“A dream that is not chased is a fantasy.”
Ada garis batas yang membedakan antara mimpi dengan khayalan. Garis itulah yang kita kenal sebagai usaha. Dan faktor yang membuat perbedaan tersebut tentu saja adalah kita, entitas yang berangan-angan. Khayalan adalah keinginan yang enggak disertai dengan usaha, dan hanya bisa disebut mimpi apabila kita berjuang untuk mewujudkannya.
Kenny Wells di ambang kebangkrutan. Ia mendapat bunga tidur tentang menemukan tambang emas terbesar. Jadi segalanya pun dipertaruhkan. Jual jam tangan emas istrinya, Wells terbang ke Indonesia. Mencari seorang ahli geologi ‘legendaris’ yang terakhir kali terdengar sedang berada di sana. Bersama-sama, mereka menembus belantara Kalimantan demi mencari emas yang mereka yakini ada di sana. Akan tetapi, segala jerih payah yang dilakukan Kenny belum cukup untuk membuat impiannya menjadi nyata. In fact, film Gold sepertinya tidak punya jawaban pasti antara khayalan dan mimpi bagi Kenny Wells.
Gold adalah film yang dibuat loosely berdasarkan skandal pertambangan beneran yang pernah terjadi di Indonesia. Awal tahun 90an itu, perusahaan tambang Bre-X Minerals dari Kanada ngeklaim mereka menemukan tambang emas gede di hutan Busang, Kalimantan Timur. Langsung deh stock meroket, Amerika heboh. Namun selidik punya si sidik, eh salah! selidik punya selidik, semua ‘tambang emas terbesar’ itu adalah pemalsuan. Dan blow up setelah penemuan kebenaran ini malah jauh lebih gede lagi. Pihak yang bertanggung jawab kabur, pemerintah Indonesia (kala itu di bawah pimpinan Presiden Suharto) terlibat dalam penutupan ijin tambang dan segala macem, sementara pemilik perusahaannya sendiri mengaku ia tidak tahu menahu, bahwa ia juga telah ditipu oleh rekannya. Film Gold sendiri hanya mengambil latar peristiwa dan mengaburkan tokoh-tokoh asli dengan menggunakan nama-nama plesetan. Kayak David Walsh yang namanya jadi tokoh Kenny Wells, ataupun si geologis Michael de Guzman yang dalam Gold menjadi Michael Acosta. FILM INI LAYAKNYA PARODI yang membuat kita mengangkat sebelah alis mata menanyakan; apakah buaian deretan angka segitu menghanyutkannya sehingga orang-orang bisa ngeoverlook kenyataan bahwa tidak ada emas di sana?
Jika sebelumnya dalam animasi Sing (2016) Matthew McConaughey berjuang mencari uang dan mati-matian melanjutkan usaha gedung teater warisan ayahnya, kali ini dalam Gold, dia kembali melakukan hal yang sama hanya saja sebagai anak pemilik perusahaan tambang. Apa yang dibawa oleh McConaughey dalam penampilannya, however, adalah hal yang pantas untuk diapresiasi. Dia actually nambah berat badan demi menjelma menjadi sosok fiktif Kenny Wells yang berperut buncit. Dan rambutnya; daaanggg, menyedihkan untuk dilihat dan menyeramkan untuk dialami hhihi. Namun karakternya, tho, Kenny Wells tidak pernah terlihat berupaya menyembunyikan garis rambutnya yang menipis. Ataupun dia tidak kelihatan benar-benar melakukan upaya apapun pada pekerjaannya. Aku enggak yakin apakah ini disengaja oleh pembuat film; Kenny is supposed to come off sebagai orang yang enggak tahu apa yang ia lakukan. Tetapi ada beberapa kali ketika menonton ini aku merasa tokoh yang jadi perspektif utama cerita tidaklah semenarik apa yang diniatkan oleh filmmaker.
Jerih payah di lapangan tidak pernah benar-benar diperlihatkan dialami oleh Kenny. Hanya satu adegan memperlihatkan dia kecapean, megap-megap jalan nembus hutan. On the site, perannya sangat terbatas, ditambah sebagian besar waktu dia terbaring tak berdaya kena malaria. Penting bagi sebuah film untuk mempertontonkan tokoh utama sebagai seorang yang cakap, or at least mengerti akan pekerjaannya, but yang Kenny Wells lakukan dalam membuat mimpinya jadi nyata hanyalah duduk-duduk, pasang tampang cemas nunggu laporan dari lab ataupun dari berita keuangan dan bicara meledak-ledak lewat telefon. Perjalanannya serasa dipersingkat, dipermudah. Secara struktur, Gold sendiri terasa kayak roller coaster yang naik turunnya berjarak deket banget sehingga by the time babak kesatu berakhir saja kita sudah kelelahan ngeliat Wells jatoh dan naik segitu seringnya. Nyaris tidak ada surprise emosi yang kita rasakan, kita bisa melihat semuanya datang.
Mungkin karena aku seharusnya bekerja di sekitar dunia pertambangan, aku dulu kuliah di teknik geologi, jadi naturally aku merasa relatable. Juga ada sedikit rindu ngeliat apa yang mereka lakukan dengan sampel core dan kegiatan-kegiatan geologi lainnya. Meski begitu I can’t exactly put myself into the characters. Aku kepikiran Mike Acosta, geologis lapangan yang diperankan oleh Edgar Ramirez, lah yang sekiranya bisa jadi tokoh utama yang lebih menarik. Sebagian besar aksi ada di tangannya. Jika dibandingkan dengan Wells yang sering keliatan clueless, Acosta seemingly is a perfect hero figure. Ditambah dengan twist yang disiapkan oleh film, well it’s not exactly a twist since we’ve already now the outcome of the actual event, karakter Acosta menyimpan layer yang lebih banyak. Filmnya sendiri melakukan kerja yang bagus ngebangun tokoh Acosta untuk kemudian disembunyikan ke background cerita. Kita difokuskan kepada drama hidup Wells. Sekitar midpoint, film benar-benar didedikasikan supaya kita bisa merasakan kasian kepada Wells. Porsi romansa dengan Kay yang diperankan oleh heartwarming oleh Bryce Dallas Howard dimaksudkan supaya kita bisa melihat stake yang dihadapi Wells dengan alasan yang sangat manusiawi; Kay bertindak sebagai nurani film, yang tentu saja – by the law of script writing – at some point ditelantarkan oleh tokoh utama.
Susah untuk merasakan peduli kepada karakter yang niat mulianya adalah ngumpulin duit sebanyak-banyaknya bahkan jika tokoh tersebut digambarkan mendapatkan banyak tekanan dari pemangsa-pemangsa lain di dunianya. There’s a scene di mana Kenny beneran berhadapan dengan harimau, yang dengan sukses ia’ jinakkan’. Kenny Wells pada akhirnya tetap terlihat sebagai pemangsa kecil di dalam dunia korup yang penuh muslihat.
“You sell your dream”, Wells berkata lirih soal pihak ketiga yang memintanya menjual tambang di Kalimantan, “What do you have left?” Di sinilah di mana film ini bicara personal kepadaku. Karena, ironisnya, kalimat pertanyaan serupa juga terlintas di pikiranku ketika memutuskan untuk berhenti sebagai geologis dan fokus ke passionku untuk menulis. Oke curhat, tapi poinku adalah film ini BERUSAHA NGEJUAL TOKOH – DAN CERITANYA – SEBAGAI SEBUAH AMBIGU di mana mimpi dan kenyataan, moral dan bisnis, apa yang bisa kita lakukan dengan apa yang ingin dan rela kita lakukan, adalah hal yang harus dijawab secara pribadi. Namun penceritaannya malah membuat film terasa sebagai sebuah presentasi yang enggak yakin dia berdiri di ground yang mana. Ambiguitasnya tidak terasa menginspirasi. Kita diminta untuk ‘mendukung’ Wells, namun bahkan McConaughey terlihat unsure saat mengekspresikan karakternya. Ada adegan ketika Wells dan istrinya practically drooling over daratan hijau luas yang ingin mereka bangun rumah, dan I just can’t get behind that. I mean, aku gak bisa bayangin ada penonton yang tersentuh syahdu bilang “awww romantisnya mereka mau gundulin padang rumput indah buat dijadiin rumah megah”
Sorotan kepada Indonesia banyak kita temukan dalam film ini. Penggunaan bahasa, tentara, sekilas tentang Dayak, pemerintah. Di sini juga ada aktor yang jadi anak Suharto, tapi namanya jadi Danny hahaha. Tapi sekali lagi perasaan gak yakin itu muncul; kelihatannya mereka enggak benar-benar syuting di pedalaman Kalimantan. Lokasinya terlihat agak off, iya sih di hutan itu ada vegetasi lokal kayak pohon pisang dan sebagainya, tapi rasanya enggak kayak di Indonesia.
Ini adalah film dengan banyak istilah-istilah, yang dijelaskan cukup menarik. Matthew McConaughey adalah salah satu dari tak-banyak aktor yang mampu nanganin adegan expository sehingga seolah kita mendengarkan dia langsung mata-ke-mata di mana kita enggak berani nguap di depan mukanya. Penampilan para aktor all around dapet dua jempol. Di babak awal kita akan dibawa masuk ke dalam hutan yang terasa basah, berlumpur, dan mengurung, sayangnya film sering ngeshift tone dengan naik-turun pada narasi. Film begitu concern untuk tampil engaging sehingga malah mencuat uninspiring. Dari segi penceritaan, film ini memang terasa agak berhemat dengan menggunakan style yang mirip-mirip The Wolf of Wall Street (2013). Yang tidak terperhitungkan oleh film ini adalah, jika Martin Scorcese saja tidak bisa benar-benar sukses bikin cerita dan tokoh bisnisman semacam ini menjadi compelling, kesempatan apa yang dipunya film ini dengan menitikberatkan bercerita lewat dialog alih-alih lewat visual?
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GOLD.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We? We be the judge.