GILA LU NDRO! Review

“The absurd is the essential concept and the first truth.”

 

 

 

 

Seorang alien bernama Alien datang jauh-jauh dari planetnya yang berbulu ke Jakarta demi mencari sumber damai. Sudah pada lihat belum, lucunya premis ini di mana?

Ke Jakarta.

Mencari damai.

Lelucon yang lucu!!

 

 

Konsep dari sebuah komedi yang hebat selalu berupa penabrakkan hal-hal yang berlawanan.  Gila Lo Ndro! punya akar komedi yang kuat, yang berfungsi dua arah; sebagai sentilan, maupun sebagai gambaran. Seperti Aamir Khan yang berkeliling mencari Tuhan pada PK (2014), Alien di Gila Lo Ndro! sesungguhnya membawa kita berkeliling Jakarta untuk melihat fenomena-fenomena absurd. Seorang makhluk planet berwarna orange dengan kepala kayak ditempelin helm (aku gak pernah nyangka Indro Warkop bisa tampil lebih aneh lagi) bukan lagi hal yang paling langka. Kedamaianlah yang lebih langka di sana, di dunia kita yang sebenarnya.

Film ini sebenarnya punya tujuan yang mulia. Lebih mulia daripada batu mulia yang dijual Pak Slamet. Kebiasaan-kebiasaan orang jaman sekarang yang diperlihatkan oleh film benar-benar relevan. Gimana orang sukarela tersulut dan gemar ribut. Gimana media sosial adalah jalan pintas untuk menjadi terkenal buat orang-orang yang satu-satunya bakat yang mereka punya adalah mencari masalah dan kontroversi. Dan pada sisi lain uang logam tersebut terdapat khalayak masa kini begitu gampang disetir oleh hoax. Dalam sebuah sekuen yang kocak kita akan melihat gimana berita tentang marmut berwarna pelangi berubah menjadi marmut yang bisa menembak. Aku pikir film ini menjadi gede, sejujurnya aku berharap demikian.

Wagelasih lo Ndro!

 

 

Baru-baru ini Sacha Baron Cohen (alias si Borat) ngeluarin serial TV bergaya dokumenter yang sangat berani. Dalam serial bertajuk Who is America? tersebut Sacha menyamar menjadi beberapa orang – mulai dari aktivis, pasukan anti teroris, hingga vlogger mainan, dan dia mengadakan sesi interview dengan politisi, seniman, artis, serta orang-orang ‘biasa’ di Amerika. Sacha mengekspos pola pikir dan sudut pandang orang-orang Amerika tersebut. Lewat komedi satir yang bahkan lawan bicaranya enggak sadar sedang diolok-olok, Sacha memperlihatkan kepada kita kondisi sebenarnya di sana.

Gila Lo Ndro? punya potensi untuk menjadi kritik sekuat serial tersebut, karena tentu saja negara kita tak luput dari masalah – kita punya masalah politis dan kemanusiaan sendiri di sini. Jakarta bisa dibilang kota terpanas di Indonesia sekarang ini, ketika kita mendengar tentang Jakarta biasanya berupa tentang keributan, ketidak adilan, moralitas yang semakin bobrok pada setiap lapisan masyarakatnya. Apalagi menjelang masa pemilihan presiden, semua saling menjatuhkan. Keadaan planet asal Alien dalam film ini sebenarnya adalah cerminan langsung dari keadaan Jakarta, dan mungkin seluruh Indonesia. Tapi ada sesuatu dari Gila Lu Ndro? yang seperti terasa hilang, yang membuatnya malah menjadi seperti upaya tak-sampai. Film ini lebih terasa pretentious ketimbang punya suara yang valid. Komedinya bagus, tapi tidak pernah terasa otentik. Sepertinya bisa lebih kuat jika yang mereka perlihatkan pada film ini adalah kejadian asli (ayolah, hare gene tidak susah mencari orang ribut karena hal sepele di Jakarta atau bahkan di mana saja), membuatnya seperti Sacha yang berinteraksi dengan orang-orang asli yang tak tahu mereka sedang bermain film. Dan menyerahkan komedi itu sepenuhnya kepada dua pemain utama. Si Alien dan Indro.

Cara bercerita film inilah yang terasa sangat lemah. Actually ada satu lapisan lagi pada narasi. dari nama pemainnya, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya ini adalah kisah antara Indro Warkop dengan Nita, istrinya. Indro yang dimainkan Tora Sudiro pada cerita ini adalah beneran Indro Warkop yang punya teman nongkrong bernama Dono dan Kasino (as in our very own legendary comedic trio). Situasinya adalah Indro yang pulang telat, diinterogasi oleh istrinya. Kenapa, darimana, abis ngapain. You know, tipe pertanyaan yang diajuin oleh cewek seolah berharap menangkap bahas cowok mereka berbuat salah. Karena, seperti yang dengan gamblang diperlihatkan oleh film ini lewat tulisan di cangkir; cewek selalu benar. Jadi, Indro lantas bercerita tentang pertemuannya dengan makhluk planet asing dan gimana mereka berdua bertualang keliling kota mencari sumber damai. Dari konteksnya, ada aspek kejujuran yang ingin ditonjolkan. Ada hook ‘apakah sebenarnya Indro bohong atau tidak’ yang digunakan untuk menarik penonton. Seperti pada Big Fish (2003) ataupun pada Life of Pi (2012). Tapi storytelling film ini tidak membuat pertanyaan tersebut menjadi penting. Film seperti sengaja untuk menghilangkan hooknya sebab dari adegan awal kita sudah dibuat yakin bahwa si Alien memang ada. Yang sebenarnya tidak masalah jika selanjutnya diolah dengan bener. Sayangnya, narasi yang berupa lapisan Indro dengan istrinya, lapisan Indro dengan Alien dan orang-orang yang mereka temui, tidak pernah terceritakan dengan kohesif.

 

Memang kadang tampak aneh. Mungkin malah ganjil. Sukar dipercaya. Namun bisa saja hal yang tampak asik untuk kita tertawakan itu justru adalah kebenaran yang sesungguhnya. Tidak ada cara untuk kita mengetahui hal tersebut. Yang kita bisa adalah untuk tetap membuka pikiran. Untuk tetap menjaga kepala tidak panas. Karena, meskipun kita masih ragu, paling tidak kita bisa untuk tetap saling damai.

 

Penyuntingan adegan ketika cerita berpindah dari petualangan Indro ke cerita di rumah lumayan kreatif, mulus pula. Tapi keseringan. Jadinya sedikit menyebalkan, lantaran kita yang sedang melihat kejadian yang lucu, ataupun ironis, seringkali seperti ditarik begitu saja ke dalam percakapan yang gak maju-maju antara Indro dengan istrinya. Ah kamu bohong. Beneran. Terus lanjutannya gimana. Repetitif dan memperlambat cerita, membuat kita terlepas dari ceritanya. Juga seolah menciptakan dinding pemisah antara satu kejadian dengan kejadian lain, sehingga film terasa seperti potongan episode atau sketsa. Indro dan Alien tidak kelihatan karakternya. Kita sepanjang film melihat mereka berdua, tapi mereka jarang melakukan hal yang menarik. Mereka hanya ada di sana untuk menjelaskan konteks adegan yang sedang berlangsung. Atau dalam kalimat lain; mereka di sana untuk memaparkan pesan-masyarakat tentang kedamaian, dengan sedikit sekali usaha untuk membuatnya subtil.

kedamaian hakiki hanya milik orang yang sudah meninggal, sepakat?

 

 

Seharusnya film bisa ditulis dengan lebih baik lagi. Hubungan antara Indro dengan Alien semestinya bisa digali lebih, terutama dengan  menajamkan karakter mereka. Lucu sekali bahwa Alien yang datang ke Bumi lantaran ingin belajar damai malah jadi seperti juru damai bagi penghuni lokal. Kalo dia memang bisa, kenapa masih pergi mencari? Mereka bisa saja membuat Alien itu orang yang suka kekerasan, untuk menunjukkan dia benar-benar tidak tahu mengenai konsep damai, tapi film memilih penulisan yang lebih datar. Indro bahkan tampak seperti kumpulan dari pesan-pesan mengenai perdamaian daripada seorang karakter. Kata-kata yang terucap dari mulut berkumisnya kadang jadi terasa dipaksakan, dan enggak nyambung, dan eventually jadi tidak lucu. Seperti ketika anaknya bertanya kenapa Alien naik bemo, Indro menjawab dengan “Karena semua sama di mata hukum.” Di mana nyambungnya? Dua tokoh tersebut membuat aspek filosofis yang dipunya oleh cerita menjadi tumpul sebab mereka sendiri tidak punya kedalaman.

 

 

 

Kita tidak bisa tahu pasti mana yang paling benar, kita hanya bisa percaya. Dan open-minded terhadap sudut pandang orang lain. Begitu pun dengan film; sebuah cerita bukan masalah apakah idenya seusai dengan pikiran/moral kita atau tidak, karena siapa tahu justru keyakinan kita yang salah. Pada sebuah film yang terpenting adalah bagaimana cara mereka menyampaikan ide mereka. Menakjubkan gimana mereka kepikiran cerita begini sarat hanya dari jargon sepele, sayangnya film garapan sutradara Herwin Novianto ini seringkali gagap dalam bercerita. Pesan-pesannya begitu in-the-face, tokohnya tidak punya inner journey. Seharusnya cerita bernapas satir seperti ini diceritakan se-real mungkin, dengan tetap difasilitasi oleh konsep dan humornya. Tapi film ini jatohnya terlihat dibuat-buat. Humornya bahkan tidak tersampaikan menjadi lucu – penonton di studio aku nonton tadi tak ada yang tertawa karena semuanya tampak pretentious.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for GILA LU NDRO!

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah hobi kita menawar di pasar atau kaki lima tapi tidak di kafe atau mall ada hubungannya dengan kita suka memandang orang lebih rendah supaya kita terus terlihat tinggi dan benar? Kenapa kita mencela ide orang lain yang tidak kita setujui? Bagaimana sikap kalian jika kebenaran yang kalian selama ini percayai ternyata terbukti salah?

Apakah kalian percaya ada alien? Dalam film ini, Alien punya bahasa sendiri, kita akan melihat dia dan istrinya berbincang di akhir; jika Ka-ga-lo-go yang mereka ucapin itu artinya ‘kalo’, kira-kira arti gagay yang selalu diucapkan si Alien ini apa ya?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

WARKOP DKI REBORN: JANGKRIK BOSS! PART 2 Review

“So much of our future lies in preserving our past”

 

 

Kalian masokis kalo kalian pergi nonton ini dengan tahu persis seperti apa komedi Warkop, seperti apa komedi garapan Anggy Umbara, sambil masih nekat ngarepin film berisi nan bergizi  layaknya film-film arthouse.

Maksudku, ini adalah bagian kedua dari cerita tentang tiga polisi (alias Chip) yang harus membayar ganti rugi akibat ulah mereka sendiri, yang sebagian besar leluconnya adalah hasil daur ulang dari film-film versi jadul mereka, sementara sebagian lagi datang dari the real Indro Warkop yang muncul pake kostum-kostum konyol. Lalu kalian berniat untuk duduk di bioskop, nyatetin setiap kebegoan yang muncul di layar – enggak sabar ingin mencemooh semua keabsurdan itu dalam blog yang hanya diupdate kalo lagi kepengen, maka ya, itu sama aja dengan nyiksa diri. Karena kalian akan menemukan banyak, sebab film ini memang diniatkan untuk penuh oleh kebodoran. Malahan aku juga heran, kenapa orang-orang masih memerlukan review untuk film-film komedi konyol seperti ini. Jadi aku akan menyimpulkan dengan sederhana terlebih dahulu. Jika kalian mau cari jawaban apakah Warkop Reborn Part 2 ini adalah film yang bagus, maka jawabannya adalah enggak. Tapi jika kalian mampir ke sini demi mengetahui apakah film ini pantas untuk ditonton, maka kubilang; berhenti membaca, pergilah sana ke bioskop, dan selamat tertawa sebelum tertawa itu dilarang.

Dibandingkan dengan Part 1 (2016), Part 2 sedikit lebih berdaging sebab kali ini kita langsung tahu apa motivasi Dono, Kasino, Indro. Mereka tidak sekedar berkeliling melakukan hal-hal mindless. Membuka film dengan kayak serial tv, literally dengan tulisan “episode sebelumnya” disertai cuplikan film sebelumnya not necessarily menafikan keseluruhan Part 1, melainkan menegaskan bahwa Warkop DKI Reborn: Jangkring Boss memang memperlakukan Part 1 sebagai babak perkenalan. Tidak bisakah mereka mengemasnya menjadi satu film aja? Bukankah narasi jadi bisa lebih efektif? Tentu saja bisa, untuk kedua pertanyaan tadi. Namun kupikir kita sudah sama-sama tau alasan di balik mereka malah memutuskan untuk membuatnya menjadi dua. Jadi, Dono, Kasino, Indro, dan rekan cewek mereka Sophie terlantar di Malaysia; tas berisi harta karun yang mereka bawa ketuker sama tas seorang cewek berbaju merah. Sebelum mereka bisa mencari harta karun, mereka harus menemukan cewek baju merah tersebut. Dari mencari cewek di pantai (tentu saja tak ada Warkop tanpa pantai!), pencarian mereka berlanjut ke belantara pulau paling barat Malaysia yang penuh oleh misteri dan twist (tentu saja tak ada Anggy Umbara tanpa twist heboh!)

jadi kupikir sekarang kita tahu alasan kenapa hanya Indro seorang yang mengalami halusinasi, huh?

 

Tidak banyak peningkatan dari segi penampilan. Vino G. Bastian, Abimana Aryasatya, dan Tora Sudiro masih berusaha untuk tampil semirip mungkin dengan persona orisinal yang mereka perankan. Namun begitu, kali ini trio Warkop modern diberikan lebih banyak momen untuk bersenang-senang dengan karakter mereka. Paruh pertama film memancing kekonyolan dari Warkop yang bereaksi terhadap lingkungan sekitar yang asing – mereka anak Jakarta yang plesir ke Malaysia – serta sangat komikal. Pada bagian ini, jokenya enggak tanggung-tanggung, Umbara terus mendorong batas sekonyol-konyolnya. Kita melihat Kasino tumbuh payudara, manusia yang berubah menjadi dispenser, dan banyak lagi hal-hal gila semacam itu. Aku suka joke wajah di pintu, karena film mengambil waktu untuk membuild up towards that joke. Enggak sekedar nunjukin betapa kocaknya orang kejedot pintu sampai-sampai wajahnya tercetak. Efek komputer yang dipake masih terlihat kasar, apalagi yang bagian di pantai, dan kita harap maklum lantaran Dono bilang budget mereka lagi mepet.

Mempertahankan bagian terbaik dari Part 1; tokoh yang kerap breaking the fourth wall – ngomong ke kamera dan ngeMASH UP ULANG ELEMEN-ELEMEN DARI FILM WARKOP JADUL. Kasino bahkan benar-benar ngomong ke kita bahwa punchline yang dia pake “nyolong dari film dulu”.  Kali ini mereka mengambil banyak bagian dari film Warkop favoritku; Setan Kredit. Separoh bagian akhir adalah tentang Warkop keliaran di hutan, nyasar di pulau penuh hantu, mereka ngerehash adegan Indro berantem dengan pocong. Kita juga dapat bagian kocak antara Dono dengan Kuntilanak yang tergantung. Bagian Kasino ribut ama pohon, dia pakek jurus-jurus sableng, ini bisa kita jadikan pemanasan menjelang film silat Vino G. Bastian yang baru akan keluar tahun depan hihihi.. Anyway, film ini pun ada unsur horornya. Akan tetapi, tone cerita enggak pernah bentrok banget. Cerita selalu diarahkan untuk menjadi mahakonyol. Ketika kita noton film ini, concern bukan lagi pada seberapa bagus, melainkan seberapa ‘ajaib’ mereka mengolah materi.

Dono jadi Abimana. Abimana jadi Dono. Eh, mana sih yang benar?

 

Pada satu poin, Indro mengajak Kasino dan Dono berdoa apa yang baru saja mereka lakukan walaupun kalah seram, tetapi semoga masih lebih lucu dibandingkan Setan Kredit original. Sesungguhnya di balik mash up dan recycle, ada misi pelestarian. Banyak masa depan yang bergantung dari seberapa berhasil kita melestarikan masa lalu. Dan ya, tentu, mereka sah saja melakukan itu sembari mengumpulkan uang. They could come off as a villain, sure, seperti motivasi penjahat konyol dalam film ini. Tetapi, ketika pelaku sebenarnya sendiri yang langsung turun tangan, jika dia meminta untuk dilestarikan, penghormatan yang bisa kita berikan tentu saja adalah dengan mengapresiasinya.

 

Aku suka pada apa yang mereka lakukan terhadap kata “Jangrik, Boss!”. Twist di akhir cerita merupakan permainan kata yang menarik, dan actually memberikan arti yang lebih terhadap judulnya. One could argue bahwa separuh terakhir film lebih seru dan kocak dibandingkan bagian awal. Aku gak akan bilangnya tepatnya seperti apa, tapi setelah twist, peran Indro Warkop yang asli menjadi lebih menonjol, dan kita akan mengerti peraturan semacam apa yang berlaku dalam dunia film ini. Jika kalian pernah nonton serial Rick and Morty, maka kalian akan setuju aku bilang universe film ini bertindak kayak universe serial kartun itu. Cuma bedanya alih-alih planet, di Warkop Reborn ini kita akan melihat Indro dunia nyata dan Indro dunia film. Dan di bagian inilah menurutku yang sangat mendefinisikan film, disinilah keputusan finalku dalam menilai film ini membulat:

Part 2 memang lebih seru, namun tidak benar-benar lebih bagus dari Part 1. Pada Part 1 kita melihat film memperkenalkan trio Warkop yang baru. Walaupun karakternya enggak ada motivasi, kita bisa melihat film berusaha menghimpun narasi dari campuran film-film Warkop yang jadul. Ketika ada yang lucu, maka hal tersebut datang dari tokoh Warkop itu, di mana mereka berusaha untuk memperkenalkan – ralat, mengestablish – bahwa tokoh versi yang modern ini enggak kalah lucu. Sedangkan pada Part 2, dunia merekalah yang lucu. I mean, tokoh-tokoh mereka ditempatkan di dunia, di situasi yang tidak mereka tahu; di Malaysia, di hutan, di sarang bandit yang prajuritnya cewek semua, di dunia film. Dan ini seperti mereka tidak pernah lebih lucu dibanding dunia-dunia tersebut. Mereka bereaksi terhadap environment alih-alih beraksi. Merasa gak cukup dengan mengandalkan film Warkop jadul, Part 2 juga resort ke film-film jadul Indonesia yang lain; hanya supaya semakin lucu. Trio Warkop baru ini malah jadi kayak afterthought karenanya. Kita butuh untuk melihat lebih banyak adegan seperti nyanyi Andeca Andeci di mana para tokoh just having fun and being themselves. Mengandalkan interaksi mereka. Tapi ketika berharap pun mestinya aku harus hati-hati, karena tak lama setelah itu, kita dapat adegan Kasino bermimpi mereka bertiga lagi chicken dance. Bagian tersebut sangat entah-dari-mana, gak perlu, dan enggak benar-benar lucu.

 

 

 

So good at being bad, sampai membuat kita tertawa sepanjang durasi. Dengan banyak referensi, film ini bukan hanya sebatas melestarikan legenda Warkop, film-film klasik Indonesia pun turut serta diperkenalkan kembali lewat nada komedi. Yea ada ambisi dan kita bisa sedikit menyipitkan mata di sini, but when you’re having fun, you’re having fun!
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 stars for WARKOP DKI REBORN: JANGKRIK BOSS! PART 2

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku

 

Buat kamu-kamu (apalagi yang cowok) yang berencana mengubah dunia, maka lakukanlah cita-cita mulia tersebut sebelum kamu menikah. Karena, kata mas Muh Rio Nisafa dalam buku ini, setelah nikah nanti jangankan dunia, ngeganti channel tivi saja kita udah enggak bisa!

Wuih, seserem itukah dunia rumah tangga?

Ngomong-ngomong, Muh Rio Nisafa ni safa, sih? Aku tadinya mengenal beliau hanya sebagai komika atau stand up comedian yang sama-sama terdaftar sebagai peserta Nulis Lupus Bareng kloter Jogja. Bedanya; mas Rio juara satu, sedangkan aku juara ‘cheerleader’. Setelah baca buku kedelapannya ini, aku jadi tahu kalo Mas Rio juga seorang kepala keluarga yang sudah delapan tahun menikah. Dan amat-sangat berbahagia karena statusnya tersebut.

Warna warni kehidupan berkeluarga tergambar ceria di sini. Ini bukan cerita fiksi, makanya komedi yang dihadirkan terasa kena sekali. Terlihat benar, akur dengan profesinya, Mas Rio memandang kehidupan sebagai panggung komedi. Termasuk, eh ralat, apalagi kehidupan berumah tangga. Dalam buku ini disebutkan menjadi AYAH PENUH SUKA DAN SUKA. Namun bukan berarti enggak ada dukanya. Happy Family tidak melulu bikin jealous para jomblo yang masih gagal move on dengan segala kespesialan yang didapat oleh pasangan yang sudah menikah. Meski memang sih, cukup banyak senggolan manja yang membandingkan enaknya sudah menikah dibandingkan masih pacaran. Riak-riak kecil perbedaan akan selalu hadir karena pernikahan hakikinya adalah menyatukan dua perbedaan; dua tingkah laku, dua kebiasaan, dua kehendak keluarga, dua pandangan hidup. Semua perbedaan toh tidak mesti jadi momok, tidak harus dianggap duka, karena bercermin dari pengalaman yang dituturkan jenaka oleh buku ini, perbedaan dalam rumah tangga adalah hal-hal yang patut disyukuri dan, eventually,  patut untuk  ditertawakan bersama.

pedoman suami siaga (siap-antar-ganteng)

 

Buku adalah buah pikir dari penulis. Basically, buku adalah anak dari pengarangnya. Meskipun sudah beranak buku delapan kali, Mas Rio baru punya satu anak manusia. Pengalaman mendapat anugerah gede tersebut diceritakan dengan asyik dan penuh bangga. Ada lima bab besar (hush, bukan buang air, jorok ih!) dalam buku ini, dengan satu bab didedikasikan tentang putra pertamanya. Dan dalam tiga bab sebelum itu pun kita sudah seperti terset up kepada momen kelahiran ini, dimulai dari Yahnda dan Manda ngerjain PR Fisika.

Anak dapat kita umpamakan sebagai sebuah buku kosong yang bakal menuliskan sendiri ceritanya. Tapi karena anaknya sendiri masih kecil, Mas Rio khusus di buku ini memproyeksikan sedikit dirinya, dan mungkin sedikit harapan, dan kita sebagai pembaca mendapatkan bantering imajiner yang super kocak antara Yahnda dengan si kecil Fano. Seperti yang bisa kita baca saat mereka pergi liburan ke waterpark. Ataupun ketika Fano dibanding-bandingin dengan presiden. Personally, aku ngakak sejadi-jadinya di bagian cerita ada anak bernama Sekar, yang nama panjangnya ternyata adalah Sekarang Kita Pulang! ahahahaha

Buat seorang stand up comedian, kepekaan terhadap isu-isu politik dan sosial selalu merupakan senjata utama. Happy Family luwes sekali memasukkan pancingan terhadap aspek-aspek tersebut, untuk kemudian mengolah dan menyelesaikannya dengan punch line yang bertenaga dan tepat sasaran. Banyak subbab pendek yang mampu menghabiskan setengah jam waktu sebab kita akan tergelak oleh lucunya dan betapa benarnya perbandingan gila yang diambil oleh penulis. Membaca ini akan terasa seperti menonton solo show dari seorang komika yang menceritakan apa yang jadi pikirannya, dengan layer rumah tangga yang pas sehingga terasa begitu relevan serta memikat. Terutama, tidak ada keluhan di sini. Ketika Yahnda curhat soal satu-satunya waktu dia dapat ngobrol dengan istri adalah ketika hape bininya lowbatt dan sedang di-charge, kita ikut tergelak sebab kita tahu memang begitulah kehidupan di jaman modern. Anekdot-anekdot segar dan tebakan kocak seperti beda kopi enak dengan kopi mahal mengalir lancar.

Sketsa-sketsa komedi singkat ala kolom humor di pinggir halaman TTS menghiasi halaman di bab akhir. Menghantar kita melalui penutup yang ringan, namun membuat kita ingin membacanya berulang kali. Berbagai macam skenario Raisa kenalan sama keluarga pacarnya, speerti pada iklan,tak pelak adalah salah satu bagian terbaik buku. Pacaran memang indah, tapi dunia rumah tangga enggak kalah serunya.

As a whole, jika kalian lagi duduk nyante sore hari di depan rumah, buku ini bisa jadi santapan yang enggak kalah menarik dari goreng pisang. Bukan cuma yang udah nikah loh, yang bakal terhibur. Candaannya sarat, akrab, dan yang paling penting; kocak. Sekali baca saja kita tahu kalo buku ini ditulis oleh seorang komika, gaya tulisannya persis kayak gaya tutur yang biasa kita tonton di acara stand up komedi. Unik, tapi terkadang memang sedikit mengganjal, khususnya bila kita mengahrapkan struktur yang lebih konvensional seperti novel atau personal literature yang biasa. Kuncinya ada di editing, you know, like, susunan cerita. Apalagi genre komedi banyak mengandalkan repetisi sebagai salah satu jokesnya. Buku ini melakukan dengan cukup bagus. Akan tetapi, ada beberapa editing dari sisi teknis seperti sejumlah besar typo yang terlupa untuk dibenerin dan penggunaan sudut pandang yang seperti kurang konsisten, ada bab yang pake ‘gue’, ada yang pake ‘saya’.

 

 

Buat yang mau menambahkan buku Lucu ini ke koleksi pustaka, ataupun lagi nyari pedoman menjalani hidup berumah tangga, bisa langsung pesan ke pengarang yang katanya pernah digodain SPG ini di twitter.com/rio_nisafa atau facebook.com/rio.nisafa

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.