THE BOY AND THE HERON Review

 

“Because you are a beautiful lie and I am  a painful truth”

 

 

Bagaimana menjalani hidup dengan benar? Caranya adalah dengan mengingat dan memahami kematian. Jawaban tersebut bisa kita dapatkan dari ajaran agama, atau dari menonton karya terbaru Hayao Miyazaki, sang Bapak Studio Ghibli. Sudah bukan rahasia, film-film Pak Hayao selalu personal, penuh makna, dan luar biasa menakjubkan lewat simbol-simbol dunia ajaib yang surealis. Namun The Boy and the Heron ini, bahkan lebih deep, dark, dan personal lagi. Kisahnya yang tentang seorang anak laki-laki yang kehilangan ibu akibat perang boleh saja bermula dengan kejadian yang berdasarkan pengalaman hidup Pak Hayao semasa kecil, tapi film ini berakhir dengan sesuatu yang seperti mencerminkan ujung dari dunia animasi magis buatannya sendiri. Film ini bisa jadi adalah hadiah terakhir dari Hayao Miyazaki kepada kita. Bagaimana kita hidup di dunia tanpa film-filmnya?

Fantasi, anak, dan perang. Hayao Miyazaki is up there untuk film-film yang bermain di tema tersebut (for me, he followed by Guillermo del Toro)  Hayao bicara tentang  kehilangan, duka, tragedi tapi lewat dunia fantasi yang menakjubkan. Dia tidak melihat itu sebagai musuh yang harus ditakuti, ataupun menjadikan sebagai sebuah pengalaman yang mengeksploitasi. Hayao, malahan, membuatnya sebagai entitas yang harus dihadapi. Dipelajari. Dihormati. Ini yang juga ia lakukan kepada tema kematian dalam The Boy and the Heron. Anak laki-laki dalam cerita ini, Mahito, menyongsong babak baru dalam hidupnya. Setelah ibunya tewas jadi korban perang, Mahito dibawa ayah pindah ke daerah pedesaan Tokyo. Hidup bersama istri ayahnya yang baru. Meskipun nurut, toh kita melihat penolakan itu dalam sikap Mahito. Penolakan untuk menganggap Natsuko sebagai ibu. Penolakan untuk nerima kenyataan ibunya bakal tergantikan. Inilah yang membuat Mahito diledek oleh burung cangak (sejenis bangau) yang bisa bicara yang secara misterius muncul di area sekitar rumah mereka. Cangak itu menyebut bahwa ibu Mahito masih hidup, dan ada di dalam reruntuhan menara di hutan. Dan bahwa Natsuko juga pergi ke sana. Dengan panah dan busur buatannya sendiri, Mahito pergi ke menara. Mencari ibunya. Meskipun dia tahu Cangak Abu itu berbohong. “I know it’s a lie, but I have to see” katanya mantap sebelum masuk ke ‘perangkap’ yang membuatnya terjebak di dunia sureal di bawah sana.

Kenapa translatenya enggak bangau aja ya? Atau burung kuntul sekalian. Judulnya jadi Anak Laki-Laki dan si Kuntul haha

 

See, Mahito sama sekali tidak takut sama Heron (kita manggilnya Heron aja lah ya hehe) yang menjebaknya. Dia sudah mempersenjati diri, fisik dan mental, untuk melawan tipu daya Heron. Yang actually, Heron ini kocak, karena ada dialog ambigu si Heron yang dengan bangga bilang “Benar, semua yang aku sebutkan adalah bohong” yang lantas ditembak oleh Mahito “Berarti itu bohong juga dong?” Mahito dan si Heron memang dalam perjalanan menjadi berkawan, mereka akan bekerja sama untuk ke puncak menara. Tempat kakek buyut Mahito selama ini bersemayam. Hayao Mayazaki kali ini memang benar-benar menyatukan dunia nyata dan fantasi, keanehan yang dilihat Mahito juga direcognized oleh karakter manusia lain. Petualangan yang dialami Mahito bukan terjadi di dunia mimpi yang bakal ngasih dia pembelajaran, melainkan benar ia lakukan. Realitas dalam cerita film ini memang didesain sebagai realitas dengan keanehan-keanehan. Yang bekerja di dalam konteks tema cerita, yaitu tidak takut kepada hal yang tidak kita mengerti. Seperti halnya Mahito yang tidak takut dengan keanehan dan kebohongan Heron. Mahito justru takut sama dunia nyata, dunia di mana dia harus punya ibu dan hidup baru. Saking gak siapnya Mahito dengan sekolah baru, dia sampai nekat melukai kepalanya sendiri dengan batu. Adegan yang bikin aku kaget, dan sejujurnya aku struggling untuk melihat kepentingan adegan self-harm di film yang harusnya untuk tontonan keluarga. Sampai di menjelang akhir, naskah akhirnya mengikat adegan tersebut dengan pembelajaran yang beautiful seputar sikap penerimaan dan penyadaran Mahito.

Dengan tema dan desain begitu, menurutku ada benarnya film ini juga adalah film ‘terberat’ dari Hayao Miyazaki. Film ini menantang kita untuk memahami emosi Mahito di lingkungan rumahnya yang baru. Mahito yang jarang bicara dan menutup diri. Film ini menantang kita untuk menyelami dan melihat makna di balik kejadian-kejadian dan karakter-karakter aneh yang ditemui oleh Mahito nanti selama petualangannya dalam menara. Karena di dalam sana, dia akan bertemu banyak banget hal-hal di luar nalar. Mulai dari rombongan makhluk imut putih, kawanan pelikan pemakan makhluk lain, tentara burung parkit, dan bahkan versi lain dari ibunya sendiri. Garis besar yang bisa aku sebutkan tanpa membuat review ini jadi ‘walkthrough spoiler’ adalah semua kejadian dibuat dengan maksud mempersiapkan Mahito untuk memahami kematian. Karena inilah yang dibutuhkan Mahito supaya dia bisa melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Mahito harus bisa melihat makna hidup lewat mengerti tentang kematian, menurut karakter-karakter di sekitarnya. Kita bahkan bisa menangkap sedikit komentar tentang perang dan dampaknya terselip sebagai layer dalam cerita.

Ada anekdot menarik yang pernah aku baca soal Kehidupan dan Kematian. Jadi, Life bertanya kepada Death “Kenapa manusia mencintaiku, sedangkan dirimu sangat mereka benci?” Death dengan kalem menjawab “Karena kamu adalah kebohongan yang indah, sedangkan diriku adalah kebenaran yang menyakitkan”. Anekdot tersebut membantuku mencerna film ini lebih lanjut. Karena persis itulah yang sebenarnya yang dikatakan oleh film. Bahwa kematian tidak lebih dari sebuah kenyataan pahit. Bahwa semua hal akan menemui ‘ajalnya’. Bahwa semuanya fana. Tinggal kitanya saja yang mempersiapkan diri menyongsong kenyataan tersebut tiba.

 

Karena ini film yang personal, maka membaca film ini pun udah kayak membaca Hayao Miyazaki sendiri. Seperti menapak tilas film-filmnya selama ini. Karena penonton yang familiar dengan karyanya, akan merasakan The Boy and the Heron ini seperti sangat akrab. Not just in sense, karena memang sudah ciri khasnya membuat film seperti begini. Tapi on a deeper level, kayak sebuah self-tribute dari orang yang sedang melihat ke belakang, ke dalam dirinya sendiri. Di dalam cerita, kakek buyut Mahito membangun dunia sureal fantastis ini dan dia ingin Mahito meneruskan pekerjaannya. Dia ingin Mahito tinggal di sana, menjaga agar dunia tersebut tidak runtuh. Karena dia ngerasa gak sanggup. Dunia yang mestinya damai tanpa perang seperti dunia nyata itu, nyatanya tidak semenangkan itu. Burung-burung yang masuk ke sana jadi ganas. Penulisan story tersebut terasa seperti self-realization dari Hayao Miyazaki. Bahwa dunia-dunia yang dia bangun selama ini, yang dia ciptakan dalam film-film indah itu, tetaplah sebuah fantasi. Dan akan berakhir. Bahwa dia gak bisa menciptakan itu selamanya. Ada titik di mana dia harus berhenti. Titik di mana cerita-cerita itu ‘mati’. But also, Hayao tampak bergulat dengan dirinya sendiri lewat karakter anak-anak Mahito, tak akan ada hal yang benar-benar ‘mati’. Ibu masih akan tetap hidup di hati Mahito yang bakal tumbuh dan menjalani hidup. Begitu juga karyanya, akan tetap hidup abadi lewat kita-kita penontonnya, hingga generasi-generasi selanjutnya.

Supaya konsisten dengan tema unggas; film ini bisa jadi adalah swan song-nya Hayao Miyazaki.

 

Sayangnya, dari yang kulihat di studioku menonton, aku merasa resepsi penonton kasual terhadap film ini agak datar. Like, fakta bahwa kita bisa menyaksikan animasi magis Ghibli di layar lebar aja mestinya udah cukup untuk bikin “wah-wah” sendiri. Tapi aura yang kurasakan di studio saat itu biasa saja. Kayaknya film ini bakal mirip kayak Elemental (2023) waktu tayang musim panas lalu. Penonton expecting petualangan yang dahsyat, sehingga gak sadar sebenarnya film ini sedang bekerja wonderful dalam konteks dan bahasan yang ingin disampaikan. Also, kita sering agak terlalu cepat ngejudge film dengan tema berat sebagai film yang lambat, sebagai aneh dan gak jelas. Padahal film ini naskahnya berhasil mengembangkan dengan seksama konflik personal yang dirasakan oleh Mahito. Karakternya distant by design karena begitu cara dia awalnya berusaha dealing with kehilangan ibu. Sepuluh menit pertama, vibe ‘dark’ dan sureal itu sudah dilandaskan kuat oleh naskah. Adegan opening yang Mahito di antara orang-orang di area yang kebakaran, dengan visual api dan sosok-sosok manusia yang berdistorsi, kurang apa coba itu melandaskan seperti apa film ini nantinya. Jangan harap film ini menyuapi kita dengan apapun. Karena bahkan pengungkapan informasi penting pun, misalnya pengungkapan hubungan antarkarakter siapa dan apa, dilakukan oleh film dengan natural tanpa aba-aba yang menuntun “oh ini bakal masuk bagian penting”. Film menampilkan dirinya sebagai dunia mimpi, untuk kita eksplorasi dan pahami sendiri. Hebatnya film ini justru karena kita ikut menyelam, menguak, merasakan, dan berubah bersama karakternya.

 




Untuk menjawab pertanyaan sendiri di awal tadi, no I can’t. Studio Ghibli tahun-tahun belakangan ini struggle terus, setiap film barunya keluar- bahkan yang bukan buatan Hayao, kesannya seperti film terakhir terus. Tapi aku selalu percaya Hayao Miyazaki bakal comeback, mendaratkan film Ghibli kembali ke tengah-tengah kita. Aku gak bisa membayangkan kalo ini bakal beneran jadi film terakhirnya. That’s why aku gak bakal ngupdate list Top-8 Film Ghibli Favoritku dengan film ini. Bukannya karena jelek, atau aku tak suka. Film ini menceritakan hidup-mati dengan konsep yang wonderful. Lapisan-lapisan fantasi dan personal yang saling tersulam satu sama lain. Ngasih kita karakter-karakter absurd yang ikonik, seperti yang biasa mereka lakukan. Aku hanya belum mau mengakui bahwa ini adalah end of an era. Aku berharap bakal ada lagi film ajaib yang bikin aku mengubah list itu. Ya, turns out, aku lebih keras kepala daripada Mahito.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE BOY AND THE HERON

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli selama ini? Sebesar apa menurut kalian peran film-film mereka terhadap sinema atau kalian sendiri personally?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, satu lagi film yang kukasih score 8.5 tahun ini, bisa ke Apple TV untuk menonton Killers of the Flower Moon. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



OLD Review

“The fear of old age disturb us, yet we are not certain of becoming old”

 

Pantai yang membuat orang-orang di dalamnya menua dengan cepat. Premis film terbaru M. Night Shyamalan ini memang menarik. Ia mengadaptasi cerita tersebut dari Sandcastle, graphic novel yang memorable karena menggali hal yang gak banyak dieksplor pada media tersebut; meditasi tentang kematian yang pasti akan datang. Ngomongin soal memorable, Shyamalan sendiri sangat diingat oleh penggemar film. Sebagai pembuat twist super-gak-ketebak. Twist ciptaan Shyamalan enggak cuma sekadar pengungkapan yang membelokkan film dengan drastis, melainkan bertindak sebagai membingkai ulang keseluruhan cerita. Film yang tadinya seperti cerita horor, ternyata cerita drama. Film yang tadinya seperti cerita survival, ternyata cerita superhero. Sedemikian dahsyatnya twist yang ia buat, enggak setiap saat film-filmnya disukai oleh semua orang. Kebanyakan cenderung membagi dua penonton. Suka. Dan benci.

Untukku, aku masih melihat Shyamalan sebagai salah satu inspirasi membangun atau mendesain cerita, meskipun gak semua filmnya aku suka. Beberapa filmnya memang malah konyol sekali. Dan Old kali ini, aku menemukan satu twist atau satu misteri yang aku yakin gak diniatkan oleh Shyamalan. Yaitu film ini harusnya adalah tentang orang-orang yang mendadak menjadi tua, tapi kenapa justru aku yang merasa telah kehilangan waktuku yang berharga saat menonton mereka.

old-2021-film-still-01
The twist is getting old fast.

 

Memasukkan twist ke dalam cerita pantai misterius, tak pelak adalah sebuah langkah yang overkill. Materi aslinya , si Sandcastle sendiri, sebenarnya memang tidak punya twist. Ceritanya berlangsung linear, senatural yang bisa dicapai pada cerita tentang orang yang bertambah tua setahun hanya dalam rentang setengah jam. Landasan cerita film Old pada awalnya memang cukup nurut pada cerita asli tersebut. Guy beserta istri dan sepasang anaknya yang masih kecil (6 dan 11 tahun) berlibur ke sebuah resort. Di sana mereka ditawari paket liburan privat ke pantai tersembunyi yang cantik dan bersih sekali. Besoknya, Keluarga Guy beserta beberapa keluarga atau pasangan turis lain berangkat ke sana (diantar oleh Syhamalan himself yang main jadi supir hihi)  Setelah beberapa saat bersenang-senang di pantai sepi kecuali oleh deburan ombak (yang membuatku semakin meratapi keadaan lockdown), Guy dan turis-turis lain mulai mendapati ada yang aneh. Mereka gak bisa keluar dari sana – setiap kali jalan lewat gua tempat masuk, mereka pasti terlempar dan pingsan di pinggir pantai. Mereka menemukan barang-barang bekas turis yang ditinggalkan begitu saja. Mereka juga menemukan mayat seorang wanita. Dan ketika Guy dan istrinya kembali untuk menenangkan anak-anak mereka, mereka mendapati anak-anak itu tidak lagi diperankan oleh Nolan River dan Alexa Swinton yang imut-imut, melainkan oleh Alex Wolff dan Thomasin McKenzie! Amit-amit? tentu tidak.. kalo perubahan jadi dewasa itu tidak terjadi hanya dalam rentang waktu beberapa menit!!

Di sinilah Old mulai menjauh dari Sandcastle. Tentu saja, dalam setiap film adaptasi, gagasan maupun gaya sutradara amat sangat diapresiasi kehadirannya untuk membuat film itu menjadi satu objek unik tersendiri. Tapi untuk kali ini, pilihan Shyamalan patut kita pertanyakan. Alih-alih membuat cerita yang fokus ke membahas persoalan menghadapi umur tua yang dipaksakan menjadi sangat cepat datangnya, membahas drama anak yang lantas tumbuh besar sementara orang tua mereka tumbuh.. tua, membahas ketakutkan manusia terhadap kematian yang memang bakal datang — you know, horor manusiawi seperti yang benar-benar menjadi sorotan pada materi aslinya, Shyamalan malah lebih banyak berkonsentrasi pada bagaimana menutup cerita dengan wah. Twist seperti apa yang bakal ia pakai untuk membuat cerita jadi logis, berdasarkan logika-dalam yang ia bangun. Sehingga ia mengarahkan penceritaan ke membuat kita ikut bertanya-tanya, tidak lagi untuk membuat kita berkontemplasi atau ikut merasakan situasi horor yang dialami oleh karakter-karakter. Penjelasan-penjelasan dan penyelesaian yang akhirnya disajikan oleh Shyamalan membuat pesan atau bahasan terkuat yang dimiliki oleh cerita ini jadi kehilangan power. 

Yang tentunya jadi counter-productive. Film ini harusnya lama berkutat di karakter-karakter. Anak 6 tahun yang tiba-tiba jadi remaja, penuh gelegak hormon. Orang dewasa yang tiba-tiba merabun. Ibu yang kehilangan anak. Cerita ini didesain untuk cerminan kita mengarungi peristiwa-peristiwa natural dalam kehidupan – kematian dan kehilangan. Penuaan. Sesuatu yang kita takuti. Film ini mengajukan keadaan ketika hal yang ditakuti tersebut semakin dipaksakan ke hadapan kita. Bagaimana kita menyingkapi kematian jika kita belum siap. Berapa lama yang kita butuhkan untuk siap. Semua yang thought-provoking itu lost in the shuffle saat film dengan kecepatan mantap membawa kita dari satu contoh peristiwa penuaan ke peristiwa lain. Menggiring kita dari satu contoh kasus ke kasus lain, begitu saja tanpa banyak waktu untuk membiarkan peristiwa tersebut tenggelam dan meresap.

Sebagai manusia, menjadi tua adalah hal yang menakutkan bagi kita. Tua identik dengan kematian, dengan kelemahan. Kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya menjadi tua adalah sebuah privilege. Yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Karena usia tidak ada yang tau. Bisa hidup sampai tua berarti kita diberikan anugerah untuk merasakan dan mengalami lebih banyak. Lebih lama. Makanya hal yang terjadi pada karakter di film Old ini sebenarnya adalah hal yang sangat mengerikan. Karena di pantai itu, mereka menjadi tua tanpa mendapat keuntungan atau privilige dari proses tua itu sendiri.

 

Secara visual pun begitu. Padahal ada begitu banyak hal-hal menarik yang terjadi. Ada karakter dengan tumor yang tumbuh dengan cepat. Ada karakter anak yang jadi remaja, kemudian dia hamil. Ada karakter satu lagi, yang punya kondisi kekurangan kalsium. Ada juga karakter yang diam-diam mengidap schizophrenia. Kondisi-kondisi itu mestinya digali, digunakan maksimal untuk menguatkan elemen horor pada film. Entah itu horor psikologis, maupun horor yang lebih eksplisit seperti body horror. Sekali lagi, modalnya ada. Rule di pantai itu adalah luka di tubuh akan cepat sembuh merapat kembali. Jadi kalo ada yang dioperasi, maka luka dia harus ditahan – dipegang oleh jari jemari orang-orang di sana. Kurang gross apa lagi coba. Tapi mungkin karena sensor rating atau apa, film ini gak mau jor-joran menjadi body horror ataupun nunjukin hal-hal  yang benar-benar bloody ataupun mengerikan. Hanya ada satu momen yang cukup ngeri, yaitu saat nampilin karakter yang tubuhnya ‘tergulung-gulung’. Selain itu ada juga beberapa yang memang diolah untuk advantage film, seperti memilih untuk tidak memperlihatkan mayat (diserahkan kepada imajinasi kita sehingga lebih seram), tapi pada sebagian besar hal, film seperti melewatkan kesempatan untuk berhoror ria. Ketika ada orang yang dibunuh karena ditusuk-tusuk oleh pisau kecil, misalnya. Seharusnya rule soal luka yang segera menutup itu dimainkan, karena pasti pembunuhannya bakal lebih sadis – karakter harus membunuh melawan kekuatan pulau yang menyembuhkan luka. 

Semuanya hanya menyentuh permukaan. Kejiwaan karakter memang tidak dibahas mendalam. Konflik atau drama pada keluarga Guy saja hanya diperlihatkan seadanya. Lewat momen-momen yang ditanam, tapi karena semua hal lainnya gak dalem, jadi terlihat sangat obvious. Dan parahnya juga terlihat kikuk. Aktual dialog karakter di film ini di antaranya ada yang semacam “Eh aku mau ngomong”, “Apa?”, “Nanti deh. Gajadi.” Dialog-dialog di sini banyak yang aneh kayak gitu. Karakter-karakernya seperti mengumumkan, ketimbang seperti ngobrol beneran. “Wah, sekarang aku merasa lebih baik”, coba ucapkan kalimat tersebut dengan nada antara senang tapi kondisimu memprihatinkan. Ya, gak natural. Begitulah dialog-dialog film ini terasa (dan kalimat contoh tadi juga beneran ada di film!). Tambahkan gerak kamera dan blocking yang sama anehnya; Shyamalan sering sekali menggunakan kamera memutar, memperlihatkan karakter-karakter yang berdiri kebingungan, posisi mereka seperti mengelilingi kamera. Kalo enggak memutar begitu, Shyamalan akan menyuruh kamera ‘berjalan’, sementara karakternya kayak berbaris ke samping, dengan posisi orang yang berikutnya selalu berada beberapa senti di belakang orang sebelumnya. It is just weird. Gerakan, posisi, dialog, semuanya kayak dibuat-buat. Mungkin pak sutradara bingung bagaimana merekam adegan di pantai kecil, jadi supaya gambarnya gak keliatan gitu-gitu melulu maka ia menggunakan blocking dan kamera movement yang aneh-aneh. 

Old-Movie
Bayangkan kalo si Trent nanya nama dan pekerjaan ke SJW. Hmm, bisa viral kau, Nak!!

 

Itu belum apa-apa dibandingkan penulisan karakternya sendiri. Dibuat simpel sekali. Karakter mereka adalah pekerjaan mereka. Istri Guy bekerja di museum, jadi nanti karakternya akan bicara soal skala waktu. Guy bekerja sebagai orang survei keamanan, jadi dia akan bicara soal statistik atau persentase keselamatan, like, nyuruh anak-anaknya berhenti berlarian dengan menyebut angka kecelakaan sebanyak sekian persen. Nice, orangtua memang gitu kok kalo bicara ama anaknya.. orangtua di dunia paralel haha! Geliat craft dan kreasi Shyamalan, bagaimanapun juga, masih keliatan. Karena dia menggunakan berbagai pekerjaan karakter tersebut sebagai cara para karakter bekerja sama, berusaha figuring out apa yang terjadi di pantai, dan bagaimana mereka bisa keluar dari sana. Dalam kata lain, pekerjaan mereka memang vital untuk diketahui. Hanya saja, cara mengetahuinya itu yang begitu simpel sehingga jadi eksposisi yang konyol. Jadi diceritakan, anak bungsu Guy yang bernama Trent punya hobi nanyain nama dan pekerjaan setiap orang dewasa yang ia jumpai, “Halo, siapa nama dan apa pekerjaan Anda?” Aku gak tau apakah itu dimaksudkan sebagai cute, atau memang ada anak di luar sana yang perangainya kayak gitu, tapi untukku, ya itu sungguhlah sebuah trait anak yang tak-lumrah. 

Shyamalan seperti berusaha keras memastikan narasinya logis. Jadi dia benar-benar menanamkan jawaban, menyimpan hal-hal penting, fenomena pantai tersebut pengen dia beri makna. Twist film benar-benar menjawab rapi semua itu. Kita akan tahu kenapa mereka dipilih ke pantai. Apa sebenarnya fungsi pantai itu. Siapa dalang di baliknya. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang jadi concern terbesar film itu. Bukan lagi permasalahan karakter. Ada, tapi jadi nomor dua. Ketika film menemukan hal yang tak bisa mereka jawab, seperti kenapa rambut dan kuku tidak ikut tumbuh dengan cepat sedangkan seorang mayat bisa dengan cepat berubah menjadi tengkorak, atau bagaimana nanti jika ada bayi yang lahir di pantai, atau kenapa orang bisa pakai nama mobil sebagai nama-artis lol, maka film dengan cepat nge-gloss over. Hanya memperlihatkan dan tidak membahas lebih lanjut. Dengan sangat cepat, kayak takut penonton sadar dan mempertanyakan. Soal bayi itu aja, karena gak mau ribet, film membuat bayi itu mati gitu aja dengan alasan ‘kurang mendapat perhatian’. Udah kayak bayi tamagotchi!

See, concern film ini gak inline dengan concern kita, penonton mereka. Kita gak akan peduli sama pantai itu jika tidak diarahkan ke sana. Kita akan lebih peduli sama karakter-karakter. Sama apa yang terjadi kepada mereka. Sama perjuangan mereka untuk berusaha keluar, atau bertahan hidup di sana. Sama bagaimana mereka menyelesaikan masalah personal setelah belajar dari apa yang mereka alami selama di pantai. Akan lebih memuaskan untuk mengalami journey karakter, merasakan masalah mereka kemudian berefleksi, ketimbang mengetahui penjelasan apa sebenarnya yang terjadi di pantai itu. Dan kupikir juga toh lebih mudah menggali karakter yang manusiawi, ketimbang come up with story tentang pantai ternyata eksperimen tukang obat dan segala macem penjelasan-penjelasan yang dipaksakan.

 

 

 

Jadi ya, menurutku Shyamalan telah salah pilih sejak awal. Cerita film ini adalah cerita yang kuat pada permasalahan karakter. Yang harusnya diselami adalah persoalan anak yang semakin dewasa sementara orangtua semakin menua, ketakutan manusia akan kematian, soal hal yang tidak bisa kita kendalikan. Ini seharusnya adalah soal manusia melawan waktu. Tapi, Shyamalan dengan keahliannya meracik twist, membuat film ini sebagai kejadian yang harus dijelaskan kenapanya semata. Untuk melakukan itu, dia mengorbankan banyak hal. Dialog dan karakter yang natural, tone yang imbang, serta adegan horor yang harusnya bisa maksimal, di antaranya. Dan bahkan setelah semua yang sengaja dikorbankan tersebut, film tetap tidak bisa menjawab semua, karena masih banyak juga kita jumpai hal-hal yang tak terjelaskan, yang membuat kejadian-kejadian di film jadi terasa konyol.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for OLD.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Mengapa manusia takut sama menjadi tua?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

ALL MY FRIENDS ARE DEAD Review

“Life is 10% what happens to you and 90% how you react to it”
 

 
It’s all fun and games until someone loses an eye, begitu kata orang Romawi Kuno. Kalimat tersebut hadir di dalam konteks peraturan kompetisi fisik yang melarang peserta menyerang mata lawannya. Di dunia modern kita, kalimat tersebut turun menjadi pepatah; yang artinya kurang lebih mewanti-wanti bahwa kegembiraan yang terlalu berlebihan biasanya akan membawa celaka. Sutradara Jan Belcl dalam debut film panjangnya seperti meng-amplify ‘fun’ dalam kalimat tersebut, sehingga meskipun memang benar seperti yang disebutkan oleh judulnya (bakal banyak yang tewas), semuanya tetap terasa kocak!
Dengan cerita tentang pesta tahun baruan yang berubah rusuh bunuh-bunuhan, banyak yang menyebutfilm asal Polandia ini kayak fusion dari vulgar dan humor American Pie dengan gaya berdarah Quentin Tarantino. Dan setelah ditonton, yaa memang All My Friends are Dead ini punya gaya, dan sangat berenergi. Adegan-adegan matinya kreatif. Tempo ceritanya relatif cepat sehingga suasananya rusuh dan hingar bingarnya terasa. Tapi, hanya itu. Kesan pertama yang terlintas di kepalaku selesai menontonnya adalah ‘style-over-substance‘. Walaupun punya gaya dan selera komedi gelap tersebut, film ini tidak pernah terasa semenyenangkan American Pie. Apalagi se-engaging buah pikiran Tarantino. Never. No. Nehi!

Adegan tribute kepada The Shining pun tak berhasil meluluhkanku!

 
All My Friends are Dead dibuka dengan adegan penyelidikan di TKP. Kita melihat seorang detektif muda yang tampak cukup nervous sedang menunggu rekannya, di luar rumah. AKu gak akan nyebut nama mereka (atau lebih tepatnya; aku gak ingat nama mereka) karena percuma juga untuk dinamai. Dua karakter detekfif ini tidak berujung apa-apa ke dalam cerita utama. Jadi, kita hanya mengikuti mereka masuk ke rumah, melihat mereka cukup tertegun melihat gelimpangan mayat anak-anak muda (si detektif yang nervous tadi muntah). Dengan penyebab kematian yang tampak bermacam-macam (ada yang ditembak, ada yang gantung diri, ada yang kesetrum) Tak lama setelah itu kita dibawa meninggalkan mereka, loncat ke beberapa jam sebelumnya. Ke malam hari saat rumah tersebut masih teramat hidup karena ada pesta menyambut tahun baru. Dan bertemu dengan sejumlah karakter yang tak kalah annoying dan terasa tak-kalah pointless-nya.
Film meluangkan waktu untuk membentuk karakter kedua detektif; mengontraskan sikap dan mindset mereka, memberi mereka kebiasaan khusus dan segala macam, dengan menyadari penuh bahwa kedua karakter tersebut hanya sampingan. Tapi di kita yang nonton, kita malah merasa adegan opening penyelidikan TKP itu penting, kita menyangka si detektif itu penting. Padahal sama sekali tidak. Adegan opening itu dilakukan oleh film hanya untuk mengedepankan pertanyaan ‘kenapa’ dari dalam diri kita. Tepatnya, ‘kenapa orang-orang di rumah itu bisa mati?’ Nah, jawaban atas pertanyaan tersebut lah yang jadi narasi utama film ini. Ketika kita menyaksikan adegan pesta, antisipasi kita akan terbangun ke arah siapa kira-kira yang membunuh mereka. Peristiwa apa kira-kira yang menyebabkan rumah itu jadi TKP di pagi hari nanti.
Konteks dan bangunan cerita memang cukup beralasan. Sutradara telah menyiapkan pertanyaan. Menempatkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam desain yang menggerakkan alur cerita. Namun dia lupa pertanyaan penting. Seberapa penting para karakter yang terlibat bagi kita yang menonton mereka. Melupakan itu jelas merupakan kesalahan fatal, karena kita dapat merasakan sendiri gimana pointlessnya film ini terasa. Sutradara memberikan karakter-karakter dengan gimmick khas film anak muda yang taunya hanya berpesta pora. You know, cari cewek dan narkoba. Di antara mereka, film menyiapkan tiga pasangan utama. Pertama adalah pasangan yang cowoknya udah niat mau melamar tapi diam-diam si cewek ternyata menganggapnya terlalu ‘membosankan’. Ada juga pasangan gak serasi, si cewek suka astrologi dan ramal-meramal, sementara cowoknya suka ngerap dan just wanna have fun. Yang paling menarik buatku adalah pasangan yang ketiga, yang kayak actually ditarik dan dikembangkan dari American Pie. Kalo kalian gede dengan nonton film itu, pasti menggelinjang denger nama unlikely couple; Finch dan Stifler’s Mom hihihi.. Pasangan ketiga dalam All My Friends are Dead ini adalah pasangan seperti Finch dan Stifler’s Mom – cowok muda dengan perempuan yang kelewat tua bagi usianya, yang dimanusiakan. Yang diberikan cerita dan motif sehingga mereka gak sekadar comedic relief. Yang genuinely kerasa mereka ada kehidupan beneran di luar periode cerita film ini. Selebihnya, ya hanya karakter hura-hura. Seperti si cewek yang kecanduan ekstasi, si cowok alim yang halu melihat Tuhannya, si empunya rumah, atau juga si pengantar pizza yang kelamaan menunggu untuk dibayar. Sepanjang babak kedua kita dipindah-pindah, enggak jelas mau fokus di mana. Film ini asik sendiri membuat kita menebak-nebak di karakter siapa jawaban ‘kenapa’ tadi itu diniatkan.
For us it is not fun. Dengan kepala sudah diset untuk menunggu pertanyaan itu terjawab, banyaknya karakter yang lewat di depan mata kita jadi enggak penting semua. Mau mereka punya masalah hati yang pelik, atau masalah keluarga yang runyam, semuanya jadi seperti angin lalu. Toh, kita udah tahu duluan mereka akan mati. Heck, kita bahkan udah tahu mereka matinya nanti dalam posisi seperti apa. Ditambah pula dengan tingkah annoying dari mereka, dari keputusan-keputusan bego yang mereka buat. It is by design film enggak mau kita merasakan apa-apa kepada tokohnya. Untuk mengisi hati kita dengan perasaan, film mengandalkan pada komedi yang lebih banyak miss ketimbang hit. Dan ngandelin pada adegan ending yang didesain sebagai alternate universe (apakah karakter-karakter sebagai hantu atau tidak, diserahkan kepada imajinasi penonton). Berupa adegan pesta yang kontras sekali dengan pesta rusuh yang kita lihat. Pesta dengan semua karakter tenang, dan saling berdialog, bereaksi satu sama lain dengan positif.
Cukup sepucuk senjata api (dan alkohol) untuk membubarkan malam yang meriah

 

Keseluruhan rangkaian peristiwa di malam berdarah itu sesungguhnya diniatkan oleh film ini sebagai gambaran untuk kita. Gambaran bahwa reaksi kita terhadap sesuatu dapat berdampak fatal, karena kita gak pernah tahu dan bisa mengendalikan respon orang terhadap kita.

 
Jadi kita telah sampai pada bagian di mana aku akan membeberkan pendapatku tentang film ini sebenarnya tentang apa, jadi bakal ada spoiler-spoiler atau hal-hal yang mungkin tidak ingin kalian ketahui sebelum menonton filmnya.
Ok here goes…
Menurutku film ini bicara tentang aksi, reaksi, dan responsi. Kita nanti akan tahu bahwa penyebab kejadiaan naas di rumah itu ternyata bukanlah pembunuh berantai ataupun sebuah pembunuhan berencana. Melainkan terjadi sebagai result dari rangkaian-rangkaian peristiwa – melibatkan banyak karakter dan beberapa hati yang terluka oleh cinta. Peristiwa A memicu reaksi dari satu karakter, yang kemudian direspon oleh karakter lain sehingga terjadi peristiwa B. Begitu seterusnya. Banyak adegan film yang memperlihatkan soal rangkaian reaksi tersebut, terkadang diperlihatkan terus berkesinambungan, terkadang dilihatkan terputus, seperti catatan kematian yang terbuang begitu saja oleh detektif yang bereaksi menolong rekannya yang muntah.
Semua rangkaian kematian film ini bermula dari aksi satu karakter, yakni dari Anastasia si gadis penyuka ramalan dan bintang-bintang. Anastasia (diperankan oleh Julia Wieniawa yang cakep banget, mirip-mirip Cece di serial komedi New Girl) seharusnya adalah tokoh utama dalam cerita ini. Karena semuanya terjadi seputar pilihan dan kepercayaannya. Anastasia bicara tentang zodiak, posisi bintang, dan alternate universe. Her story adalah dia percaya bintang-bintang di langit sana menggariskan peristiwa dalam kehidupannya. Dan itu dijadikan alasannya baginya, you know, dijadikan dalih. Dia selingkuh karena percaya bintang-bintang telah menggariskan pertemuannya dengan si fotografer. Ketika peluru dari pistol yang ia pegang melayang menembus jidat Marek di pemilik rumah, peristiwa yang memantik kerusuhan lainnya terjadi nanti, Anastasia langsung masuk ke mode mempertanyakan aksinya. Kita melihatnya langsung ‘broken’. Dia harus confront kenyataan. Pembelajaran bagi Anastasia komplit setelah nanti di akhir, setelah semuanya tewas, dia baru bisa menyebut teman-temannya mati karena dirinya. Baru dia bisa menerima bahwa peristiwa tersebut bukan karena kosmik, melainkan karena aksinya yang mengakibatkan banyak reaksi dan terhubung dengan begitu banyak orang lain. Yang ironis dari ini adalah, adegan tersebut justru kita lihat di awal karena penceritaan film yang terpaksa harus dibikin aneh, sehingga emosi si Anastasia gak bisa benar-benar terdelivered.
 
 
 
To be honest, I’m not enjoying this film. Namun begitu, aku gak memungkiri bahwa dugaanku kalo film ini style-over-substance ternyata sedikit keliru. Karena film ini punya maksud, dan memilih desain penceritaan yang dianggap sutradaranya paling memfasilitasi maksud tersebut. Gaya bercerita flashback dengan opening ngelihat aftermath tragedi lebih dulu, misalnya, dilakukan untuk mencuatkan pertanyaan yang jadi tubuh dan konteks gagasan. Film ini bisa saja berjalan linear; dimulai dari pesta kemudian paginya polisi datang berusaha menyelidiki, tetapi jika penceritaannya begitu, maka kita akan semakin aimless dalam mengarungi durasi. Kesalahan film ini ternyata ‘hanya’ melakukan pengembangan yang pointless, seperti karakter detektif yang tidak perlu dibuat se-elaborate itu karena toh mereka bukan fokus cerita, ataupun soal komedi karakter yang jarang bikin tertawa. Fokus kepada membangun ‘kenapa’ membuat film jadi try too hard untuk membuat kita menengok ke karakternya, yang malah didesain annoying. Tapi kalo kalian gak peduli soal itu semua, atau somehow kalian bisa relate dengan masalah unik karakter-karakternya, kalian mungkin tetap bakal terhibur dan terenyuh di endingnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for ALL MY FRIENDS ARE DEAD.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Kenapa setiap kali kebanyakan ketawa, ujung-ujungnya kita bakal sedih? Apakah itu adalah cara semesta menyeimbangkan keadaan? Apa kalian percaya dengan astrologi?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

RELIC Review

“We remember their love when they can no longer remember”
 

 
 
Mengurusi sejak bayi, mulai dari menyuapi makan hingga memandikan, hanyalah sudah hakikatnya bagi kita untuk membalas perbuatan kasih sayang orangtua tersebut kelak ketika mereka sudah renta. Namun terkadang kita lupa. Kita terlalu sibuk. Atau malah, kita sekadar males untuk direpotkan. Seperti Homer Simpsons yang lebih memilih untuk ‘membuang’ ayahnya ke panti jompo. Padahal justru saat mereka tua itulah kesempatan yang berharga untuk bisa berada di dekat mereka. Karena saat kita masih bisa memilih untuk melupa, orangtua kita bisa jadi tidak punya pilihan. Selain membiarkan satu persatu kenangannya sirna, oleh demensia. Mereka hanya punya kita untuk mengingat mereka. Bisakah kita ada di sana saat mereka membutuhkannya?
Kay (Emily Mortimer jadi ibu yang distant dengan anggota keluarganya) sudah beberapa minggu ini enggak berkomunikasi dengan ibunya. Dia kaget begitu diberitahu oleh polisi bahwa Edna (ibunya, yang diperankan dengan luar biasa meyakinkan oleh Robyn Nevin) menghilang dari kediamannya. Kay lantas khawatir. Ia tahu ibunya tinggal seorang diri dan punya masalah sama ‘kepikunan’ karena penyakit yang diderita. Maka ia mengajak anaknya, Sam (untuk beberapa detik aku mengira yang di poster itu bukan Bella Heathcote tapi Lucy Hale) untuk pulang mencari Edna di rumah masa kecilnya. Ketika setelah beberapa hari Edna pulang sendiri, Kay baru sadar bahwa kondisi ibunya bertambah parah. Edna tidak ingat ke mana dia pergi belakangan ini. Edna sering melupakan hal-hal simpel yang ia lakukan kepada Kay dan Sam. Yang bikin semakin ngeri adalah Edna bertindak aneh seolah ada orang lain yang ada di rumah mereka yang penuh oleh tumpukan barang-barang (ah, katakanlah, relik) dan tempelan kertas berisi memo pengingat yang membacanya bikin bulu kuduk merinding.

Yang berhantu adalah rumah, tapi sejauh mata makna rumah tersebut terapply di sini?

 
 
Ini adalah kali kedua debut sutradara di film horor Australia yang berhasil membuatku terkesima. Pertama di tahun 2014 ada Jennifer Kent dengan The Babadook. Dan sekarang kita dapat Natalie Erika James dengan Relic yang bukan hanya seram tapi juga sarat oleh makna. Seperti layaknya horor-horor yang bagus, Natalie paham untuk membangun kengerian enggak butuh jump scare atau musik ngagetin atau hantu seram yang menyemburkan muntah-muntah sambil merangkak di dinding. Horor itu berasal dari dalam. Maka sudah sepantasnya kengerian itu dibangun berdasarkan karakterisasi dari para tokoh. Kay, Sam, dan tentu saja Edna jadi pusat dari cerita; naskah memberikan kesempatan kepada kita untuk menyelami para tokoh. Kita dibuat peduli kepada mereka, sehingga horor itu akan terasa semakin mengerikan. Kita bukan saja akan penasaran ke mana Edna pergi, ataupun bertanya-tanya ada apa sebenarnya di rumah mereka, namun juga kita mengkhawatirkan hubungan ketiga tokoh ini. Kita ingin mereka bersatu tapi kita juga paham ada sesuatu yang tidak bisa dihentikan atau dihindari di sini. Sesuatu itu adalah Kematian. Dan yang bikin Relic ini berbeda – dia punya level kengerian yang unik – adalah Kematian itu tidak sebatas menjadi ‘musuh’, melainkan juga jadi sesuatu yang harus diterima dan diembrace oleh tokoh-tokohnya.
Cerita Relic adalah metafora dari perilaku demensia yang menjangkiti pengidap Alzheimer. Seluruh kejadian dalam film ini adalah perumpaman dari dampak demensia tersebut kepada orang-orang, bukan saja pasien, tapi juga sekaligus keluarganya. Kita melihat wanita tua ini, Si Edna yang pada satu waktu tampak normal, dan di waktu yang lain dia ‘gak beres’. Salut buat permainan akting Robyn Nevin, efek demensia dan kengerian yang dibawanya berhasil tersampaikan dengan kuat kepada kita. Dia bertanya dengan ketakutan “ke mana semua orang?” menghasilkan efek yang berlapis-lapis karena selagi kita tahu penyakitnya sedang dalam mode: on, kita juga ngeri karena boleh jadi ia mempertanyakan sesuatu yang lebih literal. Akan ada waktu-waktu saat Edna seperti tak mengenal Kay dan Sam. Yang juga ‘dibalas’ oleh Kay dan Sam yang takut setengah mati kepada ibu dan nenek mereka ini, seolah beliau adalah orang lain. That’s exactly what dementia does to people. Membuat si malang menjadi semakin merasa sendirian karena they just forget about things. Teror yang dialami Edna dalam film ini semuanya dapat kita terjemahkan sebagai ciri-ciri demensia. Yang membuat kita jadi merasakan simpati kepadanya. Edna, seperti orang-orang lansia pada umumnya, tidak didengarkan, diabaikan, bahkan ditakuti oleh keluarganya. Jamur atau noda hitam di pintu rumah, serta kelupasan hitam pada tubuh Edna, kedua-duanya terus menjalar. Membesar seiring cerita berjalan. Melambangkan deterioration – kemerosotan personal seorang pengidap karena dementia hari demi hari akan membuat mereka menjadi bukan lagi diri mereka. Mereka enggak tahu lagi diri mereka siapa.
Dari sisi keluarga, pengalaman memiliki anggota yang demensia juga sama mengerikan dan emosionalnya. Dan lagi-lagi, film ini berhasil mengumpamakannya dengan sangat baik melalu pengalaman horor yang dirasakan oleh Kay dan Sam di rumah itu. Sam, misalnya, yang mencoba melakukan hal yang benar. Dengan ikhlas mengurus neneknya, bahkan sampai pengen pindah tinggal di sana – yang mendapat delikan keras tanda tidak setuju dari ibunya. Namun Sam justru yang pertama kali merasakan kengerian paripurna dari interaksinya dengan sang nenek. Sam yang duluan merasakan bahwa neneknya itu bukan lagi neneknya yang dulu. Menyaksikan orang yang kita cintai berubah seperti demikian – menjadi sesuatu yang tidak lagi dikenal – sungguhlah pengalaman menakutkan. Kita ingin menolong, tapi bagaimana cara menahan sesuatu yang tidak bisa dihentikan? Yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan lebih banyak perhatian dan cinta kepada mereka. Seperti yang akhirnya dengan berani dilakukan oleh Kay pada akhir cerita film ini. Relic menutup ceritanya dengan sekuen adegan yang begitu indah, namun dalam artian yang sekaligus mengerikan. Untuk tidak membicarakan terlalu banyak sehingga menjadi spoiler, aku hanya akan mengutarakan yang kurasakan dan terpikir olehku ketika menonton adegan luar biasa tersebut.

Bahwa semua itu adalah soal menatap kematian tepat pada matanya. Untuk tidak lagi berpaling dari kejelekan, kengerian yang dibawa oleh kematian. Karena cepat atau lambat kita akan mengalaminya. Dan perjalanan itu tidak harus dihadapi sendiri. Kita punya pilihan untuk menemani orang tersayang pergi dengan cinta. Membantu mereka melewati semuanya. Beri mereka kedamaian, pergi dengan perasaan cinta.

 

Yang mengerikan itu bukan kematian, tapi menghadapinya sendirian.

 
 
Ada masa ketika kita bingung untuk merasakan apa ketika nonton Relic. Kita tahu dia sakit, tapi kita mengkhawatirkan bagaimana jika Edna benar. Ada sesuatu di rumah itu. Bagaimana jika bayangan-bayangan yang bergerak di latar belakang adalah beneran hantu. Dan Kay juga Sam dalam bahaya karena tidak menyadari. Ini juga jadi salah satu kekuatan Relic sebagai film horor. Untuk waktu yang lama, kita dibiarkan menyusur jalan ceritanya sendirian. Tidak tahu pasti apa yang terjadi. Hal ini tentu saja dapat tertranslasi sebagai ‘cerita-yang-lambat’ oleh beberapa penonton, dan eventually menjadi turn-off. Buatku ini simply adalah bukti bahwa Relic berhasil menyimpan dan memainkan misterinya. Rumah itu beneran berhantu, demikian juga dengan tokoh-tokohnya. Mereka dihantui oleh penyesalan, oleh duka. Mereka dihantui oleh kejadian di masa lalu – permasalahan keluarga yang membuat Kay dan Edna renggang hadir dengan sangat subtil sebagai akar dari emosional backstory.
Dan menjadikan rumah itu beneran berhantu adalah resiko kreatif yang diambil oleh film ini. Hantu di rumah tersebut – yang membuat kita dapat babak ketiga yang superseru dan menarik saat cerita menjadi petualangan kabur dari kejadian surealis-tapi-nyata – dibiarkan menjadi entitas tak terjelaskan. Karena sebenarnya berfungsi sebagai kiasan bahwa demensia juga mempengaruhi orang-orang terdekat. Keluarga yang mungkin merasa terjebak alias harus terseret dalam masalah yang ditimbulkan oleh pengidap. Yang pada akhirnya berkembang menjadi pilihan, kabur atau tinggal. Jadi rumah itu memang perlu dibuat beneran berhantu – beneran punya lorong rahasia yang seperti hidup – supaya ceritanya bisa meluas menjadi dari dua perspektif.
 
 
 
Bertindak sangat kuat sebagai sebuah kiasan demensia dan menghadapi kematian, film ini adalah sebenarnya horor yang bicara tentang karakter yang berkeluarga, dengan masalah yang real – yang dapat terjadi pada kita di dunia nyata. Sehingga film ini jadi jauh lebih menyeramkan dibandingkan film-film yang menjual jumpscare dan hantu berbagai rupa. Film ini diberkahi oleh tiga penampilan akting memukau, yang berpuncak pada ending yang aku yakin akan jadi perbincangan untuk waktu yang cukup lama di kalangan penggemar horor-beneran.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RELIC.

 

 
 
That’s all we have for now.
Mengapa kita takut tua, kita takut mati, walaupun mati dan tua itu adalah suatu hal yang pasti terjadi?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA