THELMA Review

 

“Be strong enough to stand alone, smart enough to know when you need help, and brave enough to ask for it”

 

 

Sebagaimana jatuh cinta bukan cuma milik anak muda, petualangan atau malah action balas-dendam pun ternyata juga tidak punya batas kadaluarsa. Ini hanya soal takarannya saja. Karena aksi di usia senja tentu saja bukan kebut-kebutan ataupun tembak-tembakan melawan penjahat. Josh Margolin yang menggarap kisah ini  sebagai persembahan untuk neneknya tercinta (dari adegan pas kredit kita lihat ada momen di film yang dia ‘adaptasi’ langsung dari momen bersama neneknya in real life), tahu persis takaran tersebut. Thelma dijadikannya comedy-action tapi bukan yang over-the-top, melainkan yang grounded. Ingat kemaren pas review How to Make Millions Before Grandma Dies (2024) kita make a point soal nenek cenderung lebih sayang kepada cucu? Nah, pada film Thelma kita akan menemukan jawaban kenapa.

Smartphonenya berdering, Nenek Thelma yang hidup sendiri di rumahnya meninggalkan tenunannya untuk mengangkat. Suara di seberang mengatakan bahwa cucunya sedang di kantor polisi dan dia butuh uang untuk bayar pengacara segera. Naluri keibuan – atau kenenekan – Thelma menghalanginya dari menyadari bahwa telepon itu cuma scam. Penipuan ala ‘mama minta pulsa’. Dari cara film menggambarkan sekuen tersebut, aku langsung ke-hook. Ketika Thelma langsung ke pos buat ngirim duit, kita gak marah ataupun menyalahkannya karena ngelakuin hal yang against our common logic. Malahan kita dibuat memahami ‘kepolosan’ Thelma sebagai nenek. Kita jadi mengerti kenapa penipuan seperti itu bisa terus memakan korban. Apalagi, kedekatan Thelma dengan Daniel, cucunya yang suka datang ke rumah bantu ini-itu, ngajarin makek komputer ataupun main Instagram, sudah dibuild up sebelum kejadian ini. Sekalipun ada yang lucu, misalnya dari gimana si pelaku memancing nama cucunya, kita tidak tertawa dengan nada meledek. Aku baru meledak ngakak saat melihat reaksi Daniel bersama ayah dan ibunya yang awalnya berusaha lapang dada dan bersyukur Thelma gak kenapa-kenapa, tapi langsung ‘serius’ begitu tahu ada duit yang melayang. Dan saat Thelma diam-diam memutuskan untuk pergi sendiri mengambil kembali uang tersebut ke alamat yang sudah ia buang, satu keluarga itu jadi panik mencari nenek yang mendadak hilang,

I also laughed saat Thelma curhat tapi kemudian terbayang lagu yang ada di film Jackass

 

Inspirasi Thelma untuk beraksi sendiri adalah Tom Cruise dalam film Mission Impossible-Fallout yang ia tonton bersama Daniel tempo hari. Thelma dikasih tau Daniel kalo Tom Cruise melakukan sendiri semua aksi di film tersebut. Dan ini menggugah Thelma, yang di balik karakter nenek-neneknya yang ramah, hangat, dan pengertian punya satu flaw yaitu: pantang minta tolong. Premis tersebut terdengar lucu, tapi film berhasil menyuntikkan hati ke dalamnya, dan terus mengembangkan cerita dengan grounded dari sini. Inilah yang menjadikan film punya daya tempur drama yang kuat di balik action ataupun komedinya. Lewat perspektif seorang nenek penyayang yang selama hidupnya mandiri, film memberikan gambaran yang kuat dari gimana rasanya saat benar-benar menyadari diri telah menua, telah benar-benar sendiri karena teman-teman satu-persatu pergi. Gimana rasanya kita yang tadinya bisa semua, kini dianggap tidak mampu dan perlu dijaga. Ketika dianggap seperti bayi lagi. Ada satu momen yang powerful banget, yaitu ketika Thelma mendengar keluarga Thelma (Daniel dan orangtuanya) di ruangan sebelah lagi ngomongin dirinya, dan  Thelma – tidak suka mendengar ‘kenyataan’ bahwa keluarga perlu untuk membantunya lebih sering – mencopot alat-bantu dengar dari telinganya.

