JUNE & KOPI Review

“We don’t choose our pets, they choose us”
 
 

 
 
Hewan peliharaan bukanlah mainan. Mereka punya perasaan, punya kebutuhan. Mereka bisa merasakan kasih sayang, dan bahkan mampu memberikan rasa cinta tersebut balik ke pemiliknya. Hewan peliharaan memang bisa punya kedekatan emosional dengan manusia yang mengasuh mereka. Maka tak salah juga banyak orang yang menganggap kucing atau anjing atau bahkan ular piaraan sebagai bagian dari anggota keluarga. Aku sendiri melihara dua ekor kucing sejak mereka bayi, dan memang seringkali ngurusin mereka itu kok seakan seperti ngurusin anak beneran, karena kedua kucing itu bisa ngambek juga kalo cuma dikasih makan tanpa diajak bermain atau diperhatikan. Begitulah, memelihara hewan dapat memberikan rasa fulfillment tersendiri. Namun lucunya, ketika kita merasa kitalah yang memilih hewan-hewan tersebut untuk diberikan kasih sayang, boleh jadi keadaan sebenarnya tidak persis seperti begitu. Seperti yang ditunjukkan oleh film panjang kedua dari Noviandra Santosa ini. Bahwa justru sesungguhnya hewan tersebutlah yang telah memilih kita untuk menjadi keluarga mereka!
June & Kopi really put us into that perspective. Karena tokoh utama film ini ternyata memang bukan karakter manusianya. Melainkan seekor anjing putih yang hidup di jalanan. Ia bertemu dengan perempuan bernama Aya (Acha Septriasa siap untuk berikan percikan emosional buat film ini) saat sedang diuber oleh anak-anak. Kebaikan hati Aya yang memberikan perlindungan dan makanan, dan bahkan nama – Aya memanggilnya June – membuat si anjing putih jadi ‘memilihnya’ sebagai keluarga. June ngikutin Aya pulang dan akhirnya dijadikan peliharaan. Tapi ternyata suami Aya tidak begitu suka dengan June karena mereka sudah punya peliharaan, seekor anjing hitam bernama Kopi. Maka June berusaha untuk benar-benar diterima di keluarga tersebut. Dia berusaha membahagiakan Aya, berusaha untuk bonding dengan Ale sang suami. Dan ketika pasangan tersebut dikaruniai anak, June berusaha sekuat tenaga untuk mengenyahkan traumanya terhadap anak-anak supaya bisa menjadi teman terbaik bagi anak Aya.

Anjing yang alergi anak manusia

 
Kamera pun akan sering untuk benar-benar literally meletakkan kita ke dalam sudut pandang June. Dalam adegan opening misalnya, kamera diletakkan seolah diikat pada kepala June sehingga kita melihat langsung apa yang dilihat oleh karakter ini sepanjang dia berkeliling gang, melihat aktivitas warga. Treatment dalam opening ini efektif sekali dalam membangun pemahaman kita, dan terutama untuk mengeset tone film secara keseluruhan. June & Kopi adalah drama tentang hubungan anjing dengan manusia yang ringan dan menghibur, dengan sudut pandang yang unik. Menempatkan June di kursi depan, dan konsisten membangun karakter ini.
Aku pernah berusaha memposisikan kucingku di depan laptop untuk konten di Youtube, sehingga aku punya sedikit gambaran soal betapa sulitnya ngarahin hewan untuk melakukan apa yang kita mau di depan kamera. In fact, mungkin itu juga sebabnya kenapa terakhir kali ada film Indonesia tentang anjing dan manusia itu adalah di tahun 1974 (Boni & Nancy garapan John Tjasmadi). Perlu great effort dan ngambil resiko, sehingga gak banyak produser sini yang berani. I mean, film barat aja sekarang lebih memilih pakai CGI kok dibanding pake aktor hewan beneran. Tapi Noviandra Santosa dalam June & Kopi membuat itu semua tampak mudah. Si anjing June tampak begitu luwes dan natural di depan kamera. Aktor berkaki empat yang ia arahkan juga memang sepertinya sudah pinter dan terlatih. Kita melihat June bisa berhitung lewat gonggongan, atau Kopi yang mampu membuka dan menutup pintu dengan kaki depannya. Sang sutradara memastikan kepandaian para aktornya bisa masuk ke dalam cerita, tertangkap oleh kamera dengan adorable, dan dia melakukan ini dengan mengerahkan segala yang bisa. Termasuk editing dan timing yang cukup precise.
Kepandaian anjing itu juga dimasukkan ke dalam bobot drama. This is my most favorite part of this movie. Jadi, Kopi dan suami Aya sudah demikian akrab sehingga mereka punya ritual salaman tersendiri. Salaman yang khusus untuk mereka berdua. Film ini memperlihatkan itu sebagai bagian dari motivasi/goal untuk June. Anjing putih itu ingin juga salaman dengan suami Aya. Sepanjang film momen itu dibangun; ketika Aya sekeluarga mau pergi, misalnya, kita melihat June mengangat kaki depannya sepintas ke arah suami Aya tapi gak dinotice. Momen kayak gitu memperkuat hati film ini. Membuat kita peduli kepada June. Membangun perhatian dan emosi kita ke arah sana, kita semua jadi ingin melihat momen berbahagia ketika June salaman dan akhirnya beneran diterima oleh sang kepala keluarga. Film ini memainkan momen-momen itu dengan sangat baik. Aku gak akan ngespoil ujungnya gimana, but just fyi momen tersebut dibungkus dengan adegan yang menarik-narik perasaan haru kita.

Hewan punya feelings dan mampu merasakan emosi seperti cinta, ataupun sedih, seperti yang ditunjukkan oleh film ini, bukanlah fiksi. Hewan adalah makhluk hidup. Maka kita tidak dibenarkan untuk memelihara hewan hanya untuk bersenang-senang, atau dipamerkan di sosial media. Kita dituntut untuk punya tanggung jawab dalam memelihara mereka. Menurutku film ini hadir tepat waktu sekali, saat belakangan viral orang-orang yang membeli hewan-hewan eksotik seperti monyet hanya untuk konten video. Atau lebih parah lagi, berita soal kucing yang dikuliti atau untuk dijadikan makanan. Film ini bisa sebagai pengingat buat kita. Bahwa hewan, sekalipun bisa dipelihara karena lucu dan jinak, bukan berarti mereka sama dengan mainan untuk lucu-lucuan. Apalagi untuk dimakan. Hewan makhluk hidup yang sama seperti kita. Butuh cinta. Butuh keluarga.

 
Karakter manusia seperti Aya awalnya juga cukup mendapat porsi cerita. Film sempat membahas persoalan mereka sebagai keluarga. Kita diperlihatkan informasi bahwa pasangan ini adalah pasangan yang sempat kehilangan calon anak mereka. Kita juga diperlihatkan bagaimana karir profesional Aya sebagai penulis komik mendapat hantaman keras saat publisher memecatnya lewat telefon. Ini semua membuat kita jadi punya ekspektasi bahwa film ini punya narasi atau cerita yang kompleks, dengan banyak lapisan menyertai premis hubungan manusia dengan ‘sahabat terbaik manusia’. Namun sayangnya, film ini justru jadi mengerucut. Seperti segitiga terbalik. Semakin ke belakang, bahasan dan cerita film ini malah semakin mendangkal. Dunia cerita yang mendapat perluasan dengan penambahan karakter (putri Aya), tidak mendapat penggalian yang konsisten. Pembahasannya hanya skim on the surface. Masalah Aya dan kerjaannya tidak pernah dibahas lagi – solusinya datang begitu saja, cukup dengan Aya membuat komik terinspirasi dari June dan Kopi. Persoalan yang konsisten dibahas adalah ketidakakraban June dengan suami Aya, yang ini pun dilakukan dengan sangat monoton. Percakapan sehari-hari Aya dan sang suami selalu tidak lepas soal “kamu kok belum bisa akrab dengan June”. Hal tersebut diperparah oleh karakter si suami yang jadi annoying berkat obrolan dan masalah yang itu-itu melulu.

Kalo aku sih sepertinya tidak dianggap keluarga oleh kucingku, cuma dianggap babu saja.

 
 
Ketika anak hadir dalam keluarga mereka, kupikir itu bakal jadi tantangan berat buat June. Setidaknya film akan memperlihatkan proses June dalam menyingkapi hal tersebut. Tapi ternyata tidak. Dengan gampang saja dia bonding dengan si anak. Si anak itu sendiri juga, dia disebutkan oleh dokter mengidap asma. Dan kupikir lagi tadinya ini akan jadi rintangan untuk persahabatan June dengannya. Tapi enggak. Film enggak menjadikan asma itu apa-apa untuk narasi besar film ini. Malah dokter dalam film ini nyebut June gak ada hubungannya sama sekali dengan asma si anak. Ini membuat semua informasi sebelumnya itu jadi pointless banget.
Peristiwa ‘kupikir-tapi-ternyata-tidak-begitu’ ketiga datang dari melihat judul film ini. Kupikir film benar-benar akan menitikberatkan pada June dan Kopi. You know, karena judulnya June-and-Kopi. Tapi ternyata Kopi is barely do anything in the movie. Kerjaannya cuma baring-baring di lantai. Peran Kopi hanya sebagai plot-device, untuk membuka pintu saat June dikurung. Atau hanya untuk komedi aneh bersama karakter teman Aya yang somehow dibikin kayak ngerti bahasa anjing saat adegan dia ‘ngobrol’ sama Kopi. Lucu? boleh jadi. Make sense? no dan ini gak nambah apa-apa, pointless juga buat cerita. Film ini kayak punya banyak build-up dan dilupakan begitu saja. Seperti soal Kopi; aku gak tahu ini intentional atau tidak, tapi cara film ini memperlihatkan kegiatan si Kopi – yang seringkali dikontraskan dengan June – seolah film ini sedang membangun ke sesuatu. Kopi dikesankan seperti dikucilkan, anak Aya tak sekalipun ngajak dia main. Membuatku mengantisipasi bakal ada sesuatu yang penting dari Kopi. Dan ternyata memang ada, tapi gak klop dengan cara film membangunnya. Juga soal perangkap-perangkap di hutan itu; film memperlihatkan ada banyak sehingga tanpa sadar mereka membangkitkan pertanyaan lain yang gak ada hubungannya dengan niat film memperlihatkan jebakan itu sedari awal. Perangkap-perangkap itu malah membangun antisipasi kita kepada apa yang ada di hutan sehingga hutan perlu dipasangi perangkap sebanyak itu. Film ini menjelang akhir itu kayak membangun sesuatu yang ‘wah’, tapi ternyata sesuatu itu cuma difungsikan untuk hal lain yang terasa lebih sepele dibanding ekspektasi dari build-upnya.
Memang, yang film ini pilih untuk dikembangkan justru adalah hal-hal yang meminta kita untuk menyimpan logika di dalam laci. Tentu saja yang paling mengganggu buatku adalah soal keluarga Aya yang pergi liburan ke gunung – di saat anak mereka baru sembuh dari asma – dan meninggalkan kedua anjing di rumah, untuk kemudian kedua anjing ini nyusul ke vila di gunung. Kenapa? Kenapa membuat seperti ini, kenapa membuat June menempuh perjalanan melawan logika? Kenapa harus ke gunung? Padahal jika tujuannya untuk memisahkan June dan membuat dia jadi tampak seperti hero dan menempuh perjalanan/rintangan yang sulit, kenapa tidak membuat yang simpel dan gak jauh-jauh amat seperti simply June dikurung karena diduga menyebabkan asma dan ngikutin mereka liburan ke taman. At least, semua masih masuk akal dibanding membayangkan dua ekor anjing ke gunung menemukan keluarga mereka. Nah, yang seperti ini yang membuatku percaya naskah film ini masih belum matang-matang amat sehingga masih banyak plot poin yang mestinya bisa digarap dengan lebih baik lagi.
 
 
Jika kalian ingin melihat anjing beraksi di depan kamera, atau jika kalian penggemar anjing, film ini jelas bisa jadi hiburan yang bikin rileks. Film ini punya drama dan adegan-adegan yang bakal bikin kita merindukan hewan peliharaan di rumah. Keberanian film ini tampil sebagai cerita tentang persahabatan manusia dengan peliharaan saja sudah cukup pantas untuk kita apresiasi, karena memang benar-benar jarang film seperti ini. Namun jika ingin melihatnya dengan memakai lebih banyak logika dan secara teknikal, film ini tentu saja bukan film yang sempurna. Naskahnya masih banyak yang perlu dibenahi, penggaliannya masih tidak berimbang. Ini masih seperti film keluarga/anak-anak yang dimainkan dengan terlalu ringan ketimbang potensi sebenarnya yang dimiliki oleh materi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for JUNE & KOPI.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah saat ini kalian merasa membutuhkan hewan peliharaan? Kenapa iya atau kenapa tidak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ISLE OF DOGS Review

“Be mindful of what you throw away…”

 

 

 

Dendam kesumat sejak sebelum Jaman Kepatuhan itu masih membara. Walikota korup kota Megasaki, Jepang, Mr. Kobayashi yang antipati sama anjing, memprogandakan untuk membuang seluruh anggota spesies tersebut ke luar pulau. Mengasingkan mereka bersama sampah-sampah yang tak diinginkan. Anjing-anjing itu kudisan, kotor, membawa penyakit menular yang bisa membahayakan manusia.  Begitu katanya, menggunakan ketakutan untuk mengendalikan paham penduduk. Kampanyenya sukses, sekarang Megasaki bersih dari anjing, baik anjing terawat dipelihara maupun yang kutuan. Mereka semua numplek tinggal di pulau terasing, mengais sisa-sisa untuk makanan. Tidak ada majikan yang menjemput atau sekedar mencari mereka. Kecuali satu anak bernama Atari yang nekat ngemudiin pesawat demi mencari anjing penjaganya tersayang, Spots. Pesawatnya jatuh. Atari mendarat darurat, in sense sukur dia masih hidup, di tengah-tengah pulau, di mana lima ekor anjing berembuk untuk setuju menemani Atari mencari Spots yang sudah lama tak terlihat lagi di pulau tersebut.

Jika kita punya cinta, dan membuat suatu karya dengan benar-benar menyalurkan rasa cinta tersebut ke dalamnya, maka kita akan mendapati hasil yang kurang lebih sama dengan Isle of Dogs. Lewat animasi stop-motion ini terasa sekali desah nafas kecintaan sutradara Wes Anderson terhadap Jepang dengan segala kebudayaannya. Dan tentu saja terhadap anjing.

“Isle of Dogs” kalo diucapkan cepet-cepet maka akan terdengar seperti “I love dogs”

 

Wes Anderson membangun dunia Jepang masa depan dari apa yang ia tahu dan membuatnya anjing menjadi pusat dari semesta. Kalo boleh dibilang aku lebih ke cat-person ketimbang penyinta anjing, like aku barely bisa menahan kakiku untuk tidak mengambil langkah seribu setiap kali denger gonggongan.  tapi film ini tidak membuatku merasa harus ikut mengambil pihak – aku tidak merasa harus setuju sama rencana klan Kobayashi yang ingin membuat Jepang sebagai surga kucing alih-alih anjing. Karena pada anjinglah film ini meletakkan hatinya.

Binatang peliharaan bukan sekadar barang atau mainan yang bisa kita buang sekena hati, mereka tak kurang sebagai bagian dari keluarga

 

Film membuat keputusan aneh berupa hanya tokoh-tokoh anjinglah yang selalu berbahasa inggris, dengan tujuan supaya kita mengerti sudut pandang mereka. Animasi hewan-hewan ini pun tampak ter-render dengan sangat menakjubkan. Bulu-bulu kusut itu, para anjing memang tampak kotor, tapi kita tidak terhalangi untuk menyelami mereka dengan lebih jauh.  Animasi 3D computer memang semakin pesat lewat teknologi-teknologi yang hanya bisa kita bayangkan, tapi gambar-gambar tangan dan animasi stop-motion akan selalu dapat tempat di hati kita semua. Melihat film ini tak urung membuat kita meresapi dan mengapresiasi betapa kerasnya kerja yang dilakukan oleh pembuat film untuk membuat semua tampak hidup. Salah satu ciri khas Anderson adalah bagaimana dia mengomposisikan gambar-gambar indahnya dengan begitu simeris. Shot-shot dalam film ini tampak seimbang, salah satu yang paling bikin aku melotot adalah adegan ketika salah satu anjing melihat bayangan anjing tak dikenal, yang tak bisa ia cium baunya, dari kejauhan. Pada stop-motion khususnya, ada keindahan yang mencuat di balik adegan-adegan gerak yang kasar. Seperti anjing-anjing itu sendiri, tampak galak, tapi mereka makhluk yang tak kalah gentlenya di dalam.

Penokohannya dibuat dengan sangat menarik. Lima anjing yang menemani Atari bertindak sebagai guide yang akan menghantarkan kita kepada urat-urat drama dan komedi  dan bahkan paparan mengenai bagaimana aturan pulau sampah itu bekerja. Talenta seperti Edward Norton, Bill Murray, Jeff Goldblum, tentu saja hanya akan membantu kita dapat dengan segera terattach sama hewan-hewan tersebut. Adalah keajaiban dari animasi film ini membuat setiap tokoh hewan tampak seperti punya kemiripan dengan aktor yang menyuarakan. Ada keakraban yang kita rasakan ketika kalimat ‘gonggongan’ masing-masing anjing  seperti benar-benar dituliskan khusus sesuai dengan kharisma dan cara bicara aktornya. Anderson nyaris seperti menyerahkan persona publik dari para aktor untuk merasuk ke dalam dialog, membuatnya terasa seperti otentik. It’s like we’re watching the fantasy version of the actor; enggak mungkin kita salah menebak yang nyuarain Nutmeg adalah Scarlett Johansson.

jadi, pertanyaan ‘who let the dogs out?’ sudah terjawab kan ya? Iya kan!?

 

Dari kelima anjing yang masing-masing mempunyai nama sinonim dari pemimpin, ada satu yang paling berbeda dari yang lain. Ia tidak dibesarkan dalam pemeliharaan manusia. Ia sedari awal memang ‘hanya’ anjing jalanan. Tapi si Chief ini, punya latar belakang paling menarik sehubungan sikapnya yang menolak untuk jadi peliharaan. Chief actually adalah tokoh yang paling mendekati tokoh utama pada film ini. Performa Bryan Cranston benar-benar highlight, membuat kita bersimpati kepada Chief meskipun tokoh ini yang paling angkuh. Dia lebih memilih makan sampah ketimbang biskuit anjing, bayangkan coba. “I bite” ancamnya kepada manusia yang ingin membelainya. Tentu saja, dalam sebuah naskah yang digarap seksama, arc akan dibuat melingkar seperti anjing yang mengejar sendiri ekornya. Chief lah yang actually menjadi anjing yang paling dekar dengan Atari. Perkembangan tokoh Chief ini akan sangat memuaskan.

Lebih  mudah bagi kita untuk membuang jauh-jauh, sama sekali tidak mau berurusan dengan, sesuatu yang kita pikir kita tidak suka. Memang, itu adalah pilihan kita. Yang perlu diingat adalah since it was an option, kita tidak bisa memaksakan kepada orang lain untuk memilih keputusan yang sama. Hidup adalah berdampingan, ada yang kita suka – ada yang tidak kita suka. Jika kita cukup kuat untuk melakukan sesuatu di luar pilihan itu; daripada menghabiskan tenaga mengenyahkan, menggebah orang untuk turut membenci, bukankah alangkah baiknya untuk kita mencoba melihatnya dari sudut yang lain.

 

 

Keputusan aneh yang membuat kita begitu dekat dengan tokoh-tokoh berkaki empat, however, terasa ganjil begitu kita mencoba untuk menyelami tokoh manusianya. Atari, Kobayashi, Yoko dan si ilmuwan pecinta anjing, mereka sayangnya tampak satu-dimensi karena kita yang tidak bisa berbahasa Jepang, tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Ada batasan emosi yang bisa dideliver hanya dengan animasi. Dalam gaya penceritaan film ini, terkadang dialog manusia mendapat translasi lewat terjemahan berita atau diucapkan oleh seorang tokoh pelajar yang berasal dari luar negeri. Tapinya lagi, sebagian besar dari dialog yang bisa kita mengerti itu berupa eksposisi. Tokoh pelajar asing tadi, arcnya bahkan tampak tak begitu berguna, dia berusaha menyadarkan orang-orang Jepang bahwa anjing adalah sahabat terbaik manusia – ia adalah perwujudan perjuangan dari pihak manusia, hanya saja tidak begitu berdampak pada progresi cerita. Malahan, tokoh yang disuarakan oleh Greta Gerwig ini banyak diprotes oleh kritikus lantaran dianggap sebagai projeksi dari white-washing; bahwa setelah semua yang terjadi, orang kulit putihlah yang menjadi penyelamat.

Sejumlah bobot suspens mengisi durasi cerita yang berjalan dengan pace yang nyaris stabil. Musik dan visual bekerja bahu membahu, membangun adegan-adegan yang riveting. Hanya saja kebutuhan untuk tampil penuh style, sekali lagi gaya bercerita yang dilakukan oleh film, membuat cerita ini semakin timpang lagi. Ada banyak flashback yang dipakai, untuk mengakomodasi backstory beberapa karakter, yang melukai pacing – membuat cerita berjalan semakin lambat. Maju ceritanya jadi semacam terhambat karena kita harus melihat flashback dulu, kilasan balik yang kadang juga tak menyampaikan sesuatu yang paralel dengan cerita. Kalo bukan karena musik dan animasinya yang menarik minat, mungkin aku sudah tertidur begitu mencapai babak kedua.

 

 

 

 

Animasi yang menawan, pencapaian film ini regarding visual benar-benar luar biasa. Kerja keras itu terbayarkan dalam setiap frame. Para aktor membuat dongeng ini hidup, karakter-karakter anjingnya mencuat kuat. Mengangkat tema yang dewasa seputar apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap hal yang tidak kita cinta. Aku selalu senang menonton animasi yang tidak kelewat bego dan actually punya sesuatu di baliknya. Sayangnya, cerita film ini tampil sedikit timpang. Tokoh manusianya tidak terflesh out sebaik tokoh hewan. Pacingnya sedikit goyah oleh penggunaan flashback, tapi kupikir lagi, bisa saja ini masalah minor yang bisa kita overlook saat menonton film ini untuk kedua kalinya. Karena yang dibangun oleh Wes Anderson di sini adalah dunia fantasi yang bergerak dalam konsep dan konteksnya tersendiri.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ISLE OF DOGS.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017