedi menyamarkan ‘mayat’ ala Weekend at Bernie’s (1989). Komedi di film Bernie’s bisa sukses histerical karena dunianya adalah dunia normal kita – yang dibentrokkan dengan mayat didandani dan bisa jalan-jalan seolah masih hidup. Pada Onward, elemen kaki ayah ini enggak bisa menjadi lebih menonjol lagi komedinya karena sifat dunia yang emang udah fantastis sedari awal. Jadi, merupakan langkah bagus dari film untuk move on dan menjadikan koneksi Ian-Barley sebagai pusatnya.
Onward tampil sebagai film keluarga lucu, hangat, seru, menyentuh emosi. Yang tercapai berkat eksplorasi cerita yang berani keluar dari zona nyaman. Memperlihatkan kenyataan kepada anak-anak bahwa berkubang pada masa lalu, berpegang pada sesuatu yang bukan untuk kita, akan menghambat diri sendiri. Kadang yang sudah pergi tidak akan kembali. Film membuat anak-anak berani menerima kematian orangtua, dengan menunjukkan bahwa cinta itu datang dari sosok orangtua pengganti berupa keluarga kita yang lain. Onward juga menampilkan tokoh ibu yang tidak biasanya hadir di film-film seperti ini. Ian dan Barley tidak berjuang sendirian, ibu mereka tidak menunggu di rumah dan hanya muncul di awal dan akhir film saja. Peran ibu tidak diabaikan dalam pencarian mereka. Bagi ibu-ibu yang menikah lagi bisa memetik pelajaran dari ibu Ian yang sudah punya ‘pacar baru’ untuk membiarkan anak mencari tahu dan lebih mengenal ayah mereka sebagai proses perkembangan. Namun ada satu yang masih kurang penggalian, yaitu dari Barley si abang. Cerita ini harusnya membuat para abang di antara penonton bisa come to terms dengan tanggungjawab pada pundak masing-masing. Hanya saja, di film ini Barley tidak berubah banyak dan segala masalah mereka lenyap alias bisa ditangani karena Ian bisa sihir.

ultimate bro movie

 
Lapisan lain yang dimiliki film ini adalah soal magic yang kini sudah tersingkirkan. Karena orang terbuai oleh teknologi yang memudahkan. Dengan gampang kita dapat menarik garis paralel dunia modern mereka dengan dunia modern kita. Tapi bagaimana dengan dunia sebelumnya? Kita tentu saja tidak bisa mengharap ada sihir beneran yang melenyapkan semua persoalan dengan sebait mantra. Barley, adalah pengacara alias pengangguran-banyak-acara yang kerjaannya di rumah adalah main game dan di luar rumah sebagai aktivitis pelindung bangunan dan tempat bersejarah. Barley percaya pada magic masa lampau. Kesamaannya dengan tokoh Ian adalah mereka sama-sama berpegang pada past. Film menggagas past dan future seharusnya bisa berjalan beriring; kita belajar dari masa lalu demi masa depan. Tokoh Barley di film ini seringkali berlawanan dengan pesan tersebut karena dia selalu benar. Pengetahuannya tentang mitologi dunia fantasi seolah me-redeem dirinya yang disebut seorang screw-up oleh masyarakat. Di dunia nyata kita tidak bisa menjadi seperti Barley selamanya karena tidak akan selalu benar, dan jika salah akan ada keajaiban. Kita, dan Barley, perlu belajar tanggungjawab dan film tidak memperlihatkan itu.
 
 
Dunia monster dan magic selalu bicara soal kepahlawanan. Dan dalam keluarga, kepahlawanan itu berarti seorang kepala keluarga yang mengayomi, melindungi, menyemangati anggota keluarganya. Setiap dari kita punya sisi tersebut. Mungkin itulah yang dimaksud dalam film ini ketika memperlihatkan makhluk-makhluk yang melupakan kemampuan dasar mereka. Polisi centaurus yang emoh berlari karena sudah punya mobil (gimana cara dia duduk). Pixie yang jadi geng motor mengacuhkan sayap mereka. Ada banyak yang bisa dibahas dari animasi petualangan fantasi ini. Dengan hubungan abang-adik sebagai pusatnya. Film ini jadi pelajaran berharga bagi keluarga di zaman modern, karena berani menghadang persoalan sesuatu kadang tidak sesuai harapan. Juga merupakan cerita yang sangat menghibur dengan penampilan dan imajinasi yang ‘liar. However, ini bakal jadi sempurna, jika menggali lebih dalam terkait konsekuensi dan tanggungjawab.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ONWARD.

 
 
 
That’s all we have for now.
Apakah kalian punya cerita/pengalaman unik dengan abang – atau kakak?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

FROZEN II Review

“Sometimes growing up means growing apart.”
 

 
Angin perubahan bertiup di Kerajaan Arandelle. Enam tahun sejak dinobatkan menjadi Ratu, betapapun dia ingin keadaan mereka tidak berubah seperti yang dinyanyikan oleh Anna dan Olaf, Elsa yang punya kekuatan sihir es tetap tidak bisa membekukan waktu. Elsa bahkan belum mampu menentramkan hatinya – dia masih merasa tidak berada di tempat yang benar di Arandelle. Dan kemudian, suara nyanyian misterius – terdengar oleh Elsa seorang – datang bersama angin. Ada legenda tentang tempat magical nun jauh di utara. Malam itu, Arandelle kedatangan ‘tamu’; angin badai, surutnya air, kobaran api, dan gempa. Elsa merasakan nyanyian, bencana, dan kekuatannya sendiri ada hubungannya dengan tempat legenda yang pernah diceritakan oleh ayah mereka tersebut. Maka ia pergi mencari tempat itu. Dan karena persaudaraan yang begitu erat, Anna juga ikut serta. Membawa sahabat-sahabat mereka bertualang ke utara.
Aku salah satu dari orang dewasa – cowok dewasa – yang suka sekali sama Frozen (2013). Aku udah nonton berkali-kali. Aku sampai bikin subtitle-nya sendiri karena aku merasa film tersebut punya pengkarakteran yang keren dan aku pengen tahu bagaimana menulis karakter yang bagus. Bahkan lagu Let It Go yang diputer berlebihan di mana-mana itu pun tidak mengganggu buatku. Frozen adalah animasi modern Disney yang merekonstruksi seperti apa menjadi Princess dan Ratu. Film tersebut menggebrak dengan statement Ratu tidak butuh Raja, Putri tidak butuh diselamatkan oleh Pangeran. Dinamika Elsa dan Anna – kakak beradik kerajaan – cinta mereka dijadikan ‘senjata’ utama dalam cerita. Frozen II berusaha mendorong narasi relasi ini lebih jauh. Koneksi Elsa dan Anna digambarkan semakin solid, sampai pada titik kita paham pertanyaan ‘bagaimana jika mereka harus berpisah’ cepat atau lambat akan tersaji. Frozen II bahkan berusaha tampil lebih beda lagi daripada animasi-animasi Disney dengan tidak memasang tokoh penjahat; tidak ada sosok yang harus dikalahkan oleh Elsa dan Anna di sini. Sekuel ini harusnya punya potensi. Namun melihat dari hasil akhir, sebaiknya Disney membiarkan cerita ini pergi.

bahkan Elsa herself meringis dengerin dirinya nyanyi Let It Go

 
Kita tak perlu punya kekuatan sihir untuk bisa menebak film ini bakal punya visual yang bikin kita lupa menarik napas. Efek angin, detil gambar, ekspresi, tata cahaya – Frozen II tanpa cacat di departemen ini. Beberapa momen seperti Elsa berlari menerjang ombak, Anna dan Olaf berlayar di sungai dengan banyak raksasa batu, benar-benar tampak luar biasa sehingga aku berharap porsi petualangan seperti ini mestinya diperlama. Sayangnya dari segi cerita, film ini seringkali diperlambat oleh berbagai penjelasan. Mulai dari cerita legenda, cerita konfirmasi legenda tersebut oleh pihak pertama, dan bahkan ada beberapa menit dipakai untuk menjelaskan kembali cerita Frozen pertama lewat Olaf dan patung-patung es. Meskipun setiap eksposisi dihadirkan lewat visual menawan dan cara yang berbeda sehingga tidak bosan, tetapi tetap saja cerita menjadi terbebani. Petualangan tokoh-tokoh kita jadi kurang terasa.
Dibandingkan Frozen yang simpel, sekuelnya ini punya cerita yang needlessly rumit. Sama seperti Maleficent: Mistress of Evil (2019) ataupun beberapa film-film live-action princess Disney baru-baru ini, Frozen II pun memiliki elemen politik di dalam narasinya. Perdamaian dua kerajaan yang tidak berlangsung mulus karena pihak satunya begitu ketakutan. Ada ketakutan terhadap ras yang disimbolkan di sini. Tema seperti demikian memang sepertinya klik banget dengan penonton-penonton muda zaman sekarang. Anak-anak sekarang sepertinya lebih cerdas dan lebih tertarik membahas intrik. Bencana yang terjadi di masa Elsa nyatanya adalah dosa dari generasi terdahulu; ini bergaung kuat dengan konteks modern yang diusung pada Elsa dan Anna. Karena merekalah yang membereskan masalah, dan mereka melakukannya dengan cara tersendiri. Hidup dengan pemahaman bahwa mereka melanjutkan kehidupan dan membuatnya menjadi lebih baik juga merupakan bagian dari fase growing up, yang jadi tema utama film ini.
Empat tokoh sentral – Elsa, Anna, Kristoff, dan (keluh) Olaf – punya perjalanan yang melambangkan tantangan yang dihadapi seseorang ketika ia bertumbuh dewasa, ketika ia harus berubah sebagai bagian dari pendewasaan. Voice-akting keempat tokoh ini sudah bisa ditebak luar biasa. Terutama Idina Menzel yang suaranya begitu powerful, klop sama tokoh Elsa. Keempatnya pun diberikan lagu pribadi untuk mencerminkan proses pendewasaan itu. Elsa dapat lagu terbaik. Ia menyuarakan keberanian untuk menempuh sesuatu yang baru. Yang mengajarkan kepada penonton muda bahwa it’s okay untuk mencari diri sendiri, untuk mencoba keluar dari perasaan nyaman yang mulai terasa mengukung ketika kita mulai dewasa. Menyambung Elsa ada Olaf. Pribadi, aku gak suka Olaf. Dia annoying, dan di film ini dia dapat porsi yang lebih banyak lagi sehingga saat menontonnya aku harus menggigit kedua tinjuku hanya supaya aku tidak menggunakannya untuk meninju telingaku sendiri. Tapi aku mengerti bahwa peran Olaf di sini memang besar dan diperlukan. Olaf, dan nyanyian solonya, melambangkan kepolosan kanak-kanak yang menanggap dunia orang dewasa penuh hal yang tidak dimengerti, dan Olaf mengajarkan bahwa nanti kita semua akan mengerti secara natural.
Karakter yang paling sial dalam film ini adalah si Kristoff. Sepanjang durasi dia tidak diberikan apa-apa selain running-joke klise mau melamar – ngasih cincin ke – Anna, tapi Anna-nya gak pernah ngeh, sehingga rencana Kristoff selalu gagal. Kristoff juga dapat lagu Lost in the Woods yang aneh banget, animasinya ada yang kayak Bohemian Rhapsody, musiknya kayak musik rock 80-an, kelihatan dan kedengarannya canggung aja. Padahal lagu Kristoff tersebut melambangkan fase penting anak muda yang merasa kehilangan, atau tersesat, ketika ia jauh dari orang yang ia cintai. Untuk melengkapi lingkaran fase bertumbuh yang diusung cerita, Frozen II memasang Anna. Yang begitu berdeterminasi, yang sayang kepada kakaknya. Elsa sudah memilih. Dan kali ini giliran Anna. Perjalanan karakter Anna, yang adalah gagasan utama film, dihimpun dalam lagu The Next Right Thing, yang mengajarkan dalam kebingungan lakukanlah hal yang menurutmu benar – inilah ultimate part dari bertumbuh. Kita mengambil keputusan.

Bertumbuh bersama bukan lagi secara tradisional harus bersama-sama. Frozen II memperlihatkan bahwa kadang, dalam proses pendewasaan, kita akan berpisah dengan yang disayang. Tapi itu tidak berarti kita berhenti tumbuh bersama. Karena cinta di antara kita adalah konstan yang tidak berganti. Perubahan tidak bisa dihentikan, perpisahan serta merta akan terjadi – itulah makna menjadi dewasa. Dewasa yang berarti tidak melupakan orang yang kita cinta.

 

pengen dewasa tapi masih ketawa setiap kali teringat Adele Dazeem

 
Elsa dan Anna jadi simbol sisterhood dan kemandirian perempuan yang kuat. Pada film ini diperlihatkan, walaupun hanya Elsa yang punya kekuatan es, mereka berdua adalah wanita yang kuat saat sendiri-sendiri. Kebersamaan mereka tidak pernah menjadi toxic. Ini adalah pesan yang powerful. Maka dari itu, aku merasa aneh pada satu keputusan yang diambil oleh film untuk mewakili satu karakter di menjelang akhir film ini. Untuk menghindari spoiler berlebihan; aku hanya bisa bilang mereka membuat Elsa dan Anna berpisah jalan. Keputusan salah satu tokoh setelah itu terasa sangat abrupt, seperti film ingin tergesa menyelesaikan sehingga tidak memikirkannya dengan matang. Tokoh ini membuat keputusan yang bakal berpengaruh besar kepada banyak orang. Keputusan yang pada naskah sebenarnya adalah fake solution, dan akan dibenarkan pada sekuen berikutnya. Namun dari sudut pandang si tokoh yang mengambil keputusan, ini adalah keputusan sepihak yang beresiko dan sedikit keluar dari karakternya sendiri. Keputusan ini kembali mencerminkan politik; menunjukkan sedikit kepada kita pemimpin seperti apa si tokoh ini kelak. Dan aku enggak tahu apakah sutradara Chris Buck dan Jennifer Lee sengaja atau tidak – sadar atau tidak – menempatkan si tokoh dalam posisi demikian.
 
 
 
Sebagai dongeng modern Disney, film ini adalah salah satu yang paling berani dan ambisius. Dia berkembang menjadi lebih dewasa daripada film pertamanya. Secara visual, film ini tampil lebih baik. Lagu-lagunya juga enggak begitu over. Catchy juga, suara Menzel juara, Namun secara cerita, mengalami penurunan. Ceritanya padat tak beraturan, dengan selingan eksposisi yang memperlambat tempo. Petualangan yang dihadirkan tak begitu terasa seperti petualangan yang menyenangkan. Tapi jika kita sudah mencintai karakter-karakternya, maka akan mudah untuk tetap menyukai film ini. Pada dasarnya mereka semua lovable. Termasuk tokoh-tokoh baru. But gosh.. I hate Olaf.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FROZEN II