Naskah sangat imbang, serta begitu kaya perspektif pendukung. Setidaknya ada dua relationship penting yang terjalin dan development Thelma sebagai karakter datang dari sana. Pertama, tentu saja dengan cucunya, Daniel, yang kelihatannya baru menginjak usia dua-puluhan.  Daniel ini jadi pendukung yang penting, bukan semata karena karakter ini adalah tokoh yang mewakili sang sutradara di kehidupan asli (again, film ini diangkat Josh dari dan untuk neneknya, Thelma Post yang asli), melainkan juga karena Daniel dibikin cerminan paralel dari Thelma. Daniel sedang ada di titik dirinya dianggap screw up oleh keluarga – he doesn’t have job, urusan pacaran pun masih ‘usaha’, dan sekarang nenek hilang di bawah pengawasannya. Daniel jadi sama seperti Thelma yang dianggap gak mampu sehingga mulai menyalahkan diri dan berusaha membuktikan sebaliknya. Mungkin inilah kenapa nenek dan cucu lebih dekat kepada satu sama lain, ketimbang dengan anak atau orangtuanya sendiri. Karena nenek dan cucu berada di posisi yang serupa. Yakni posisi yang oleh orang dewasa/orangtua, dianggap tidak capable ngelakuin hal sendirian, alias apa-apa perlu dibantu. Diawasi. Diurusi. Dan lucunya deep inside mereka juga meyakini pandangan tersebut terhadap masing-masing, sehingga mereka jadi dekat karena nenek ingin buktikan diri capable dengan mengurusi cucunya, sedangkan cucu ingin buktikan diri dengan membantu neneknya.

Kedua; relationship Thelma yang penting adalah dengan Ben, temannya yang ada di panti jompo. Untuk pergi mencari alamat di daerah Los Angeles yang cukup jauh, Thelma butuh kendaraan. Dia ingat Ben punya skuter. Jadi dia pergi ke panti jompo tempat Ben berada untuk meminjam skuter tersebut. Hanya untuk skuter, tegas Thelma. Tapi Ben memaksa untuk ikut sehingga jadilah pertengahan film ini jadi dua-story; antara Daniel dan orangtuanya yang mencari Thelma, dan Thelma dan Ben yang bertualang mencari alamat pakai skuter yang gak seberapa cepat dan harus dicas. Peran Ben di sini adalah sebagai counter, sebagai voice of reason yang menyadarkan Thelma dari flawnya tadi. Karena Ben adalah lansia yang nyaman dibantu. Tidak seperti Thelma, panti jompo bukan kurungan bagi Ben. Karena Ben tidak pernah menampik di usia sekarang, orang-orang seperti mereka memang perlu untuk sering dibantu.

Menjadi tua dan perlu bantuan itu bukanlah hal yang memalukan. Tentu, kita semua perlu untuk belajar mandiri. Untuk capable sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Tetapi tidak kalah pentingnya bagi kita untuk tahu dan mengakui batas diri. Untuk tahu kapan harus meminta tolong. Karena di dalam hidup, sebagai makhluk sosial, sudah kodratnya untuk kita tidak harus melakukan apa-apa sendirian.

 

Penampilan akting dari para pemain juga sukses membuat film ini terasa tambah genuine. Nenek-nenek dalam film biasanya ada dua tipe. Nenek cerewet, dan nenek yang lovebombing ngasih apapun untuk cucu. Tapi keduanya memang sama-sama perhatian. Thelma-nya June Squibb seperti ada di tengah-tengah. Dia seperti nenek semua orang, kadang bikin sebal karena ‘mada’ alias gak mau diurus alias punya flaw agak keras kepala khas senior. Dia bisa tegas dan nyelekit, tapi most of the time Thelma dihadirkannya penuh kehangatan dan ya, kepolosan khas nenek-nenek yang berusaha up-to-date sama dunia. Humor-humor kecil (tapi telak) sering datang dari pembawaan ‘polos’ Thelma. Running gag seperti nenek yang merasa kenal sama semua orang di jalan, menghiasi cerita. Richard Roundtree dalam peran terakhirnya (rest in peace) sebagai Ben pun menyumbang pesona kharismatik tersendiri. Tepatnya, pesona kakek-kakek sebagai teman sejati, yang selalu ada di sana betapapun kurang-ngertinya dia dengan situasi. Sementara itu, Fred Hechinger sebagai Daniel, tuntas pula sebagai perwakilan anak muda – karena kita, seperti dia, harus belajar respek the elder sementara deep inside bergulat dengan menyongsong masa tua sendiri nantinya. Apakah kita mampu? Enggak ada karakter yang annoying di sini. Not even ayah dan ibu Daniel yang kaku dan rempong. Bahkan ‘villain’nya, si tukang scam, dibuat paralel dan penting juga (bisa dibilang ini adalah relationship penting ketiga pada cerita). Untuk gak bocorin banyak, villain ini juga old-man dan juga butuh bantuan.

Cool guys don’t hear explosions

 

Film ini cocok banget ditonton maraton, dijadiin dobel feature dengan How to Make Millions Before Grandma Dies (2024). Kita akan bisa melihat nenek dengan keluarganya dari perspektif lain, yaitu dari si nenek itu sendiri. Kalo mungkin kalian kurang cocok sama drama emosional film tersebut, Thelma yang lebih ringan sebagai comedy-action mungkin bisa jadi alternatif. Comedy-action ini ranah yang rawan. Akan gampang sekali bagi film ini untuk jadi over-the-top, jadi konyol dengan komedi dan aksinya. Tapi gak sekalipun Thelma melewati batas grounded tersebut. Bukan nenek-nenek itu yang dibawa ke dunia aksi. Melainkan aksinya yang diconvert ke dunia nenek-nenek. Film ini paham, bagi karakter seusia Thelma, tindakan yang tergolong memacu adrenalin itu adalah hal sesimpel (bagi kita loh!) operasikan komputer. Di mana letak X nya. Stakenya pun gak perlu muluk. Bagi seusia Thelma tersandung barang berantakan di lantai toko aja sudah demikian membahayakan. Kalo ini settingnya di Indonesia, lantai kamar mandi bisa jadi villain kedua tuh pasti. Meski begitu, seperti halnya premis yang gak shy away dari sedikit meminta kita untuk menahan our logic dan disbelief, film ini pun gak ragu untuk nampilin pistol dan ledakan, yang tentu saja sebagian besar dimanfaatkan untuk komedi properti, ketimbang digunakan properly.

 




Makanya bagiku film ini adalah kejutan yang menyenangkan, lagi menghangatkan. Aku gak nyangka film dengan premis konyol dan situasi kontras action nenek-nenek ini ternyata dikembangkan dengan grounded dan in a mature way, dan hasilnya ternyata gak kalah menyentuh dengan sebuah drama. Yang jelas, hubungan antara nenek dan cucunya berhasil tersampaikan dan terasa personal. Gambaran tentang bagaimana kita bersikap terhadap orang yang jauh lebih tua, tentang gimana perasaan mereka, tetap berhasil sampai ke kita di balik kekehan tawa yang vibe komedinya ke mana-mana. Ternyata memang, seperti halnya umur hanyalah angka, genre juga hanyalah bungkus. Hati cerita tetap nomor satu, dan itulah yang diusahakan sepenuhnya oleh film yang memang sangat personal bagi pembuatnya ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THELMA.

 

 




That’s all we have for now.

Aku baru tau ternyata fenomena penipuan kayak ‘mama minta pulsa’ atau ‘anak bapak ada di penjara’ ini ternyata santer juga di Amerika sono. Bagaimana pendapat kalian tentang penipuan kayak gini, mengapa sampai bisa terjadi?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



BUKU HARIANKU Review

“Your feelings so are important to write down, to capture, and to remember”
 

 
 
Menyimpan dan menulis di buku harian adalah seni yang hilang. Semenjak era digital, orang lebih suka curhat di sosial media karena bisa langsung mendapat tanggapan. Kenapa pula harus memendam sendiri jika bisa dikatakan secara anonim dan mendapat feedback dengan segera, kan. Ini juga seiring dengan menurunnya minat menulis karena sekarang apa-apa dapat tersampaikan lewat foto. Gambar, gif, meme. Emoji. Padahal ada sesuatu yang tidak benar-benar bisa ditangkap oleh visual, ada sesuatu yang tidak pernah bisa kita bagi sepenuhnya kepada orang. Yakni perasaan terjujur yang kita rasakan di satu momen tertentu. Hidup penuh bukan saja oleh kenangan besar, tetapi juga oleh hal-hal kecil yang seringkali kita lupa. Menuliskannya ke atas kertas, setelah kita mengalami semua itu, kemudian membacanya di kemudian hari akan terasa seperti mengalami sekali lagi; kenangan, detil-detil kecil, penggalan dari diri kita sendiri.

Film musikal anak-anak Buku Harianku akan memperlihatkan kepada generasi muda, dan kepada kita yang sempat lupa, bahwasanya menyimpan jurnal pribadi dapat menghantarkan banyak pengalaman manis dan sangat membantu mengingatkan kembali siapa diri kita sebenarnya. 

 
Buku harian itu, Kila punya satu. Ke mana lagi tempat gadis cilik itu mengadu kalo lagi dimarahin mama. Seperti kali ini, mama menunda liburan mereka ke Bali, karena harus membereskan kerja dahulu di Sukabumi. Kila dititipkan di rumah Kakek. Ugh. Meski sama-sama tentara, Kakek Prapto ini jauh berbeda dengan mendiang ayah Kila yang lembut. Kakek galak, suka maksa Kila makan sayur. Kila enggak tahu aja, sang kakek juga menyimpan satu buku harian. Kila juga enggak menduga di desa kecil itu dia mendapat teman, Rintik, yang malu bergaul lantaran disability yang membuatnya tidak dapat berbicara. Keceriaan Kila bertemu dengan ketulusan Rintik, dan bersama teman-teman lain, mereka berusaha mencegah peternakan Kakek jatuh ke tangan pebisnis licik yang berniat mengubah seantero desa menjadi kompleks vila.

untung buku harian Kila bukan punya si Tom Riddle

 
Film ini cukup membuat aku terkesan, karena coba deh baca lagi sinopsisnya. Ada banyak hal yang dibahas oleh film ini. Sementara biasanya, film anak-anak terutama untuk yang seusia Kila akan dibuat sederhana dalam artian masalahnya hanya satu, gak banyak-banyak. I mean, film remaja aja kadang berpuas dengan satu layer kok (lirik Mariposa) Buku Harianku ini surprisingly padet. Menonton ini kerasa sekali sutradara Angling Sagaran seperti pelan-pelan merajut satu pokok permasalahan ke pokok lain supaya mereka saling bertautan tanpa memberantakkan seantero film. Cerita bergerak maju cukup anggun dari elemen fish-out-of-water (Kila yang anak kota beradaptasi dengan kehidupan desa) ke permasalahan anak kecil yang enggak mau makan sayur, dan berjingkat terus ke permasalahan yang lebih dewasa, bahkan hingga menyebut soal penyakit Alzheimer segala. Selain melalui Kakek yang Alzheimer ringan ini, film memasukkan cerita dengan perspektif yang lebih dewasa lewat permasalahan orangtua seperti ibu Rintik yang harus menyingkapi kondisi anaknya.
Sebagian besar tokoh pendukung punya relasi yang menyumbang bobot bagi karakter Kila. Hampir susah untuk ngepinpoint ini cerita tentang apa. Film bicara tentang hubungan Kila dengan ayahnya; Kila memegang teguh pesan sang ayah untuk terus berani membela yang benar. Juga bicara tentang Kila dengan ibunya; tokoh utama kita ini adalah anak baik yang sayang banget ama orangtuanya, ada satu momen di menjelang akhir yang menunjukkan betapa manisnya ikatan ibu dan anak ini. Hubungan Kila dengan Rintik juga jadi salah satu pilar cerita karena ini membahas persahabatan dengan disabilitas yang tentu saja memberikan teladan yang baik bagi semua penonton, untuk tidak mengucilkan, tidak mempersulit mereka. Film tidak berpaling dari memperlihatkan salah-perlakuan yang mungkin kita lakukan dan meng-encourage penonton untuk berani meminta maaf seperti yang dilakukan oleh Kila. Petualangan dan persahabatan Kila dengan Rintik akan terasa begitu hangat dan menyenangkan. Kedua pemain tampak genuinely saling menyayangi. Widuri Puteri mendapat kesempatan untuk mengasah bakat naturalnya dengan menjawab tantangan memainkan karakter tunawicara dengan penampilan yang adorable. Kila Putri Alam yang meskipun tampak seolah bermain menjadi dirinya sendiri berhasil membuktikan keluwesan aktingnya. Dia tidak terkesan mendapat posisi ini hanya karena dia bisa bernyanyi. Kila beradu peran dan emosi dengan banyak aktor yang lebih berpengalaman. Salah satunya adalah dengan aktor senior Slamet Rahardjo.
Pusat cerita ini, however, adalah hubungan Kila dengan Kakek. Film took an extra mile untuk memperlihatkan dua tokoh ini berlawanan. Si Kakek bahkan dibuat seperti karakter bersifat grumpy dan menyebut anak kecil itu merepotkan, meskipun tidak pernah sepenuhnya sifat seperti ini muncul dalam sepanjang sisa durasi. Tapi mereka berlawanan justru karena punya banyak kesamaan. Sikap keras hatinya, dan ya itu tadi, sama-sama menyimpan buku diari. Ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh film ini ketika memperlihatkan Kakek mengenang masa lalu lewat diari tentang anaknya, dan hubungannya dengan sikap Kakek-Kila yang saling belum terbuka. Bagian terbaik dari film ini adalah babak ketiga ketika cerita mulai membuka untaian antara Kila dan Kakek. Di menit-menit terakhir juga buku harian yang menjadi judul baru benar-benar menunjukkan weight-nya kepada cerita. Dan adegan musikal Kila dengan Kakek; itulah puncak rasa yang diberikan film kepada kita. Adegan nyanyi dengan rentang feeling yang luas.

Hidup adalah cerita masing-masing yang ditulis hari demi hari, dan momen-momen ketika kita membaca kembali lembar-lembar kenangan itulah pembelajaran yang bakal mengingatkan siapa sebenarnya diri kita. Maka dari itulah, menyimpan diari bisa disebut sebagai semedi personal. Cara kita berinteraksi kembali dengan our genuine feelings, seperti yang terjadi pada Kakek Prapto – ataupun sebagai cerminan our true self kepada orang lain, seperti yang terjadi pada Kila dan ibunya.

 
Saat ngomongin nyanyian dan film anak-anak dalam satu napas, yang terpikirkan otomatis adalah film Disney. Disney selalu berhasil menyuguhkan adegan nyanyi yang deep-in-the-feel, yang menyatu mulus dengan keseluruhan filmnya. Yang membuat Disney mampu mencapai level klasik seperti demikian bukan hanya karena lirik lagu film-filmnya dan komposisi musiknya magis atau irama dan performancenya catchy, melainkan juga karena treatment dan penempatan adegan-adegan lagu itu sendiri. Pada saat momen-momen perasaan paling krusial terjadi di ceritalah, maka tokohnya bernyanyi. Adegan musikal atau nyanyian dijadikan sebagai cara yang menakjubkan untuk memperkenalkan kita kepada karakter dan perasaannya saat itu. Princess yang menyanyikan desire terdalam mereka. Juga, antagonis yang mendendangkan motivasi mereka. Setiap film musikal lantas menggunakan formula ini; menggunakan nyanyian di berbagai momen sehingga punya nada yang bervariasi, ada senang, sedih, marah, rindu, triumph; sesuai dengan perkembangan karakter.
Lagu-lagu pada Buku Harianku, sekitar 11-12 kalo gak salah, benar-benar mengemulasi perasaan Kila saat mengalami berbagai peristiwa sebagai anak-anak. Dia bernyanyi ketika gak mau disuruh makan, ketika kedinginan baru bangun, saat dia bermain bersama teman-teman. Semuanya menyenangkan. Namun selain adegan nyanyi terakhir bersama Kakek, lagu-lagu di film ini sejatinya hanya muncul untuk suka ria anak-anak. Tidak ada momen seperti Sherina bernyanyi sedih gak mau pindah sekolah di Petualangan Sherina (2000). Untuk mengenang ayahnya, Kila menyanyikan lagu tentang Burung Parkit. Ombang-ambing emosi tokoh ini tidak disampaikan lewat musikal yang penyebarannya sedikit kurang merata. Di bagian tengah ada cukup lama adegan-nyanyi absen. Dan ketika muncul, it was lagu belajar bahasa isyarat yang dicut berselingan dengan lagu dari antagonis…,

konsep yang unik, tetapi – selain kata-kata pada dua lirik itu enak di-matchcut-in – why?

 
Dengan sebagian besar lagu nadanya senang (hampir seperti film punya materi lagu dahulu, barulah kemudian berusaha memasukkan semuanya ke dalam cerita), film ini memang seperti tampak kurang berani menghadapkan atau membebani tokoh anak-anak pada emosi yang lebih tidak-ceria. Bagian emosional seperti demikian diserahkan kepada tokoh dewasa. Meskipun sering dimarahi, ada adegan nyasar di hutan malam hari, dan ada orang-jahat pada cerita, namun Kila tidak pernah benar-benar berada dalam ‘bahaya’ atau posisi yang down. Ini adalah pilihan yang diambil oleh film, tentu saja, akan tetapi sebaiknya mereka juga mempertimbangkan anak-anak mampu kok dihadapkan pada situasi yang serius.
Bahasan ini membawa kita kepada elemen film yang paling lemah, yaitu si komplotan ‘penjahat’, si bisnisman penipu. Cerita butuh figur untuk pembuktian Kila dalam berani membela kebenaran. Hanya saja tokoh antagonis ini dibuat komikal, dan pembahasan serta penyelesaian konfliknya tidak benar-benar berkesan. Terlebih karena formula lumrah dan begitu banyak elemen cerita pada film ini. Sehingga meskipun keberadaannya diperlukan, kita merasa lebih baik elemen penjahat tanah ini ditiadakan supaya cerita bisa lebih fokus kepada elemen lain. Misalnya, elemen persembahan tari kupu-kupu bersama Rintik dan teman-teman di Tujuhbelasan. Momen penampilan mereka itu sangat manis, tapi hadir seujug-ujug. Tidak ada penyebutan mengenai acara dan rasanya sayang aja tidak ada lebih banyak adegan yang menunjukkan interaksi antaranak-anak ini.
 
 
Anak-anak Indonesia dapat satu lagi teman baru. Kila lahir sebagai tokoh yang sangat mewakili mereka, baik, meski sedikit bandel, pinter, senang berteman, berani. Dia juga cukup unik, memberinya kekhususan – yakni pose berpikir – yang sekiranya jadi ciri khas dan ditiru juga oleh anak-anak. Film ini benar-benar memperlihatkan dunia berjalan dari sudut pandang anak, dengan konflik di sekitar mereka, yang mereka kenali dan beberapa yang mereka pahami secara emosi. Ada sejumlah pemeranan yang bagus di sini. Musik dan nyanyian yang ceria juga bakal mengisi hubungan hangat antarkarakter. Nada film ini hanya sedikit bablas menjadi komikal ketika menangani tokoh penjahatnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BUKU HARIANKU.

 
 
 
That’s all we have for now.
Apakah kalian punya pengalaman seru mengenai buku harian?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.