RAYA AND THE LAST DRAGON Review

“The saddest thing about betrayal is that it never comes from your enemies”
 

 
Representasi dalam film itu penting. Karena film bukan milik satu golongan. Semua orang punya cerita untuk dibagikan. Representasi berarti mengakui keberagaman, dan film sudah seharusnya menyatukan keberagaman tersebut. Bukannya mengotak-ngotakkan mereka ke dalam stereotipe. Setiap bangsa, setiap kita, punya keunikan yang bersumber dari sudut pandang dan identitas. Masih banyak magic dan untouched land yang belum diangkat ke dalam film, dan Disney kini telah memalingkan wajahnya ke arah kita semua. Ke Asia Tenggara. Disney mengangkat cerita fantasi yang berakar kuat pada budaya dan mitologi – identitas – bangsa rumpun kita. Raya dalam film Raya and the Last Dragon Disney akan menjadi Princess pertama dari Asia Tenggara. Dan gadis sawo matang itu akan bertualang dalam sebuah pertunjukan animasi yang terasa seperti sangat bertuah, dekat, dan menakjubkan.
Seolah menekankan kepada kita bahwa mereka (Disney dan empat sutradara; Don Hall, Carlos Lopez Estrada, Paul Briggs, dan John Ripa) benar-benar peduli sama representasi, bahwa misi mereka bukan hanya menambang emas dari lahan belum-tergali, melainkan jauh lebih mulia yakni untuk mengusung semangat kebersamaan dan persatuan, cerita Raya and the Last Dragon dibangun dengan persatuan itu sebagai fondasinya.
Penduduk dalam semesta imaji ini tadinya bersatu, hidup berdampingan bahu-membahu bersama alam dan naga. Keharmonisan tersebut menciptakan dunia tempat tinggal yang bernama Kumandra yang udah kayak nirwana. Tapi kemunculan musuh para naga membuat mereka tercerai berai. Bukannya bersatu menghadapi musuh yang bisa mengubah apapun menjadi batu, Para penduduk Kumandra malah terpisah menjadi lima kelompok kecil yang saling memperebutkan batu mustika berisi kekuatan naga. Selama ini, batu ajaib tersebut dijaga oleh keluarga Raya. Raya akhirnya menyaksikan sendiri, dalam semangat saling curiga dan tak-percaya, batu mustika tersebut pecah diperebutkan oleh para kelompok yang ingin memilikinya untuk kepentingan masing-masing. Bertahun berlalu, Raya yang ingin mengembalikan ayahnya yang membatu, bertualang mengumpulkan pecahan batu yang tersebar, sembari berusaha mencari naga terakhir yang ia percaya masih ada untuk mengembalikan kedamaian di sisa-sisa Kumandra.

Apakah kita takut dikhianati? Atau kita berkhianat karena takut?

 
 
Raya sets on the grand adventure yang dibuat untuk gampang kita ikuti. Yang didesain untuk bisa dialami sebagai sebuah tontonan keluarga. Animasinya mulus dan detil sekali. Sepanjang petualangannya Raya akan berkunjung ke tempat-tempat yang punya pemandangan dan ciri khas berbeda. Bayangkan stage atau level dalam video game, nah begitu persisnya lingkungan yang menjadi panggung petualangan Raya. Difungsikan untuk memberikan tantangan sekaligus pembelajaran baru. Sehingga film pun terasa terus bergulir hidup (kinda like si Tuk Tuk, doesn’t it?) Aksi berantem juga digambarkan dengan sangat imajinatif, dengan kuat mengakar kepada bela diri khas Asia Tenggara. Kita akan melihat senjata dengan belati seperti keris, tapi dimodifikasi sehingga jadi bisa memanjang kayak pedang Zabimaru milik Renji di anime Bleach, kita akan melihat gaya bertarung pake dua tongkat kayak seni beladiri Filipina. Raya nantinya juga akan bertemu dengan karakter baru pada setiap tempat yang ia datangi tersebut. Karakter-karakter ini akan menjadi pendukung yang menambah kaya petualangan dan drama alias cerita film ini sendiri. Misalnya ada karakter bayi yang bisa kung-fu, yang tadinya mencopet Raya, tapi akhirnya mereka jadi berteman dan si Bayi ikut dalam petualangan Raya.
Singkatnya, karakter-karakter yang bakal jadi teman Raya itu tetap menjaga film ini kocak dan ajaib.
Panjangnya, karakter-karakter ini berfungsi sebagai kepingan yang harus disatukan oleh Raya – paralel dengan misi Raya menyatukan kepingan batu naga. Mereka semua itu adalah bagian dari suara film ini tentang persatuan itu sendiri. On the deeper level, petualangan Raya ini sesungguhnya adalah petualangan mempersatukan umat. Film ini menampilkan karakter dari banyak kelompok, yang harus belajar untuk saling percaya bahkan kepada kelompok yang udah mengkhianati mereka. Ada pembicaraan soal keberanian untuk memaafkan di sini. Ada pembicaraan soal keberanian untuk memulai itu sendiri. Raya dan generasi muda di sini adalah korban langsung dari perpecahan turun temurun, dan merekalah yang menanggung sakit. Mereka yang paling pantas untuk balas dendam dan meneruskan siklus tersebut, tapi mereka juga punya pilihan untuk menghentikan semua dan menaruh kepercayaan untuk hasil yang lebih baik ke depan. It is a tough choice, dan bahkan mungkin even tougher choice untuk memasukkan elemen cerita seperti ini ke dalam tayangan untuk keluarga. Untungnya, film ini percaya bahwa anak-anak sekalipun akan nonton sambil berpikir. Bahwa anak-anak sanggup dan perlu memahami plot yang benar-benar punya daging. Disney sepertinya memang udah paham kalo anak-anak butuh sesuatu untuk didiskusikan dengan ringan bersama orangtua atau keluarga, makanya setiap film mereka selalu bergizi oleh gagasan dan pembelajaran. Dan yang ingin dibicarakan oleh Raya ini adalah soal persatuan, soal mempercayai sesama. Siapa lagi yang paling perlu untuk mengerti dan memandang positif dari semua itu kalo bukan anak-anak?

Dikhianati itu memang menyakitkan, dan bikin trauma. Bikin kita susah untuk percaya lagi pada orang. Pengkhianatan itu terasa menyakitkan karena pengkhianatan itu adalah tusukan yang datang dari teman. Dari teman. Bukan musuh. Itulah yang harus kita ingat; bahwa that was our friend. Dengan teman seharusnya kita bersatu. Kita harus belajar untuk memaafkan dan belajar untuk menumbuhkan rasa percaya itu kembali. Demi teman. 

 
Makanya, relasi yang paling memorable dan paling berkesan di film ini bagiku adalah antara Raya dengan Namaari; anak dari kelompok sebelah yang udah mengkhianati Raya berkali-kali. Rivalry dan dinamika mereka sepanjang film terasa grounded dan sangat emosional. Beban dramatis kepada Namaari dan Raya itu kerasa banget, karena sangat personal. Bagi Namaari ini adalah tugas yang dipaksakan kepadanya oleh sang Ibu; tugas yang bertentangan dengan nuraninya sendiri. Sementara bagi Raya, dia udah bertekad untuk enggak percaya lagi. Satu-satunya yang Raya percaya adalah Susi — eh kebalik, Sisu sang naga air yang berhasil ia temukan. Relasi antara Raya dengan Sisu dimainkan dengan lebih ringan, dan difungsikan pertama sebagai hiburan. Raya dan Sisu ini kayak gabungan Aladdin-Genie dengan Marlin-Dory. Keajaiban Sisu disambut wonder yang seru dan mengasyikkan dari Raya, sementara itu juga sikap Sisu yang gampang percaya sering membuat Raya sedikit senewen, seperti Marlin yang enggak mau mempercayakan apapun kepada Dory padahal usulan Sisu dan Dory sebenarnya kita tau sama-sama benar. As for me, pada awalnya aku pun agak senewen juga sama karakter Sisu. Candaannya banyak yang agak kurang ngena, misalnya candaan soal kerja kelompok di sekolah. Lucu, tapi terasa terlalu modern. Kayak dilontarkan langsung oleh Awkwafina as a person. Pertama-tama memang aku ngerasa kurang sreg sama voice acting Awkwafina sebagai Sisu – aku gak bisa melihat dia sebagai karakter. Namun seiring berjalannya durasi, karakter Sisu grows on me, begitu juga dengan akting penyulih suaranya tersebut.

Daripada ngumpulin 7 bola naga, mendingan ngumpulin lima pecahan batu naga ajah!

 
 
Desain visualnya-lah yang terutama menonjolkan representasi tersebut. Sisu bentukannya beda banget ama naga-naga di Eropa. Ngeliatnya langsung terasa ‘Asia banget’. Salah satu elemen representasi menarik yang dilakukan oleh film ini adalah tentang bagaimana makanan menyatukan manusia. Akan ada beberapa kali adegan karakter berunding di meja makan, bahkan strategi ayah Raya untuk menyatukan kelima kelompok adalah dengan menjamu mereka makan. Kalo udah urusan perut memang kita biasanya akur, dan itu kayaknya terjadi buat semua manusia di muka bumi, tapi paling tidak dari elemen tersebut kita melihat beberapa sajian makanan yang bentuknya dibuat mirip sama makanan yang kita kenal.
Visual dan karakterisasi yang kuat berhasil dicapai. Perjuangan film ini adalah pada penceritaannya. Walaupun arahannya udah mantap, membuat film ini berjalan cepat dan mulus dan tidak pernah menjadi berat dan gak jelas kayak lore pada Frozen II (2019), tapi pada awalnya tidak demikian. Film seperti Raya and the Last Dragon selalu punya batu sandungan berupa eksposisi. Keperluan untuk menjelaskan dunia dan segala aturannya. Film ini berusaha melakukannya dengan penempatan yang asik, dan tentu saja lewat visual yang menarik – beberapa eksposisi film ini diceritakan pakai animasi yang kayak wayang – tapi tetap membuat film ini agak terbata sedikit. Perasaan dan pikiran para karakter pun terkadang cenderung untuk diejakan sehingga beberapa penonton mungkin akan merindukan sekuen nyanyi yang biasa muncul pada film Princess Disney yang difungsikan untuk memperlancar penyampaian eksposisi dan perasaan karakter.
 
 
 
Raya dalam bahasa kita berarti besar, dan film ini memang sebesar itu! Film kayak begini ini-lah yang bikin kita rindu sama bioskop. Film dengan visual yang menakjubkan dan menerbangkan imajinasi. Film yang menyuguhkan petualangan seru, sambil mengisi kita dengan gagasan yang berharga. Film yang bisa kita relasikan, baik dari cerita atau kejadian, maupun dari kedekatan representasi. Terasa seperti kita menjadi bagian dari film, dan terasa seperti kita diajak bicara langsung oleh filmnya. Film yang dihidupi oleh karakter-karakter yang beresonansi dan tidak mungkin terlupakan dalam waktu dekat. Film yang sendirinya terasa benar-benar berjuang mengatasi kelemahannya. Eksposisi tidak membuat gentar film ini, yang dengan semangat pick up the pace dan paham untuk tidak membuat kita berberat-berat ria. Semoga ini bukan jadi film terakhir yang berhasil seperti begini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RAYA AND THE LAST DRAGON
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa kita damai di depan makanan? Bagaimana makanan dapat mempersatukan kita?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

FLORA & ULYSSES Review

“What doesn’t kill you makes you stronger”
 

 
Ada dua tipe anak kecil. Anak kecil yang pengen dirinya jadi superhero. Dan anak kecil yang pengen sobatan ama superhero. Flora dalam film Flora & Ulysses condong termasuk ke tipe yang kedua. Meskipun sebenarnya semakin hari Flora semakin tidak percaya pada superhero. Semakin tidak percaya ada pahlawan yang datang menolong keluarganya, membantu ayah dan ibunya yang semakin renggang. Di saat Flora sudah memantapkan diri sebagai seorang Cynic alias seorang sinis yang tidak percaya keajaiban, dia bertemu (atau lebih tepatnya menyelamatkan) seekor tupai yang tersedot ke dalam mesin vacuum cleaner. Dan oleh peristiwa tersebut, sang tupai yang ia beri nama Ulysses itu jadi memiliki kekuatan super!
Flora & Ulysses yang diadaptasi dari novel anak berjudul sama ini akan menempatkan kita pada petualangan superhero yang tidak biasa, yang dunianya dihidupi oleh humor-humor dan karakter lucu, yang seringkali menyentil dunia komik dan superhero itu sendiri.
Bagaimana enggak menyentil coba? Ini adalah film yang bicara tentang superhero tapi protagonisnya sendiri sudah mulai capek untuk percaya pada superhero. Meletakkan sudut pandang demikian ke dalam seorang anak kecil jelas jadi setting karakter yang menarik. Flora ini dibesarkan oleh dongeng-dongeng superhero, sebab ayahnya adalah komikus. Flora diperlihatkan masih acapkali ngobrol dengan para karakter komik bikinan sang ayah (mereka jadi seperti teman imajinasi Flora), tapi Flora aware mereka cuma imajinasi dan tahu persis mereka gak bisa membantunya. Jadi Flora memutuskan untuk bertindak sendiri. Dengan demikian, Flora ini jadi seperti sentilan bagi kita yang udah dewasa yang tidak actually ngelakuin apa-apa selain cuma berkhayal punya kekuatan super atau punya jalan keluar ajaib dari setiap permasalahan.

