CUTIES Review

“Just let the kids be kids”
 

 
Seruan untuk meng-cancel Netflix September ini santer terdengar sebagai reaksi dari perilisan film Perancis yang berjudul asli Mignonnes ini. Tahun 2020, tahun yang sendirinya sudah ‘bermasalah’ bagi perfilman – karena pandemi yang memaksa semua film cari alternatif bioskop – nyatanya justru penuh oleh film-film kontroversial. Kita punya The Hunt yang dipermasalahkan karena menyinggung golongan politik di negaranya, ada Red Shoes and the Seven Dwarfs yang disuruh turun karena isu body shaming yang diangkatnya, Jojo Rabbit yang menuai protes berkat penggambaran sosok Hitler serta becandaan seputar Nazi dan Yahudi, dan baru-baru ini giliran Mulan versi live-action dari Disney mendapat teguran keras dari berbagai arah; dicecar sebagai munafik yang gagal merepresentasi Cina dan malah mendukung pemerintah yang ‘salah’. Namun dari semua itu, Mignonnes yang diberi judul Cuties oleh Netflix really takes the cake sebagai film paling kontroversial tahun ini. Film tersebut dikutuk oleh banyak orang; Cuties disebut mengkritik dengan malah turut menjadi sesuatu yang ia kritik tersebut. Cuties yang ingin menyentil tentang dunia modern yang cenderung mengobjektifikasi dan mengseksualisasi anak-anak, justru menampilkan seksualisasi anak-anak tersebut!
Cuties adalah cerita tentang Amy, anak cewek sebelas tahun, dari keluarga muslim Senegal yang pindah tinggal di sebuah apartemen di Prancis. Identitas tersebut penting dan dihadirkan bukan hanya sebagai latar, tapi juga berperan dalam karakterisasi Amy. Hidup di lingkungan yang kuat aturan agama dan tradisi membuat Amy merasa janggal ketika ia berada di luar. Teman-temannya di sekolah tidak ada yang pake kerudung, atau bahkan hoodie yang menutup semua kulit di tubuhnya. Amy pengen sekali berteman dengan satu geng cewek yang jago nari. Mengintip mereka dari jauh dijadikan pelarian oleh Amy; pelarian dari tugas mempersiapkan pesta pernikahan ayahnya dengan istri kedua di rumah. Amy mulai meniru geng cewek tersebut, mengenakan baju-baju minim (Amy actually ‘meminjam’ baju adik cowoknya) dan diam-diam berlatih nari. Dari tontonan musik di internet, Amy belajar tarian ‘dewasa’, dan iniah yang membuka jalannya untuk dapat bergabung dengan geng tersebut.

Kalo di-Indonesia-in, judul film ini simply jadi ‘Cabe’.

 
Melihat dari segi ceritanya aja, aku harus bilang, Cuties ini adalah film yang bagus. Journey Amy yang ingin fit in dan tidak dianggap bocah – dia juga bisa dianggap sedikit memberontak –  diceritakan logis dengan sangat kuat. Ini adalah cerita pendewasaan yang sangat relate buat penonton, karena kita tentu antara pernah mengalami ingin dianggap dewasa atau sedang mengalaminya sekarang. Kritikku buat cerita ini hanya soal penggambaran Islam yang masih sebatas gambaran kontras dalam hidup Amy. Untuk membuat karakter Amy yang ingin bebas, cerita butuh untuk menempatkan Amy di antara dua hal; lingkungan yang bebas dan lingkungan yang mengekang. Identitas keluarga Islam yang dimiliki Amy, oleh film ini hanya difungsikan sebagai wujud dari ‘lingkungan yang mengekang’ itu. Tidak dieksplorasi dimensinya lebih jauh. Begitupun juga dengan keluarganya. Amy dibuat cenderung untuk mengantagoniskan keluarga. But maybe, that is the part of the problem. Bahwa anak sulit untuk membuka diri kepada keluarga, dan lebih suka menjauh, sehingga mereka rentan untuk terjerumus, apalagi karena mereka masih polos belum sepenuhnya bisa menimbang mana yang baik dan yang tidak.
Jika benar demikian, maka film ini menggambarkan dengan tepat sebab-dan-akibat masalah yang menimpa anak-anak, khususnya anak perempuan, di dunia modern. Amy dan geng Cuties, dan banyak anak perempuan, di luar sana yang tumbuh terlalu cepat. Figur orangtua bagi mereka diambil alih oleh media, karena di sanalah mereka bisa bebas mengekspresikan diri. Sosial mengkondisikan anak-anak ini harus mengejar tren, supaya tidak kolot seperti orangtua di rumah. Masalahnya adalah, sosial dan media yang jadi pengasuh mereka itu punya penyakit akut yakni gatal untuk mengobjektifikasi wanita. Amy dan anak-anak perempuan ini jadi kebawa-bawa. Melakukan sesuatu yang dilakukan oleh orang dewasa – sesuatu yang bahkan sebenarnya orang dewasa sendiri tidak pantas melakukan itu di ruang publik – tanpa benar-benar ada pemahaman kecuali ya karena mereka ingin dianggap serius dan bukan bocah aja. Tidak ada yang melindungi anak-anak ini. Dunia justru mengeksploitasi. Orangtua tidak tahu karena hubungan mereka renggang. Yang terjadi pada film ini berdering benar ke kehidupan nyata kita. Anak-anak menirukan tarian K-Pop, bermain TikTok dengan joged orang dewasa, tontonan di televisi yang pilihannya cuma cinta-cintaan atau bully-bullyan.
Film Cuties menyugestikan suatu solusi yang menurutku cukup mengerikan, yakni harus si anak itu sendirilah yang sadar dan mengeluarkan dirinya sendiri dari sana dan kembali kepada keluarga. And it is such an impossible task. Amy adalah karakter kuat yang pantasnya dijadikan teladan, tetapi dia ‘hanyalah’ karakter dalam film yang sudah diberikan situasi dan kondisi yang memungkinkannya untuk berubah. Sepertinya inilah kenapa sutradara Maimouna Doucoure memilih untuk menghadirkan film ini dengan begitu kontroversial. Karena ia menyasar kepada para orangtua dan orang dewasa. Seperti dia mau bilang “Begini loh kondisi anak-anak pre-teen kita, mereka dituntut untuk cepat dewasa, lihat tontonan mereka, lihat apa yang mereka tiru. Di mana kita?” Ibarat jika ada bunga yang salah mekar, maka yang harus dibenahi adalah lingkungan tempatnya tumbuh, bukan si bunga itu sendiri.

Ending film ini mengatakan biarkanlah anak-anak menjadi anak-anak. Kitalah yang membuat mereka tumbuh lebih cepat. Padahal biarkanlah mereka tumbuh sebagaimana mestinya. Pake baju biasa daripada dipaksa mengenakan tradisi dan adat. Bermain lompat tali alih-alih menari ala girlband atau artis hiphop di televisi. 

 
Pada beberapa momen, Doucoure memperlihatkan kepada kita bahwa sebenarnya ia mampu menggarap adegan dengan nada surealis. Ketika adegan ending yang seolah Amy terbang, atau adegan ketika Amy menatap gaun pesta yang harus ia kenakan tergantung di lemari, lalu sesuatu terjadi pada gaun tersebut; paralel dengan yang terjadi pada Amy. Dengan melihat itu, adegan-adegan pada film ini yang menyulut kontroversi – seperti tarian erotis anak-anak dengan ngezoom ke bagian-bagian aurat – tentu saja kita anggap Doucoure mampu untuk menampilkannya secara surealis juga. Bahkan besar kemungkinan tarian yang dibuat lebih surealis akan membuat film jadi lebih elegan. Namun Doucoure tetap menampilkannya dengan banal (kalo gak mau dibilang binal), karena ia ingin menekankan kepada perasaan gak nyaman kita dalam menontonnya. Dia ingin membuat kita merasa ingin menghentikan tayangan, karena gagasannya adalah memang supaya kita-kita ya harus menyetop itu semua di dunia nyata juga. Aku bisa melihat bahwa bagi Doucoure menampilkan lebih less daripada yang ia tampilkan di film ini akan mengurangi intensitas dari poin yang ingin ia sampaikan.

Di usia 11 aku masih nonton film kartun anak-anak, sementara Amy and the genk udah bahas bikin anak

 
 
Tapi juga tentu saja kita semua bisa mengerti kenapa bisa ada yang menyebut film ini ‘tontonan gratis bagi pedophilia’. Ada beberapa adegan yang menurutku juga sebenarnya tidak perlu ada dan bisa dibuang atau setidaknya ditampilkan dengan lebih tersirat atau elegan dengan tanpa mengurangi poin utama yang ingin disampaikan. Adegan seperti tokoh anak cewek yang meniup kondom bekas dan kemudian mereka ramai-ramai menggosok lidah si tokoh supaya bersih misalnya, hanya dimainkan sebagai komedi dan tidak benar-benar berkepentingan karena untuk memperlihatkan geng Cuties itu ‘belajar otodidak’ hal dewasa pun sudah ada adegan yang mewakilkannya. Jadi adegan ini sebenarnya tidak perlu lagi. Adegan mereka menari di tangga juga gak perlu untuk direkam seclose up dan selama itu, karena toh kepentingan adegan tersebut sebenarnya untuk memperlihatkan Amy sudah populer sejak dia bertingkah dewasa bersama geng Cuties. Film bisa saja menyampaikan poin ini hanya dengan menampilkan adegan buka sosmed dan melihat akunnya banyak menuai komen atau likes.
So yea, buatku film ini pantas mendapatkan kontroversi seheboh yang ia terima sekarang ini. Karena dengan beberapa adegan yang ditampilkan dengan arahan untuk berjalan di batasan antara kontroversi dan tidak itu, film ini memang jatohnya ada di ranah film-film disturbing. Melihat anak-anak itu menari, disyut dengan treatment sedemikian rupa menonjolkan seksualitas, sama berat dan mengganggu dan gak nyamannya dengan saat melihat adegan motong kura-kura sungai hidup-hidup dalam film Cannibal Holocaust (1980) Dan bagaimana dengan aktor-aktor cilik itu sendiri, aku gak bisa ngebayangin gimana ngedirect mereka untuk beradegan seperti itu.
 
 
 
Ada berbagai cara untuk menyampaikan komentar atau kritik. Yang paling ampuh biasanya adalah dengan komedi. Kita sudah pernah melihat pesan yang mirip disampaikan dengan aman oleh Bad Grandpa (2013) dan Little Miss Sunshine (2006) ketika menyinggung soal beauty pageant untuk bocah-bocah. Atau, kita juga bisa menyampaikan kritik dengan cara yang lebih elegen, dengan tidak terlalu literal. Film debut sutradara Doucoure yang ia sebut berdasarkan pengalaman dan pengakuan asli banyak anak-anak ini memilih untuk bersuara dengan kontroversi. Efeknya boleh jadi langsung terasa dan tepat sasaran. Like, banyak yang protes berarti misi filmnya tercapai (sebaliknya, jika ada yang merasa biasa aja maka itu berarti si penonton ini antara tidak peka atau tidak mengerti cara nonton yang benar), tapi tentu buatku itu semua kembali ke film itu sendiri. Ada banyak perbaikan yang mestinya bisa dilakukan oleh film dalam menampilkan gagasannya. Mempercayakan kepada kontroversi alih-alih kesadaran penonton yang menjadi terbuka saat menonton film yang benar-benar hormat kepada subjeknya, bagiku ya terlalu sensasional dan bukan about si film itu sendiri. Menunjukkan pembuatnya belum sepenuhnya matang dan belum mengeksplorasi dengan maksimal.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for CUTIES.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang kontroversi film ini? Apakah menurut kalian tayangan seperti music video atau sinetron atau film yang trendi di masa sekarang aman untuk konsumsi anak-anak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE PLATFORM Review

“In a consumer society there are inevitably two kinds of slaves: the prisoners of addiction and the prisoners of envy”
 

 
 
Hidup kadang di atas, kadang di bawah. Namun sutradara asal Spanyol, Galder Gaztelu-Urrutia tidak sedang membicarakan roda. Alih-alih, dalam sci-fi horor The Platform ia membangun struktur semacam menara; dua ratus ruangan yang disusun bertingkat, berjejer vertikal, diberi nomor satu dari yang paling atas hingga berurut sampai ke paling bawah. Dalam setiap lantai/ruangan, ‘dipenjarakan’ dua orang. Setiap bulan, masing-masing lantai dirotasi penghuninya. Kadang mereka di lantai atas, kadang mereka di lantai ratusan ke bawah. 
Struktur tersebut difungsikan oleh Galder sebagai alegori dari sistem kapitalis, konsumerisme yang diam-diam telah memerangkap masyarakat. Dan Galder memanglah sukses berat dalam menggambarkan itu semua. Bagaimana tidak? Dalam penjara buatan Galder ini setiap harinya diturunkan platform berisi berbagai jenis makanan yang lezat-lezat. ‘Tawanan’ di lantai atas kebagian duluan mencicipi, sebelum akhirnya (tepatnya setelah dua menit) platform makanan ini turun, mengantarkan apapun yang masih tersisa kepada penghuni lantai di bawah, dan begitu seterusnya sehingga semua dua-ratus-lebih lantai kebagian. Atau tidak. Sampai di sini mungkin sebagian dari kalian sudah bisa menebak bagaimana tepatnya dunia film ini adalah cermin dari perilaku masyarakat sekarang, sebab sekiranya kalian bisa mengira seperti apa ‘rupa’ makanan lezat berlimpah itu setelah melewati lantai demi lantai penuh oleh sepasang orang kelaparan. But for the sake of this movie, mari kita tengok dari tokoh utama cerita ini.

Pertimbangkanlah gambar ini sebagai peringatan spoiler yang bakal datang

 
Goreng (Ivan Massague bukan meranin makanan loh ya, melainkan seorang pria yang bakal ancur lebur dihantui oleh realita sosial) terbangun dan mendapati dirinya berada di lantai 48. Rekan satu-lantainya bilang ini posisi yang cukup lumayan. Goreng tentu saja belum tau kenapa sebabnya, karena pria ini baru saja mengajukan diri ikut masuk ke ‘penjara’ yang di dunia cerita sebenarnya adalah fasilitas rehabilitasi, dikenal sebagai Vertical Self-Management Center. Goreng masuk sebab ingin mendisiplinkan dirinya dari rokok. Setiap peserta boleh membawa satu barang untuk dikarantina bersamanya. Goreng memilih buku. Teman selantai Goreng memilih pisau, dan lantas menertawakan Goreng; apa gunanya buku di sini? Dan kemudian turunlah platform makanan itu. Penuh berisi makanan sisa. Yang udah gak karu-karuan bentuknya karena sudah digarap oleh penghuni 47 lantai di atas. Goreng tentu saja tak selera, meski teman selantainya makan dengan lahap. Goreng yang awalnya naif belajar banyak dari temannya, serta dari kenyataan mengerikan tatkala mereka mendapat giliran tinggal di lantai level ratusan. Tempat mimpi buruk menjadi kenyataan, survival buas karena tidak ada makanan yang sampai ke sana. Goreng akhirnya paham kegunaan benda seperti pisau di lantai-lantai bawah saat pisau itu mengoyak lepas daging paha kakinya.
The Platform nyata-nyata bukanlah makanan buat semua orang. Gambaran kekerasan dan tindak amoral para tokoh ditampilkan dengan vulgar. Kasar. Jijik. Ya, jijik adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan kejadian-kejadian dalam film ini. Kita akan dikasih lihat betapa menjijikannya sikap manusia yang mementingkan diri sendiri. Tapi juga akan membuat kita jijik kepada diri sendiri, lantaran kita mengerti mereka. Kita paham kenapa mereka melakukan itu. Pemakluman penghuni lantai bawah yang gak kebagian makanan menjadi kanibal karena keadaan memaksa mereka, orang-orang di atas makan duluan, dan ketika digilir kita merasa wajar orang-orang yang di bawah akan melakukan hal yang sama saat mereka sudah di atas. Siklus mengerikan ini tidak bisa dihentikan. Dan ironi dari ini semua adalah; bahwa sebenarnya makanan di atas platform itu cukup untuk mereka semua, dari lantai satu hingga lantai dua-ratus, tiga-ratus, berapapun.
Maka Goreng mencoba menyadarkan semua orang, dia berusaha membuat mereka sadar bahwa tidak perlu mengambil makan banyak-banyak. Semua sudah diberikan jatah makanan yang cukup untuk melewati hari sehingga tidak akan ada yang kelaparan. Namun dendam diperlakukan hina, ketakutan akan kelaparan esok hari, dan fakta beberapa orang pada dasarnya memang rasis (film juga menampilkan agama, ras, dan golongan sebagai bagian dari penokohan) membuat usahanya sia-sia. Goreng didengar oleh orang-orang di bawahnya ketika dia mendorong mereka dengan ancaman. Tapi apa gunanya jika tidak semuanya sadar dan bersikap seperti tirani malah akan menimbulkan kebencian yang secara jangka panjang tidak bakal mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Itulah konundrum yang paralel dengan keadaan masyarakat kita sekarang. Gak usah jauh-jauh, lihat sekarang – di masa-masa seluruh dunia dalam pandemi virus corona – banyak orang membeli barang di luar yang benar-benar ia butuhkan. Di negara luar orang rebutan tisu toilet. Di negara kita, orang berebut masker. Hand sanitizer. Bahkan alat-alat kesehatan. Orang-orang berduit, tentu saja. Memborong semua sehingga banyak orang, terutama yang less-fortunate enggak kebagian. Sama seperti di film ini, orang-orang tetap memakan makanan yang sebenarnya bukan jatah mereka sehingga makanan tersebut tidak mencukupi. Mentang-mentang punya kesempatan duluan. Orang-orang seperti susah membedakan yang mereka butuhkan dengan yang tidak. Semuanya pada tamak. Yeah, mereka bisa beralasan survival instinct. Film ini menunjukkan bukan salah mereka sedang di atas, melainkan karena mereka pernah di bawah. Di sinilah letak kebobrokan sistem tersebut, sistem masyarakat kita yang over-konsumtif. Yang berkecukupan tidak merasa punya keharusan untuk berbagi. Setiap tokoh dalam film ini terpenjara oleh candu dan iri atas makanan karena sistem membuat mereka jadi melihat pada posisi atas atau bawah.

Masalah kesejahteraan ekonomi sebenarnya sangat terkait dengan masalah moral. Bukan eksak soal punya banyak duit atau tidak. Bahkan film ini menunjukkan, dalam keadaan yang sama-sama berkekurangan pun akan ada gap; yang berasal dari perbedaan kesempatan. Inti masalahnya adalah terletak pada kebutaan kita membedakan mana yang kita berhak miliki dengan mana yang kita pikir berhak untuk kita miliki. 

 

Goreng harus bertrimakasi kepada temannya; Trimagasi

 
Tidak ada jawaban yang saklek benar untuk mengatasi persoalan ini. Sepertinya memang harus dengan kesadaran sendiri. Tidak bisa dipaksa. Jikapun berubah, maka itu tidak dalam waktu dekat. Prosesnya bakal lama. Makanya Goreng gagal semua, meskipun sebenarnya banyak juga yang berjuang untuk menjadi lebih baik di dalam sana. Makanya pula, film tidak membahas penyelesaian hingga ke akarnya. Melainkan memberikan jawaban lewat metafora. Dan ini bakal jadi turn off buat sebagian penonton yang mengharap solusi alias jawaban. Akhir film dapat jadi membingungkan ataupun tidak menyelesaikan apa-apa. Buatku; ya ada beberapa elemen yang gak diberikan alasan yang jelas kenapa bisa ada, alias ada elemen yang kayak maksa. Namun soal endingnya, aku mengerti kenapa film memilih untuk menutup seperti demikian.
True resolution yang dipercaya oleh Goreng adalah mengirimkan kembali seorang kecil yang ia temukan di lantai paling bawah ke lantai paling atas; ke tempat manajemen gedung. Hanya si anak saja, tanpa dirinya. Goreng memilih untuk tetap tinggal di lantai dasar. Makna dari semua ini adalah film ingin menunjukkan kepada kita bahwa harapan itu masih ada. Yakni berupa generasi muda, yang sama sekali belum tersentuh dan dikotori oleh sistem. Goreng tidak bisa ikut karena untuk sampai ke sana saja ia sudah literally kotor dan menjadi bagian dari sistem. Anak itu merupakan simbol dari buah perjuangan kemanusiaan, sebuah clean-slate. Memang mengirim anak itu ke atas belum tentu bakal langsung menghentikan semua amoral dan membuat orang seketika menjadi lebih baik. Namun mengirimkannya adalah pesan mutlak bahwa ada kesalahan di sistem (bisa ada anak yang masuk, meskipun peraturan menyatakan tidak boleh), dan fakta bahwa anak itu masih hidup dan sehat adalah bukti nyata kemanusiaan masih punya harapan.
 
 
 
 
Ini bukan thriller ruang tertutup yang biasa. Cerita sarat metafora dari realita dunia konsumtif kita. So naturally, this will be very hard to watch. Apalagi film memang tidak ragu-ragu untuk menjadi semenjijikkan mungkin. Blood, vomit, feses, moral bobrok, salah satu dari empat itu akan membuat kita mual duluan. Ditonton dalam waktu-waktu wabah virus sekarang, film ini sangat relevan. Film tidak tersaji subtil, dan beberapa elemen seperti diadakan begitu tanpa ada penjelasan, membuat sebagian penonton enggak puas. Namun yang patut kita apresiasi adalah film berusaha mencari penyelesaian dengan nada yang positif, dengan memperlihatkan manusia masih bisa bertaruh pada harapan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE PLATFORM.

 
 
 
That’s all we have for now.
Hanya butuh satu orang, satu orang mulai makan melebihi yang ia butuhkan – memakan jatah orang lain – dan keseimbangan itu akan runtuh. Menurut kalian apa yang kira-kira menyebabkan tawanan di lantai atas memakan lebih banyak dari yang ia butuhkan?
Ini adalah struktur  vertikal, menurut kalian apakah akan ada bedanya jika struktur penjaranya berupa kamar-kamar yang disusun horizontal? apakah beda posisi/kelas itu akan terasa?
Apa kalian punya interpretasi sendiri terhadap ending film ini?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MIDSOMMAR Review

“Empathy is the most essential quality of civilization”

 

 

Ini baru film horor panjang kedua Ari Aster, tapi Midsommar udah sukses menjadi film-yang-paling-banyak-dirikues-reviewnya sepanjang blog ini berdiri. Jangankan sebelum tayang di bioskop Indonesia, sewaktu naskahnya bocor di internet saja aku sudah ‘dirongrong’ untuk membaca dan memberikan penilaian. Well, of course aku sebenarnya juga menggelinjang nungguin film yang sempat hampir batal tayang di bioskop sini ini. Hereditary adalah film terbaik terfavoritku tahun 2018. Dalam film tersebut Aster menunjukkan kekuatannya menghimpun horor dari drama manusiawi. Mengetahui itu semua, aku tahu bisa mengharapkan apa kepada Midsommar, dan aku menantinya dengan sabar. Aku ingin sekali karya Ari Aster ini jadi film terbaik lagi.

Setelah aku selesai menonton Midsommar, aku merasa sangat resah. Oleh adegan-adegan. Oleh karakter. Oleh penceritaan. Oleh ceritanya. Drama kejiwaan manusia mengakar dengan kuat. Film benar-benar meluangkan waktu untuk itu. Judulnya mengacu kepada festival musim panas yang dikunjungi oleh tokoh film, akan tetapi cerita belum akan membawa kita ke sana; tidak hingga sampai babak kedua. Untuk seluruh babak pertama kita benar-benar dipahamkan dulu kepada situasi Dani si tokoh utama. Hubungan asmara cewek ini lagi di ujung tanduk. Karena Dani orangnya panikan, secara emosional dia butuh didukung setiap saat. Dan sikap Dani terkait hal tersebut mulai terasa mengganggu bagi cowoknya yang merasa keseret-seret dalam drama wanita. Jika bukan karena hal yang ditakutkan Dani menjadi kenyataan, pastilah mereka berdua sudah putus. Namun duka Dani membuat mereka tetap melanjutkan hubungan. Di sinilah film menggambarkan toxicnya hubungan Dani dan Christian. Akan lebih baik mereka putus saja. Tapi Dani butuh sandaran emosional, dan Christian enggak sampai hati mutusin cewek yang sedang berkabung (emangnya siapa yang tega?). Arti ‘Enggak sampai hati’ di sini menjadi mendua karena memang begitulah sikap Christian kepada Dani seterusnya; tidak sepenuh hati dia jadi sandaran. Christian dan teman-temannya enggak setulus hati menenangkan mental Dani. Mereka enggak sepenuhnya senang tatkala Dani memutuskan untuk ikut ke festival musim panas di alam pedesaan Swedia

I used to did that too

 

Midsommar menggunakan visual untuk menggambarkan sekaligus mengontraskan gejolak di dalam karakter Dani. Tampilan film ini sangat benderang dan meriah ketika sudah sampai di desa komunitas tempat kejadian perkara nantinya. Akan sulit menerkanya sebagai film horor hanya dengan melihat warna dan segala keindahan yang terpampang. If anything, kejadiannya seperti berada di dalam dunia mimpi berkat cahaya dan warna yang natural tapi tak terasa begitu-natural. Namun semua itu akan cepat berubah menjadi mimpi buruk karena justru pada saat di festival itulah kejadian-kejadian berdarah yang bisa bikin mual film ini terjadi. Ada sesuatu yang aneh pada tempat yang penuh suka ria dengan banyak obat-obatan untuk rekreasi tersebut. Sampai ke titik yang membuat tradisi dan upacara mereka tidak bisa lagi dianggap seenteng perbedaan budaya semata. Jika kalian menonton film ini untuk melihat kepiawaian teknik dan efek gore – yang jadi nilai jual lebih film – maka kalian akan kesal menontonnya di bioskop Indonesia yang banyak penyensoran.

Untungnya, bukan sebatas kesadisan dan kevulgaran yang dilakukan dengan hebat oleh film ini. Melainkan inti dan hati ceritanya. Tentang toxic relationship dan pentingnya untuk merasakan empati dalam menjalin hubungan tadilah yang dijadikan kemudi utama penggerak cerita. Naskah film ini tidak berkembang demi menjawab pertanyaan seputar membasmi ritual atau mengungkap misteri pemujaan dan sekte di balik festival. Bagian itu justru elemen terlemah pada film karena tidak memuat hal yang benar-benar baru. Banyak kejadian berkaitan dengan ritual atau sekte yang mengingatkan kita pada film lain. Horor klasik asal Inggris The Wicker Man (1973) akan menjadi hal pertama yang terlintas ketika menyaksikan film ini. Midsommar secara fokus membahas soal membuka diri terhadap hubungan baru yang lebih sehat yang disimbolkan dengan sangat ekstrim. Pertanyaan yang dijadikan plot poin naskah adalah apakah Dani bakal mempertahankan hubungan dengan Christian, dan ultimately apakah Dani akan menganggap pacarnya tersebut sebagai keluarga. Lihat saja cara gendeng film ini menyimbolkan tindak membakar barang-barang dari mantan.

Sebagai manusia, kita paling enggak mau merasa sendirian. Apalagi jika dalam kesedihan. Kita butuh orang untuk diajak berbagi. Ini di satu sisi menyebakan menjalin hubungan itu cukup tricky. Kita enggak bisa begitu saja membagi semua hal kepada orang lain tanpa membuat mereka merasa dituntut dan diseret ke dalam hal negatif. Kuncinya adalah pada pemahaman dan empati.

 

Tokoh Dani ditulis dengan sangat melingker sehingga kita paham apa yang ia inginkan dan apa yang ia butuhkan. Keluarga. Pihak untuk mendengarkan dan berbagi perasaan dengannya. Sepanjang film dia harus menyadari dan melihat mana yang pantas untuk ia anggap sebagai keluarga. Naskah menuliskan ini semua dengan jelas lewat dialog dan bukti-bukti visual. Christian yang memeluknya dalam diam di bagian awal dikontraskan dengan penduduk komunitas yang mengikuti irama tangisan Dani di menjelang akhir film. Tadinya tidak ada teman yang ikut berduka dengan dirinya. Dani sendirian, terpisah secara emosi dari kelompoknya. Salah satu hal paling mengganggu yang diangkat oleh film ini adalah betapa orang-orang desa yang udah kayak orang gila itu justru lebih punya empati ketimbang geng Christian yang terpelajar. Para penduduk desa ikutan mengerang kesakitan ketika ada tetua mereka yang sakaratul maut ketika ‘gagal’ bunuh diri dalam sebuah upacara adat.  Para wanita di komunitas ikut menangis bersama Dina. Merekalah yang sebenarnya dicari oleh Dani. Bagi Dina, bukan masalah lagi perkara mereka-mereka itu sinting atau bukan. Yang jelas sekarang dia sudah bisa berbagi bukan hanya kesedihan dan duka, melainkan juga kebahagiaan dan suka cita. Ia tak lagi merasa terkucilkan.

Dunia Terbalik

 

Film mencapai puncaknya ketika mengeksplorasi hubungan antara Dani dan Christian. Penampilan Florence Pugh sebagai Dani menjadi salah satu kunci utama keberhasilan ini. Tadinya aku sudah cukup respek sama aktor ini, karena dia kelihatan sangat total bermain sebagai pegulat di Fighting with My Family (2019). Namun di Midsommar, dia bermain jauh lebih total lagi. Secara emosional, tentu saja. Ari Aster berhasil lagi menarik yang terbaik dari pemainnya, seperti yang ia lakukan sebelumnya pada Toni Collette di Hereditary. Kedua penampilan ini pantas untuk diganjar Oscar, meskipun memang sepertinya peran horor sulit untuk diloloskan.

Ketika kita melongok ke luar dari masalah Dani, begitu kita ingin merasakan dunia cerita secara utuh, film mulai terasa melemah. Karakter-karakter yang lain terasa sempit dimensinya. Jika pun ada ruang, seperti karakter salah satu teman Dani yang bernama Pelle, maka itu digunakan sebagai twist alias ada sesuatu yang ditutupi. Cerita fish-out-of-water sekelompok remaja hidup dalam lingkungan dengan peraturan yang menurut mereka ajaib tak pernah tampak benar-benar menantang karena ada beberapa kali kita harus menahan ketidakpercayaan lantaran mereka seperti tak pernah curiga melihat gelagat yang enggak-enggak. Seperti, film bisa saja berakhir jika semua pendatang di komunitas itu sepakat untuk pergi. Tapi tidak, film membuat mereka ‘terpisah’ dan tidak bergerak seperti manusia sungguhan. Melainkan sebuah bidak pada naskah.

Soal tragedi pada keluarga Dani di awal hadir dengan terlalu kompleks untuk tujuan melandaskan betapa sendirinya Dani bersama pikiran dan perasaannya. Film seolah mengisyaratkan peristiwa tragedi itu bakal balik dan berhubungan ke akhir cerita, tapi ternyata tidak. Mungkin ada petunjuk visual yang kulewatkan, entahlah, tapi aku merasa peristiwa tersebut seperti ditinggalkan begitu tujuannya sudah tercapai. Yang membuat penggambaran kejadiannya jadi terasa eksesif. Meski memang sekalian digunakan untuk melandaskan genre – sejauh mana film menampilkan adegan kematian – tapi aku tetap merasa mestinya ada cara yang lebih bisa klop merangkai kejadian sehingga tidak terkesan terlalu eksploitatif (terhadap genrenya sendiri).

 

 

 

Jadi itulah sebabnya aku merasa resah setelah menonton ini. Dari teknis kamera, editing, penampilan, visual, efek – ini benar-benar film juara. Gagasannya pun bikin merinding. Tidak peduli seperti apa keluargamu, yang penting kita bisa merasa menjadi bagian – dilihat, didengar, dimengerti – mereka. Namun juga aku merasa film ini tidak se-wah Hereditary. Ada elemen pada cerita dan penceritaannya yang terlalu dibuat untuk memenuhi standar pada genrenya. Sehingga jadi gimmicky. Selain itu, beberapa bagian mestinya bisa dipercepat temponya, karena ada yang tidak terlalu signifikan untuk menambah bobot cerita seperti adegan mereka getting high together. Catatan penting untuk yang mau nonton adalah ini film yang berpotensi besar untuk mengganggu dan bikin gak nyaman, meskipun memang lebih berhumor ketimbang Hereditary.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MIDSOMMAR.