Row row row your boat Gently down the stream ~ Merrily, merrily, merrily, merrily Life is but the dream ~
Lagu anak-anak klasik ini terdengar simpel dan sangat mudah dinyanyikan, tetapi ternyata memiliki makna yang dalam (jika mau kita renungkan). Ayo kita coba (sedikit) renungkan bait per bait nya.
Row row row your boat (dayung, dayung, dayung perahumu).
Diri kita dapat dianalogikan sebagai perahu, masuk akal jika kita menyadari bahwa 75% dari tubuh kita terdiri dari air. Maka diri kita adalah perahunya, jiwa kita yang menjadi nahkoda, kemana arah yang akan kita tuju. Menuju (melakukan) kebaikan ataukah menuju (melakukan) sebaliknya. You are a captain! Not a passenger. Take control of your life.
Gently down the stream (dengan lembut mengarungi arus).
Arus kehidupan memang deras, mampu menyeret kita hanyut kedalam arah yang tak tentu. Arus kehidupan perlu dijalani dengan ringan dan sabar tapi konsisten. Hidup yang penuh keterburu-buruan dan sikap mental yang perfeksionis bisa menyebabkan stress dan kelelahan mental yang berkepanjangan hingga akhirnya kehilangan kepekaan dan kemampuan untuk berpikir jernih dan jeli. Ikutilah arus kehidupan tanpa dihanyutkan olehnya. Janganlah bergerak ke atas melawan arus. Bisa dicoba bagaimana rasanya berenang melawan arus. Sudah bisa dipastikan tenaga yang harus dikeluarkan akan berlipat ganda dibanding dengan berenang yang mengikuti arus. Demikian juga dengan kehidupan.
Kehidupan perlu dijalani dengan ringan dan ceria. Janganlah terlalu serius hingga menimbulkan stress dan depresi. Stress salah satu penyebab utama kematian. Bagaimana kita menyikapi atau menafsirkan apa yang terjadi pada diri kita. William Shakespeare pernah berkata bahwa tragedi adalah sebuah komedi yang tidak kita mengerti. Ini semua adalah tentang bagaimana menyikapi apa yang terjadi. Seorang peneliti dari Harvard, Shawn Acre pernah mengatakan bahwa 75% dari pekerjaan dan keberhasilan akademik dapat diprediksi dari tingkat optimistik.Optimis tidak hanya untuk kesehatan secara fisik, tetapi juga dapat memulihkan lebih cepat dari penyakit dan hidup lebih lama. So be Happy!
Life is but dream (kehidupan hanyalah sebuah mimpi).
Nikmatilah perjalanan hidup yang singkat ini. Apakah kita menganggap hidup ini penuh kepahitan atau penuh keindahan tetap kita harus menjalankannya. Bedanya bila kita menganggap hidup ini penuh dengan keindahan maka kita akan bergembira dan bersemangat dalam menjalaninya. Karena hidup ini terlalu sebentar, bagaikan mimpi, hingga akhirnya kita akan bertemu kembali dengan Sang Pencipta, Life after the death, in heaven.
Sudahlah jangan terlalu serius, lagu ini pernah diparodikan oleh Rowan Atkinson dan Peter MacNicol pada film Bean The Movie yang dirilis tahun 1997….
Row, row, row your boat, Gently down the stream. If you see a crocodile, Don’t forget to scream.
—“Cogito Ergo Sum, Uncogito Ergo Sumsum.” (Aku berpikir maka aku ada, aku tidak berpikir maka aku mengada-ngada)
T-Shirt Gildan Soft Style dibuat tanpa jahitan samping (built-up), menggunakan 100% bahan cotton dengan jahitan yang rapi, standar ketebalan yang diukur tepat serta pewarnaan dengan kualitas yang prima sehingga warna dari waktu ke waktu tetap sama. Setiap produk melewati proses preshrunk sehingga penyusutan setelah pencucian sangat minimal dibandingkan dengan jenis kaos lainnya.
Ketebalan serupa dengan bahan kaos 30s (agak tipis)
Gramasi 150 gr/m2
Jahitan rantai yang kuat dan rapi
Teknik Print Gambar akan dicetak menggunakan teknologi digital printing terkini dengan kualitas terbaik, yaitu Direct To Garment (DTG) dengan bahan tinta impor dari Amerika. Tinta langsung menyerap di atas serat kain dan hasil sablon terlihat halus, dengan warna tajam dan gradasi mendetail. Hasil cetak dijamin awet dan berkualitas tinggi.
Mulholland Drive (David Lynch, 2001) adalah FILM FAVORITKU SEPANJANG MASA. Kalo sebelum 2010 dulu kalian bertanya padaku, “Pe, film paling kau suka film apa?” maka jawabanku adalah antara Halloween, Saw, A Nightmare on Elm Street, Friday the 13th, yah pokoknya yang horor-horor slasher gitu deh. Kemudian suatu hari aku muter Mulholland Drive. Dan seketika aku merasa kayak orang gua yang baru pertama kali melihat matahari. It was such an eye opener. Bahwa ada yang ‘lebih’ dari sebuah film. Film actually much more dari sekadar tontonan. It is a journey. It is an imprint of our thoughts.That we could change the world, membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik karenanya. Mulholland Drive membuat aku ingin tahu lebih banyak tentang film. Ingin menonton lebih banyak. Ingin bisa mengerti. Dan more importantly, Mulholland Drive bikin aku ingin bisa membuat satu yang sama bagusnya.