Superpowerku adalah kekuatan mutant, yakni mut-mutant dalam menjalani sesuatu

 
Kata “&” pada judul itu berhasil diseimbangkan. Walaupun di sini bukan dia yang punya kekuatan super, tapi film ini berhasil mengembangkan permasalahan Flora di balik petualangan superhero yang jadi lapisan terluar, lapisan yang membuat film ini seru sekaligus lucu. Film ini berhasil bikin Flora yang lebih memilih menjadi sidekick, tetap mencuat sebagai tokoh utama. Sementara itu, Ulysess si Tupai Super juga mendapat porsi yang cukup besar. Si Tupai ini dihidupkan dengan efek komputer. Desainnya tetap kayak tupai asli, tapi karena berupa CGI, karakter Ulysses ini jadi bisa melakukan banyak gerakan yang lucu-lucu. Mulai dari meniru pose superhero di komik Flora (suatu ketika dia meniru Spider-Man yang lagi gelantungan!) hingga melakukan aksi kecil-kecilan kayak ‘berantem’ dengan hiasan meja. Kita melihat Ulysses belajar dan mengembangkan kekuatannya. Kita melihat Ulysses mencoba membantu keluarga Flora lewat ketikan puisi (yes, salah satu superpower Ulysses adalah kekuatan mengetik kata). Kita melihat petualangan Ulysses berhadapan dengan musuh bebuyutan berupa si Penangkap Hewan (berseragam begitu, Danny “Abed” Pudi jadi mirip Matthew McConaughey hihihi). Film ini butuh CGI untuk menghidupkan Ulysses, tapi tidak pernah benar-benar bergantung kepada efek tersebut. Karena porsi pengembangan yang dibuat seimbang, dengan sudut pandang yang dijagai tetap pada Flora, maka film ini tidak pernah keluar dari jalur.
Penampilan Matilda Lawler sebagai Flora di sini super pas sekali. Keceriaan dan sarkasnya berhasil ia deliver dengan baik. Menjadi seorang Cynic bagi Flora berarti adalah melakukan banyak observasi. Menarik sekali melihat Flora yang excited banget untuk jadi sidekick dari Ulysses si Tupai Super. Flora ingin membantu Ulysses menemukan purposenya karena setiap superhero punya purpose. Anak ini bukannya gak percaya pada keajaiban, dia toh mau membantu dan percaya ada tupai yang jadi pahlawan super. Kurasa dari sinilah sebenarnya kepedulian kita terhadap Flora berasal, film memantik emosi yang subtil sekali di balik sikap ceria Flora yang membantu tupainya. Bahwa dia ini adalah anak yang sebenarnya sangat terpukul oleh keadaan keluarganya, oleh ayah ibunya yang berpisah.
Film ini memang tak lupa untuk berpijak pada permasalahan yang menapak ke tanah, yakni permasalahan dalam keluarga. Dalam hal ini, yang dibahas adalah keluarga yang berpisah. Ayah dan Ibu Flora juga mendapat porsi pembahasan dalam cerita. Ayah Flora, seorang komikus, dan ibu Flora seorang novelis romansa. Keadaan ekonomi membuat mereka bukan saja harus pisah-rumah, melainkan juga harus pisah dari passion masing-masing. Ayah Flora kini jadi karyawan toko, sementara ibunya masih pengen nulis tapi mandek – gak bisa lagi bikin sesuatu yang romantis.  Ini tentu saja permasalahan yang besar untuk setiap anak seusia Flora. But she didn’t beat herself up about it. Film pun tidak lantas jadi ajang mewek-mewekan. Flora begitu penuh imajinasi dan optimis dan – betapapun dia bilang enggak mau, dia tetap penuh oleh – harapan. Harapan inilah yang diam-diam jadi superpower Flora. Dia gak sadar bahwa dengan sikapnya, dia sudah jadi pahlawan bagi Ulysses, Ayah, Ibu, dan kehidupan di sekitar.
Tone ceria dan enerjik tetap dipertahankan oleh film ini. Jika tidak sedang menghangatkan kita oleh hubungan keluarga ataupun oleh petualangan seru, film ini akan bikin kita ngakak oleh selera humor yang juga super. Serius. Sarkasnya si Flora? Cek bikin ketawa. Dialog yang make fun of comic book and superhero? Cek bikin ngikik. Dan tak ketinggalan humor simpel yakni slapstick. Aku lebih banyak ketawa nonton film ini dibandingkan nonton Tom and Jerry (2021) kemaren. Flora & Ulysses adalah contoh yang benar untuk gabungan animasi dan live-action yang melibatkan hewan dan manusia. It uses characters very well, dan benar-benar mendesain komedi dari para karakter tersebut, pada apa yang mereka lakukan. Pada Flora & Ulysses ini, dunia itu benar terasa luas, akan selalu ada karakter yang memberikan kejutan yang lucu. Skit kucing galak yang nyakar dari balik semak aja sukses bikin aku guling-guling.
The friendly Neighborhood Cynic-Man

 
Meskipun demikian, tidak pernah terasa humornya receh. Film garapan Lena Khan ini tidak meledek siapapun – kecuali mungkin para man-child penggemar komik kelas berat itu tadi – dan itupun dilakukan dengan penuh respek. Ada satu elemen yang menurutku dilakukan dengan berani oleh film ini. Yakni karakter ally alias teman manusia Flora yang bernama William (sekali lagi Benjamin Evan Ainsworth dapat lawan main bernama Flora). William diceritakan buta sementara. Dan sikap karakter ini terhadap kebutaannya sering menjadi becandaan buat film ini. William mengatakan dia punya kemampuan echo-lokasi kayak kelelawar, atau dia sering nabrak dan jatuh tapi dia oke aja karena menganggap dirinya punya kemampuan menyerap tubrukan kecil. Sikapnya ini lucu, tapi tidak pernah tampak sebagai olok-olok buat penyandang kebutaan. Awkwardnya interaksi antara Flora dengan William dimainkan seperti gambaran ringan yang bisa dijadikan contoh untuk anak-anak yang punya pertemanan seperti mereka. Film menggebah mereka untuk bersikap biasa saja, tidak melecehkan, dan tidak pula mengasihani berlebihan.

Setiap superhero terlahir dari peristiwa yang membuat mereka hampir celaka. Mereka mendapat kekuatan dari sana. Ini bisa dibawa ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Masalah yang dihadapi, adalah tantangan, yang harusnya bikin kita lebih kuat dengan berani menghadapinya. Will buta, but dia hadapi apa yang di depannya dengan berani. Flora punya segudang masalah meluarga, tapi ia hadapi, mainly dengan berharap semua bisa lebih baik. 

 
Will boleh jadi enggak bikin kita jadi males nonton film ini karena digarap dengan banyak respek. Tapi ternyata ada satu lagi yang berpotensi bikin turn-off. Yakni referensi tak-ada-abisnya ke dunia komik. Film ini sendirinya sudah punya hati dan komedi yang work out perfectly, tapi film tidak bisa menahan diri untuk memasukkan banyak referensi ke komik beneran. Awalnya memang lucu, Flora dalam narasinya menyebut komik seperti Wolverine, terus ada referensi ke Spider-Man tadi, tapi lama-lama ya kayak mengganggu aja. Karena film kan punya komik di dunianya sendiri, komik buatan ayah Flora. Film ini enggak benar-benar butuh menyebut komik yang beneran ada. At this point, mereka melakukannya hanya karena bisa. Nah inilah yang bikin kita sinis, bahwa referensi itu cuma promosi produk Marvel aja. Disney owns them, dan yea, mereka bisa melempar referensi sebanyak yang mereka mau di sini – untuk promosi. Tentu tak mengapa, sebenarnya. Kalo dilakukan dengan elegan, memang mengasyikkan. Tapinya juga, kalo enggak ada adegan-adegan referensi itu pun, film ini masih akan bisa bekerja.
 
 
Selain soal itu, aku gak menemukan hal lain yang bisa jadi permasalahan untuk orang dalam menonton film ini. Petualangan dan komedinya silly enough untuk menjadi seru, tapi tidak melanggar batasan receh atau disrespectful. Film ini sesekali make fun of comic book trope, but that’s about it. Ceritanya ngajarin tentang piaraan dan tanggung jawab, tentang keluarga, tentang persahabatan, tentang berimajinasi, dan semua itu dilakukan dengan enggak pandering, enggak memanjakan anak-anak. Karena itulah film ini bisa dibilang the true superhero yang dibutuhkan oleh anak-anak di tengah keringnya film yang bisa benar-benar mereka idolakan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for FLORA & ULYSSES
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Enak banget jadi Flora punya ayah yang bikin komik. Dulu ayahku membatasi, bahkan bisa dibilang melarang, baca komik. Apakah kalian dulu tim komik atau tim novel? Kenapa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

STAND BY ME DORAEMON 2 Review

“You need to be happy with yourself or you’ll never be able to be happy in a relationship”
 

 
 
Tentu saja Doraemon punya tempat spesial di dalam diriku. Aku tumbuh besar dengan mengkhayal punya alat-alat ajaib seperti yang ada di kartun Doraemon yang tak pernah ketinggalan ditonton. Aku beberapa kali nekat bolos ngaji supaya bisa nonton Doraemon. Aku – yang waktu itu masih berumur empat tahun – bahkan bersikeras memberi adikku nama Nobita, meskipun ternyata adikku itu adalah perempuan. Orangtuaku ngalah, tapi toh mereka berhasil membujukku mengganti huruf ‘b’ di Nobita menjadi huruf ‘v’. Alhasil kasian adikku, sampai sekarang dia selalu dituduh lahir di bulan November padahal lahirnya itu di bulan September.
Mengenai Nobita, memang, orangtuaku dulu selalu mewanti-wanti untuk tidak menjadi seperti Nobita. Jangan jadi anak cengeng kayak Nobita. Gak boleh niru Nobita yang penakut. Jangan kerjanya malas-malasan nanti jadi kayak Nobita. Rajin belajar, jangan sampai nilainya nol kayak Nobita. Ah, Nobita, Nobita… Kalo dipikir-pikir sekarang, Nobita boleh saja selalu dapat nilai merah dalam pelajaran sekolah. Tapi untuk pelajaran kehidupan, Nobita tak pelak adalah juara kelasnya. Dalam film Stand by Me 2 ini saja, petualangan Nobita menembus waktu akan banyak memberikan dirinya – dan kita semua – pelajaran berharga tentang menemukan rasa bahagia atas diri sendiri demi membahagiakan semua orang di sekitar kita.

Akhirnya menikah, tapi kok malah sedih?

 
 
Hari itu berawal cukup normal di rumah Nobita. Doraemon sedang maintenance alat-alat di kantongnya. Dan Nobita… well, dia barusan kena omel sama Ibu karena ketahuan menyimpan nilai nol. Nobita jadi kangen sama neneknya yang udah meninggal. Kata Nobita nenek adalah satu-satunya yang sayang sama dia. Lantas pergilah Nobita dan Doraemon ke jaman dirinya masih kecil naik mesin waktu. Untuk bertemu Nenek. Cerita keseharian seperti inilah yang bikin Doraemon itu gampang melekat untuk anak kecil. Kita melihat kehidupan Nobita itu ya gak jauh dari kehidupan kita. Tentunya waktu kecil kita pernah sekali dua kali ngayal kita adalah anak pungut saat dimarahi ayah-ibu. Ngayal kalo ada orang dewasa lain di luar sana, yang lebih baik dan rajin beliin mainan, yang bakal datang menjemput kita karena mereka adalah orangtua kita yang sebenarnya. Kita lebih senang sama nenek kakek karena mereka gak pernah marahin dan selalu manjain kita. Menonton cerita seperti ini sekarang, berhasil melempar aku ke nostalgia. Bukan hanya nostalgia kepada dunia Doraemon yang ajaib dan penuh oleh karakter-karakter yang terasa akrab, tapi sekaligus juga nostalgia kepada masa kecil diriku sendiri.
Film ini tahu persis siapa penonton mereka. Aku benar-benar merasa film ini dibuat untuk diriku. Setelah menyambut kita dengan manisnya nostalgia, sutradara Ryuichi Yagi yang kali ini team up sama Takashi Yamazaki, mulai menghidangkan daging sesungguhnya dalam cerita. Sekuel Stand by Me ini dihadirkan sama seperti film pertama yang keluar enam tahun yang lalu; permasalahan Nobita dan Doraemon di sini bukanlah perihal petualangan besar ke dunia luar seperti pada film panjang kartunnya. Melainkan permasalahan yang lebih dekat ke ‘rumah’. Yagi dan Yamazaki mengajak penonton Nobita dan Doraemon yang kini telah dewasa untuk mengarungi permasalahan yang juga sama dewasanya. Nenek Nobita ingin melihat pasangan cucu kesayangannya tersebut saat menikah. Permintaan yang gampang bagi Nobita, karena dia sudah tahu di masa depan bakal menikah dengan Shizuka, dan dia tinggal mempertontonkan pesta mereka kepada Nenek lewat Televisi Waktu. Namun ada sesuatu yang salah. Pesta itu gak mulai-mulai, karena Nobita di masa depan, Nobita Dewasa yang akan menikah itu, tidak kelihatan ada di mana-mana. Maka bergegaslah Nobita dan Doraemon ke masa depan, mencari Nobita Dewasa dan membetulkan banyak hal sebelum semuanya terlambat. Sebelum masa depan Nobita berubah menjadi tanpa Shizuka.
Tidak seperti film pertamanya yang tersusun dari beragam cerita dan episode dari komik/kartun, film animasi 3D kedua ini lebih fokus pada satu permasalahan. Walau memang banyak yang actually akan dikejar dan dikerjakan Nobita, tapi semuanya mengerucut ke satu permasalahan yang sama. Yakni kenapa Nobita di masa depan menghilang dan seperti jadi bimbang (got cold feet) beberapa jam sebelum menikah. Film kali ini actually membahas sangat personal seputar karakter Nobita itu sendiri. Narasinya disusun sedemikian rupa dalam membangun rasa insecure dan ketidakpuasan Nobita terhadap dirinya sendiri. Mulai dari bagaimana Nobita penasaran dirinya anak pungut atau enggak, hingga ke bagaimana Nobita enggak suka sama namanya, dan tentu saja ke bagaimana Nobita Dewasa merasa kasihan sama Shizuka yang mau menikah karena ingin melindungi dirinya. Semua eksplorasi soal itu diceritakan dengan cukup subtil sehingga terlihat di permukaan sebagai celotehan anak bandel yang konyol. Ini tentu saja karena film ini tidak melupakan para penonton cilik. Kelucuan tingkah serta keajaiban dunia dan karakter-karakternya tetap dijadikan pesona utama untuk dinikmati oleh anak kecil. Sementara di balik itu semua, para penonton dewasa (yang sudah setia bersama Nobita dan Doraemon sejak kecil) bisa merasakan sesuatu yang relate alias mewakili perjalanan hidup mereka. Di balik Nobita mencela dan mendebat pilihan Nobita Dewasa lewat percakapan yang sangat amusing, kita tahu bahwa itu adalah cara film menggambarkan kontemplasi karakter lewat kekhususan dan identitas Doraemon itu sendiri.

Di dalam diri kita akan selalu ada sosok anak kecil yang rapuh dan selalu ‘ingin dimanja’. Di dalam diri kita semua, akan selalu ada si Nobita. Itulah yang diajarkan oleh film ini lewat kisah Nobita yang kabur dari pernikahannya sendiri. Bukan karena dia tidak cinta lagi, tetapi justru karena dia cinta makanya dia kasihan kepada Shizuka yang mau padanya. Kini hanya dirinya sendiri yang bisa menyelamatkan dirinya. Masalahnya dia justru menganggap dirinya sendiri sebagai masalah. Padahal Nobita – dan Nobita dalam diri kita yang vulnerable – bukanlah sesuatu yang perlu dibenci atau dienyahkan. 

 
Setting Nobita menikah bukan hanya kuat di nostalgia, tapi juga membentuk panggung yang menarik, yang mampu memikul banyak bobot emosional untuk disampaikan kepada kita. Karena perihal Nobita menikah dengan Shizuka itu sudah sejak dari zaman kartun televisi, bahkan zaman komiknya, selalu jadi goal dramatis dari karakter Nobita ‘si anak lemah’ itu sendiri.

Rasanya pengen menyelimuti diri sendiri dengan Selimut Waktu

 
 
Semua itu dilakukan dalam balutan petualangan menembus waktu. Elemen time-travel ini memang selalu jadi bagian penting dalam semesta Doraemon. Dan dalam film ini pun, sebagaimana film-film kartunnya, elemen time-travel ini dilakukan dengan detil tanpa menjadi memberatkan. Cerita didesain betul supaya elemen time-travelnya benar-benar terikat dan tidak menimbulkan loop yang mengganggu. Sehingga meskipun film ini periodenya luas – menyangkut masa lalu, masa kini, dan masa depan Nobita – tapi tetap terasa contained. Ceritanya tertutup dan gak meluas menjadi teori-teori yang gak perlu.
Akan tetapi, tentu saja elemen time travel yang bertemu dengan konsep alat-alat ajaib, akan beberapa kali membawa cerita sampai pada titik eksposisi. Akan ada beberapa adegan yang terdengar terlalu ‘telling’ dan membuat emosi film harus tertunda. Untuk sebuah cerita yang memfokuskan pada sisi emosional karakter, dan petualangan time travel, film ini memang at times sedikit terlalu mendikte. Ada beberapa dialog yang sepertinya bisa lebih manis dan berasa jika diperlihatkan lewat emosi atau ekspresi visual. Emosinya lebih banyak dituturkan. Mungkin ini ada kaitannya dengan budgetnya. Film ini walaupun terlihat sangat kawaii dan lembut, memainkan lingkungan tiga periode berbeda dengan detil dan distinctive, tapi dari segi karakter-karakter, mereka seperti terbatas.
 
 
Dengan lebih memfokuskan kepada karakter Nobita dibandingkan petualangan Doraemon dan kawan-kawan, film ini berhasil memberikan bobot kepada nostalgia dan haru-haruan yang mereka incar. Hubungan antara Nobita dengan karakter lain seperti Doraemon, Shizuka, Neneknya, Ayah-Ibunya, dan bahkan Giant dan Suneo berhasil dikembangkan dengan dewasa. Film ini menggunakan time-travel dengan ringkas sebagai elemen utama sehingga tidak memberatkan cerita. Malah film ini sebenarnya berhasil menjadi cukup simpel tapi sangat mengena bagi kita semua. Bahkan bagi penonton lepas yang somehow belum pernah nonton Doremon sebelumnya (jika ada)
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for STAND BY ME DORAEMON 2
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Saat masih kecil, alat doraemon apa yang kalian paling ingin punya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

Elimination Chamber 2021 Review


 
Menuju Elimination Chamber 2021, kita semua berpikir bahwa Roman Reigns adalah orang yang paling curang sedunia. Bagaimana tidak? Menggunakan powernya sebagai juara bertahan, Reigns sukses memaksakan kehendaknya kepada manajemen sehingga dia bisa untuk tidak ikutan bertanding di dalam Kandang Setan. Alih-alih seperti juara dunia di brand sebelah – Drew McIntyre harus hancur-hancuran banting tulang melawan lima mantan juara dunia lainnya di dalam pertandingan maut – Reigns simply tinggal nungguin penantangnya ditentukan dari luar kandang. Roman Reigns benar-benar dapat privilege juara malam ini, dia akan bertanding dalam keadaan segar bugar melawan penantang yang jelas sudah amburadul dari Chamber.
Tapi, kita meninggalkan Elimination Chamber dengan mengetahui bahwa bukan Roman Reigns seorang yang jadi curang sedunia di malam hari bertanggal cantik tersebut (PPV ini diselenggarakan pada 2.21.21, menurut waktu setempat). The Miz; menghabiskan sepanjang tahun 2020 dengan perbuatan curang kecil-kecilan. Mulai dari mencoba merebut kejuaraan dengan pertandingan Handicap bareng rekan tag teamnya, lalu menipu Otis supaya mau mempertaruhkan koper Money in the Bank, dan lantas actually memenangkan koper itu – secara apalagi kalo bukan, secara curang. Miz sempat kehilangan koper itu, tapi dia berhasil mendapatkan kembali kesempatan emas itu dengan beragumen masalah teknis. Turns out, puncak semua itu ternyata jauh lebih ngeselin lagi karena The Miz terlihat benar-benar seperti merencanakan semuanya. The Miz, seperti Reigns, menolak untuk tampil dalam pertandingan Chamber. Dan kemudian, kita melihat The Miz melakukan tawar menawar tentang sesuatu kepada manajer The Hurt Business. Rencana dan build up kecurangan The Miz terbayar tuntas, seperti yang kita lihat di akhir acara Elimination Chamber ini. Dia memenangi kejuaraan WWE dalam sirkumtansi yang diperlihatkan seperti heist terbesar di dalam dunia ring segiempat.
Jadi dengan begitu, kita melaju semakin dekat dengan WrestleMania, dengan disupirin oleh dua juara dunia heel yang curang. Dan ini tentu saja merupakan build up yang sangat menarik. Namuuun, di balik semua itu, aku tidak bisa mengenyahkan perasaan merasa dicurangi yang lebih menohok. Bahwa penulis dan produser di WWE-lah yang sesungguhnya menjadi paling curang sedunia (dan akhirat) dalam skenarion yang ternyata lebih bercabang-cabang daripada kelihatannya ini.

There is some ‘business’ going on…

 
Kita melihat akhirnya Edge – pemenang Royal Rumble 2021 – memutuskan pilihan. Dia menyerang Roman Reigns sebagai bentuk pernyataan bahwa dia akan menantang sabuk si Head of the Table itu di WrestleMania bulan April nanti. Semuanya seperti sudah clear, in terms of feud gede untuk acara terbesar WWE tersebut. Tapi gak pernah benar-benar tampak se-clear itu, karena keadaan yang aneh dari proses menuju pilihan tersebut. The Smackdown Elimination Chamber Match.
Partai pembuka yang penuh aksi-aksi gulat spektakuler, berlangsung selama tiga-puluh menit lebih. Memuat sidestory antara Kevin Owens dengan Jey Uso. Memuat character development yang menarik dari seorang Sami Zayn. Memuat penampilan superhuman Cesaro, yang baru-baru ini mendapat push baru. Memuat perjuangan tak-kenal menyerah Daniel Bryan, sang favorit semua orang. Match ini dibuka oleh Cesaro dengan Daniel Bryan, yang sendirinya tampak seperti dream match. Partai Elimination Chamber ini, yang pemenangnya bakal langsung menantang kejuaraan Roman Reigns ini, otomatis terbuild up sebagai sebuah epik perjuangan si pemenang nanti. Dan WWE benar-benar total, menggarap cerita perjuangan hebat – The Rise of the Ultimate Challenger , mereka menjadikan Daniel Bryan sebagai bintang yang bahkan lebih besar lagi di sini. Bryan harus mulai di match brutal ini sedari menit awal, Bryan harus bertarung dengan cedera lutut. He overcomes the odd. Mengalahkan strategi curang Reigns yang ‘menanamkan’ Jey Uso (sepupu yang jadi anak buah Reigns). Ketika musik Reigns berkumandang menandakan kedatangannya, we want to see Daniel Bryan yang udah kelelahan itu pulled one more miracle. Puncak dramatisnya tentu saja adalah ketika Bryan kalah. Meninggalkan kita dengan “Reigns curang! Reigns gak bakal bisa menang kalo Bryan masih kuat!!” Yang dibangun WWE di sini adalah cerita yang sempurna untuk feud di WrestleMania.
Makanya kedatangan Edge, yang membuat pilihannya itu, jadi terasa mencurangi kita semua. Reigns melawan Edge tentu saja bakal hebat, tapi buatku such a waste banget cerita Bryan dengan Reigns yang udah sedramatis itu harus dihentikan dan diganti dengan feud yang baru mulai lepas landas. Sehingga aku jadi gak yakin kalo ini benar adalah sebuah keputusan. Karena kemungkinan Triple Threat antara Reigns – Edge – Bryan jadi terbuka lebar. Atau, mereka bisa bikin Reigns melawan Bryan di Fastlane bulan depan, tapi match tersebut niscaya bakal terasa seperti filler gede doang.

Atau, apakah ini sebenarnya tanda bahwa WWE memang masih meraba-raba untuk WrestleMania, bahwa masih belum ada yang fix, dan semuanya masih bisa berubah. WWE hanya baru menaruh para ‘pemain’ di dalam kandang, dan mereka mencoba semua kemungkinan sambil jalan?

 
Karena, ini bukan kali pertama WWE menghentikan sesuatu yang lagi anget-angetnya. Ingat gimana Shinsuke Nakamura berjaya di Gauntlet Match, dikembalikan memakai entrance lama supaya penonton mendukung? Ya itu kejadiannya belum lama. Tapi lihat di mana Nakamura sekarang. Dia bahkan gak ikutan di Elimination Chamber ini (yang ada malah si Baron Corbin, ugh!) Push Nakamura immediately dihentikan, WWE saat itu memilih untuk meneruskan Owens sebagai penantang Reigns, meskipun storyline Owens di situ sebenarnya udah mentok.
Dan, tentu saja si Edge. Ingat tahun lalu berita gencar mengabarkan Edge bakal lanjut melawan Orton untuk WrestleMania sekarang ini? Well, yea, rumor tersebut sebenarnya masih bisa untuk jadi ‘kenyataan’. Edge could easily facing Orton, seperti misalnya dengan membuat Orton juara di Elimination Chamber ini, dan kemudian mengalahkan Bray Wyatt di Fastlane, once and for all. Tapi WWE memilih untuk nge-scrap kesemuanya. Termasuk masalah Orton dengan Bray Wyatt (dan Alexa Bliss). Masalah tersebut masih diulur entah untuk sampai kapan. Aku expecting ada penampakan The Fiend mengganggu Orton di Chamber ini, tapi ternyata tidak. Orton malah dibuat gagal oleh ‘hantu-hantu’ dari feud masa lalunya dalam pertandingan malam ini.

“Fickle!”

 
Soal The Miz jadi juara lagi, aku sih happy-happy aja. Setiap kali ada superstar yang storytelling dan promonya bagus dikasih sabuk, aku senang. Aku tipe penonton yang lebih suka sama kerja karakter daripada kerja loncat-loncatan di atas ring. Yang aku kurang sreg dari kejadian Miz jadi juara di sini adalah begitu banyak variable yang bekerja. Sekali lagi, karena WWE jadi masih kayak meraba-raba. Juga, karena aku pesimis – track record WWE soal kontinuiti memang bikin pesimis duluan. Cerita Miz ini melibatkan MVP, Bobby Lashley, Drew McIntyre tentunya, dan John Morrison. Ke mana WWE akan membawa cerita ini? Apakah di WrestleMania nanti mereka akan Fatal 4 Way – atau malah mungkin 5 Way, mengingat Sheamus juga ternyata ada andil dalam cerita McIntyre. Yang jelas, Sheamus dan McIntyre adalah inti dari Chamber match brand Raw kali ini. Apakah feud mereka berdua itu juga akan discrap begitu aja oleh WWE?
We really can’t tell karena WWE juga memang tampak sama sekali masih belum pasti juga. Mereka bisa tampak bersikukuh build up dan kemudian menghilangkannya gitu aja, hanya dalam beberapa jam sebelum tanding. Seperti yang mereka lakukan dalam match Asuka lawan Lacey Evans untuk acara ini. Match yang udah diiklankan tersebut, mendadak tidak jadi tampil. Entah itu karena Evans hamil beneran, atau WWE udah sadar dan nyerah kalo fans tuh gak mau storyline sinetron, apalagi melibatkan Charlotte yang gak belum kuat pada penampilan storytelling.
Sehingga, sejauh ini, kedua kejuaraan utama masih punya kemungkinan untuk dilangsungkan beramai-ramai, alias bukan satu-lawan-satu yang lebih bergengsi. Dan actually kalo kita lihat acara ini, malah ada satu partai lagi yang kemungkinan bakal jadi Triple Threat juga di WrestleMania nanti. Yakni partai Kejuaraan Cewek di Smackdown. For some reason, WWE belum memastikan siapa lawan Bianca Belair di Wrestlemania, dan kita malah mendapat storyline antara Bianca dan Sasha Banks (yang harusnya ditantangnya) dengan Reginald, manager dari Carmella. See, masih ngambang kayaknya semua. Dari cerita mereka berkembang, Reginald yang kayak suka ama Sasha bisa jadi adalah bagian dari rencana Carmella. Segala kemungkinan Triple Threat atau partai ramean kayak gini sesungguhnya juga merupakan pertanda bahwa masih banyak yang di luar itu yang belum mendapat perhatian dari WWE. Asuka belum jelas gimana nasibnya, tag team cowok, Intercontinental, tag team cewek, semuanya masih belum ada storyline yang fix. Kita tuh dibuat persis kayak adegan awkward di match tag team cewek di acara ini. Kita persis kayak Bianca Belair yang kebingungan mau menangkap Sasha Banks yang mau dilempar oleh Nia Jax, tapi Nia Jaxnya masih ragu-ragu.
 
 
 
WWE Elimination Chamber 2021 adalah show yang cukup ‘aneh’ buatku. I feel like, aku harusnya merasa senang dan happy, tapi juga membuatku waspada. Karena masih begitu banyak tampaknya yang masih ‘belum jelas’ dari segi story. At it worst, aku merasa seperti ikut dicurangi olehnya. Pertandingan pengisinya sebenarnya cukup seru. Enggak banyak jumlahnya, namun cukup untuk membuat kita betah duduk. Yang paling gak-banget adalah match tag team cewek, yang endingnya terlalu simpel dan dibuat-buat. Sedangkan, dua match Chambernya sukses nonjok. Yang satu isinya mantan juara dunia. Yang satu lagi dahsyat oleh sebagian besar superstar papan tengah yang tengah di-push sebagai main eventer baru, sehingga mereka pull out all the stops! The Palace of Wisdom menobatkan MATCH OF THE NIGHT kepada SMACKDOWN ELIMINATION CHAMBER
 
 
 
Full Results:
1. SMACKDOWN ELIMINATION CHAMBER Daniel Bryan jadi pemenang atas Jey Uso, Cesaro, Kevin Owens, Sami Zayn, dan Baron Corbin
2. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Roman Reigns menang mudah dari Daniel Bryan yang udah capek
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Riddle jadi juara baru ngerebut dari Bobby Lashley dan John Morrison
4. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP Shayna Baszler dan Nia Jax bertahan atas Sasha Banks dan Bianca Belair
5. RAW ELIMINATION CHAMBER WWE CHAMPIONSHIP Drew McIntyre kembali juara ngalahin Sheamus, Jeff Hardy, AJ Styles, Kofi Kingston, dan Randy Orton —– hingga The Miz datang merebut sabuk dengan cash in koper Money in the Bank
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MONSTER HUNTER Review

“I know what I’m capable of; I am a soldier now, a warrior. I am someone to fear, not hunt.”
 

 
 
Paul W. S. Anderson bersama istrinya, Milla Jovovich, kembali berkolaborasi dalam projek tontonan hiburan dengan apa yang sepertinya telah disepakati untuk menjadi misi mulia mereka; mencoba menghancurkan video game ke dalam film-film adaptasi. Dan setelah Resident Evil, target buruan mereka kali ini adalah seri Monster Hunter. Game yang cukup simpel, tapi menarik karena penuh imajinasi; player bermain sebagai pemburu monster-monster beraneka ukuran dan rupa. Film yang dihasilkan oleh Paul ini ternyata lebih simpel lagi.
Ceritanya tentang Kapten Artemis yang, bersama tim kecilnya, masuk ke dalam sebuah portal. Mereka tiba di dunia baru. Dunia yang sejauh mata memandang cuma hamparan pasir. Tapi meskipun putih, pasir itu enggak innocent. Karena pasir itu jadi habitat monster besar dan bertanduk, yang disebut Diablos. Kapten Artemis berusaha membawa mereka semua keluar dari tempat berbahaya itu hidup-hidup. Namun dunia baru ini ternyata monsternya bukan cuma satu. Satu-satunya peluang Artemis bisa bertahan hidup terletak pada pemuda misterius bersenjata panah dan pedang besar, yang dari kejauhan membantu mereka.
That’s it. That’s the story. Film ini gak punya ending. Enggak punya resolusi. Ceritanya dibiarkan berakhir di tengah-tengah pertempuran. Apalagi kalo bukan demi mengincar sekuel. Langkah yang sangat meragukan. Karena, bagaimana mungkin kita merasa ingin melihat kelanjutan film ini jika dalam melanjutkan menonton si satu film ini sampe durasi abis aja rasanya sungguh luar biasa berat?

Monster yang desainnya paling males adalah monster berupa gabungan dinosaurus dan naga

 
Selain melihat Milla Jovovich berduel melawan monster-monster raksasa – beberapa kali dia berlari menyerang mereka head on gitu aja – tidak ada lagi hal menghibur yang benar-benar bisa kita nikmati dalam film ini.
Kalo kalian mengira film yang diadaptasi dari game bertema dunia monster akan berisi petualangan menegangkan yang penuh imajinasi dan fantasi awesome, maka kalian benar. Film fantasi haruslah seperti begitu. Paul W.S. Anderson-lah yang salah ketika dia malah mengadaptasi game yang punya banyak penggemar itu ke dalam tontonan yang bukan saja terasa seperti perwujudan dari game itu sendiri, tetapi juga dibuat dengan cara yang menghalangi kita untuk bersenang-senang dengan aspek-aspek fantasinya. Alih-alih mengeksplorasi dunia, dia malah membuat kita sebagian besar durasi (tepatnya satu jam lebih) terjebak bersama karakter sentralnya di dalam dunia yang isinya pasir dan batu-batu doang. Lupakan world-building, dalam film ini yang kita tonton hanya Artemis yang keluar dari  ‘kandang’ monster satu, masuk ke ‘kandang’ monster berikutnya. Aksi demi aksi terus diporsir. Sehingga jadi bosan. Pegangan kita kepada karakter – yang jumlah death countnya rapidly naik kayak jumlah pasien positif Covid di negara kita – cuma dialog-dialog sok lucu dan sifat mereka yang sok keren.
T-t-ttunggu dulu, Mas My Dirt Sheet.. Lah kan katanya itu filmnya penuh oleh aksi demi aksi, tapi kok Mas juga bilang filmnya masih membosankan?
Begini, adik-adik. Itu jawabannya simpel aja. Yakni karena Anderson tidak tahu cara bercerita dengan benar lewat adegan-adegan aksi. Oke, mungkin dia tahu, hanya dia enggak peduli dengan cara yang benar. Anderson sudah kepalang nyaman di dunianya sendiri, di dunia yang ia pikir menghibur itu adalah dengan menyajikan aksi-aksi dengan begitu banyak cut-cut cepat, yang selalu berujung dengan momen sepersekian detik slow-motion, untuk kemudian disambung lagi dengan cut-cut cepat lainnya. Sepuluh menit nonton ini aja aku udah capek oleh adegan aksi yang tersusun oleh banyak sekali cut. Dan karena aksi-aksi yang disyut seperti demikian terus menerus dilakukan, maka capek itu berubah menjadi bosen dan tidak lagi peduli. Cut-cut cepat dalam adegan aksi itu justru membuat adegan susah untuk diikuti, sehingga aksi-aksi yang ditampilkan itu jadi gak ada efeknya buat kita. We don’t care because we can’t really see what happens.
Dalam film ini ada Tony Jaa, aktor laga tersohor yang tentu saja jago melakukan stunt-stunt keren. Di sini Jaa juga banyak beraksi, malah ada adegan fighting one-on-one dengan Jovovich. Tapi kasiannya, Anderson merasa stunt yang dilakukan Jaa sendiri itu masih kurang keren dan kurang menghibur bagi kita. Sehingga setiap kali Jaa beraksi, Anderson menggunakan cut-cut cepat tadi dengan niat untuk memperheboh aksi Jaa. Namun alhasil tentu saja hal tersebut malah bikin aksinya jadi enggak enak dilihat. Cut-cut cepat itu dilakukan oleh orang normal yang gak sok asik untuk menutupi, entah itu ketidakmampuan aktor, atau efek praktikal lainnya. Ketika mereka punya aktor yang mumpuni banget dalam berlaga, orang normal yang gak sok asik, enggak akan menggunakan teknik cut. Mereka mempercayakan kepada aktornya. Anderson ini memang lain dengan yang lain. Bukan hanya pada adegan-adegan aksi melawan monster ataupun pada aksi dikejar monster. Cut-cut cepat digunakan oleh Anderson dalam hampir semua pengadeganan, termasuk ketika karakter lagi ngobrol atau lagi berjalan dan menemukan sesuatu. Shot muka Artemis – cut – pindah ke muka si anu – cut – wide shot daerah – cut – shot muka orang yang lagi rolling eyes – cut – shot muka yang lagi bicara. Adegan senormal itu aja direkam dengan frantic banget. Sehingga udahlah karakternya tipis, apa yang mereka omongkan dan rasakan itu pun jadi enggak nyampe ke kita.
Film ini sesungguhnya mengandung bibit hubungan emosional yang bisa dikembangkan dan menjadi hati seluruh cerita. Yakni hubungan antara Artemis dengan karakter Hunter yang diperankan oleh Tony Jaa tadi. Karakter dari dua dunia ini bertemu, tadinya mereka tampak musuhan alias saling tidak percaya, tapi keadaan memaksa mereka untuk team up. Dan akhirnya menjadi teman. Mereka jadi saling belajar. Yang tak-biasa dari komunikasi mereka adalah keduanya tidak saling mengerti bahasa masing-masing. Jadi mereka pake bahasa isyarat, trying to understand each other. Momen-momen mereka belajar mengenal satu sama lain, mestinya bisa emosional. Tapi penghalang untuk sampai ke sana itu banyak. Pertama, editing edan tadi. Kedua, dialog yang cringe. Anderson membuat kedua karakter ini bonding salah satunya adalah lewat makanan, tepatnya; coklat. But the way he does it adalah dengan membuat mereka antara seperti dalam iklan produk coklat, atau seperti sedang memparodiin adegan Si Ikan Gila Coklat dalam kartun SpongeBob.

Artemis belajar banyak hal dari Hunter yang berjuang seorang diri. Belajar ngalahin monster raksasa, belajar menggunakan senjata yang belatinya bisa mengeluarkan api, dan terutama adalah belajar menemukan kembali makna menjadi seorang pejuang. Makna menjadi seorang tentara. Bahwa seharusnya dialah yang berburu, bukan yang diburu.

 

“Coklaaaaaatttttt!!!”

 
Jika Kapten Artemis terlempar dari dunianya dan terjebak di dunia lain, maka Anderson sang sutradara sendiri sesungguhnya juga sedang menapaki dua dunia. Yakni dunia film dan dunia video game. Bedanya, Kapten Artemis belajar untuk bisa survive di dunia yang baru, dia melakukan penyesuaian, dan meningkatkan kemampuan diri. Ironis, Anderson tidak melakukan ini. Ketika dia menyadap dari dunia video game, dia mengambil elemen-elemen sekadar untuk para gamer mengenali materi asli ketika sudah menjadi film nanti. Kita melihat desain monster, dan desain senjata film ini yang serupa dengan yang ada di game. Namun, selebihnya Anderson gak melakukan penyesuaian apapun. Dia hanya bermain pada apa yang sudah ia nyaman aja. Cerita film ini tidak dia susun ke dalam formula atau struktur ‘dunia film’ yang sebenarnya. Makanya film Monster Hunter ini rasanya ganjil banget.
Tigaperempat bagian dihabiskan dengan gak jelas, film monoton dan gak ada world-building. Di babak ketigalah, baru eksplorasi itu mulai dilakukan. Kita melihat dunia yang lebih besar, dengan pengenalan lebih banyak karakter yang unik dan menarik. Stake yang meningkat. Dan kemudian film habis, diniatkan seperti sedang ‘bersambung’. Keseluruhan babak tiga film tadi itu terasa lebih pantas sebagai awal masuk babak kedua – atau setidaknya ada di midpoint. Supaya build up di sini bisa tuntas di babak ketiga nanti. Tapi dalam film ini strukturnya tidak seperti itu. Babak satunya terasa distretch – kita melihat adegan yang itu-itu melulu dan development relationship karakter yang cringe, dan ketika sudah masuk babak baru, film habis. Rasanya tu seperti babak ketiga film ini adanya nanti di sekuel. Ya, kurang lebih film ini bentukannya miriplah sama Benyamin Biang Kerok yang sukses jadi film paling mengecewakanku di tahun 2018 dulu.
 
 
Film-film adaptasi video game dapat reputasi buruk ya karena pembuat film yang salah nerjemahin dunia seperti Anderson di sini. Pembuat film yang udah salah, tapi asik sendiri di zona nyamannya, dan kayak gak mau berubah dan gak peduli ama kritikan. Padahal sedari Resident Evil, persoalan cut-cut cepat dan editing frantic sudah selalu jadi masalah langganan film-film karyanya. Di titik ini, setelah menonton film yang sama sekali tidak menghibur dan hanya bikin capek ini, aku cuma bisa berharap film-film adaptasi video game yang udah diset menyusul rilis di tahun ini dibuat oleh orang yang benar-benar punya cerita dan gaya dan kecintaan terhadap game dan film itu sendiri.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for MONSTER HUNTER
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian game-game modern – yang cutscene-nya bahkan bisa sangat sinematik – masih perlu untuk diadaptasi menjadi film?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MALCOLM & MARIE Review

“Don’t take people for granted”
 

 
Bertengkar itu penyebabnya bukan cuma persoalan gede. Lebih seringnya sih, kita mendengar pasangan berantem hanya gara-gara masalah sepele. Message yang cuma di-read, kaki injekan motor yang turun sebelah, atau kalo di sinetron-sinetron jadul; noda merah di sapu tangan papa. “Ini bekas lipstik siapa, Pah!?!” Di dunia percintaan itu gak ada yang namanya api kecil jadi teman api besar jadi lawan. Yang ada malah api-api kecil akan perlahan menjadi semakin besar. Malcolm dan Marie juga ribut awalnya karena hal kecil. Malam itu malam premier film karya Malcolm. Namun dalam speech-nya, Malcolm lupa menyematkan ucapan terima kasih kepada Marie, sang pacar. Di rumah, Marie menuntut penjelasan kenapa Malcolm bisa lupa. Dan ributlah mereka. Dari ucapan terima-kasih, bergulir membuka ke lapisan-lapisan permasalahan lain dalam kehidupan percintaan, profesional, dan personal mereka.
Ya, film ini isinya orang ribut. Aku pastilah sudah cabut dari rumah itu kalo ini adalah pertengkaran biasa, karena memang paling malesin dengerin orang asing berdebat. Tapi untuk Malcolm dan Marie aku rela tinggal. Aku ingin tinggal dan mendengar. Karena yang mereka bicarakan sembari bertengkar itu adalah persoalan seputar masalah kritik dalam perfilman

Bersiap-siap menikmati ketubiran.. Sluurrpp!

 
Aspek ‘berantem’nya sendiri memang annoying. Di sini Sam Levinson bekerja rangkap sebagai sutradara sekaligus penulis naskahnya. Dan dia memastikan cerita ini benar-benar terdeliver kemelutnya kepada kita. Berantem dengan pasangan is always be an unpleasant thing. Terutama ketika kita enggak tahu persis apa masalah si pasangan. Sebelum membuat kita mengenal mendalam kedua karakternya, Levinson membuat memperkenalkan kita lebih dahulu kepada seting dan suasananya. Sehingga supaya kita bisa merasa sama gak nyamannya, film ini dibuat oleh Levinson dengan sangat mengukung. Seluruh kejadian berada di dalam satu lokasi, yakni sebuah rumah (yang disediakan oleh PH untuk mereka, kata Malcolm dengan jumawa). Yang ceritanya berlangsung di sepertiga malam itu saja.
Sudah lewat tengah malam saat kedua karakter tiba dari acara premier. Malcolm excited mengenang sambutan yang ia dapat di sana. Dia lebih menggelinjang lagi saat memperkirakan nanti bakal dapat kritikan seperti apa dari para kritikus dan jurnalis. Sementara Marie menyiapkan pasta untuk makan malam. Sesekali perempuan muda itu berhenti untuk merokok sambil memandangi pacarnya tersebut uring-uringan sendiri membahas kritik yang bahkan belum terbit – kritik yang hanya ada di dalam kepala dan dugaannya sendiri. Kubilang, Levinson berhasil menciptakan set up film ini; dia berhasil menciptakan karakter dan permasalahan yang menarik bagi penonton (karena of course orang yang menonton film ini ‘peduli’ dengan persoalan film dan kritik itu sendiri). Di bagian awal ini, Levinson punya sesuatu yang spesial yang mengalihkan kita dari betapa canggung dan mengukungnya suasana; dari api kecil yang sudah ada di sana. Pertengkaran mereka yang pertama pun – ketika Marie mulai bertanya kenapa cuma ia seorang yang tidak disebut dalam rangkaian ucapan terima kasih Malcolm – diadegankan menarik. Mereka berdebat soal itu, Malcolm berusaha mengecilkan diri Marie, sambil makan pasta bikinan Marie!
Pertengkaran-pertengkaran yang menyusul sesudah ini, repetitif. Tidak ada lagi pengadeganan yang menarik. Levinson sudah fokus ke buah pikiran para karakter; ke sudut pandang mereka yang saling berkontras. Sehingga nonton ini mulai melelahkan. Adegannya selalu mereka mesra, lalu tiba-tiba Marie mengungkit sesuatu, dan Malcolm kembali masuk ke mode ngeles ala cowok brengsek tak-tahu terima kasih andalannya. Ketika Malcolm menjadi unbearable seperti demikian, Marie jadi terasa annoying karena tampak selalu cari-cari masalah. Di bagian tengah film inilah aku merasa menonton ini jadi pekerjaan atau tugas yang sangat menyiksa. Kurang lebih sama seperti ketika di dalam kelas sejarah matamu mengantuk tapi kau tidak bisa tidur karena yang diceritakan dengan suara keras dan nada monoton oleh gurumu adalah peristiwa yang menarik. Film ini harusnya punya adegan yang lebih variatif dan paralel dengan pertengkaran. Sehingga film ini enggak hanya punya ‘omongan’. Film yang di satu lokasi tentunya enggak mesti menonjolkan ‘tell’ ketimbang ‘show’. Meskipun performa Zendaya dan John David Washington dalam ‘tell’ itu memang meyakinkan. Meskipun inti pertengkaran mereka sungguh manusiawi dan relatable dan ngajari banyak tentang rasa terima kasih kita terhadap orang-orang di sekitar. We need something that visually engaging too.
Serius, jika bukan karena obrolan tentang kritik filmnya, aku pastilah sudah undur diri alias tidak melanjutkan nonton film ini. Untuk mencapai inti permasalah kedua karakter, film ini menyiapkan lapisan profesional yakni lapisan Malcolm sebagai sutradara. Dia membuat ‘black film’ dan dia kesel teramat sangat sama review-review yang menonjolkan isu warna kulit ketimbang fokus kepada art yang ia bikin. Levinson lewat Malcolm seperti menyerang media dan para pengulas yang memang selalu menonjolkan ‘agenda’ itu dalam film-film seperti yang dibuat Malcolm. Dan kupikir ini juga sebabnya kenapa film Malcolm & Marie ini sendiri mendapat cukup banyak rating dan ulasan yang negatif. People get offended oleh sikap dan perkataan Malcolm. Padahal jika kita lihat dari konteksnya, Levinson tidak mempersembahkan adegan tersebut sebagai sikapnya terhadap film dan kritik. Karena adegan itu adalah monolog sudut pandang Malcolm. Film ini memang banyak menggunakan monolog sebagai bentuk karakternya berdebat (bayangkan game RPG ketika kita bergantian menyerang dengan musuh, seperti saat kita ngeset magic dan skill untuk menyerang itulah fungsi bagian monolog dalam film ini) Dan di adegan ini Malcolm sedang berdebat dengan si pengkritik lewat tulisannya. Yang merupakan perpanjangan dari debat Malcolm dengan Marie, karena Marie di sini diparalelkan dengan kritikus film. Sebagai pihak yang menunjukkan cinta dan kepedulian dengan menegur dan mengkonfrontasikan siapa sebenarnya Malcolm menurut mereka.
Jadi adegan tersebut jelas bukan seperti yang sudah salah dicuplik oleh warga-warga Twitter, yang dengan bangga memperlihatkan screenshot Marie tersenyum beserta caption tulisan subtitle yang mengatakan bahwasanya sebuah film enggak harus punya pesan. Padahal kata-kata itu malah bukan kata-kata Marie, melainkan Malcolm. Marie di situ tersenyum ‘mencemooh’ pendapat Malcom. Karena pendapatnya itu bukanlah kebenaran mutlak, melainkan kepercayaan personal karakter Malcolm yang melihat itu sebagai serangan atas pribadinya, padahal kritik yang ia bahas itu sesungguhnya memuji filmnya. Dan ini berkaitan dengan pertanyaan besar Marie di awal. Berkaitan dengan gagasan film soal berterima kasih dan mengenali andil atau peran seseorang yang tidak bisa lepas dari kita sendiri.

Everything happens for a reason. Apa yang kita lakukan tidak bermakna sama bagi orang lain. Oleh karena itulah maka kita harus mengenali mereka satu persatu. Begitulah salah satu cara kita menunjukkan terima kasih. Dengan terbuka (bagi misteri, kalo kata Marie) menerima yang diberikan.

Adegan ini loh yang belakangan sering dicuplik tanpa membawa serta konteksnya

 
Menggunakan monolog panjang sebagai bentuk berdebat tampaknya telah menjadi pedang bermata dua bagi film ini. Di satu sisi monolog tersebut memberikan ruang kepada kedua aktor untuk bersinar. Washington dan Zendaya dapat kesempatan untuk nunjukin range dan permainan ekspresi; ketangguhan performa akting mereka. Namun di sisi lain juga ternyata membuat kita terlepas dari debat itu sendiri. Alih-alih benturan dua sudut pandang, kita malah melihatnya lebih sebagai bincang-bincang dari satu kepala. Buktinya, banyak dari kita yang salah mengutip seperti itu tadi.
Satu lagi yang seperti pedang bermata dua dilakukan oleh film ini adalah pilihannya menggunakan visual hitam-putih. Pilihan ini terlihat seperti jawaban film untuk pertanyaan bagaimana menghasilkan visual yang unik sehingga menarik dan bikin penonton betah. Tapi hasilnya gak benar-benar engaging. Malah seringkali tampak pretentious. Film tidak pernah berhasil mencuatkan alasan kuat kenapa film ini harus hitam putih. Pandangan karakter tokohnya toh jelas tidak hitam-putih. Periode ceritanya juga enggak jadul, malah film ini menggunakan referensi kekinian. Sehingga untuk menyasar kesan timeless atau periode antah-berantah, warna hitam-putih tersebut juga tidak tampak berfungsi. Namun kalo fungsinya supaya bikin film tampah angker untuk ditonton lagi, sih, aku bisa bilang cukup berhasil.
 
 
Hari Valentine sudah dekat, dan jika kalian dan pasangan cukup ‘tahan banting’, maka film ini bisa dijadikan pilihan. Karena in the end, film ini bisa ngajarin soal menghargai peran dan kehadiran pasangan di dalam hidup kita. Hanya saja film ini memang lebih enak untuk didengarkan, daripada untuk dilihat. Bukan karena visualnya jelek, melainkan karena enggak banyak bermain di visual. Adegannya repetitif, dan secara keseluruhan penceritaan film ini lebih kuat sebagai ‘telling’ ketimbang ‘showing’.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MALCOLM & MARIE.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian film harus punya pesan? 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

EARWIG AND THE WITCH Review

“If you want something done, do it yourself”
 

 
Musik adalah magic. Untuk banyak orang, musik merupakan obat personal. Nada-nada yang dapat membawa beragam emosi dan mampu merepresentasikan banyak perasaan. Seperti sihir, musik bisa mempengaruhi orang tanpa-pandang bulu. Bahasanya adalah bahasa jiwa, sehingga menyentuh tanpa-limitasi. Film animasi terbaru dari Studio Ghibli berjudul Earwig and the Witch ini literally memasukkan musik dan sihir sebagai tema ceritanya. Ya, kalian gak salah membaca. Film ini memang tidak terlihat seperti animasi Ghibli yang biasa, dan itu karena sutradara Goro Miyazaki bereksperimen dengan menyulap animasi kali ini ke dalam efek komputer sepenuhnya. Jadi, dengan begitu kita bisa bilang ada tiga hal-ajaib yang bekerja membentuk film ini. Keajaiban musik, keajaiban komputer, dan keajaiban sihir/fantasi itu sendiri. But, why oh why, saat ditonton film ini malah terasa jauh dari keajaiban film-film Studio Ghibli yang biasa?
Goro Miyazaki seperti gagal memenuhi janji akan keajaiban-keajaiban yang sudah disiapkan. Seperti pada cerita, misalnya. Set up film ini sudah demikian menarik. Ini adalah kisah seorang anak perempuan di panti asuhan yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang penyihir. Adegan opening film ini mempertontonkan aksi sang ibu – penyihir berambut merah – di atas sepeda motor, melaju karena dikejar-kejar oleh sebuah mobil kuning. Si Ibu lantas menyihir sehelai rambut-merahnya menjadi cacing, yang dilemparkan ke kap depan mobil yang tengah dalam proses menunjukkan gerigi-gerigi yang siap menerkam. It is magical and fantastic. Ketika si penyihir menitipkan bayi dalam gendongannya di depan sebuah panti asuhan, kita excited untuk melihat ke depannya bakal seperti apa. What kind of magic would the baby girl had? Petualangan seperti apa yang bakal anak itu lewati?

Akankah nanti dia punya musuh botak seperti ular dan panti asuhannya secretly adalah sekolah sihir?

 
Ternyata, enggak ada lagi petualangan seheboh itu kita jumpai hingga akhir cerita. Setting cerita film ini berpindah dari panti asuhan ke rumah; settingnya actually menyempit. Jadi ceritanya, beberapa tahun kemudian, si anak (diberi nama Earwig oleh sang ibu, tapi diganti jadi Erica Wigg oleh matron panti) diadopsi oleh pasangan yang tampak aneh dan nyeremin. Erica dibawa tinggal di rumah mereka. Sebenarnya masih bisa menarik, karena pasangan yang mengadopsi Erica ternyata bukanlah pasangan. Mereka bahkan bukan ‘manusia’ biasa. Mereka adalah dua orang penyihir yang tinggal serumah. Harapanku di titik itu masih menyala. Kupikir rumah tersebut bakal jadi tempat fantastis dengan segala sihir dan keanehannya. Kupikir rumah tersebut akan jadi panggung bagi Erica untuk bertualang, mengeksplorasi kekuatan sihirnya sendiri. Tapi sekali lagi, film ini mengayunkan ekspektasi kita, tanpa menyambutnya. Ekspektasi kita jatuh berdebam di tanah!
Earwig and the Witch actually adalah salah satu film panjang terpendek dari Studio Ghibli. It’s clocked at 1 hour and 22 minutes. Dan sekarang aku jadi menyadari bahwa satu-satunya keajaiban dari film ini adalah membuat durasi sependek itu menjadi terasa lama. Film ini di tengahnya diisi oleh plot poin yang repetitif dan dipanjang-panjangain, baru kemudian kita sampai di bagian akhir yang mulai menarik, dan film ini udahan. Berhenti tepat ketika apa yang tampak seperti plot poin berikutnya datang. Sebagian besar film dihabiskan di ruangan, dapur penyihir; tempat Erica disuruh-suruh nyiapin bahan-bahan (motongin kaki kodok, menyilet kulit ular, atau sesekali ke halaman belakang motongin akar-akar herb). Jika bukan karena si kucing yang bisa bicara dan pintu yang menghilang, aku bisa-bisa lupa kalo yang kutonton ini bukan film Cinderella yang Cinderellanya tengil abis.
Ya, percikan menarik film ini memang hanya datang dari Erica itu sendiri. Yang karakternya dibikin pinter tapi bandel. Desain Erica aja dibikin mencuat dari anak-anak lain; dia punya dua ikat rambut yang berdiri seperti antena serangga (mungkin ini salah satu alasan kenapa dia diberi nama sama seperti nama serangga). Erica benci diadopsi dan dia berusaha untuk enggak terpilih setiap kali ada keluarga yang datang ke panti. Alasan Erica gak suka diadopsi bukan karena dia gak mau ninggalin teman-teman dan sayang sama semua orang di panti. Melainkan karena baginya hidup di panti itu enak, karena banyak yang bisa disuruh-suruh. Dia mendapatkan pelayanan dari orang-orang, dikasih makanan enak (dia punya pie kesukaan), dan bebas bermain-main sepanjang waktu. Kita melihat Erica melanggar jam malam dan kemudian ngeles sehingga membuatnya semakin disayang oleh matron panti. Erica ini manipulatif banget. Dia punya sahabat bernama Custard, yang fungsinya untuk ia suruh-suruh. Erica bahkan gak pamit sama si sahabat begitu dia diadopsi. Karakter Erica penuh oleh flaw, dan ini membuatnya menarik. Dia cerdik, berani, mandiri, tapi ia menggunakan semua itu untuk memastikan dirinya mendapat pelayanan maksimal. Maka, ketika dia diadopsi dan ternyata malah disuruh jadi asisten (baca: babu) si penyihir galak nyiapin ramuan-ramuan, motivasi Erica tersebut jadi mendapat tantangan. Inilah yang jadi whole story. Erica disuruh-suruh, dia dendam, dia akhirnya belajar sihir sendiri (dibantu ama kucing hitam, ‘familiar’ si penyihir), dan tak lupa dia menggunakan manipulasi untuk membuat si penyihir galak bertengkar dengan penyihir cowok yang jangkung dan misterius. Tujuan akhir Erica adalah supaya dia jadi dapat pelayanan maksimal dari kedua orangtua asuhnya – seperti ketika dia dilayani di panti.

Terlalu sibuk kian-kemari memikirkan rencana bikin mantra dan ramuan balas dendam demi membuat para penyihir tunduk melayaninya, Erica gak menyadari bahwa dia sebenarnya lebih dari sekadar capable dalam melakukan semuanya sendiri. I think the best take away yang bisa kita ambil dari karakter bandel dari Erica ini adalah bahwa dia enggak manja. Dia mandiri banget malah. Karakter ini menunjukkan kepada kita kekuatan dari determinasi dan mengerjakan segalanya sendiri. Being best at who we are. Sekiranya Erica sadar itu, pastilah dia enggak akan lagi merasa perlu untuk dilayani oleh orang lain.

 
Plot/arc Erica benar-benar aneh, bahkan untuk standar Jepang yang terkenal suka hal aneh itu sendiri. Film ini memberikan apa yang diinginkan oleh si protagonis, dan yang diinginkannya itu bukanlah hal terpuji. Dari cerita ini terbangun, sepertinya bakal ada pembelajaran yang bakal didapat oleh Erica, tapi cerita gak pernah sampai ke sana. Karena suddenly fokus cerita berpindah, ketiga karakter ini jadi bersatu karena musik, dan kita melihat flashback yang intriguing tentang hubungan sebenarnya antara si dua penyihir galak dengan ibu Erica. Dan film usai. Erica sama sekali tak tahu atau malah tak tampak peduli dengan siapa dirinya sebenarnya. Dia hanya peduli dengan penyihir berambut merah karena si penyihir adalah vokalis band yang ia suka. Dan masalah di antara para penyihir dewasa di opening itu, kita hanya dibiarkan menduga-duga. Film berakhir dengan abrupt sekali. Aku gak tahu cerita materi aslinya sepeti apa (film ini diadaptasi dari cerita anak karangan Diana Wynne Jones) Aku juga gak tau apakah film ini memang diniatkan bakal ada sambungannya, atau malah bakal jadi film serial. Karena benar-benar menggantung, belum ada resolusi atau apapun dari ceritanya.

Di film ini ada Sherina Munaf yang ngisi suara vokal Ibu Erica

 
Sepertinya itu semua ada hubungannya dengan permasalahan pada gaya animasi yang dipilih oleh sang sutradara. Desain karakter dan dunia film ini sebenarnya oke-oke aja. Gaya Goro Miyazaki memang selalu ‘polos’ kayak karakter From Up on Poppy Hill, bahkan petualangan Tales from Earthsea. Malah si Earwig ini bisa dibilang karya Goro yang desain karakternya paling nyentrik. Melakukan animasi yang sepenuhnya komputer alih-alih hand-drawn boleh jadi memang diniatkan sebagai gebrakan, tapi itu juga dapat menciptakan masalah baru, baik itu di biaya maupun dari pengerjaan. Film-film Ghibli kan biasanya penuh fantasi. Jikapun settingnya di lingkungan sehari-hari, kejadiannya pasti dibuat seemosional mungkin. Maka aneh aja, ketika mereka mengusung cerita fantasi, membuatnya jadi 3D, tapi ternyata momen-momen fantasi itu sedikit kali ditampilkan. Kenapa ‘mengurung’ cerita di dalam rumah ketika kini kau bermain dengan visual yang unik – yang di luar kebiasaan? Ketika ini adalah waktumu untuk membuktikan mampu bikin fantasi yang lebih wild dan fun dari ayahmu? Menurutku, bagi Goro sendiri, film ini jelas merupakan tantangan sekaligus pembuktian. Sehingga dia besar kemungkinan bukannya enggak mau untuk membuat film ini wah, melainkan ya karena keterbatasan teknis. Entah itu biaya, atau simply belum jago amat bikin animasi komputer.
Akibatnya film jadi gak banyak adegan fantasi, enggak banyak mengeksplor magic di luar ramuan-ramuan. Cerita pun gak bisa tuntas, aku pikir ini mungkin memang sengaja dipotong dengan harapan kalo laku, mereka bisa menyelesaikan cerita. Dan mereka berusaha melakukannya dengan elegan, sehingga film ini masih punya awal-tengah-akhir (meskipun enggak memuaskan dan plotnya terasa kayak gak benar-benar ada), memejeng ‘ending extra’ lewat kredit penutup (yang pakek animasi 2D seperti biasa, but actually nampak lebih hidup daripada keseluruhan film yang kita lihat ini) dan masih dianggap berdiri sendiri ketika hasil film ini flop dan gak bisa menyambung biaya.
 
 
Clearly, ini bukanlah yang terbaik yang dipersembahkan oleh Studio Ghibli. Dulu aku sempat bikin list Top-8 film Ghibli favorit, dan kehadiran film ini gak membuatku harus mengupdate apapun dari list tersebut. Walaupun filmnya punya karakter yang menarik, tapi ceritanya terasa bland dan belum sampai ke titik akhir. Tidak seimajinatif dan se-petualangan yang kita kira. Visual animasi komputernya pun tidak menambah apa-apa, malah jadi seperti penghalang utama yang menyebabkan film ini gak bisa bermain maksimal.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for EARWIG AND THE WITCH
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Flashback yang memperlihatkan Ibu Erica dan dua teman penyihirnya sempat memperlihatkan seolah ada cinta romantis di antara beberapa dari mereka (atau malah semua?) Apakah kalian punya teori sendiri tentang itu? Apakah mereka terlibat cinta segitiga? Sebenarnya siapa ayah Erica?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ALL MY FRIENDS ARE DEAD Review

“Life is 10% what happens to you and 90% how you react to it”
 

 
It’s all fun and games until someone loses an eye, begitu kata orang Romawi Kuno. Kalimat tersebut hadir di dalam konteks peraturan kompetisi fisik yang melarang peserta menyerang mata lawannya. Di dunia modern kita, kalimat tersebut turun menjadi pepatah; yang artinya kurang lebih mewanti-wanti bahwa kegembiraan yang terlalu berlebihan biasanya akan membawa celaka. Sutradara Jan Belcl dalam debut film panjangnya seperti meng-amplify ‘fun’ dalam kalimat tersebut, sehingga meskipun memang benar seperti yang disebutkan oleh judulnya (bakal banyak yang tewas), semuanya tetap terasa kocak!
Dengan cerita tentang pesta tahun baruan yang berubah rusuh bunuh-bunuhan, banyak yang menyebutfilm asal Polandia ini kayak fusion dari vulgar dan humor American Pie dengan gaya berdarah Quentin Tarantino. Dan setelah ditonton, yaa memang All My Friends are Dead ini punya gaya, dan sangat berenergi. Adegan-adegan matinya kreatif. Tempo ceritanya relatif cepat sehingga suasananya rusuh dan hingar bingarnya terasa. Tapi, hanya itu. Kesan pertama yang terlintas di kepalaku selesai menontonnya adalah ‘style-over-substance‘. Walaupun punya gaya dan selera komedi gelap tersebut, film ini tidak pernah terasa semenyenangkan American Pie. Apalagi se-engaging buah pikiran Tarantino. Never. No. Nehi!

Adegan tribute kepada The Shining pun tak berhasil meluluhkanku!

 
All My Friends are Dead dibuka dengan adegan penyelidikan di TKP. Kita melihat seorang detektif muda yang tampak cukup nervous sedang menunggu rekannya, di luar rumah. AKu gak akan nyebut nama mereka (atau lebih tepatnya; aku gak ingat nama mereka) karena percuma juga untuk dinamai. Dua karakter detekfif ini tidak berujung apa-apa ke dalam cerita utama. Jadi, kita hanya mengikuti mereka masuk ke rumah, melihat mereka cukup tertegun melihat gelimpangan mayat anak-anak muda (si detektif yang nervous tadi muntah). Dengan penyebab kematian yang tampak bermacam-macam (ada yang ditembak, ada yang gantung diri, ada yang kesetrum) Tak lama setelah itu kita dibawa meninggalkan mereka, loncat ke beberapa jam sebelumnya. Ke malam hari saat rumah tersebut masih teramat hidup karena ada pesta menyambut tahun baru. Dan bertemu dengan sejumlah karakter yang tak kalah annoying dan terasa tak-kalah pointless-nya.
Film meluangkan waktu untuk membentuk karakter kedua detektif; mengontraskan sikap dan mindset mereka, memberi mereka kebiasaan khusus dan segala macam, dengan menyadari penuh bahwa kedua karakter tersebut hanya sampingan. Tapi di kita yang nonton, kita malah merasa adegan opening penyelidikan TKP itu penting, kita menyangka si detektif itu penting. Padahal sama sekali tidak. Adegan opening itu dilakukan oleh film hanya untuk mengedepankan pertanyaan ‘kenapa’ dari dalam diri kita. Tepatnya, ‘kenapa orang-orang di rumah itu bisa mati?’ Nah, jawaban atas pertanyaan tersebut lah yang jadi narasi utama film ini. Ketika kita menyaksikan adegan pesta, antisipasi kita akan terbangun ke arah siapa kira-kira yang membunuh mereka. Peristiwa apa kira-kira yang menyebabkan rumah itu jadi TKP di pagi hari nanti.
Konteks dan bangunan cerita memang cukup beralasan. Sutradara telah menyiapkan pertanyaan. Menempatkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam desain yang menggerakkan alur cerita. Namun dia lupa pertanyaan penting. Seberapa penting para karakter yang terlibat bagi kita yang menonton mereka. Melupakan itu jelas merupakan kesalahan fatal, karena kita dapat merasakan sendiri gimana pointlessnya film ini terasa. Sutradara memberikan karakter-karakter dengan gimmick khas film anak muda yang taunya hanya berpesta pora. You know, cari cewek dan narkoba. Di antara mereka, film menyiapkan tiga pasangan utama. Pertama adalah pasangan yang cowoknya udah niat mau melamar tapi diam-diam si cewek ternyata menganggapnya terlalu ‘membosankan’. Ada juga pasangan gak serasi, si cewek suka astrologi dan ramal-meramal, sementara cowoknya suka ngerap dan just wanna have fun. Yang paling menarik buatku adalah pasangan yang ketiga, yang kayak actually ditarik dan dikembangkan dari American Pie. Kalo kalian gede dengan nonton film itu, pasti menggelinjang denger nama unlikely couple; Finch dan Stifler’s Mom hihihi.. Pasangan ketiga dalam All My Friends are Dead ini adalah pasangan seperti Finch dan Stifler’s Mom – cowok muda dengan perempuan yang kelewat tua bagi usianya, yang dimanusiakan. Yang diberikan cerita dan motif sehingga mereka gak sekadar comedic relief. Yang genuinely kerasa mereka ada kehidupan beneran di luar periode cerita film ini. Selebihnya, ya hanya karakter hura-hura. Seperti si cewek yang kecanduan ekstasi, si cowok alim yang halu melihat Tuhannya, si empunya rumah, atau juga si pengantar pizza yang kelamaan menunggu untuk dibayar. Sepanjang babak kedua kita dipindah-pindah, enggak jelas mau fokus di mana. Film ini asik sendiri membuat kita menebak-nebak di karakter siapa jawaban ‘kenapa’ tadi itu diniatkan.
For us it is not fun. Dengan kepala sudah diset untuk menunggu pertanyaan itu terjawab, banyaknya karakter yang lewat di depan mata kita jadi enggak penting semua. Mau mereka punya masalah hati yang pelik, atau masalah keluarga yang runyam, semuanya jadi seperti angin lalu. Toh, kita udah tahu duluan mereka akan mati. Heck, kita bahkan udah tahu mereka matinya nanti dalam posisi seperti apa. Ditambah pula dengan tingkah annoying dari mereka, dari keputusan-keputusan bego yang mereka buat. It is by design film enggak mau kita merasakan apa-apa kepada tokohnya. Untuk mengisi hati kita dengan perasaan, film mengandalkan pada komedi yang lebih banyak miss ketimbang hit. Dan ngandelin pada adegan ending yang didesain sebagai alternate universe (apakah karakter-karakter sebagai hantu atau tidak, diserahkan kepada imajinasi penonton). Berupa adegan pesta yang kontras sekali dengan pesta rusuh yang kita lihat. Pesta dengan semua karakter tenang, dan saling berdialog, bereaksi satu sama lain dengan positif.
Cukup sepucuk senjata api (dan alkohol) untuk membubarkan malam yang meriah

 

Keseluruhan rangkaian peristiwa di malam berdarah itu sesungguhnya diniatkan oleh film ini sebagai gambaran untuk kita. Gambaran bahwa reaksi kita terhadap sesuatu dapat berdampak fatal, karena kita gak pernah tahu dan bisa mengendalikan respon orang terhadap kita.

