“We are products of our past, but we don’t have to be prisoners of it.”
Flash akhirnya punya film-panjang setelah sekian lama ikut ‘bantu-bantu’ di Justice League, dan padahal punya serial sendiri. Dan keberadaannya ini bukan tanpa diwarnai masalah. Superhero dengan kekuatan supercepat ini hadir saat DC mau merombak ulang keseluruhan sinematik universe mereka, yang entah bagaimana sepertinya selalu kurang memuaskan. Aktor yang meranin si Flash, Ezra Miller, pun sedang dalam belitan kasus. Mungkin karena filmnya berada di posisi demikianlah, maka sutradara Andy Muschietti menggodok cerita yang membahas tentang menyikapi kesalahan di masa lalu. Ironisnya, bahasan ‘harus move on’ tersebut harus ia bicarakan di balik konsep multiverse penuh nostalgia yang sepertinya sudah jadi senjata utama produser film superhero untuk menggaet penonton. Sehingga, dengan konteks demikian, di balik petualangan lintas-waktunya The Flash memang lantas jadi punya inner journey yang tuntas dan kuat. Tapi film ini serta merta memberikanku sesuatu untuk dipikirkan ulang. Karena selama ini, aku selalu berpikir bahwa yang terpenting dari sebuah film adalah inner journey karakternya. Dan sepertinya itu membuatku jadi punya kesalahan di masalalu; kesalahan dalam menilai film. Sebab film The Flash, dengan kelemahan-kelemahan outer journeynya, justru membuktikan bahwa kulit luar cerita ternyata juga sama pentingnya.
Jangan menoleh ke belakang. Jangan pertanyakan kenapa hal bisa salah. Jangan menyesali kesalahan lalu lantas terus-terusan meratapi sampai lupa untuk meneruskan hidup. Karena tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain belajar dari kesalahan tersebut. Menerima bagaimana kesalahan itu membentuk kita dan jadikan itu pengalaman berharga. Sebenarnya, ini adalah tema yang cocok sekali sebagai konflik untuk seorang superhero yang bisa berlari begitu cepat sampai-sampai bisa menembus waktu. Karena kita selalu bilang, andai kita bisa balik ke masa lalu, maka kita akan memperbaiki kesalahan. Well, guess what, Flash bisa ke masa lalu, dan di film ini dia akan belajar bahwa walaupun kita bisa ke balik, kita tetap tidak bisa memperbaiki kesalahan itu.
Ada banyak sekali yang ingin diperbaiki oleh Barry Allen di dalam hidupnya. Dia ingin ayahnya melihat ke kamera cctv supermarket supaya bisa jadi bukti ayahnya tak-bersalah atas kematian ibunya. Dia ingin ibunya tidak lupa membeli sup tomat yang jadi sumber masalah itu. Dia ingin bisa melindungi keluarganya. Sekarang, seusai another mission ngeberesin kerjaan Batman, kita melihat Flash menemukan fungsi baru dari kecepatan supernya. Yakni dia bisa travel back in time. Barry merasa inilah kesempatan baginya memperbaiki hidupnya. Tapi dia salah. Kedatangannya ke masa lalu memang menyelamatkan ibunya dari maut, namun efek dari perbuatan itu ternyata jauh lebih parah. Tindakan Barry Allen jadi membuat timeline dunia yang baru. Dunia tanpa Justice League. Dunia yang Batman dan Superman nya sangat berbeda dari yang ia kenal. Ketika General Zod datang ke Bumi, Barry Allen harus membentuk tim superhero di dunia tersebut, dan salah satunya dia harus melatih versi remaja dari dirinya di dunia itu untuk menjadi Flash yang baik dan benar.
Film ini ngasih sudut yang unik dari cerita origin superhero. Berbeda dari kebanyakan origin yang mengawali bahasan dari bagaimana si karakter punya kekuatan superhero, kita telah mengenal dan tahu kekuatan Flash saat cerita film ini dimulai. Yang belum kita kenal betul adalah siapa sosok Flash di balik topeng; sosok Barry Allen yang sebenarnya. Dukanya apa. Konflik personalnya apa. Sehingga walaupun sebagai Flash dia sudah kuat, tapi pembelajaran karakter ini terus bergulir. Lapisan inner journey inilah yang buatku cukup berhasil dipersembahkan oleh film. Bersama dirinya kita ditarik mundur melihat backstory Barry Allen sebagai seorang anak muda, serta juga origin dari kekuatannya ternyata seperti apa. Penceritaan dengan time travel ke masa muda karakter utama membuat kita melihat sang superhero dari sisi yang lebih berlayer. Dengan kelemahan personalnya sebagai human being yang jadi fokus utama dan terus digali. Ini mendaratkan karakternya. Hubungan Barry dengan ibunya, bagaimana perasaannya terhadap sang ibu, di situlah lajur film ini menyentuh hati para penonton.
Musuh yang harus dihadapi Barry sebenarnya memang bukan General Zod, melainkan dirinya sendiri. Film memang menyimbolkan ini dengan menghadirkan surprise villain yaitu si Dark Flash. Makhluk paradoks produk dari pilihan Flash untuk pergi ke masa lalu in the first place. Secara konteks, masuk akal kalo Flash harus mengalahkan Dark Flash karena menyimbolkan dia yang sekarang sadar untuk move on dan belajar dari kesalahan, harus mengalahkan dirinya yang masih ingin memperbaiki masa lalu. Namun anehnya, film tidak benar-benar membuat Barry Allen ‘kita’ menghadapi Barry Allen dunia lain itu. Film malah membuat Barry muda-lah yang ‘mengalahkannya’. Menurutku, film sebenarnya gak perlu membuat sampai ada tiga Barry Allen. Dua saja cukup. Supaya ‘pertarungan’ inner Barry itu terasa benar terefleksi pada pertarungan outernya. As in, biarkan Flash mendapat momen mengalahkan ‘antagonisnya’. Film ini anehnya gak punya momen yang penting tersebut. Keseluruhan babak dua adalah tentang Barry Allen berusaha membentuk tim superhero (sekaligus mendapatkan kembali kekuatan supernya), konsep multiverse kicks in, kita melihat Batman-nya Michael Keaton, Superm..ehm, Supergirl-nya Sasha Calle, Kita melihat interaksi Barry berusaha menjalin persahabatan dengan mereka. Kita juga of course melihat interaksi Barry dengan dirinya versi lebih muda, yang sangat kocak. But there’s nothing beyond those characters dan keseruan melihat merkea, karena bisa diibaratkan kejadian di dunia mereka itu adalah kejadian Alice di Wonderland – kejadian untuk membuat Barry Allen ‘kita’ mempelajari kesalahannya. Hanya saja di film The Flash ini, Barry Allen sadar di tengah-tengah, dan tidak lagi bertarung mengalahkan siapa-siapa. I mean, bahkan Alice saja harus mengalahkan Queen of Hearts, Dorothy harus mengalahkan The Wicked Witch. Di film ini, final battle si Flash ada pada ketika Barry berdialog dengan ibunya. Yang sebenarnya memang menyentuh dan bagus, tapi meninggalkan kesan datar bagi penonton tatkala pertarungan dengan Zod dan Dark Flash sudah dibuild. Momen ‘kemenangan’ itu tidak terasa bagi penonton.
Jadi aku sadar di situlah pentingnya outer journey. Inner dan outer harus dikembangkan berimbang karena jika hanya outernya saja, film akan jadi hiburan kosong. Dan sebaliknya, jika hanya innernya saja, maka seperti yang kita rasakan saat beres nonton film ini, kesannya jadi datar. Semua petualangan itu kesannya jadi buang-buang waktu. Setelah semua interaksi lucu Barry dengan dirinya versi muda, tanpa ada tensi yang dicuatkan, kita hanya melihat karakter itu sebagai tontonan si Barry. Koneksinya dengan Batman Keaton dan Supergirl juga kayak throw-away moment saja. Momen outer yang dikembangkan balance dengan inner journey cuma ada pada penutup, saat kemunculan satu karakter membuat Barry menyadari bahwa dia masih belum berada di dunia yang benar. Menurutku ini ending yang tepat sekali sebagai cara film ini mengomunikasikan bahwa semesta DC memang sudah sekacau itu. Bahwa there’s no going back. Melainkan mereka hanya bisa move on bikin ulang yang baru.
Dan ngomong-ngomong soal outer, ada satu yang paling terluar yang tak-bisa tak kita perhatikan dan mempengaruhi pertimbangan kita suka film ini atau tidak. Visual. CGI yang digunakan. Banyak dari adegan aksi di film ini, tampak kasar dan konyol. Raut wajah karakternya. Jurus-jurus berantemnya. Bayi-bayi itu! See, aku sebenarnya gak peduli sama efek realistis atau enggak. I mean, kita yang nonton film Indonesia biasanya udah maklum soal efek visual. Asalkan menghibur dan konsisten, tak jadi soal. Tapi jangan bilang kalo bad CGI itu adalah pilihan kreatif, semacam visual style ala Spider-Verse misalnya. Dan itulah yang menurutku terjadi di film ini. Mereka sebenarnya ingin membuat efek yang konyol untuk adegan-adegan kekuatan Flash saat sekitarnya jadi seperti melambat. Bad CGI itu pada akhirnya hanya alasan karena film gak mampu untuk bikin efek yang diniatkan dengan meyakinkan. Like, kalo memang mau cartoonish, maka tone film secara keseluruhan harus dibikin lebih selaras lagi untuk membangun efek tersebut. Pada film ini, konsep dan eksekusinya terasa belum klop. Sebagian besar film terasa seperti serius, maka pada adegan-adegan yang visualnya mestinya ‘bermain’ jatohnya tetap tampak sebagai CGI yang jelek.
Dinamika Flash dan Batman ngingetin ama Spider-Man dan Iron Man. Flash yang masih muda dan kocak memang sering dianggap padanan Spidey dari Marvel. Personally, Tom Holland menurutku lebih lucu sih daripada Ezra. Buat penggemar Tom Holland, di Apple TV+ ada serial baru yang ia bintangi loh. Judulnya The Crowded Room. Thriller psikologis, gitu. Yang pengen nonton bisa subscribe langsung dari link ini https://apple.co/3NgkhiF
Di balik visualnya yang bisa bikin orang males nonton, sebenarnya film ini cukup unik, ngasih origin story dalam bentuk berbeda, dan punya muatan drama keluarga yang manis dan menyentuh – mengalir kuat di balik cerita multiversenya. Dari bingkisan luarnya, film ini memang parade nostalgia dan reference dan petualangan yang didesain untuk menghibur. Tapi kulit luarnya ini punya kelemahan pada bagian penyelesaian, yaitu tidak dibikin seimbang dengan isi di dalamnya. Sehingga kesannya jadi datar, dan seperti menghabis-habiskan waktu karena solusinya sebenarnya tidak perlu pakai petualangan sepanjang itu jika petualangan dan musuhnya yang sudah dibuild tidak lagi jadi penting di akhir. Tapinya lagi, jika film ini benar adalah terakhir dari DC sebelum dirombak ulang, kupikir film ini berhasil menyampaikan itu lewat ending yang cukup bergaya. Terlihat gak tuntas, tapi sebenarnya sudah menutup rapat-rapat.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE FLASH
That’s all we have for now.
Jika kita dibentuk oleh masa lalu dan kita berkembang dengan belajar darinya, apakah itu berarti kita yang sekarang pasti hanya akan dianggap jadi ‘kesalahan’ bagi kita di masa depan?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA