PIG Review

“Not everyone you lose is a loss”

 

Apapun yang terjadi, jangan macam-macam sama pria dan binatang peliharaan mereka. Serius. Sudah berapa banyak film kekerasan yang kita tonton berawal dari protagonis cowok yang membalasdendam setelah anjing kesayangan mereka diculik? Well, yea, John Wick (2014) would be a very prime example of such story. Nicolas Cage pun, dalam film terbarunya, memerankan pria penyendiri yang berkeliling kota demi mencari babi miliknya yang diambil oleh orang-orang misterius. Nicolas tampak bakal menjadi the next John Wick, tapi film Pig yang ia bintangi ini ternyata adalah film balas-dendam yang unik. Perjalanan karakternya mencari babi dan penculik bukanlah perjalanan penuh kontak fisik melainkan perjalanan yang terus menggempur secara emosional. Ini adalah cerita balas-dendam yang dibentuk sebagai anti dari balas-dendam itu sendiri.

Karakter Nicolas Cage di film ini bernama Rob. Pertamanya sih enggak banyak yang kita tahu tentang dirinya, kecuali dia tinggal di hutan. Menyendiri, kalo kita tidak menghitung seekor babi yang ia latih untuk mencari truffle, sejenis jamur tanah yang digunakan untuk bahan masakan mewah. Itulah kerjaan Rob. Menjual truffle yang ia cari bareng babi kepada Amir, anak muda kaya supplier truffle untuk restoran-restoran di kota. Malam itu, pondok tengah hutan mereka disatroni dua orang tak dikenal. Rob dipukuli. Babinya dibawa lari. Tidak butuh pertimbangan lama bagi Rob di pagi hari, untuk berangkat ke kota mencari si babi, tak peduli bahkan jika itu berarti dia harus berjalan kaki.

pighXkEyXkFqcGdeQXVyMTA1MDIxODk4._V1_
Alexa Bliss harus nonton ini, RIP Larry Steve

 

Gampang sekali untuk membuat cerita balas dendam yang penuh aksi bag-big-bug dari pembukaan tersebut. Apalagi Rob di sini perawakannya udah kayak Ochiai di manga 20th Century Boys; rambut gondrong, janggut lebat, pandangan mata tajam. Tipikal pria penyendiri senggol-bacok banget! Sekali lihat saja, kita percaya Rob ini sanggup membunuh para pelaku dengan sadis. Bahwa dia rela melakukan apapun demi mendapatkan kembali babi yang ia sayangi. Tapi sekali lagi, sutradara Michael Sarnoski tahu lebih baik untuk tidak membuat film yang hanya sekadar menjadi ‘John Wick berikutnya’. Pig dibuat lebih ke arah emosional. Perjalanan Rob menemukan kembali babinya adalah perjalanan yang lebih berat dan membebani. Karena kembali ke kota itu ternyata bagi Rob juga adalah kembali ke kehidupan, ke dunia, yang telah ia pilih untuk ditinggalkan. Nonton film ini akan terasa kayak kita lagi ngupas bawang. Pake tangan. Seiring cerita menguak terbuka, akan selalu ada pengungkapan tak-terduga yang membuat kita semakin mengapresiasi siapa Rob sebenarnya.

Rob enggak banyak bicara (meskipun sekalinya bicara, ucapannya seringkali ternyata tajam dan tegas juga), tapi itu tidak berarti dia adalah karakter yang dituliskan dengan simpel. Justru sebaliknya. Dia adalah personifikasi dari kedalaman dan emosional itu sendiri. Kehebatan utama film ini datang dari kepiawaian Sarnoski mengungkap tabir protagonisnya ini. Sarnoski tidak mengungkap dengan terburu-buru, ataupun tidak dengan menjadikannya ala twist murahan kayak pada film-film mainstream. Melainkan, dia mengcraft pengungkapan dan karakterisasi itu dengan cermat. Ke dalam tempo dan irama yang senada dengan permainan emosi. Sehingga menyaksikan Rob ini rasanya sarat sekali. Oleh misteri, oleh humanisasi.

Tanpa sadar film akan membawa kita hanyut ke dalam masalah karakter, dan lantas ke dalam masalah dunia kuliner yang menyelimuti mereka semua. Ini low-key adalah film tentang bisnis restoran/dunia kuliner mewah, yang dari sudut pandang pelakunya ternyata tidak seglamor, tidak sefancy restoran itu sendiri. Tonton saja adegan percakapan Rob dengan chef dan pemilik restoran yang ternyata mengerjakan hal yang tidak benar-benar in-line dengan passionnya dahulu. Dari adegan ngobrol itu saja sebenarnya craft film ini sudah terwakili kehebatannya. Di interior restoran yang serba putih, duduk dengan memandang hormat seorang chef high-class kepada Rob yang berpakaian kumal, dengan dahi berdarah yang Rob tolak untuk diberikan perawatan. Kita, kita seperti Amir yang duduk juga di sana, memandang mereka dengan perasaan takjub, sekaligus prihatin, sekaligus kagum.

Jikapun ada sesekali film terasa mengecoh kita, itu hanya karena film bermain-main dengan ekspektasi kita. Ketika Rob masuk ke klub berkelahi underground misalnya, kita yang masih ngotot ini cerita ala John Wick akan tercengang oleh apa yang sebenarnya dilakukan oleh Rob. Atau ketika di akhir, Rob malah memasak untuk ‘musuh utamanya’. Bahkan aku nyangka dia bakal ngeracunin tuh masakan. Tapi enggak. Apa aku kecewa karena yang kusangka enggak kejadian? Enggak juga. Karena film berhasil membuktikan penawaran yang mereka lakukan memanglah lebih kuat. Jika kita bicara soal wants and needs, well, kita menyangka kita ingin melihat aksi brutal, dan film ini menyadarkan bahwa yang kita butuhkan justru sebuah penyelaman ke dalam karakter yang penuh emosi dan duka kehilangan.

Karena memang itulah makna cerita ini sebenarnya. Tentang berkompromi dengan kehilangan. Bagi Rob, babi itu bukan satu-satunya kehilangan. At least, dia sudah kehilangan dua hal penting sebelumnya. Film dengan bijak tidak menyebutkan dengan gamblang apa kedua hal tersebut. Namun poin dari makna kehilangan tersebut cukup bisa kita simpulkan dengan jelas. Rob, dan hampir semua karakter kunci di sini punya sesuatu yang direnggut dari mereka, dan mereka malah kehilangan bahkan lebih banyak lagi saat bertekad untuk mendapatkan hal lain sebagai pengganti dari sebelumnya. 

 

Salah satu inti emosional yang bikin film ini semakin hidup – di tengah suramnya kejadian, dan visual yang nyaris selalu direkam dalam cahaya yang penuh bayang-bayang – adalah hubungan antara Rob dengan Amir (diperankan menakjubkan oleh Alex Wolff). Dengan cerdas naskah mengeskplorasi drama di antara mereka. Mengukuhkan mereka saling membutuhkan, sementara juga mereka begitu berbeda. Yang satu seorang profesional yang disegani, sementara satunya masih berkutat untuk keluar dari statusnya sebagai medioker. Karena itulah, kedua karakter ini dalam dialog dan interaksinya bisa mencapai segitu banyak. Mereka bahkan bisa tampak layaknya duo komedi, ketika film menempatkan keduanya di dalam mobil, memati-hidupkan musik klasik.

Karakter Rob sendiri sudah seperti manifestasi dari karir akting Nicolas Cage. Celetukan yang terdengar saat Rob kembali ke kota, bahwa dirinya yang sekarang bukanlah siapa-siapa, bahwa momennya sudah lewat, justru tampak seperti film sedang merayakan kebangkitan dari seorang Nicolas Cage. Yang penampilan aktingnya perlahan tapi pasti berubah menjadi pengisi meme-meme konyol. Tapi belakangan, Nicolas mengalami resurgence, lewat film-film yang memberinya ruang untuk mengeksplorasi penampilan akting yang lebih mendalam dan serius. Pig adalah salah satu dari film tersebut. Dan Rob ini, aku bilang, adalah penampilan akting terkuat dari Nicolas Cage yang pernah aku tonton. Transisi dari karakter pendiam dan misterius menjjadi karakter yang semakin desperate tapi juga semakin menguar ‘kekuatan’, tidak pernah dilakukannya sebagai karakter yang over-the-top. Malahan justru penampilan Nicolas-lah yang memastikan Pig tetap berada pada tone yang grounded.

pig-trailer
Babi yang satu ini halal untuk ‘disantap’

 

Tantangan berat film ini adalah membuat cerita yang ‘merakyat’ dari karakter yang jadi legenda di dalam dunianya. Dan ini adalah tantangan yang enggak ringan. Kehilangan hewan kesayangan tidak bisa jadi satu-satunya ke-vulnerable-an yang dipunya. And also, film juga tidak bisa hanya tentang mengungkap siapa si karakter ini secara sebenar-benarnya. Perjuangan naskah di sini adalah bagaimana mengembangkan journey karakter tanpa meruntuhkan atau malah menerbangkan mitologi karakter tersebut sejauh-jauhnya. Film berhasil melakukan ini dengan relatif baik. Kita bisa merasakan karakter ini mendapat pembelajaran seiring kita belajar tentang dirinya. Meskipun memang pembelajaran tersebut bisa dibilang, didatangkan agak belakangan. Dan untuk waktu yang lama, karakter ini terasa benar sepanjang waktu.

 

 

Dan ngomong-ngomong soal waktu yang lama, ya, film ini adalah film yang lambat. Yang banyak ngobrolnya ketimbang aksi. In fact, aksinya bakal sedikit banget. Penonton yang masih bandel ngarepin ini jadi kayak John Wick bakal menemukan mereka sangat kecewa untuk alasan yang tak tepat terhadap film ini. Arahan ceritanya pun dengan sengaja dibuat seperti ngalor ngidul, dan sengaja menjadi tak-seperti yang diharapkan. Jika ini makanan, maka ia benar seperti babi; Tidak untuk semua orang. Tapi sesungguhnya, pencarian babi di sini merupakan sebuah perjalanan karakter yang menggugah. Yang lebih memuaskan secara emosional dibandingkan film pencarian balas-dendam berisi aksi bag-big-bug yang biasa. Untuk sebuah film debutan, sutradara film ini berhasil memasak tone yang konsisten dengan berbagai bahan-bahan sulit diolah yang ia punya di piringnya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PIG

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang karir Nicolas Cage sebagai aktor? Apakah menurut kalian dia sudah mencapai level legendary, seperti karakternya di film ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

PET SEMATARY Review

“Death is a mystery and burial is a secret”

 

 

Bahkan Stephen King sendiri – penulis novel source materi film ini – pernah bilang bahwa Pet Sematary adalah satu-satunya cerita buatan dirinya yang beneran membuatnya ketakutan. Meskipun aku belum pernah baca bukunya (aku mungkin bakal mencarinya sesegera mungkin), tapi aku sudah menonton film adaptasi pertamanya, Pet Sematary (1989). Film tersebut sukses menanamkan banyak hal mengerikan di benakku; seperti jalanan yang lengang itu lebih berbahaya ketimbang jalanan yang padet lantaran mobil bakal lebih leluasa ngebut, dan aku actually tinggal di daerah yang sering dilewati truk-truk besar seperti pada cerita Pet Sematary. Film tersebut juga sedikit-banyak berjasa dalam membuatku sempat takut sama kucing. Dan hingga sekarang, aku gak belum lupa sama adegan “no fair, no fair” menjelang penutup filmnya.

Dari sekian banyak film adaptasi novel misteri Stephen King, film yang bagus sesungguhnya bisa dihitung dengan jari. Tapi kenapa Pet Sematary yang udah bagus malah diadaptasi dua kali mungkin bakal membuat kita mengernyitkan dahi. Pet Sematary yang baru ini masih bercerita tentang keluarga yang pindah dari Boston ke rumah baru mereka di pinggir jalan negara bagian Maine. Kemudian mereka menemukan sebidang tanah yang oleh anak-anak setempat dijadikan pekuburan untuk hewan-hewan peliharaan yang tertabrak mobil. Makanya judul film ini typo, karena ceritanya nama tersebut diberikan oleh anak kecil. Kematian adalah hal yang alami. Seharusnya tidak ada yang mengerikan pada pekuburan, hanya tempat orang mati disemayamkan. Paling tidak itulah yang dimengerti oleh Louis, kepala rumah tangga yang bekerja sebagai seorang dokter di unversitas. Tapi lantas hal supranatural terjadi, Louis didatangi oleh pasiennya yang meninggal karena kecelakaan. Sebagai ucapan terimakasih, sang pasien bermaksud untuk memperingatkan Louis untuk tidak melanggar batas di area pekuburan. Untuk tidak tergoda sama kekuatan tanah Indian yang misterius yang mampu membangkitkan makhluk tak-bernyawa yang dikuburkan di dalam tanahnya yang kasar dan jahat.

bisakah kita mengajarkan trik baru kepada kucing yang telah mati?

 

Tema ceritanya memang kelam. Pet Sematary pada intinya adalah cerita tentang orangtua yang berusaha memperkenalkan kematian kepada anak-anak mereka. Mati tentu saja adalah konsep yang berada di luar nalar anak kecil. Kenapa kita harus mati. Kemana kita setelah mati. Film Pet Sematary membawa suara novelnya, berbicara tentang hal tersebut. Kita akan melihat Ellie, putri dari Louis mempertanyakan soal kematian. Dan kita melihat gimana Louis dan Rachel, istrinya, sedikit berbeda pendapat. Ada sedikit pertentangan dari Louis saat Rachel menjelaskan kepada Ellie bahwa ada yang namanya ‘afterlife’; ada surga. Sementara Louis tidak percaya akan hal tersebut. Ini menciptakan dua sudut pandang yang menarik dan akan bermain ke dalam perkembangan tokoh. Tapi paling tidak, suami istri ini setuju untuk mengajarkan satu hal kepada putra-putri mereka; bahwa kematian harus diikhlaskan.

Tetapi bagaimana caranya mengingatkan, mengajarkan ikhlas menghadapi kematian kepada anak-anak, jika kita sendiri sebenarnya belum mengerti benar tentang kematian – belum bisa mengikhlaskan kematian? Alih-alih truk, sebenarnya pertanyaan inilah yang akan menabrak kita keras-keras.

 

 

Film Pet Sematary yang pertama bukanlah film yang sempurna. Jika dikasih nilai, aku akan memberinya nila 6.5 dari 10 lantaran banyak yang mestinya bisa dikembangkan. Pet Sematary yang baru ini, bukanlah sebuah remake, melainkan adaptasi berikutnya dari novel yang sama. Jadi, ya, film ini menawarkan beberapa hal baru – perubahan baik besar maupun kecil jika dibandingkan dengan materi asli maupun film pertamanya. Jadi kupikir, mungkin ini alasan film ini dibuat lagi, karena mereka ingin mengangkat sudut-sudut yang lemah. Melakukan perubahan atas nama pembaruan. Tapi apakah itu lantas membuat film jadi lebih baik?

Ada beberapa yang aku suka. Pada film yang dulu, Louis ini tokoh utama yang lumayan bland. Dia tidak punya backstory semenarik dan semengerikan Rachel, dan juga Jud – tetangga mereka. Dalam film kali ini, Louis yang diperankan oleh Jason Clark diberikan sudut pandang yang lebih kuat, tapi memang sepertinya tokoh ini sudah mentok. Aku berharap mungkin mereka bisa mengganti tokoh utamanya menjadi Rachel yang dihantui trauma masa lalu berkaitan dengan saudaranya yang sakit keras. Sutradara Kevin Kolsch dan Dennis Widmyer memberikan lebih banyak porsi kepada Rachel yang dimainkan oleh Amy Seimetz dibandingkan Rachel di film yang dulu. Dan benar membuat ceritanya lebih menarik dan mengerikan, kita bisa melihat keparalelan sehubungan dengan ikhlas menerima kematian dengan lebih jelas. Kita juga diberikan lebih banyak interaksi dengan Ellie – aktris cilik Jete Laurence actually punya tantangan range di sini. Tapi tetap saja, tokoh utama haruslah Louis, karena dialah yang melakukan penggalian. Dan ini membuat film jadi sedikit ‘kacau’ di perspektif. Set upnya jadi terasa agak aneh.

Adegan tabrakan setelah midpoint adalah perubahan yang paling signifikan dalam narasi. Efek perubahan cerita ini tak-pelak akan terasa maksimal oleh penonton yang familiar dengan film Pet Sematari yang dulu. I know I did. Perubahan yang dilakukan cukup drastis dan membuka peluang untuk penggalian sudut yang baru, yang mungkin lebih dalam. Dan aku semakin excited melihat seperti apa film akan berakhir. Yang bikin aku ngakak adalah film sempet-sempetnya memasukkan easter-egg, sebegitu singkat, yang aku yakin yang pernah menonton film yang dulunya pasti tahu. Dalam film yang dulu, adegan tabrakan ini terjadi karena supir truk yang lagi asik dengerin lagu Sheena is Punk Rocker (oh boy, lagu Ramones ini jadi bahan candaan waktu aku masih sekolah). Dan di film yang baru ini, kita bisa melihat supir truknya mendapat panggilan dan sekilas kamera menunjukkan “Sheena is..<calling>” pada layar teleponnya hihi

Memang baru pada adegan tabrakan inilah film terasa mulai bergerak bebas. Karena separuh awal itu hanya berisi eksposisi. Orang-orang yang duduk bercerita tentang sejarah kuburan hewan. Tentang legenda sour ground, tentang cara kerja dan efeknya. Buat yang sudah tahu, ini tentu akan membosankan. Bahkan yang belum pernah baca atau nonton film yang dulunya pun, tidak seperlu itu mendapat penjelasan yang bertubi-tubi seperti yang dilakukan film ini pada babak pertama dan awal babak keduanya. Tokoh tetangga, Jud, yang diperankan simpatik oleh John Lithgow, seperti buku manual yang terus berbicara. Untung saja aktornya cakap sehingga tidak terdengar monoton.

mimpi buruk setiap orangtua adalah mengubur anaknya sendiri…dua kali!

 

Babak ketiga film ini sebenarnya cukup keren. Kengeriannya itu berada di tanah yang berbeda. Namun itu jugalah yang menjadikannya aneh, film ini seperti missing the point. Fokus cerita seperti berubah jadi tentang roh-roh jahat Wendigo itu ketimbang masalah pengikhlasan kematian yang menjadi tema utama cerita. I mean, bukankah poin utama film ini adalah tentang ngajarin anak ikhlas, dan betapa ngajarin itu lebih gampang daripada melakukan – justru orangtua yang paling susah menerima jika kematian tersebut menimpa anak mereka. Akan tetapi, dari arahan yang menutup cerita, seperti tidak ada yang belajar pada akhirnya. Anak Louis dan Rachel tidak pernah sadar menerima kematian saudaranya – karena film ini mengganti secara besar-besaran. Louis pun malah mendapat ‘hukuman’ ketika dia mencoba untuk mengikhlaskan dan mengambil jalan yang benar.

Selain itu juga film ini terasa begitu berusaha untuk menjadi seram. Atmosfernya dibuat sangat kelam. Bahkan ada sekelompok anak-anak yang memakai topeng yang tidak benar-benar menambah bobot selain menghasilkan imaji yang seram. Mereka seharusnya dipergunakan dengan lebih maksimal, karena idenya udah keren. Yang paling tidak aku suka adalah film ini tidak benar-benar membangun lokasi ceritanya. Truk-truk besar yang ngebut itu hanya ada ketika naskah butuh device dan butuh momen jumpscare. Pada film yang dulu, daerah rumah mereka hidup oleh suasana. Saat mereka ngobrol kita mendengar suara truk lewat. Mengingkatkan kita bahwa kematian tidak pernah jauh dari mereka. Pada film kali ini, daerah mereka seperti sunyi. Mati dalam artian yang pasif. Tempat yang mengancam itu tidak dibangun, padahal justru di situlah letak kekuatan cerita-cerita horor Stephen King; Tempat yang diam-diam mengancam. Film yang dulu tidak perlu gelap dan jumpscare dan semua itu, tapi toh tetep atmosfer seramnya menguar.

 

 

Seperti mayat kucing yang dikubur itu, horor re-adaptasi ini kembali ke tengah-tengah kita dengan tak lagi sama. Dengan perubahan drastis, film ini menawarkan horor yang mencekam meskipun sedikit lebih artifisial. Karakter-karakternya lebih dalam terjamah. Ada bagian yang bikin kita terenyuh juga. Endingnya bisa dibilang keren. Tapi aku tidak bisa bilang aku menyukainya. Bukan lantaran dia berbeda, justru bagus ada adaptasi yang benar-benar melakukan tindakan adaptasi – tidak melulu membuat tok sama. Aku gak suka karena film ini jadi seperti lupa pada poinnya sendiri. Sehingga narasinya jadi aneh. Jadi malah lebih seperti cerita tentang makhluk jahat yang mau merebut tempat manusia alih-alih tentang menerima kematian itu sendiri. Penceritaannya pun tidak menjadi lebih baik. Tokoh utamanya tetap kalah menarik. Separuh awal film ini akan membosankan bagi yang sudah tahu ceritanya. Dan kalo ada yang nanya ‘kalo udah tau kenapa nonton?’, maka baliklah bertanya ‘kalo sudah pernah kenapa dibuat lagi?’ Kalo sudah mati kenapa dihidupkan lagi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PET SEMATARY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian mengubur hewan peliharaan yang kalian sayangi sewaktu masih kecil? Bagaimana perasaan kalian saat itu?

Menurut kalian adaptasi buku Stephen King mana yang perlu dibuat ulang?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

ISLE OF DOGS Review

“Be mindful of what you throw away…”

 

 

 

Dendam kesumat sejak sebelum Jaman Kepatuhan itu masih membara. Walikota korup kota Megasaki, Jepang, Mr. Kobayashi yang antipati sama anjing, memprogandakan untuk membuang seluruh anggota spesies tersebut ke luar pulau. Mengasingkan mereka bersama sampah-sampah yang tak diinginkan. Anjing-anjing itu kudisan, kotor, membawa penyakit menular yang bisa membahayakan manusia.  Begitu katanya, menggunakan ketakutan untuk mengendalikan paham penduduk. Kampanyenya sukses, sekarang Megasaki bersih dari anjing, baik anjing terawat dipelihara maupun yang kutuan. Mereka semua numplek tinggal di pulau terasing, mengais sisa-sisa untuk makanan. Tidak ada majikan yang menjemput atau sekedar mencari mereka. Kecuali satu anak bernama Atari yang nekat ngemudiin pesawat demi mencari anjing penjaganya tersayang, Spots. Pesawatnya jatuh. Atari mendarat darurat, in sense sukur dia masih hidup, di tengah-tengah pulau, di mana lima ekor anjing berembuk untuk setuju menemani Atari mencari Spots yang sudah lama tak terlihat lagi di pulau tersebut.

Jika kita punya cinta, dan membuat suatu karya dengan benar-benar menyalurkan rasa cinta tersebut ke dalamnya, maka kita akan mendapati hasil yang kurang lebih sama dengan Isle of Dogs. Lewat animasi stop-motion ini terasa sekali desah nafas kecintaan sutradara Wes Anderson terhadap Jepang dengan segala kebudayaannya. Dan tentu saja terhadap anjing.

“Isle of Dogs” kalo diucapkan cepet-cepet maka akan terdengar seperti “I love dogs”

 

Wes Anderson membangun dunia Jepang masa depan dari apa yang ia tahu dan membuatnya anjing menjadi pusat dari semesta. Kalo boleh dibilang aku lebih ke cat-person ketimbang penyinta anjing, like aku barely bisa menahan kakiku untuk tidak mengambil langkah seribu setiap kali denger gonggongan.  tapi film ini tidak membuatku merasa harus ikut mengambil pihak – aku tidak merasa harus setuju sama rencana klan Kobayashi yang ingin membuat Jepang sebagai surga kucing alih-alih anjing. Karena pada anjinglah film ini meletakkan hatinya.

Binatang peliharaan bukan sekadar barang atau mainan yang bisa kita buang sekena hati, mereka tak kurang sebagai bagian dari keluarga

 

Film membuat keputusan aneh berupa hanya tokoh-tokoh anjinglah yang selalu berbahasa inggris, dengan tujuan supaya kita mengerti sudut pandang mereka. Animasi hewan-hewan ini pun tampak ter-render dengan sangat menakjubkan. Bulu-bulu kusut itu, para anjing memang tampak kotor, tapi kita tidak terhalangi untuk menyelami mereka dengan lebih jauh.  Animasi 3D computer memang semakin pesat lewat teknologi-teknologi yang hanya bisa kita bayangkan, tapi gambar-gambar tangan dan animasi stop-motion akan selalu dapat tempat di hati kita semua. Melihat film ini tak urung membuat kita meresapi dan mengapresiasi betapa kerasnya kerja yang dilakukan oleh pembuat film untuk membuat semua tampak hidup. Salah satu ciri khas Anderson adalah bagaimana dia mengomposisikan gambar-gambar indahnya dengan begitu simeris. Shot-shot dalam film ini tampak seimbang, salah satu yang paling bikin aku melotot adalah adegan ketika salah satu anjing melihat bayangan anjing tak dikenal, yang tak bisa ia cium baunya, dari kejauhan. Pada stop-motion khususnya, ada keindahan yang mencuat di balik adegan-adegan gerak yang kasar. Seperti anjing-anjing itu sendiri, tampak galak, tapi mereka makhluk yang tak kalah gentlenya di dalam.

Penokohannya dibuat dengan sangat menarik. Lima anjing yang menemani Atari bertindak sebagai guide yang akan menghantarkan kita kepada urat-urat drama dan komedi  dan bahkan paparan mengenai bagaimana aturan pulau sampah itu bekerja. Talenta seperti Edward Norton, Bill Murray, Jeff Goldblum, tentu saja hanya akan membantu kita dapat dengan segera terattach sama hewan-hewan tersebut. Adalah keajaiban dari animasi film ini membuat setiap tokoh hewan tampak seperti punya kemiripan dengan aktor yang menyuarakan. Ada keakraban yang kita rasakan ketika kalimat ‘gonggongan’ masing-masing anjing  seperti benar-benar dituliskan khusus sesuai dengan kharisma dan cara bicara aktornya. Anderson nyaris seperti menyerahkan persona publik dari para aktor untuk merasuk ke dalam dialog, membuatnya terasa seperti otentik. It’s like we’re watching the fantasy version of the actor; enggak mungkin kita salah menebak yang nyuarain Nutmeg adalah Scarlett Johansson.

jadi, pertanyaan ‘who let the dogs out?’ sudah terjawab kan ya? Iya kan!?

 

Dari kelima anjing yang masing-masing mempunyai nama sinonim dari pemimpin, ada satu yang paling berbeda dari yang lain. Ia tidak dibesarkan dalam pemeliharaan manusia. Ia sedari awal memang ‘hanya’ anjing jalanan. Tapi si Chief ini, punya latar belakang paling menarik sehubungan sikapnya yang menolak untuk jadi peliharaan. Chief actually adalah tokoh yang paling mendekati tokoh utama pada film ini. Performa Bryan Cranston benar-benar highlight, membuat kita bersimpati kepada Chief meskipun tokoh ini yang paling angkuh. Dia lebih memilih makan sampah ketimbang biskuit anjing, bayangkan coba. “I bite” ancamnya kepada manusia yang ingin membelainya. Tentu saja, dalam sebuah naskah yang digarap seksama, arc akan dibuat melingkar seperti anjing yang mengejar sendiri ekornya. Chief lah yang actually menjadi anjing yang paling dekar dengan Atari. Perkembangan tokoh Chief ini akan sangat memuaskan.

Lebih  mudah bagi kita untuk membuang jauh-jauh, sama sekali tidak mau berurusan dengan, sesuatu yang kita pikir kita tidak suka. Memang, itu adalah pilihan kita. Yang perlu diingat adalah since it was an option, kita tidak bisa memaksakan kepada orang lain untuk memilih keputusan yang sama. Hidup adalah berdampingan, ada yang kita suka – ada yang tidak kita suka. Jika kita cukup kuat untuk melakukan sesuatu di luar pilihan itu; daripada menghabiskan tenaga mengenyahkan, menggebah orang untuk turut membenci, bukankah alangkah baiknya untuk kita mencoba melihatnya dari sudut yang lain.

 

 

Keputusan aneh yang membuat kita begitu dekat dengan tokoh-tokoh berkaki empat, however, terasa ganjil begitu kita mencoba untuk menyelami tokoh manusianya. Atari, Kobayashi, Yoko dan si ilmuwan pecinta anjing, mereka sayangnya tampak satu-dimensi karena kita yang tidak bisa berbahasa Jepang, tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Ada batasan emosi yang bisa dideliver hanya dengan animasi. Dalam gaya penceritaan film ini, terkadang dialog manusia mendapat translasi lewat terjemahan berita atau diucapkan oleh seorang tokoh pelajar yang berasal dari luar negeri. Tapinya lagi, sebagian besar dari dialog yang bisa kita mengerti itu berupa eksposisi. Tokoh pelajar asing tadi, arcnya bahkan tampak tak begitu berguna, dia berusaha menyadarkan orang-orang Jepang bahwa anjing adalah sahabat terbaik manusia – ia adalah perwujudan perjuangan dari pihak manusia, hanya saja tidak begitu berdampak pada progresi cerita. Malahan, tokoh yang disuarakan oleh Greta Gerwig ini banyak diprotes oleh kritikus lantaran dianggap sebagai projeksi dari white-washing; bahwa setelah semua yang terjadi, orang kulit putihlah yang menjadi penyelamat.

Sejumlah bobot suspens mengisi durasi cerita yang berjalan dengan pace yang nyaris stabil. Musik dan visual bekerja bahu membahu, membangun adegan-adegan yang riveting. Hanya saja kebutuhan untuk tampil penuh style, sekali lagi gaya bercerita yang dilakukan oleh film, membuat cerita ini semakin timpang lagi. Ada banyak flashback yang dipakai, untuk mengakomodasi backstory beberapa karakter, yang melukai pacing – membuat cerita berjalan semakin lambat. Maju ceritanya jadi semacam terhambat karena kita harus melihat flashback dulu, kilasan balik yang kadang juga tak menyampaikan sesuatu yang paralel dengan cerita. Kalo bukan karena musik dan animasinya yang menarik minat, mungkin aku sudah tertidur begitu mencapai babak kedua.

 

 

 

 

Animasi yang menawan, pencapaian film ini regarding visual benar-benar luar biasa. Kerja keras itu terbayarkan dalam setiap frame. Para aktor membuat dongeng ini hidup, karakter-karakter anjingnya mencuat kuat. Mengangkat tema yang dewasa seputar apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap hal yang tidak kita cinta. Aku selalu senang menonton animasi yang tidak kelewat bego dan actually punya sesuatu di baliknya. Sayangnya, cerita film ini tampil sedikit timpang. Tokoh manusianya tidak terflesh out sebaik tokoh hewan. Pacingnya sedikit goyah oleh penggunaan flashback, tapi kupikir lagi, bisa saja ini masalah minor yang bisa kita overlook saat menonton film ini untuk kedua kalinya. Karena yang dibangun oleh Wes Anderson di sini adalah dunia fantasi yang bergerak dalam konsep dan konteksnya tersendiri.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ISLE OF DOGS.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017