 
Jadi kita telah sampai pada bagian di mana aku akan membeberkan pendapatku tentang film ini sebenarnya tentang apa, jadi bakal ada spoiler-spoiler atau hal-hal yang mungkin tidak ingin kalian ketahui sebelum menonton filmnya.
Ok here goes…
Menurutku film ini bicara tentang aksi, reaksi, dan responsi. Kita nanti akan tahu bahwa penyebab kejadiaan naas di rumah itu ternyata bukanlah pembunuh berantai ataupun sebuah pembunuhan berencana. Melainkan terjadi sebagai result dari rangkaian-rangkaian peristiwa – melibatkan banyak karakter dan beberapa hati yang terluka oleh cinta. Peristiwa A memicu reaksi dari satu karakter, yang kemudian direspon oleh karakter lain sehingga terjadi peristiwa B. Begitu seterusnya. Banyak adegan film yang memperlihatkan soal rangkaian reaksi tersebut, terkadang diperlihatkan terus berkesinambungan, terkadang dilihatkan terputus, seperti catatan kematian yang terbuang begitu saja oleh detektif yang bereaksi menolong rekannya yang muntah.
Semua rangkaian kematian film ini bermula dari aksi satu karakter, yakni dari Anastasia si gadis penyuka ramalan dan bintang-bintang. Anastasia (diperankan oleh Julia Wieniawa yang cakep banget, mirip-mirip Cece di serial komedi New Girl) seharusnya adalah tokoh utama dalam cerita ini. Karena semuanya terjadi seputar pilihan dan kepercayaannya. Anastasia bicara tentang zodiak, posisi bintang, dan alternate universe. Her story adalah dia percaya bintang-bintang di langit sana menggariskan peristiwa dalam kehidupannya. Dan itu dijadikan alasannya baginya, you know, dijadikan dalih. Dia selingkuh karena percaya bintang-bintang telah menggariskan pertemuannya dengan si fotografer. Ketika peluru dari pistol yang ia pegang melayang menembus jidat Marek di pemilik rumah, peristiwa yang memantik kerusuhan lainnya terjadi nanti, Anastasia langsung masuk ke mode mempertanyakan aksinya. Kita melihatnya langsung ‘broken’. Dia harus confront kenyataan. Pembelajaran bagi Anastasia komplit setelah nanti di akhir, setelah semuanya tewas, dia baru bisa menyebut teman-temannya mati karena dirinya. Baru dia bisa menerima bahwa peristiwa tersebut bukan karena kosmik, melainkan karena aksinya yang mengakibatkan banyak reaksi dan terhubung dengan begitu banyak orang lain. Yang ironis dari ini adalah, adegan tersebut justru kita lihat di awal karena penceritaan film yang terpaksa harus dibikin aneh, sehingga emosi si Anastasia gak bisa benar-benar terdelivered.
 
 
 
To be honest, I’m not enjoying this film. Namun begitu, aku gak memungkiri bahwa dugaanku kalo film ini style-over-substance ternyata sedikit keliru. Karena film ini punya maksud, dan memilih desain penceritaan yang dianggap sutradaranya paling memfasilitasi maksud tersebut. Gaya bercerita flashback dengan opening ngelihat aftermath tragedi lebih dulu, misalnya, dilakukan untuk mencuatkan pertanyaan yang jadi tubuh dan konteks gagasan. Film ini bisa saja berjalan linear; dimulai dari pesta kemudian paginya polisi datang berusaha menyelidiki, tetapi jika penceritaannya begitu, maka kita akan semakin aimless dalam mengarungi durasi. Kesalahan film ini ternyata ‘hanya’ melakukan pengembangan yang pointless, seperti karakter detektif yang tidak perlu dibuat se-elaborate itu karena toh mereka bukan fokus cerita, ataupun soal komedi karakter yang jarang bikin tertawa. Fokus kepada membangun ‘kenapa’ membuat film jadi try too hard untuk membuat kita menengok ke karakternya, yang malah didesain annoying. Tapi kalo kalian gak peduli soal itu semua, atau somehow kalian bisa relate dengan masalah unik karakter-karakternya, kalian mungkin tetap bakal terhibur dan terenyuh di endingnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for ALL MY FRIENDS ARE DEAD.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Kenapa setiap kali kebanyakan ketawa, ujung-ujungnya kita bakal sedih? Apakah itu adalah cara semesta menyeimbangkan keadaan? Apa kalian percaya dengan astrologi?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Royal Rumble 2021 Review


 
 
Jalan menuju kesuksesan biasanya kan berbatu-batu. Tapi jalan menuju WrestleMania tahun 2021 ini, maaaan.. Tentu saja bagi superstar yang terlibat, terutama bagi kedua pemenang pertandingan Royal Rumble (versi cewek dan versi cowok), jalan tersebut masih penuh rintangan dan berliku-liku. Namun bagi kita, ‘pemandangan’ yang tersaji di jalan ini sungguh merupakan pemandangan menyenangkan, dan liku-liku berbatu itu jadi drama yang seru dan menegangkan.

Dimulai oleh Royal Rumble ini, jalan menuju WrestleMania kali ini nyatanya adalah jalan yang sungguh seru dan menyenangkan!

 
Biasanya, aku dalam menulis review selalu pake urutan. Pertama-tama ngomongin yang bagus-bagus dulu, ‘menjual’ tontonan tersebut – memberikannya kesempatan untuk ditonton. Baru kemudian membahas poin-poin kekurangannya – memberikan pembaca ruang untuk berdiskusi soal kekurangan tersebut. Tapi ngereview Royal Rumble kali ini, aku bingung. Karena yang ada hanya hal-hal bagus sehingga aku kesulitan untuk memulai mana duluan yang mau dibahas. Ini seperti ketika kalian baru saja mengalami suatu peristiwa menyenangkan, dan kalian menceritakan peristiwa tersebut kepada teman. Begitu banyak hal menyenangkan yang disemprotkan dalam sekali cuap! Gak tau lagi deh, for once WWE akhirnya benar-benar mendengarkan permintaan dan kritikan fans. WWE benar-benar memberikan apa yang kita mau. Goldberg gak ngambil spot bintang baru yang jelas-jelas lebih mampu bertanding beneran. Charlotte out dari title picture. Pertandingan kejuaraan dengan aksi seru dan cerita yang konsisten, lagi ‘bener’. Dua match Royal Rumble; yang memuaskan sampai-sampai bikin terharu. Dan reunian merayakan persahabatan yang penuh nostalgia. C’mon, siapa sih yang gak suka ‘diginiin’??

Jangan sampai kita melihat dua Sasha tumbang dalam satu hari yang sama

 
 
Kualitas tayangan WWE ini secara produksi juga meningkat tajam. WWE menggunakan kamera baru. Yakni teknologi kamera 8K seperti yang biasa dipakai dalam siaran football NFL. Perbedaannya langsung bisa kita rasakan dengan jelas. Entrance para superstar tampak luar biasa wah. Kalo istilah ‘awam’nya: pada bokeh semua. Kamera akan menyorot dari depan superstar, selama para superstar berjalan menuju ring, dan itu kita bisa lihat ketajaman gambar dan depth-nya cantik gila. Alexa Bliss jadi makin cantik deh hihihi
Yang jelas, WWE memang semakin kreatif dengan properti mereka. Set Thunderdome kali ini diperlihatkan dengan dekat kepada kita saat pertandingan Last Man Standing antara Kevin Owens melawan Roman Reigns berlangsung. Ini bukan saja membuat pertemuan mereka jadi semakin fresh, melainkan juga membuat kita jauh-jauh dari rasa jenuh. Change of pace dari dua match Royal Rumble. Makanya pertandingan Last Man Standing ini ditempatkan di antara dua match Royal Rumble tersebut. Supaya ada pergantian suasana, supaya kita gak jemu dengan konsep itung-itung mundur melulu. Last Man Standing itu pun dipresentasikan sedemikian rupa sehingga tidak mengurangi kepentingan pertandingannya itu sendiri. Reigns dan Owens malah tetap mencuat sebagai pertandingan yang paling intens dan utama di sini. Baik Owens dan Reigns menunjukkan kematangan mereka sebagai superstar kelas kakap – bukan hanya di Smackdown, melainkan bisa jadi juga seantero WWE pada masa ini. Kita melihat pertandingan mereka ini brutal, tapi psikologi di baliknya tetap terjaga. Kita melihat adegan gila seperti Owens ditabrak pake mobil golf, yang nanti diseimbangkan dengan adegan seperti superstar terus mengincar kaki lawannya karena memang logika pertandingan ini adalah pertandingan yang hanya bisa dimenangkan saat lawan tidak mampu berdiri dalam sepuluh hitungan.
Another great character works dapat kita jumpai dalam pertandingan kejuaraan Cewek Smackdown antara Sasha Banks melawan Carmella. Desember lalu di TLC mereka bagus banget adu gulatnya. Di PPV Royal Rumble kali ini, match mereka secara aksi agak sedikit lebih sloppy, tapi kekuatan mereka di sini terletak pada psikologi karakter. Carmella berantem dengan taktik (baca: Reginald) dan Sasha berusaha membuktikan dia masih Boss di divisi ini. Pertandingan ini diniatkan untuk mempush development karakter mereka masing-masing. Menarik sekali menyimak ke mana arahan heel tak-biasa dari Carmella ke depannya (tak biasa karena biasanya superstar cowok yang dibantu curang oleh manager cewek – dan di sini Reginald malah bukan tipe manager ‘tradisional’ ala WWE). Dan tentu saja karakter Sasha juga semakin bikin penasaran, terlebih ketika kita nanti mengetahui siapa yang bakal jadi lawannya di WrestleMania saat pertandingan Royal Rumble cewek usai.
Dua pertandingan Royal Rumble di sini boleh jadi yang bakal jadi paling memorable bagi kita dibandingkan Royal Rumble beberapa tahun belakangan. Karena keduanya memberikan pemenang yang cerita perjuangannya sama-sama heartfelt banget. Pertama, ada Bianca Belair. Relatif-pendatang-baru yang karir gulatnya memang masih semuda itu. Belair dulunya seorang atlet fitness Crossfit dan baru ‘berlatih’ sebagai pegulat di WWE tahun 2016. Hanya lima tahun, dan Belair udah mecahin rekor African-American superstar kedua yang memenangi Royal Rumble – setelah The Rock (ini membuat Bianca praktisnya sebagai African-American superstar cewek pertama yang menang Royal Rumble!) Jet yang membuatnya meroket ini bukan serta-merta dipasangkan begitu saja, Belair membuktikan bahwa dia pantas. Fisiknya luar biasa, karakter worknya bagus, dan dia juga unik dengan rambut panjang yang sesekali dijadikan cambuk untuk menyerang. Belakangan juga Smackdown ngebuild Bianca dengan proper, sehingga kemenangannya memang sudah diharapkan oleh banyak fans. Dan kedua, dari sisi Royal Rumble cowok, ada Edge. Superstar legend yang gak perlu ditanya lagi prestasinya di dalam ring. Kemenangan Edge jadi begitu emosional (dan gak ngeselin) karena karir Edge dipercaya banyak orang – termasuk dirinya sendiri – udah berakhir sejak divonis cedera leher parah. Tahun lalu Edge balik dan bikin kaget banyak orang, dia sudah diset untuk kembali secara permanen, namun dia cedera lagi. Jadi ketika Edge muncul lagi dan actually menang, ini seperti keajaiban gede bagi para fans.
Terakhir kali Edge memenangkan Rumble adalah pada tanggal 31 Januari 2010. Tepat sebelas tahun setelah itu – setelah melalui banyak cedera dan jauh dari ring – Edge kembali mengukir prestasi tersebut. Bukan menang sekadar menang, Edge menang sebagai peserta nomor urut pertama, berhadapan dengan Randy Orton sang musuh bebuyutan. Ya, cerita Edge dalam match Royal Rumble ini benar-benar dimainkan oleh WWE ke dalam konteks sehingga terasa sangat emosional. Dan bukan hanya Edge yang malam Royal Rumble itu ada di atas ring setelah divonis gak-bakal bisa tanding lagi seumur hidup. Ada Daniel Bryan. Dan surprise, surprise… Christian!
“For the benefit of those with flash photography…”

 
Royal Rumble terkenal karena peserta-kejutan, dan kejutan yang disiapkan oleh WWE kali ini sungguh bikin emosi meluap. Bukan hanya nostalgia, tapi kali ini WWE benar-benar menggunakan ‘legend-legend’ itu untuk memperkuat cerita. Para legend kali ini beneran seperti membantu banyak superstar muda, tak lagi tampak seperti ngambil spot mereka. Lihat saja Victoria yang sempat-sempatnya ‘ngajarin’ jurus Widow’s Peak dengan benar kepada Peyton Royce, atau bagaimana Victoria membuat Shayna Baszler tampak kuat. Jillian Hall aja membantu banget buat karakter komedi si Billie Kay. Aku senang karena walaupun banyak legend yang muncul, Edge yang actually jadi hero utama, tapi fokus pengembangan tetap pada superstar masa kini. Damien Priest, misalnya, superstar yang naik kelas dari NXT di Rumble ini dibook kuat banget, eliminasi empat orang – termasuk single-handedly membuang Kane. Dan kemudian ada Bobby Lashley yang membuang Priest, praktisnya membuat Lashley jadi super brute-force. Aku bahkan gak kesel Alexa Bliss tampil singkat banget, karena karakternya gak benar-benar butuh Royal Rumble. Atau, lebih tepatnya, Royal Rumble yang udah keren ini gak butuh kekuatan editing alias transformasi Alexa karena itu akan meruntuhkan match ini – membuatnya jadi gak make sense.
Tentu, acara ini juga gak luput dari botch. Namun di sini botch-nya lebih ke teknis, misalnya soal Paul Heyman yang menghabiskan waktu terlalu lama untuk membuka tangan Reigns yang terborgol. Membuat match Last Man Standing itu jadi konyol karena wasit terpaksa menghentikan hitungan sampai borgolnya terlepas. Accident happens, dan kita gak bisa tau pasti apa memang kuncinya yang macet atau gimana. Knowing WWE, kurasa kejadian ini bisa mereka ubah anglenya untuk dijadikan storyline ke depan. Sama kayak momen Royal Rumble Bianca dan Rhea yang kedua kakinya kayak udah menyentuh lantai – botch yang tak terhindarkan – yang menurutku, jika WWE memilih untuk mengacknowledge ini, WWE bisa menjadikan kejadian tersebut sebagai storyline.
Uh-oh, Carlito baiknya jangan ngelakuin sesuatu yang ‘cool’ dengan apel itu, karena kita masih suasana pandemi hihi

 
 
 
Senangnya ketika acara WWE terasa tidak terlalu panjang, penuh keseruan dan hantaman emosional seperti Royal Rumble ini. Sehingga botch atau konyol-konyol sedikit pun tak jadi masalah besar. Match Goldberg yang isinya finisher melulu juga somehow jadi asik-asik aja buatku. Melihatnya aku malah jadi teringat sama main Yugioh; karena TCG meta jaman sekarang pun duelnya persis seperti begitu. Satu-combo saja, hanya saja jadi seru karena Goldberg dan McIntyre yang tuker-tukeran finisher itu kayak duelist yugioh yang top-deck silih berganti. Dan – maafkan karena aku membuat analogi yugioh lagi – match Royal Rumble cowok bisa kita anggap sebagai deck yugioh yang berisi tiga puluh kartu staple! Alias match tersebut isinya superstar-superstar papan tengah ke atas yang favorit semua! The Palace of Wisdom menobatkan MATCH OF THE NIGHT kepada partai Royal Rumble cowok, sementara kemenangan Bianca Belair dinobatkan sebagai MOMENT OF THE NIGHT
 
 
 
Full Results:
1. WWE CHAMPIONSHIP Drew McIntyre jadi juara bertahan ngalahin Goldberg
2. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Sasha Banks mempertahankan sabuknya dari Carmella
3. 30-WOMEN’S ROYAL RUMBLE Bianca Belair menang dengan menyuguhkan salah satu penampilan Rumble terbaik
4. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP LAST MAN STANDING Roman Reigns tetap juara mengalahkan Kevin Owens
5. 30-MEN’S ROYAL RUMBLE Edge menuju WrestleMania!!!
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
 
 
 
 
 

JUNE & KOPI Review

“We don’t choose our pets, they choose us”
 
 

 
 
Hewan peliharaan bukanlah mainan. Mereka punya perasaan, punya kebutuhan. Mereka bisa merasakan kasih sayang, dan bahkan mampu memberikan rasa cinta tersebut balik ke pemiliknya. Hewan peliharaan memang bisa punya kedekatan emosional dengan manusia yang mengasuh mereka. Maka tak salah juga banyak orang yang menganggap kucing atau anjing atau bahkan ular piaraan sebagai bagian dari anggota keluarga. Aku sendiri melihara dua ekor kucing sejak mereka bayi, dan memang seringkali ngurusin mereka itu kok seakan seperti ngurusin anak beneran, karena kedua kucing itu bisa ngambek juga kalo cuma dikasih makan tanpa diajak bermain atau diperhatikan. Begitulah, memelihara hewan dapat memberikan rasa fulfillment tersendiri. Namun lucunya, ketika kita merasa kitalah yang memilih hewan-hewan tersebut untuk diberikan kasih sayang, boleh jadi keadaan sebenarnya tidak persis seperti begitu. Seperti yang ditunjukkan oleh film panjang kedua dari Noviandra Santosa ini. Bahwa justru sesungguhnya hewan tersebutlah yang telah memilih kita untuk menjadi keluarga mereka!
June & Kopi really put us into that perspective. Karena tokoh utama film ini ternyata memang bukan karakter manusianya. Melainkan seekor anjing putih yang hidup di jalanan. Ia bertemu dengan perempuan bernama Aya (Acha Septriasa siap untuk berikan percikan emosional buat film ini) saat sedang diuber oleh anak-anak. Kebaikan hati Aya yang memberikan perlindungan dan makanan, dan bahkan nama – Aya memanggilnya June – membuat si anjing putih jadi ‘memilihnya’ sebagai keluarga. June ngikutin Aya pulang dan akhirnya dijadikan peliharaan. Tapi ternyata suami Aya tidak begitu suka dengan June karena mereka sudah punya peliharaan, seekor anjing hitam bernama Kopi. Maka June berusaha untuk benar-benar diterima di keluarga tersebut. Dia berusaha membahagiakan Aya, berusaha untuk bonding dengan Ale sang suami. Dan ketika pasangan tersebut dikaruniai anak, June berusaha sekuat tenaga untuk mengenyahkan traumanya terhadap anak-anak supaya bisa menjadi teman terbaik bagi anak Aya.

Anjing yang alergi anak manusia

 
Kamera pun akan sering untuk benar-benar literally meletakkan kita ke dalam sudut pandang June. Dalam adegan opening misalnya, kamera diletakkan seolah diikat pada kepala June sehingga kita melihat langsung apa yang dilihat oleh karakter ini sepanjang dia berkeliling gang, melihat aktivitas warga. Treatment dalam opening ini efektif sekali dalam membangun pemahaman kita, dan terutama untuk mengeset tone film secara keseluruhan. June & Kopi adalah drama tentang hubungan anjing dengan manusia yang ringan dan menghibur, dengan sudut pandang yang unik. Menempatkan June di kursi depan, dan konsisten membangun karakter ini.
Aku pernah berusaha memposisikan kucingku di depan laptop untuk konten di Youtube, sehingga aku punya sedikit gambaran soal betapa sulitnya ngarahin hewan untuk melakukan apa yang kita mau di depan kamera. In fact, mungkin itu juga sebabnya kenapa terakhir kali ada film Indonesia tentang anjing dan manusia itu adalah di tahun 1974 (Boni & Nancy garapan John Tjasmadi). Perlu great effort dan ngambil resiko, sehingga gak banyak produser sini yang berani. I mean, film barat aja sekarang lebih memilih pakai CGI kok dibanding pake aktor hewan beneran. Tapi Noviandra Santosa dalam June & Kopi membuat itu semua tampak mudah. Si anjing June tampak begitu luwes dan natural di depan kamera. Aktor berkaki empat yang ia arahkan juga memang sepertinya sudah pinter dan terlatih. Kita melihat June bisa berhitung lewat gonggongan, atau Kopi yang mampu membuka dan menutup pintu dengan kaki depannya. Sang sutradara memastikan kepandaian para aktornya bisa masuk ke dalam cerita, tertangkap oleh kamera dengan adorable, dan dia melakukan ini dengan mengerahkan segala yang bisa. Termasuk editing dan timing yang cukup precise.
Kepandaian anjing itu juga dimasukkan ke dalam bobot drama. This is my most favorite part of this movie. Jadi, Kopi dan suami Aya sudah demikian akrab sehingga mereka punya ritual salaman tersendiri. Salaman yang khusus untuk mereka berdua. Film ini memperlihatkan itu sebagai bagian dari motivasi/goal untuk June. Anjing putih itu ingin juga salaman dengan suami Aya. Sepanjang film momen itu dibangun; ketika Aya sekeluarga mau pergi, misalnya, kita melihat June mengangat kaki depannya sepintas ke arah suami Aya tapi gak dinotice. Momen kayak gitu memperkuat hati film ini. Membuat kita peduli kepada June. Membangun perhatian dan emosi kita ke arah sana, kita semua jadi ingin melihat momen berbahagia ketika June salaman dan akhirnya beneran diterima oleh sang kepala keluarga. Film ini memainkan momen-momen itu dengan sangat baik. Aku gak akan ngespoil ujungnya gimana, but just fyi momen tersebut dibungkus dengan adegan yang menarik-narik perasaan haru kita.

Hewan punya feelings dan mampu merasakan emosi seperti cinta, ataupun sedih, seperti yang ditunjukkan oleh film ini, bukanlah fiksi. Hewan adalah makhluk hidup. Maka kita tidak dibenarkan untuk memelihara hewan hanya untuk bersenang-senang, atau dipamerkan di sosial media. Kita dituntut untuk punya tanggung jawab dalam memelihara mereka. Menurutku film ini hadir tepat waktu sekali, saat belakangan viral orang-orang yang membeli hewan-hewan eksotik seperti monyet hanya untuk konten video. Atau lebih parah lagi, berita soal kucing yang dikuliti atau untuk dijadikan makanan. Film ini bisa sebagai pengingat buat kita. Bahwa hewan, sekalipun bisa dipelihara karena lucu dan jinak, bukan berarti mereka sama dengan mainan untuk lucu-lucuan. Apalagi untuk dimakan. Hewan makhluk hidup yang sama seperti kita. Butuh cinta. Butuh keluarga.

 
Karakter manusia seperti Aya awalnya juga cukup mendapat porsi cerita. Film sempat membahas persoalan mereka sebagai keluarga. Kita diperlihatkan informasi bahwa pasangan ini adalah pasangan yang sempat kehilangan calon anak mereka. Kita juga diperlihatkan bagaimana karir profesional Aya sebagai penulis komik mendapat hantaman keras saat publisher memecatnya lewat telefon. Ini semua membuat kita jadi punya ekspektasi bahwa film ini punya narasi atau cerita yang kompleks, dengan banyak lapisan menyertai premis hubungan manusia dengan ‘sahabat terbaik manusia’. Namun sayangnya, film ini justru jadi mengerucut. Seperti segitiga terbalik. Semakin ke belakang, bahasan dan cerita film ini malah semakin mendangkal. Dunia cerita yang mendapat perluasan dengan penambahan karakter (putri Aya), tidak mendapat penggalian yang konsisten. Pembahasannya hanya skim on the surface. Masalah Aya dan kerjaannya tidak pernah dibahas lagi – solusinya datang begitu saja, cukup dengan Aya membuat komik terinspirasi dari June dan Kopi. Persoalan yang konsisten dibahas adalah ketidakakraban June dengan suami Aya, yang ini pun dilakukan dengan sangat monoton. Percakapan sehari-hari Aya dan sang suami selalu tidak lepas soal “kamu kok belum bisa akrab dengan June”. Hal tersebut diperparah oleh karakter si suami yang jadi annoying berkat obrolan dan masalah yang itu-itu melulu.

Kalo aku sih sepertinya tidak dianggap keluarga oleh kucingku, cuma dianggap babu saja.

 
 
Ketika anak hadir dalam keluarga mereka, kupikir itu bakal jadi tantangan berat buat June. Setidaknya film akan memperlihatkan proses June dalam menyingkapi hal tersebut. Tapi ternyata tidak. Dengan gampang saja dia bonding dengan si anak. Si anak itu sendiri juga, dia disebutkan oleh dokter mengidap asma. Dan kupikir lagi tadinya ini akan jadi rintangan untuk persahabatan June dengannya. Tapi enggak. Film enggak menjadikan asma itu apa-apa untuk narasi besar film ini. Malah dokter dalam film ini nyebut June gak ada hubungannya sama sekali dengan asma si anak. Ini membuat semua informasi sebelumnya itu jadi pointless banget.
Peristiwa ‘kupikir-tapi-ternyata-tidak-begitu’ ketiga datang dari melihat judul film ini. Kupikir film benar-benar akan menitikberatkan pada June dan Kopi. You know, karena judulnya June-and-Kopi. Tapi ternyata Kopi is barely do anything in the movie. Kerjaannya cuma baring-baring di lantai. Peran Kopi hanya sebagai plot-device, untuk membuka pintu saat June dikurung. Atau hanya untuk komedi aneh bersama karakter teman Aya yang somehow dibikin kayak ngerti bahasa anjing saat adegan dia ‘ngobrol’ sama Kopi. Lucu? boleh jadi. Make sense? no dan ini gak nambah apa-apa, pointless juga buat cerita. Film ini kayak punya banyak build-up dan dilupakan begitu saja. Seperti soal Kopi; aku gak tahu ini intentional atau tidak, tapi cara film ini memperlihatkan kegiatan si Kopi – yang seringkali dikontraskan dengan June – seolah film ini sedang membangun ke sesuatu. Kopi dikesankan seperti dikucilkan, anak Aya tak sekalipun ngajak dia main. Membuatku mengantisipasi bakal ada sesuatu yang penting dari Kopi. Dan ternyata memang ada, tapi gak klop dengan cara film membangunnya. Juga soal perangkap-perangkap di hutan itu; film memperlihatkan ada banyak sehingga tanpa sadar mereka membangkitkan pertanyaan lain yang gak ada hubungannya dengan niat film memperlihatkan jebakan itu sedari awal. Perangkap-perangkap itu malah membangun antisipasi kita kepada apa yang ada di hutan sehingga hutan perlu dipasangi perangkap sebanyak itu. Film ini menjelang akhir itu kayak membangun sesuatu yang ‘wah’, tapi ternyata sesuatu itu cuma difungsikan untuk hal lain yang terasa lebih sepele dibanding ekspektasi dari build-upnya.
Memang, yang film ini pilih untuk dikembangkan justru adalah hal-hal yang meminta kita untuk menyimpan logika di dalam laci. Tentu saja yang paling mengganggu buatku adalah soal keluarga Aya yang pergi liburan ke gunung – di saat anak mereka baru sembuh dari asma – dan meninggalkan kedua anjing di rumah, untuk kemudian kedua anjing ini nyusul ke vila di gunung. Kenapa? Kenapa membuat seperti ini, kenapa membuat June menempuh perjalanan melawan logika? Kenapa harus ke gunung? Padahal jika tujuannya untuk memisahkan June dan membuat dia jadi tampak seperti hero dan menempuh perjalanan/rintangan yang sulit, kenapa tidak membuat yang simpel dan gak jauh-jauh amat seperti simply June dikurung karena diduga menyebabkan asma dan ngikutin mereka liburan ke taman. At least, semua masih masuk akal dibanding membayangkan dua ekor anjing ke gunung menemukan keluarga mereka. Nah, yang seperti ini yang membuatku percaya naskah film ini masih belum matang-matang amat sehingga masih banyak plot poin yang mestinya bisa digarap dengan lebih baik lagi.
 
 
Jika kalian ingin melihat anjing beraksi di depan kamera, atau jika kalian penggemar anjing, film ini jelas bisa jadi hiburan yang bikin rileks. Film ini punya drama dan adegan-adegan yang bakal bikin kita merindukan hewan peliharaan di rumah. Keberanian film ini tampil sebagai cerita tentang persahabatan manusia dengan peliharaan saja sudah cukup pantas untuk kita apresiasi, karena memang benar-benar jarang film seperti ini. Namun jika ingin melihatnya dengan memakai lebih banyak logika dan secara teknikal, film ini tentu saja bukan film yang sempurna. Naskahnya masih banyak yang perlu dibenahi, penggaliannya masih tidak berimbang. Ini masih seperti film keluarga/anak-anak yang dimainkan dengan terlalu ringan ketimbang potensi sebenarnya yang dimiliki oleh materi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for JUNE & KOPI.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah saat ini kalian merasa membutuhkan hewan peliharaan? Kenapa iya atau kenapa tidak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA