PARTIKELIR Review

“..to be independent when you haven’t got a thing… ”

 

 

Jika di bioskop luar sana trennya adalah komedian bikin film horor mainstream yang berisi, maka komedian di mari juga lagi demen-demennya ngegarap film, tapi ya enggak berani jauh-jauh dulu, mulailah dari apa yang kita bisa, dan aku juga actually gak masalah sama komedian seperti Raditya Dika, Ernest Prakasa, Soleh Solihun, dan sekarang menyusul Pandji Pragiwaksono bikin film komedi – itung-itung nambah keragaman sudut pandang film Indonesia juga, ya gak.

Dalam Partikelir, Pandji mengangkat genre yang jarang kita santap di meja makan perfilman tanah air. Komedi aksi berwarna buddy cop, dengan tokoh utama seorang yang terobsesi untuk menjadi detektif, meski dia enggak benar-benar punya pengalaman menangani dunia kriminal. Adri (ambisi Pandji tercermin jelas dari cerita dan tokoh ini) biasanya memang menangani kasus-kasus seputar perceraian, perselingkuhan, ya masalah sepele rumah tangga orang lah. Padahal Adri ini sudah siap lahir batin loh, menangani kasus yang beneran gede. Ketika Tiara (Aurelie Moeremans tidak diberikan banyak untuk unjuk kebolehan) datang memintanya menyelidiki misteri yang berhubungan dengan ayahnya, big break yang dinanti Adri pun akhirnya tiba. Kasus Tiara ternyata berkembang menjadi masalah yang serius, yang membawa Adri berundercover menyelidiki Lembaga Narkotika Nusantara. Meski memang sebenarnya Adri enggak bego-bego amat, namun tetap saja kasus itu terlalu gede untuk tangannya. Maka, Adri pun meminta bantuan dari teman partikelir seperjuangannya saat SMA dulu. Tapi enggak semudah itu, karena Jaka (tantangan akting terbesar ada di pundak Deva Mahenra) yang sekarang sudah berumahtangga, sudah menanggalkan mimpi-mimpi petualangan mereka, menggantinya dengan problematika kehidupan yang sungguh serius. Adri dan Jaka sudah begitu berbeda, Jaka bekerja di perusahaan pengacara, sedangkan  Adri nyebut diri Detektif Swasta aja dia ogah, musti partikelir – karena dia bukan milik siapa-siapa.

petualangan tercyduk dan mencyduk

 

Terutama sekali, film ini adalah cerita detektif. Akan ada banyak clue yang ditanam sedari bagian-bagian awal sehubungan dengan tokoh-tokohnya.Sesungguhnya ini adalah cara yang berani dalam membuild up tokoh.Film tidak memberikan informasi lebih selain apa yang kita lihat, yang mana adalah apa yang Adri lihat. Beberapa dari mereka tampak tidak penting, tampak seperti film lupa membahas, ataupun malah tidak membahas karakterisasi sama sekali. Untuk kemudian, film membeberkan detil-detil kecil yang dikembangkan menjadi depth pada penokohan. Dan, elemen dari tokoh-tokoh tersebut melingkar menutup cerita di akhir. Twist film ini bekerja dengan cukup baik, like, aku tidak mengira film bermain di ranah yang lebih dalam dari kelihatannya, but it eventually does.

Karena film menggunakan komedi sebagai red herring, sebagai pengalih perhatian. Dan komedi di sini banyak sekali, and it’s a dumb-type of comedy too. Jadi, bayangkan saja, kita duduk di sana nyengir-nyengir awkward ngelihat lelucon tentang pentil yang diulang-ulang. Maksudku, film ini benar-benar meminta kita untuk menahan diri enggak ngeloyor keluar bioskop. Ada begitu banyak lelucon yang gajelas poinnya ke mana, yang mencegah kita untuk peduli sama mereka, untuk peduli sama kasus yang ditangani berhasil atau enggak. Dalam film ini, Adri punya tampang yang enggak meyakinkan, dia bahkan diledek oleh satpam perihal penampilannya, namun toh dia bisa melakukan kerja-kerja penyelidikan, meski memang enggak segagah detektif beneran. Begitulah cerminan film ini; komedi konyol yang penuh lucu-lucuan aneh yang enggak semuanya bekerja baik, tapi dia masih mampu untuk punya hati – meskipun bagi film ini menampakkan hati itu adalah perjuangan yang amat sangat berat.

Kita enggak bisa menebak siapa yang memakai narkoba. Film memberikan asumsi pelawak dan entertainer adalah yang pertama bisa kita curigai, lantaran mereka adalah golongan yang paling sering stress. Dan itupun sebenarnya kembali menegaskan bahwa apa yang tertawa di luar bisa saja sebenarnya tertekan di dalam. Kita tidak akan pernah bisa menilai seseorang dengan fair hanya dari luarnya. Tapi kita bisa melihat pertanda yang timbul di permukaan, karena semua hal berkaitan dengan karakter seseorang, apa yang ia alami-yang ia rasakan, dan semua itu ada tandanya, jika kita benar-benar mau memperhatikan.

 

Film ini juga punya adat jelek untuk menjelaskan lelucon yang mereka sampaikan, yang mana adalah tanda-tanda kegagalan komedi. Sebab dalam dunia komedi salah satu peraturan teratasnya yaitu komedi yang baik adalah komedi yang tidak perlu untuk dijelaskan. It’s either that; komedi film ini memang sedikit kurang baik, atau karena mereka enggak percaya penonton dapat mengerti punchline ataupun inti lelucon yang mereka sampaikan. Yang mana mengantarkan kita kepada pertanda lain bahwa film ini menganggap dirinya terlalu pinter untuk penonton. Aku pikir alasannya lebih kepada yang nomer dua, sih. Karena memang film ini terasa kurang bersenang-senang. Mereka terlalu serius dalam bercanda. Nah lo, gimana coba

Adegan tebak-tebakannya terlihat aneh, gak kayak Goku pas lagi berusaha membuat King Kai tertawa dengan tebakan

 

Pada saat menggarap bagian aksilah, film ini jatuh dalam lembah ketakkompetenan. Kelihatan sekali film enggak tahu cara menangani adegan aksi;  bukan hanya pukul-pukulan, tapi juga tembak-tembakan. Aku bukan bicara tentang aksi yang benar-benar kayak The Raid dengan koreografi dan pergerakan kamera yang gimana, karena toh Partikelir adalah film komedi. Tapi ayo dong, The Nice Guys (2016) juga komedi aksi, dan mereka masih merasa perlu untuk menangani adegan aksi yang gak dimainkan demi komedi semata. Jurus andelan film dalam membuat adegan aksi yang lucu adalah menggunakan musik latar yang gak nyambung sama adegan. Lagi berantem, malah lagu cinta. Lagi kejar-kejaran, malah lagu ketahuan balik ama mantan. Kita mengerti kepentingannya adalah supaya lucu, tapi taktik ini tidak bekerja. Karena editingnya tidak mampu mengakomodasi kepentingan lucu ini dengan efektif. Film tidak melakukan apa-apa demi membentrokkan mereka. Malah terasa seperti kita nonton film sambil dengerin lagu, rasanya tidak paralel; enggak ngefek sama bikin lucu atau apa. Tapi aku akui, meletakkan salah satu adegan demikian di sepuluh menit pertama ternyata mampu melandaskan tone cerita keseluruhan dengan baik, karena membawa kita ke pemahaman elemen-elemen film ini ntar memang gak nyambung. Komedi dalam film ini hanya rangkaian adegan-adegan konyol untuk memancing kelucuan, yang dicampur aduk gitu aja, tanpa benar-benar ada ikatan emosi di baliknya.

Begitupun dengan penggunaan referensi film-film atau pop-culture lain. Cerita akan memention Lupus, The Raid, film Mau Jadi Apa?, Black Panther, dan beberapa referensi yang lain, yang hanya diniatkan supaya kita melek “wah itu!” dan get excited untuk sementara, tanpa benar-benar ada efek jangka panjang ataupun bobot emosi ataupun keparalelan dengan perjalanan dari tokohnya. Ini adalah cara gampangan untuk membuat seolah film membuat kita feel good. Tapi actually enggak ada apa-apa di baliknya.

Sebenarnya memang sandungan film ini berakar kepada penguasaan teknis. Partikelir sebagai sebuah media penceritaan terasa sangat basic, kalo gak mau dibilang kurang profesional. Penulisannya agak berbelit, tokoh utama kita kurang jelas mau dan butuhnya apa, dan tau-tau dia terlibat hubungan asmara. Film terasa berjuang untuk mendeliver cerita komedi, detektif, drama hubungan pertemanan, dengan mulus. Kualitas suara juga sedikit goyah. Ada adegan ketika Adri nguping dengan alat buatannya, kita hanya samar- samar mendengar apa yang sedang berusaha ia dengar, we barely even heard kata ‘rantau’, padahal semestinya apa yang dicuri dengar itu adalah informasi yang penting. Dan ini membuat kita seperti tidak dilibatkan dalam cerita; untuk sesaat, Adri mengetahui apa yang tidak kita tahu, yang berujung kepada kita susah peduli sama apa yang sedang berusaha ia selesaikan.

 

 

 

Susah untuk mengenali apa yang hendak dicapai oleh Pandji dalam filmnya ini. Apakah ia ingin menyinggung kasus narkoba, apakah ia ingin menggali drama persahabatan, aku bahkan enggak yakin film ini ingin bersenang-senang lewat komedi. Tidak ada dari semua itu yang terasa mendominasi. Film ini hanya terasa seperti berbagai elemen yang digabung dan disatukan buat lucu-lucuan. Kepedulian kita datang ketika film sudah memasuki babak akhir. Segar apa yang dibawa oleh film ini bagi genre perfilman Indonesia, hanya saja pencapaiannya begitu minimal sehingga untuk menjadi memorable saja susah.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for PARTIKELIR.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BAYWATCH Review

“If you think you’re too big for small jobs, maybe you’re too small for big jobs”

 

 

Tugas penjaga pantai bukan sekedar berlari-lari di pasir dengan memakai pakaian renang. Bahkan kalopun tampang kalian kece dan jago berenang, bukan berarti bisa langsung diterima jadi anak buah Mitch Buchannon. Seperti juga kerjaan laih, ada keahlian spesifik yang harus dikuasai, dan terutama kita harus ngeset prioritas utama; keselamatan pengunjung, di atas segalanya.

Matt Brody pikir dia sudah lebih dari berkualifikasi. Ketika rekruitan baru harus di’audisi’ dulu, Matt malah duduk santai, mamerin motor keren, kacamata hitam, dan otot perutnya. Higher ups boleh saja sudah otomatis melantik dirinya sebagai anggota Baywatch, namun ‘Letnan’ Mitch still giving him a hard time. Terutama karena Mitch tidak melihat Matt sebagai pribadi yang menghormati pekerjaan penjaga pantai, Matt masih terlalu mikirin diri sendiri. Jadi, kedua orang ini enggak akur. But then of course, pantai mereka enggak jauh dari masalah. Ada kasus penyelundupan narkoba, dan di samping menyelamatkan orang-orang dari tenggelam dan tergulung ombak, Mitch dan Matt pada akhirnya harus bekerja sama demi membongkar drug case yang sudah menjatuhkan banyak korban tersebut.

lebih bagus lagi jadi penjaga pantai yang bisa berslow-motion ria

 

Semua orang punya pekerjaan, dan tentunya masing-masing dari kita akan melakukan yang terbaik atas apa yang kita usahakan, Pekerjaan boleh saja dinilai dengan gaji, akan tetapi tidak semestinya kita mengecilkan pekerjaan, menghargainya hanya dari apa yang kita tahu tentangnya. Sekecil apapun, jika dimaknai dengan sesungguh hati, maka akan menjadi gede. Penjaga pantai mungkin memang enggak punya yurisdiksi seperti polisi, tapi pada esensinya adalah sama-sama pekerjaan yang melindungi. It is as important. Pekerjaan apapun yang kita lakukan hendaknya dikerjakan sungguh-sungguh, jangan hanya asal dapet sesuap nasi.

 

Ketika kita dapat lumba-lumba CGI berakrobat dengan latar tulisan Baywatch gede sebagai sekuen pembuka, maka dosa akan ada di tangan kita apabila kita tetap nerusin nonton film ini dengan harapan bakal mendapat cerita yang bergizi. Yea, dalam film ini kita akan banyak melihat otot, daging, dan bagian-bagian tubuh lain lebih dari yang kita pedulikan. Yea, ini adalah film berdasarkan serial tv jadul yang populer bukan karena kejeniusan penulisan ceritanya. Yea, singkatnya ini adalah film bego, Kita sudah mengharapkan itu. Film ini pun tahu how awful they are. Dan mereka mengEMBRACE KE’BEGO’AN.  Ketika kita berada di dasar, tidak ada jalan lain selain ke atas. Film ini, however, nekat untuk terjun ke dasar lebih jauh lagi. Dijadikan sutradara Seth Gordonlah ini sebagai komedi yang sangat raunchy, banyak lelucon ‘jorok’, dan bagi kita yang menontonnya siap mencatat segala hal-hal negatif, we will absolutely get that.

Oke, honestly aku nonton ini karena pengen liat Alexandra Daddario. She’s good, ehm matanya bening aneeettt, tapi part cewek ini seperti yang sudah diharapkan dalam film-film genre action-komedi begini; not much. Yang sedikit mengejutkan adalah tokoh Ronnie yang diperankan oleh Jon Bass. Biasanya, tokoh tipe gini bakal hanya jadi comedic relief yang annoying, dan benar, komedi vulgar banyaknya datang dari dia, tapi Ronnie benar-benar pengen masuk ke dalam tim, dan kita melihat usahanya. Jika Mitch menyelamatkan orang-orang di pantai, maka Dwayne Johnson menyelamatkan keseluruhan film ini. Well, mungkin agak kurang berhasil, tapi bener deh, The Rock membuat film ini tampak lebih baik. Selalu kocak ngeliat The Rock diberikan kelenturan untuk ngeledek nama orang, seperti yang biasa dia lakukan di WWE dulu. Banteringnya dengan Zac Efron adalah salah satu dari sedikit sekali bright spot dalam film ini.  Menghibur melihat Zac dan The Rock saling ‘pamer otot’, berusaha saling mengungguli. Mereka berkompetisi dalam serangkaian tes fisik, dan kekonyolan dari situlah yang pengen kita liat. First half of the movie definitely entertaining, film ini menuaikan tugasnya dengan lebih baik ketika ia tetap di ranah aksi komedi yang konyol. Makanya, ketika film malah pindah ngedevelop aktivitas tokoh antagonis, jadi terasa ngedrag. Kita pengen segera balik ke Mitch dan kawan-kawan

Dan mandi di pantai. Dan tenggelam. Dan diselamatkan oleh Daddario

 

Sebenarnya enggak semudah nulis yang jelek-jelek aja ketika mengulas film ini. Secara teknis, memang ini adalah  film yang jelek. Di lain pihak, film ini berusaha untuk menjadi jelek. Source materialnya parah, dan film ini gak berniat untuk menjadi lebih dari itu. So in way, dia berhasil mencapai tujuannya. Buat penggemar serial tvnya, aka nada suntikan nostalgia dari cameo. Aku bukan fan, jadi kemunculan David Hasselhoff dan Pamela Anderson enggak sampe hilarious banget buatku. Secara keseluruhan, film ini kadang lucu, dan setengah bagian pertamanya lumayan seru. Saat film ingin membahas aspek yang membuatnya sedikit keluar dari komedi konyol, ia jadi terbentur.

Benturan paling keras adalah ketika film ini menghandle adegan aksi. Baik itu pas berantem ataupun saat adegan penyelamatan. Terdapat banyak penggunaan CGI dan masing-masing terlihat lebih tidak meyakinkan dibandingkan efek sebelumnya. Green screennya agak kasar. Api dan asap saat adegan kebakaran tidak pernah terlihat realistis. Sekuen berantem pukul-pukulan ditangani dengan banyak adegan close up dengan lebih banyak lagi pergantian angle. Sungguh sebuah langkah yang tidak perlu. Karena, sekali lagi, kita bicara tentang The Rock di sini. Dwayne Johnson bukan hanya sudah terlatih trash talking orang. CVnya yang bertuliskan mantan pegulat WWE seharusnya sudah lebih dari mengisyaratkan bahwa orang ini sudah terbiasa ‘berpura-pura’ kelahi dan direkam dalam wide shot. Ngejual adegan berantem sudah menjadi keahlian The Rock, ketika dia beraksi, kita enggak perlu capek-capek ngedit; memotong dan nyambungin adegan untuk membuat berantemnya intens. Dalam film ini, however, mereka mengacuhkan hal tersebut dan memecah adegan berantem menjadi banyak potongan adegan sehingga jadinya annoying, kita susah mengikuti.

 

 

Film ini tidak takut untuk menjadi absurd. It’s bad, but it was intended to be bad. Singkat kata, nonton film ini adalah guilty pleasure. Humornya jorok. Bagian aksinya konyol, tapi digarap mengecewakan. Pengungkapan kasusnya ala Scooby Doo. Karakternya meski tipis (penokohannya loh, bukan baju renangnya) tapi setiap dari mereka didorong oleh motivasi. Dan dari segi teknis film, it was bad. Tapi toh kita bisa juga sedikit terhibur.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for BAYWATCH.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.