Just recently, drama misteri mind-bending ini mendapat tempatnya yang layak sebagai nomor satu dalam daftar 100 Greatest Films of 21st Century versi BBC.Such a grand list. I’m so high with this information. Aku sudah nonton sekitar setengah dari daftar tersebut. And I’m proudly to say, banyak favoritku yang lain yang masuk daftar ini. Di antaranya adalah Pan’s Labyrinth (film yang udah sukses bikin aku nitikkan air mata), Spirited Away, Mad Max: Fury Road (my top movie of 2015), Requiem for a Dream, bahkan dokumenter The Look of Silence -tentang sejarah berdarah Indonesia yang enggak boleh ditayangin in this very country- juga kebagian tempat bercokol di dalam daftar.
Silahkan klik link berikut untuk daftar lengkapnya dan lihat sendiri siapa tau film favorit kalian termasuk juga di sana http://www.bbc.com/culture/story/20160819-the-21st-centurys-100-greatest-films
Mulholland Drive amat sangat pantas menjadi posisi teratas film paling hebat abad ini. Tadinya aku ingin nulis reviewnya, tapi kemudian aku pikir itu akan sama saja easy nya dengan menyelam ke dalam pikiran orang gila. Belum lagi betapa banyak spoiler yang akan terbeberkan jika mau membahas film ini dalam-dalam. I don’t wish to do that. Aku enggak akan nyeritain pendapatku tentang apa sebenarnya film ini, kalian harus experiencing film ini sendiri. And also to be honest, bahkan sampai viewing ku yang entah-ke-berapa-kalinya ini (the number might be close to a hundred), aku merasa masih banyak rahasia film ini yang belum bisa aku ungkap.
Yang bisa aku bilang sekarang cuma alasan kenapa film ini begitu mendapat tempat di hatiku. Jadi, ya mari mulai saja “SIX-TEEN reasons! Why I love youuuu~”
1. LAGU ‘SIXTEEN REASONS’ 2. LAGU ‘I’VE TOLD EVERY LITTLE STAR’
Kita mulai with a lighter note. Aku selalu suka penampilan musik out-of-nowhere dalam film. Mulholland Drive punya beberapa musical interlude yang sangat ikonik. Actually adalah lagu 60an yang iramanya catchy. Lagu-lagu ini muncul pada adegan audisi film. The way it was performed, dengan lip-sync, lirik, the glittering costume, juga mood cerita, membuatnya menjadi terdengar bukan hanya cheerful namun juga menyeramkan.
3. LAGU ‘LLORANDO’
This one is really creepy. At one point of the song, mulut penyanyinya diam tapi suara masih terus terdengar. Dan kedua tokoh utama kita tiba-tiba menangis sesengukan. Maaan, emosi yang dideliver oleh adegan benar-benar menohok dan bikin merinding. Salut juga buat yang jadi penyanyi teater itu. Hebatnya, kita not even sure mengapa kita merasa sepeti itu. Such a powerful scene.
4. KLUB SILENCIO
Dalam film ini David Lynch membawa kita masuk ke dalam ilusi. Antara mimpi dan realita. Klub Silencio is the personification of it. It was the point of no return saat tokoh Betty mulai menyadari kenyataan yang sebenarnya. A muted trombone, a muted clarinet, kita mendengar apa yang ingin kita dengar. Mungkin adegan di klub Silencio ini suggest bahwa sebenarnya tidak ada misteri dalam film ini. That there’s no explanation. Film ini ditutup dengan bisikan “Silencio” oleh wanita berambut biru. Dan sama seperti Betty beberapa menit sebelumnya, aku juga menggelinjang sendiri di tempat dudukku. Hiii
“There is no band!”
5. THE TREATMENT
Semua warna-warna, benda-benda, bahkan posisi mereka punya makna tersendiri yang jadi kunci untuk membantu kita mengungkap apa sih sebenarnya yang ingin dibicarakan oleh David Lynch melalui film ini. Fascinating, stretching our expectations of apa yang bisa dicapai oleh sebuah film adegan per adegan
6. TEMA TENTANG BISNIS FILM
Mulholland Drive mengajak kita untuk mengintip ke ‘belakang panggung’ gimana sebuah film bisa terwujud. It’s really intrigued me. Bahwa membuat film itu ternyata sedikit tricky. I dunno, mungkin cuma di Hollywood. Sutradara yang dipaksa memilih pemeran utama untuk filmnya, that he has to obey pesenan dari seseorang berkursi roda tersebut because he has no power over it. Singgungan keras buat dunia perfilman.
7. NAOMI WATTS 8. ADEGAN BETTY RECITING DIALOG SAAT CASTING 9. ADEGAN ..ehm.. LESBIAN 10. ADEGAN IKONIK; MASTURBASI SAMBIL NANGIS
Naomi Watts main total banget di sini, and she was really, really good. Lihat saja di adegan casting itu, dialog yang sepertinya sederhana ditampilkan Betty dengan intensitas yang unexpected. Betty adalah the closest thing we have to a protagonist in this movie. Seorang calon aktris muda yang ceria (dia lebih suka dipanggil aktris ketimbang bintang film, meski tak jarang orang berakhir menjadi keduanya, see, another commentary about movie business!), namun seiring berjalannya cerita kita akan lihat progress ‘gak-masuk-akal’ dari tokoh ini. It was carefully written. Dan misteri sehubungan karakter ini dan sekitarnya, ummph so good! Also aku suka banget sama rambut pendeknya haha
It got dark fast!
11. THE MYSTERY.
Di permukaan, Betty harus mengungkap rahasia identitas asli Rita; cewek misterius korban kecelakaan. Cewek itu nongol seujug-ujug di rumah bibinya Betty dalam keadaan amnesia. On the inside, misteri siapa sebenarnya Rita (and also, Betty) ternyata punya jawaban yang lebih membingungkan lagi. Film ini mengolah misteri ini dengan sangat compelling. Membuat kita terhanyut, turut menerka-nerka. Untuk kemudian dibuat bingung sendiri saat benang-benang cerita tersebut terurai bukannya lurus malah menjadi sesuatu yang terasa makin membingungkan dan mustahil.
12. THE BOX
Beneran, sampe sekarang aku masih gak ngerti apa maksud kotak misterius dan kuncinya yang berwarna biru. Simbolisme yang hebat!
13. KARAKTER-KARAKTER YANG ANEH
Khas David Lynch. Sama kayak di serial Twin Peaks, film ini punya banyak tokoh dan perilaku mereka pada aneh-aneh. Koboi albino itu contohnya. Tokoh-tokoh tersebut kerap bermunculan. And to our surprise, belakangan mereka muncul dengan role yang sama sekali berbeda dengan kemunculan mereka sebelumnya. Semua itu adalah bagian dari misteri, and you need to pay close attention to each of them.
14. STRUKTUR DAN KONSEPNYA
Dengan karakter-karakter yang senantiasa berubah itu film ini kayak terbagi menjadi dua cerita yang berbeda. Dengan setidaknya ada empat ‘reality’ di dalamnya. Tapi cantiknya, tetap terasa erat dan real dan mesmerizing karena kita penasaran kaitan apa yang menyebabkannya.
15. THE MONSTER 16. THE DREAM-LIKE SEQUENCES.
Dan sebagaimana normalnya film-film David Lynch (naturally, I become a fan of him aswell), Mulholland Drive punya monster yang jadi manifestasi dari sisi buruk tokohnya. Dan hadir dalam sekuens mimpi yang disturbing. In fact, keseluruhan film terasa kayak sebuah mimpi yang benar-benar mengganggu. It was very surreal through and through. Unconventional. Wild. Namun di situlah letak indahnya.
Film yang sangat menantang. Membuat kita yang nonton terseret ke dalam realm of teka-teki, menggebah kita untuk menganalisa. Memancing untuk berpikir. Beginilah seharusnya film yang bagus. It was a deeper look terhadap hasrat terdalam manusia. Dan sejauh apa mereka rela demi hasrat tersebut. I am glad aku termasuk salah satu individu yang pernah menonton film ini.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners and there are losers.
Ngomongin film, kita tidak akan pernah bisa benar-benar terlepas dari budaya. Budaya asli suatu daerah, budaya serapan, ranah komersil juga punya budaya; budaya populer. Bagi Garin Nugroho malah budaya sudah menjadi semacam bahasa untuk semua film-filmnya. Makanya jarang ada yang bisa langsung kita mengerti. Menelan bulat-bulat film sutradara yang satu ini sama kayak makan seutuh jambu batu yang belum dipotong ibunya Yulia dalam sekali telan. Enak, tapi mengganggu. Terasa ada yang nyumpek. Selayang pandang, film Aach… Aku Jatuh Cinta adalah kisah kenangan cinta dua tetangga masa kecil. Tapi dari gaya penceritaannya sendiri, kita tahu di balik aneh dan rusuhnya hubungan mereka, ada suara kecil yang bikin kita terpana dan ingin menyelam lebih dalam. Suara budaya dalam cinta.
Kisah ini diperlihatkan kepada kita sebagaimana Yulia (akting Pevita Pearce berkembang banyak di sini) membacakan halaman-halaman buku harian nya. Penuh bertuliskan kenangan masa kecilnya. Nama Rumi (Chicco Jerikho udah enggak cocok deh jadi anak SMA haha) terang saja tertera di sana. Sebagai tetangga, banyak yang sudah mereka lalui bersama. Rumi anak pembuat limun yang bandel dan Yulia yang bapaknya londo. Yulia bilang kisah cinta mereka lebih mirip Tom dan Jerry. Memang begitulah adanya. Sebagian besar film kita akan melihat mereka bersitegang, kadang ringan-kadang membuat Yulia menangis, karena hal-hal yang dilakukan Rumi. Pendekatan komedi yang blak-blakan terlihat dari tingkah polah Rumi, yang suka rock’n roll dan sebenarnya puitis tapi film ini membuat kita enggak yakin apakah sebenarnya Rumi sendiri yakin dia sengaja puitis atau tidak.
Kalo dituliskan, Aach… Aku Jatuh Cinta ini terasa seperti berbait-bait. Adegan terasa berlompat tapi narasinya tidak pernah menjadi campur aduk. Yang diacak-acak justru adalah emosi kita yang menonton. Tak jarang disertai pula dengan mata yang berbinar oleh gambar yang diatur Garin untuk masuk ke dalam sudut penglihatan kita. Aku suka sekali dengan perlakuan pengambilan gambar yang dilakukan film ini. Bukan hanya mentingin pemandangan semata. Tapi juga berhasil membuat setiap gambar ada maknanya. Lampu sepeda berbentuk ‘love’ menemukan faedahnya begitu ia menjadi perantara di tembok belakang di antara Rumi yang sedang meluapkan gulana hatinya kepada Yulia yang terisak. Dan adegan-adegan nyanyi, waaahh, saat nonton Guru Bangsa: Tjokroaminoto aku sungguh tertegun dari joget Terang Boelan yang out-of-place namun efektif itu. Kini, dalam film ini, ada serangkaian musikal serupa yang membuat film menjadi lebih absurd-tapi-asyik. “Dari Mana Datangnya Asmara”nya Ismail Marzuki mengalun sedari awal dan konsisten menjadi irama yang membungkus kenangan manis Yulia. Ada juga adegan nari-nari sambil menjahit, yang si Yulia kinda breaking the fourth wall, sangat menyenangkan!
poetry in motion!
Perubahan jaman memegang peranan penting dalam cerita romansa ini. Modernisasi yang terjadi kala itu memberikan konflik langsung, baik kepada Yulia maupun Rumi. Singgungan budaya bukan hanya jadi latar namun juga sukses mendorong majunya narasi. Kadang karakter budaya ini justru terlihat lebih kuat daripada karakter manusianya sendiri. Aach… Aku Jatuh Cinta dengan tepat membimbing kita melewati perubahan dunia yang terjadi di tahun 70an, 80an, dan 90an. Bagaimana limun digantikan oleh produk impor. Segimana kuatnya pengaruh televisi terhadap tata norma masyarakat. Kita melihat Yulia remaja dimarahi hanya karena memakai lipstik atau bahkan karena menggigit jarinya. Memberikan sedikit pandangan tentang perbedaan kehidupan sosial dan ekonomi pada masa lalu dengan masa sekarang. “Jaman sudah berubah!” tidak sekali dua kali kalimat tersebut keluar dari mulut pelaku cerita.
ADALAH WAKTU YANG MENJADI TOKOH UTAMA YANG SEBENARNYA. Waktu satu-satunya yang mengalami perubahan di dalam film ini. Ya, memang gara-gara waktu situasi tak lagi sama. Ada perjuangan yang dilakukan. Botol limun, jambu klutuk, lipstik merah, bahkan beha adalah relik dari aliran waktu yang mempengaruhi perkembangan mereka. Sementara para manusia tersebut, berdiri dalam arus waktu, terputar-putar kadang. On the inside, mereka tetap. Rumi dan Yulia, mereka tetap bertengkar, mereka tetap punya masalah, begitu juga sebaliknya mereka tetap saling mencari. After all this time, cinta tidak pernah berubah.
Jika cinta sejati itu dibiarkan pecah, maka hidupmu yang mana lagi yang akan berubah?
Estetika dalam dialog sudah jadi signature move Garin Nugroho. Selalu LEBIH SEPERTI PUISI KETIMBANG PROSA. Tutur kata yang diucapkan oleh para tokoh terdengar sumbang di telinga kita yang terbiasa mendengar percakapan sehari-hari. Penyampaiannya nyaris surealis. Meski memang diniatkan begitu, tapi tetap saja aku tidak bisa menahan mulut untuk tidak nyengir mendengar delivery naskah dari Pevita. Secara gestur, tidak ada masalah pada penampilannya. Pevita terlihat natural memakai baju-baju klasik itu. Akan tetapi, aku tidak merasakan intensitas lewat ucapannya. Tidak ada rindu yang harusnya menghiasi kalimat-kalimat puitis tersebut. Suara dan nadanya, hampir seolah dia tidak mengerti apa yang sedang ia baca..
Mungkin bisa lebih baik dan pas jika film ini mengambil arahan yang sepenuhnya surreal.
Karena sungguh susah menikmati alunan ritme asmara jika kita enggak mengerti ‘darimana’ datang tokohnya. Kita harusnya bisa langsung fokus mikirin gugatan apa yang ingin disampaikan oleh Garin kali ini tanpa terjebak peduli kepada karakter yang menyimbolkan. Kita mengerti kisah mereka mirroring Adam dan Hawa yang juga dimulai dengan hukuman. Hanya saja aku tidak sepenuhnya merasa ups-and-downs kepada kedua karakter karena sampai akhir film, aku ngerasa belum menemukan gagasan mereka. Metafora apa di balik kegelapan yang ditakuti oleh Yulia? Sepanjang film dua kali dia gelap-gelapan, dan dua-duanya berujung sama. Apakah hanya seperti cerita duku Rumi yang besar kemungkinan guyon belaka? Kadang seolah film ini lebih mementingkan development budaya daripada tokoh-tokohnya. Terutama, menganakemaskan waktu. Tanpa dinarasikan pun, kita bisa tahu cerita sudah sampai di tahun berapa berkat cermatnya penggambaran sosok latar tersebut. Di lain pihak, mungkin aku terlalu jauh tersesat di dalam cerita, but really, aku enggak tahu cerita ini terjadi di kota mana. Ada bahasa melayu, ada dialek jawa, ada foreigner. MULTICULTURAL AT ITS BEST; nyasar yang meriah. Sementara cerita tokohnya dalam beberapa kesempatan hanya jatuh ke dalam eksposisi. Dalam film ini, kita menyangka komedi digunakan untuk memperingan tone dan mengurangi jumlah geleng-geleng kepala penonton. Tapi pada kenyataannya di layar, adegan-adegan yang mestinya membantu film malah membuatnya menjadi cacat. Terlalu rendah walaupun untuk hiburan semata. Terasa kurang ajar, kepada waktu (sekali lagi!). Film ini memilih waktu yang tidak bisa lebih tak-tepat dalam melepas lelucon sehingga mengalpakan logika tokohnya. Wanita rapuh dengan pola pikir kritis tidak bisa menahan diri untuk ngobrol setelah ijabkabul selesai? Tidak ada kekuatan cinta atau apapun di sana!
Banyak yang dibahas oleh film ini, it’s rather deep. Kisah cinta yang satu ini menguar kuat oleh perspektif budaya. Dituturkan dengan khas Garin, sebagai bait-bait puisi. Tematis dan penuh nilai estetika. Meski namanya mirip, film ini bukanlah serta merta versi terbaru Romeo dan Juliet nya Indonesia. Pun karena seperti puisi, tidak gampang untuk masuk kepada tokoh-tokohnya yang seringkali terlalu puitis untuk kebaikan mereka sendiri. Aku ingin menyukainya lebih. Aku ingin memberikan lebih banyak bintang emas. Tapi aach… jatuh cinta enggak bisa dipaksa. The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for AACH… AKU JATUH CINTA
That’s all we have for now.
Remember in life, there are winners and there are losers.
“That’s what family is. People who hate you, but can’t kill you ‘cause they’are the first ones questioned.”
Seperti Batman yang butuh Joker, setiap hal di dunia ini perlu ada lawannya. Katakanlah, untuk keseimbangan. Demi keberadaan yang satu bisa memiliki arti hanya karena kehadiran yang lain. Goku enggak akan termotivasi jadi lebih kuat jika tidak berkompetisi dengan Vegeta. Semacam ada aksi, ada pula reaksi. Dalam dunia film, lawan dari hero gak necessarily disebut musuh, mereka bisa saja anti-hero. Orang yang punya kualitas yang berlawanan dengan protagonis utama. Seperti Draco Malfoy dibanding Harry Potter.
Sinterklas dalam mitologi Jerman pun begitu. Kerjaannya adalah membagikan kado kepada anak-anak yang bersikap baik. Semacam reward sudah bersikap manis selama setahun. Bagaimana dengan anak-anak yang nakal? Yang enggak mau disuruh belajar? Yang nyari alesan setiap disuruh ngerjain tugas di rumah? Siapa yang bakal ngasih mereka ‘kado’ kalo Sinterklas sibuk ngurusin anak-anak yang baik dan patuh? Well, orangtua di Jerman biasanya basically ngomong gini ke anak-anak mereka “Kalo nakal nanti dibawa Krampus looohhh!”
Film horor tentang natal banyak, tapi jarang sekali menghadirkan Krampus, atau yang dikenal sebagai The Christmas Devil sebagai tokohnya. Kebanyakan seputar monster lain atau tentang Santa yang jadi jahat, or simply serial killer dresses as Santa Claus. Padahal makhluk bertanduk besar, hitam, berbulu, setengah kambing setengah setan tersebut tercantum berdampingan sebagai anti-hero St. Nicholas dalam legenda original natal. Krampus pun disebut masih sodaraan sama Faun dan Satyr dalam mitologi.
Setiap malam tanggal 6 Desember, Krampus – membawa rantai, lonceng, dan ranting – akan berjalan di Bumi. Mencari anak-anak nakal untuk dikasih ‘hadiah’ berupa dicambuk dan dibawa ke sarangnya, or to hell for that matter. Di Jerman, Austria, Slovenia, dan negara-negara Eropa ada tradisi Malam Krampus (Krampusnatch) di mana orang dewasa berkostum ala Krampus dan berjalan sambil ngejar-ngejar orang di kota. Aku enggak begitu tau serba-serbi cerita Krampus di Indonesia gimana, tapi karena kita ngikut Belanda, di sini kita punya Pit Hitam yang ceritanya adalah tukang masukin anak nakal ke dalam karung.
Director Michael Dougherty (sebelumnya pernah sukses dengan film horor liburan lain di 2007, Trick ‘r Treat) menampilkan Krampus dalam ‘cuaca’ yang sedikit berbeda. Pertama, film ini adalah sebuah tontonan horor komedi. Penuh dengan SATIR KONDISI MASYARAKAT SOSIAL sekarang ini. Dari adegan pembuka saja kita sudah disuguhi ricuhnya Black Friday, tradisi diskon akhir tahun besar-besaran di Amerika. Orang-orang gelap mata berbelanja, saling rebutan, materialism at its worst. Natal, menurut film Krampus, udah tidak sesakral dulu lagi. Kita diajak melihat kesibukan menjelang malam natal di rumah keluarga Tom Engel (tumben Adam Scott enggak jadi tokoh bajingan haha). Saudara sepupu mereka yang gasrakgusruk, yang lifestyle nya sedikit berbeda, datang untuk merayakan natal bersama. Tidak bisa dibilang keluarga besar yang harmonis, makan malam tak lebih dari ajang pamer dan saling menyinggung, lucunya hal tersebut tidak mengganggu kita karena membuat kita teringat kepada keluarga besar kita di kampung. Film ini nails pretty hard tentang bagaimana kita bertingkah di rumah, of what we do to our family member.
Max dalam serial 2 Broke Girls bilang keluarga adalah orang yang membenci kita tapi tidak bisa membunuh kita, karena merekalah yang akan pertama kali ditanyai polisi. Max dalam film Krampus (Emjay Athony portrays a struggling kid – somewhat ringan tangan) awalnya tried to tolerate natal di rumahnya, lewat surat yang dia tulis untuk Santa dia ingin semuanya menjadi lebih baik buat setiap orang. Kelakukan sepupu yang menjadi-jadi membuat Max tak tahan. Dia merobek suratnya, melempar carikannya ke udara malam, Max tidak percaya lagi pada keajaiban natal. Perasaan Max sampai ke telinga Krampus, dan kayak bola kristal natal yang diaduk, segala kebahagian natal yang tersisa sirna dalam chaos as Krampus dan anak-anak buahnya turun tangan. Mengambil satu per satu keluarga Max.
Krampus tidak datang untuk memberi, dia datang untuk mengambil.
Applause wajib kita berikan untuk penampilan Krampus. CGI minimalis, film ini MENGHADIRKAN SOSOK KRAMPUS DENGAN MOSTLY PRACTICAL EFFECT YANG MEMBUATNYA MENJADI LEBIH SERAM. Aku suka bgt adegan kemunculan pertama makhluk ini. Berlatar salju, sosok di antara deru salju di atas atap, musik yang bikin napas kita ikut ngap-ngapan. Did I yell again at the big-screen? Yes, maaf buat anak-anak SMA yang teriakannya kalah saing dengan “Laaarriiiiii!!!” ku dalam studio tadi. Theybuilt a great character dalam sosok Krampus. Menyeramkan, makhluk ini menikmati semua kekacauan yang ditimbulkannya dari mengabulkan permintaan.. well, sort of. Dia enggak pilih-pilih, mau baik atau jahat, mau anak kecil atau orang dewasa, Krampus akan mengejar mereka semua. Krampus dengan mudah bisa menjadi tokoh ikonik dalam jejeran karakter-karakter film horor.
Ada satu karakter lagi yang paling intriguing, dan itu adalah neneknya Max yang dipanggilnya Omi (Krista Sadler misterius banget tapi enggak comes off sebagai nyebelin). Kita bisa bersimpati kepadanya. Kepada masa lalunya, yang meski diterangkan cukup berat ke eksposisi, namun dihadirkan lewat animasi sejenis stop-motion yang fit perfectly dengan vibe film. Pengalamannya membuat nenek ini punya depth sendiri sebagai seorang tokoh cerita. Kemisteriusannya turut andil dalam membangun tokoh Krampus menjadi sesuatu yang legit kita takuti.
Porsi kocak dan mengerikannya enggak berlebihan, yang satu tidak mengenggelamkan yang lain. Tidak menggunakan banyak cipratan darah dan kata-kata sumpah serapah. Film Krampus adalah HOROR KOMEDI YANG EFEKTIF while maintaining statusnya sebagai tontonan untuk seluruh keluarga. Death scene nya run deep-in-the-feel dan sengaja dibikin eksplisit. Namun bagi hardcore horror fans, Krampus mungkin masih terhitung jinak. Minimnya darah membuat film ini seperti tidak berada dalam liga yang sama dengan Shaun of the Dead (2004) ataupun dengan Cooties nya Elijah Wood, tayangan horor komedi lain yang keluar tahun kemaren.
Atmosfer filmnya sangat gelap dan creepy. Fokusnya benar terletak pada the horror itself. Selintas menyaksikan Krampus membuat kita seperti sedang nonton film horor klasik jaman dulu. In fact, hal ini menjadi salah satu kelemahan. Film Krampus SEDIKIT TERLALU BANYAK MEMINJAM ATRIBUT-TRIBUT DARI FILM LAIN. Para Gingerbread Man sama sekali tidak impresif buatku; animasinya biasa dan adegan-adegan involving mereka jatohnya mirip sama adegan di Gremlin (1984), which is also a horror-comedy, a classic one. Tokoh Krampus memang keren, tapi adegan serangan beberapa minion nya terasa generik dan enggak banyak perbedaan dari jenis serangan monster-monster yang biasa. Adegan anak buah nya terlalu banyak, padahal yang kita butuhkan lebih banyak momen Krampus sendiri. Karena hanya Krampus dan the whole kostum nya lah yang sukses bikin excitement kita meninggi dalam film ini. Lagipula, the whole aspect of trapped di rumah karena di luar lingkungan sudah jadi pembawa kematian semua, membuat aku nyengir kuda sambil nyebut nama The Mist (2007). Film Krampus agak kurang bagus menenun bagian tersebut, sekuens mereka terperangkap terasa lebih monoton. Like, c’mon, do something with the snowmen!!!
Mungkin memang disengaja mirip karena temanya adalah sindiran buat keluarga masa kini yang merayakan natal, kedatangan Howard dan keluarganya (hayo lo, David Coechner, tanggung jawab udah bikin ngakak for the most part!) tak pelak bikin kita teringat kepada film komedi jadul Christmas Vacation (1989) yang tokoh utamanya juga kedatangan saudara yang tidak begitu dia sukai. Saudara yang menurut mereka annoying karena punya anak banyak dan berisik dan ngasal dan sok tahu dan suka seenaknya.
Yeah, there’s always a reason to hate your family.
Dimulai dengan kuat, penuh pesan dan sindiran agaknya membebani cerita sehingga membuat film Krampus terseok menjelang akhir. Endingnya membingungkan. Like, apa mereka seriously go for A Nightmare on Elm Street (1984) setelah semua yang terjadi? Krampus memilih mengakhiri cerita dengan cara yang paling lemah padahal seharusnya mereka cukup tutup layar di poin Max sendirian di tengah salju.
Asik, dingin, dan menakutkan. This is a rather different approach dari sebuah mitos. Karena Krampus himself adalah bayangan dari Santa – semacam versi jahatnya — kita tidak akan menyaksikan Sinterklas melawan Krampus dalam film ini. You could watch A Christmas Horror Story (2015) kalo mau liat duel epik dua tokoh tersebut tho; kumpulan film pendek yang lumayan seram dan seru. Film Krampus sendiripun jauh dari kesan mainstream horor jaman sekarang. Mereka worked out the budget menjadi sebaik yang mereka bisa. But well, dang, kurasa ini adalah review film ku yang paling banyak nyebutin judul film lain. The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for Krampus.
That’s all we have for now.
Remember in life, there are winners and there are losers.
”Nothing works and nothing sustains except your true self.”
Dunia anak-anak adalah dunia yang sederhana. Segalanya terlihat menyenangkan. Masa yang innocent dan ceria. Kala di mana masalah-masalah hanya milik orang dewasa, milik dunia mereka yang sama sekali berbeda dengan milik anak-anak yang cerah senantiasa disinari matahari. Begitu juga dunia dalam Peanuts, nama komik strip yang memperkenalkan Charlie Brown dan anjing kesayangannya kepada dunia. It was October 1950, Charlie M. Schulz mulai menggambar kisah sehari-hari kepolosan anak di koran. Aku sendiri dulu suka nonton kartun Peanuts di tv, gak begitu ngefans sih, cuma dulu sering berujung debat dengan teman tentang lucuan mana Snoopy atau Droopy (tokoh kartun lain di Cartoon Network) hahaha.
Ya, dari empat strip komik, sampai ke tv-show tahun 90an, Charlie Brown dan Linus, Lucy, Peppermint Patty, Marcie, Sally, Pig-pen, Schoeder, dan banyak lagi sudah jadi teman main anak-anak dari berbagai generasi. We all love the Peanuts!
Ah, apa jadinya masa kanak-kanak kita tanpa Charlie Brown dan Snoopy?
Dan sekarang, nongol di layar lebar, Charlie Brown (disuarakan dengan well done oleh Noah Schnapp) masih si bocah gundul gundul pacul berwajah bundar yang sial melulu. Dia payah dalam setiap kegiatan yang dia lakukan. Charlie selalu mengacaukan sesuatu di sekitar dirinya. Teman-teman selalu menasehati tapi itu bikin dia berpikir tidak ada yang menyukainya. Bahkan anjing piaraannya, Snoopy, tak jarang harus turun tangan membantu Charlie. And then, seorang anak baru pindah ke sekolah Charlie. Jadi tetangga seberang rumah, malah. Seorang anak cewek, rambutnya merah, Charlie has found his first-real crush! Film ini — seperti kisah aslinya — adalah tentang Charlie yang ingin memberikan kesan terbaik kepada anak baru yang kece tersebut. Juga diselingi dengan petualangan imajinasi Snoopy The Flight Ace dan Woodstock si burung kecil melawan the infamousRed Baron. Metafora dari apa yang dirasakan oleh Charlie Brown.
cieee The Blockhead is baaack~~
Yang paling aku suka dari this movie, lebih daripada animasinya yang charming dan playful dengan tampilan 3D, adalah The Peanuts Movie TIDAK MERASA PERLU UNTUK IKUT-IKUTAN TREN. Film ini enggak pusing-pusing mikirin bagaimana membuat sebuah kisah klasik cocok untuk this current time. Para tokoh-tokoh film, mereka sama sekali tidak berubah. Satu kebiasaan mereka yang sudah jarang kita temui sekarang: Mereka tetap bermain di luar rumah. Mereka main hockey, main ice skating bersama, berlarian main layang-layang. Mereka berkumpul selayaknya anak kecil jaman dulu. Mereka berinteraksi langsung, in person. Actual face-to-face kontak. Dan ini adalah pesan yang bagus buat anak kecil yang nonton. Pergilah keluar, bermain, berkawan. Tertawalah dengan mulut, bukan dengan stiker. Emosi, not emoticons.
Di saat film yang diadaptasi dari jaman dulu sibuk berusaha terlihat remaja, ngikutin perkembangan jaman, The Peanuts STAYS TRUE WHERE ITS HEART BELONGS. Tidak perlu sok pintar mengubah latar waktu. Tidak usah pusing-pusing buang tenaga dan pikiran menciptakan ulang background story yang hanya akan bikin filmnya kehilangan jati diri. Charlie Brown dan teman-temannya enggak main smartphone. Enggak main komputer. Tidak sedikitpun menyinggung gadgets. Heck, bukan tablet yang dipungut oleh Snoopy dalam film ini. Anjing lucu ini menemukan mesin tik! Dan ngomong-ngomong soal Snoopy, selain diisi oleh talenta voice-casts cilik, demi mempertahankan aura nostalgia nya film ini tidak menggunakan dubber baru untuk mengisi suara Snoopy dan Woodstock. Instead, mempertahankan suara ikonik Bill Melendez, pengisi suara original mereka. DirectorSteve Martino memakai rekaman dari episode-episode tv untuk menghidupkan kembali suara kedua peran legendaris tersebut.
Dengan begitu, film ini tidak hanya menghormati dunia anak-anak. The Peanuts Movie juga respect abis sama para penggemarnya dulu – yang sekarang sudah gede-gede, sebagian besar fanboy seri ini sekarang nonton bersama anak mereka. Dan hey, Bryan Schulz dan Craig Schulz ikut menulis film ini, so yeah jadinya benar-benar sebuah persembahan buat ayah mereka, Charlie M. Schulz!
“mwuak mwuaaak muwakowak kwakwok (baca: tidak ada kata terlalu tua dalam nonton Peanuts)”
Menggemaskan, film animasi ini penuh dengan karakter dengan personality yang berbeda-beda. Not just a plain stereotypical, namun semuanya tetap lugu dan punya peran masing-masing. Hal ini membuat para penonton anak-anak lebih mudah merasa lekat dengan semua tokoh-tokohnya. PESAN MORAL TENTANG PERGAULAN DAN PRESENTING DIRI SENDIRI membuat The Peanuts Movie layak tonton. Mengajarkan kepada anak-anak tentang self improvement dalam bersosialisasi. Meski memang kita harus jadi orang yang tidak gampang menyerah, terkadang kita juga suka salah. Seperti yang gagal disadari oleh Charlie Brown; winner atau loser, bukan masalah on seberapa sering kita screwed things up. Charlie berusaha menonjolkan sisi terbaiknya di depan si cewek baru berambut merah. Dia bakalan malu-dua-kali kalo sampai failed di depan cewek itu. Namun si Rambut Merah justru tak peduli, dia malah tertarik oleh kebaikan-kebaikan kecil yang dilakukan oleh Charlie. Bukan masalah seberapa keras kita berusaha untuk menampilkan yang terbaik, kualitas dari dalam diri kita lah yang akan mendapat perhatian dari orang-orang di sekeliling kita. Tanpa kita sadari, our true inner self yang akan speak louder. Yang akan betul-betul jadi pertimbangan orang lain. Seperti film ini sendiri yang enggak mutusin untuk jadi sesuatu yang bukan dirinya; Improving is a yes, but it is not necessarily to change our true self.
Buat yang bukan penggemar Charlie Brown dan Snoopy, film ini mungkin tidak berdampak terlalu “wah”. Tapi jelas juga bukan sekadar “meh”. Ini adalah film yang tidak ambisius. Film ini tidak perlu untuk berinovasi dengan plot dan formulanya, dan tetap bisa comes off as entertaining. Humornya enggak childish dan tetap sukses bikin penonton sestudio ngakak, tua maupun muda. Aku justru senang dan lega banget film ini enggak jatoh jadi kayak film daur ulang yang lain, yang masukin unsur baru hanya karena takut terlihat ketinggalan jaman. Sukur alhamdulillah film ini tidak seperti Bangun Lagi Dong Lupus keluaran tahun 2013 lalu yang gagal total karena terlalu ingin nampil berbeda dari aslinya. Here’s a tip: just don’t tamper with a legacy. Dengan segala kepolosannya, there’s so much adorable moments! The Peanuts Movie akan membuat kita betah mengikuti cerita nya bahkan sampai kredit selesai bergulir.
Hadir kembali untuk mengingatkan kita bahwa semua orang bisa menjadi pemenang. Sangat mendidik. Tetap setia dengan warna lama, kayak Charlie yang setia ama kaos kuning-bergaris-item nya, dan dengan visual yang gemesh dan colorful, film ini dipersembahkan untuk semua orang yang (pernah atau sedang) menikmati masa kecil. The Palace of Wisdom gives an 7.5 gold stars out of 10 for Snoopy and Charlie Brown: The Peanuts Movie.
That’s all we have for now
Remember, in real life there are winners and there are losers.