BOHEMIAN RHAPSODY Review

“I feel like an outsider when I’m with my family”

 

 

Is this the real life?

Is this just fantasy?

Bohemian Rhapsody menjanjikan biografi seorang, kalo enggak mau disebut sebuah band, legenda musik rock. Namun kita hanya akan mengapung di atas rangkaian demi rangkaian perjalanan karya dan karir mereka, alih-alih dibawa menyelami kisahnya.

 

Terlahir dengan gigi ekstra ke dalam keluarga Parsi India, Farrokh dalam film Bohemian Rhapsody, hanya bangga dengan bawaan lahir yang pertama kali disebut. Menurutnya, empat gigi tambahan itu membantu menambah range vokal, senjata rahasia di balik kemampuan bernyanyi yang tak bisa disamai oleh siapapun di dunia (termasuk oleh Rami Malek, pemerannya sendiri). Dia dengan cepat mengganti nama menjadi Freddie, dan kemudian menjelang hari-hari terkenalnya, melengkapinya dengan Mercury. Menyempurnakan personanya yang mercurial; one-of-a-kind nan tak bisa ditebak.

Bahkan sebelum jadi anak band saja, keflamboyanan Freddie sudah mulai terlihat. Ini menjadi poin kunci cerita. Film tidak menerangkan dengan jelas apakah sikap dan gaya narsistiknya itu natural atau sebagai bentuk perlawanan kepada keluarganya yang konservatif, tapi yang jelas dalam lingkaran keluarga biologisnya sendiri, Freddie tidak merasa berada di tempat yang benar. Dia menemukan teman-teman band sebagai pelipur kesendirian, di mana dia merasa dirinya dibutuhkan. Queen sebagai band luar biasa dengan lagu-lagu yang susah untuk dikategorikan genrenya merupakan cerminan dari perjuangan Freddie itu sendiri, yang didukung oleh rekan-rekan anggota lainnya; keluarganya, kata Freddie. Tapi, Freddie adalah outsider seumur hidup. Cerita banyak mengeksplorasi kehidupan seksual penyanyi ini; di mana relasi asmaranya dengan seorang sahabat cewek berakhir setelah dugaan Freddie seorang homoseksual terjawab. Menjadi susah bagi Freddie untuk keep up with his families ketika keluarga bandnya tersebut beneran punya keluarga masing-masing di balik panggung, sesuatu yang tak bisa ia punya. Tapi paling enggak, dalam dua-puluh-menit konser amal terbesar tahun 1985 itu, Freddie si outsider menjadi juara dunia.

He will rock you!

 

Definitely, kisah Freddie Mercury memang punya potensi untuk diangkat menjadi biopic lumayan tragis yang penuh oleh nilai-nilai kekeluargaan. Tapi anehnya, elemen tersebut justru kurang mendapat perhatian, karena film ingin melingkupi banyak hal sekaligus. Mereka ingin mengajak kita bernostalgia juga, bernyanyi bersama lagu-lagu Queen, melihat pembuatannya. Tidak akan cukup waktu untuk ini semua. Jadi, aku mengerti kenapa film ini mendapat skor yang lumayan rendah, meski setiap orang yang kutanyai mengaku sangat ingin menontonnya. Sebagai sebuah film, Bohemian Rhapsody hanya tampil setengah-setengah, tidak ada elemen yang digali dengan sempurna. Formula yang digunakan begitu standar, dan ini ironis mengingat ada adegan di mana Freddie memaksa produser musik untuk berani memasarkan lagu mereka, karena Queen begitu unik dan menolak diseragamkan dengan formula yang ada.

Tapi, tahu enggak sih, kita gak harus nyesuaiin selera sama objektifitas para kritikus. Kita boleh aja suka sama yang gak bagus. Maksudku, aku sendiri setuju Bohemian Rhapsody bukanlah sebuah film yang hebat. Tapi hal yang paling membuatku kecewa saat menonton ini adalah bahwa kita gak boleh ikutan bernyanyi di dalam bioskop. Aku menikmati perjalanan Queen dalam merekam lagu, bagaimana mereka actually memasarkan lagu Bohemian Rhapsody yang basically enam-menit campuran kata-kata aneh, dan sekuen penutup di konser Live Aid itu, aku harus mencengkeram lengan kursiku erat-erat dalam upaya menahan diri untuk enggak berdiri dan nyanyi di atas kursi. Bisa melihat sesuatu secara kritis, bukan berarti menghalangi kita untuk menikmati sesuatu tersebut secara subjekif.

Tidak ada cela dalam penampilan Rami Malek sebagai Freddie Mercury. Jika pada film ini, Freddie berkata dia merasa sudah memenuhi takdirnya sebagai penampil, penyanyi di hadapan jutaan orang. Maka, Malek dalam film ini seperti sudah garis tangannya untuk memainkan sosok Freddie Mercury. Dan dia telah memenuhi panggilan tersebut. Seperti, dia terlahir di dunia demi film ini. Biar kita-kita yang lahir setelah jaman Queen tahu, seperti apa sosok legendaris ini baik keseharian maupun gaya panggungnya. Segala gestur, pembawaan, sikap, kecuali dialog sih ya – soalnya kadang penulisannya terdengar cheesy – fantastis sekali, kita percaya dia adalah Freddie.

kalo kalian mencari tontonan untuk halloween, kalian salah orang – freddie nya bedaaaa

 

 

Jatuh dalam perangkap biopik yang merasa perlu menceritakan sesuatu sedari awal, penceritaan film ini gak lebih menarik daripada Chrisye (2017). Buat Bohemian, ini bikin geregetan karena kita tahu ada banyak dari Freddie Mercury yang menarik untuk diangkat dan dijelajahi. Kita penasaran dari mana ia mendapat inspirasi penampilannya di atas panggung. Kita penasaran bagaimana ilham menulis lagu datang. Tapi film tidak memberikan ini. Proses kreatif Queen dalam menghasilkan lagu-lagu unik hanya diperlihatkan sebatas montase. Pun hanya ada beberapa adegan Freddie mengulik lirik di atas kertas. Sedari awal bikin band, mereka sudah terdengar seperti Queen; udah jago. Tapi mungkin juga memang begitu hebatnya Queen; mungkin mereka bisa menciptakan koreo, aksi panggung, konsep dengan sekali duduk. Mungkin Freddie memang jenius sehingga ide lagu Bohemian Rhapsody bisa muncul begitu saja di dalam kepalanya.

Kita tidak melihat cukup banyak siapa dirinya sebelum nge-band. Status keluarganya sebagai imigran tidak dikaitkan ke dalam konteks outsider yang menjadi identitas Freddie. Kita juga tidak diperkenalkan dengan betul-betul kepada anggota band yang lain. Mereka hanya ada di sana, dan meskipun sering beradu argumen dengan Freddie – mereka kadang terlihat terganggu bahkan menyindir penampilan Freddie – kita tidak pernah dibawa masuk ke dalam kepala ataupun melihat ‘masalah’ mereka. Hubungan Freddie dengan ayah dan ibunya adalah elemen yang penting, pengaruh mereka terasa dalam pembentukan karakter Freddie. Tapi pembahasan tentang mereka sedikit sekali. Mereka cuma muncul ketika naskah membutuhkan suntikan drama. Kita tidak pernah melihat bagaimana keluarga mereka ‘bekerja’ sebenarnya.

Bahagialah bagi yang punya orangtua yang mau mengerti pilihan kita, tanpa membandingkan dengan apa yang menurut mereka lebih baik. Karena Freddie tidak. Jangankan pilihan pasangan, main musik saja sudah dianggap masa depan suram oleh ayahnya. Tapi terkadang, tak ada salahnya kita mendengar nasihat mereka. Like, jika dalam anjuran mereka tidak ada yang ‘salah’ kenapa tidak coba diikuti. Dengan cara kita sendiri sekalipun.

 

 

Melihat dari konteks yang sudah dilandaskan pada adegan pembuka, sebenarnya film bekerja dengan pas di dalam konteksnya. Dan nantinya akan maju sesuai dengan pembelajaran yang dialami oleh Freddie. Awalnya kita melihat cerita ini dari sudut pandang dirinya di mana dialah spotlightnya. Perbedaan pov antara saat dia menuju panggung di awal dengan menjelang akhir film menunjukkan perubahan karakter Freddie. Di awal, dia melihat dirinya sebagai satu orang, dia enggak perhatian penuh ama sekitar. Makanya kita enggak diperkenalkan benar-benar dengan anggota band yang lain, sebab Freddie hanya ‘melihat’ mereka. Segala proses rekaman, manggung, masalah percintaan, kita melihatnya dari mata Freddie sebagai ‘one-man person’. Barulah setelah dia menyadari apa itu keluarga, saat dia benar-benar melihat dirinya bagian dari keluarga, sudut pandang dia dalam cerita ini berubah, dan kita merasakannya.

 

 

 

 

Jadi, film ini bisa saja mengeksplorasi lebih banyak dan detil tentang dunia Freddie Mercury, tapi itu akan mengeluarkannya dari roda konteks. Karena ini adalah tentang Freddie si outsider yang tadinya memandang dirinya sebagai terpisah, menjadi bagian dari keluarga. Menurutku, film secara spesifik sengaja mengambil penceritaan seperti demikian. Sengaja meninggalkan banyak hal penting yang ingin kita ketahui – serius deh, kita tidak beli tiket buat ngeliat penampilan musik ‘boongan’, kita dateng buat pengen tahu cerita humanis seorang legenda di balik layar – karena mereka ingin menempatkan kita di dalam kepala Freddie Mercury. Mungkin tidak sesuai dengan tontonan yang kita harapkan, tapi ini sajian “easy come, easy go” yang enak dinikmati.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BOHEMIAN RHAPSODY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa lagu Queen favorit kalian? Apakah menurut kalian film ini juara atau hanya “another one bites the dust”?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

CHRISYE Review

“Don’t feel guilty for doing what’s best for you”

 

 

Apakah Chrisye bisa hidup lagi? Begitu bunyi salah satu headline koran dalam kelebatan berita dan fakta singkat yang kita lihat di menit-menit awal film ini berlangsung. Jawabannya tidak secara harafiah Chrisye bangkit dari kubur, tentu saja. Dan menurutku, jawabannya juga ‘tidak’ jika pertanyaan tadi kita jawab dengan kiasan. Namun bukan karena sudah tidak ada lagi orang yang mengenalnya, yang mendendangkan lagunya. Justru sebaliknya, ‘tidak’ karena buatku, dan kuyakin juga buat penggemar, buat orang-orang yang pernah tersentuh dan terhibur oleh karyanya yang amat banyak, juga buat keluarga dan orang-orang terdekatnya, Chrisye tidak pernah mati. Dia akan terus hidup. Lilin-lilin kecil itu tidak akan pernah padam.

Menjalani masa pertumbuhan di era 90an, telingaku akrab sama lagu-lagu Chrisye. Dan memang, aku gak pernah tahu kisah hidupnya seperti apa. Orang bilang, kita bisa mengenal seseorang lewat karyanya, but still enggak banyak yang tahu cerita di balik lagu-lagu tersebut. Paling enggak, tidak tahu sedekat Damayanti Noor, istri Chrisye. Kenapa juga kita perlu tahu, kalian tanya. Well, karena akan selalu ada saja yang bisa kita petik dari kisah-kisah hidup orang seperti Chrisye. Orang yang berjuang dengan karyanya, meski dia tahu profesi yang ia tekuni tidak dihargai benar-benar layak. Orang yang mengikuti kata hati dan memilih jalan hidup atas nama cinta. Film Chrisye ini adalah cerita yang sangat personal karena diangkat dari sudut pandang sang istri, yang sudah menemani Chrisye, sudah ikut naik-turun gelombang kehidupan bersamanya.

Chris, eike, yey…. Chris-eike-yey….. Chris-eik-yey…. Chris-yey… Chrisye!

 

Sebagai sebuah drama biografi, film ini akan sedikit banyak berusaha menyentuh sisi emosional kita. Ada beberapa adegan di pertengahan akhir film yang benar-benar terasa buatku. Malahan, di bagian paruh terakhirlah film ini bekerja dengan baik. Kita bisa merasakan stake yang gede ketika satu hari sebelum manggung di konser tunggal akbarnya, suara Chrisye malah menghilang. Kita ikut gemetar ketika Chrisye tak sanggup untuk menyanyikan lagu tentang kebesaran Tuhan yang disadur dari terjemahan Surat Yasin ayat 65 Al-Qur’an. Karena setelah sekian banyak yang kita pelajari dari pribadi seorang Chrisye, kita jadi tau gimana dia ogah mendengar nyanyiannya sendiri, gimana dia nyari-nyari alesan untuk menunda melihat penampilannya di televisi, semua sisi emosional itu barulah benar-benar pecah saat film membahas kejadian di late on his career. Vino G Bastian yang sempat diragukan melangkah ke dalam sepatu seorang Chrisye, juga akhirnya mendeliver penampilan yang meyakinkan di porsi ini. Ketika dia diberikan kesempatan untuk menyanyikan lagu dengan suara sendiri,  Chrisye terbata sebelum akhirnya tak dapat menahan laju air mata, adegan tersebut sangat kuat menyentuh. Bahkan dari segi penampilan,  Vino jadi tampak mirip dengan Chrisye, apalagi di angle-angle dari depan ketika kepalanya sedikit merunduk.

Bayangkan jika satu-satunya hal yang bisa kau lakukan, ternyata tidak cukup untuk membahagiakan orang yang kau cintai. Chrisye malahan sampai merasa amat bersalah karena sudah memilih menjadi musikus – dia jadi meragukan potensinya, the only things he’s good at. Ini lebih dari sekadar depresi. Ini adalah perasaan gagal, tak berguna, ketakberdayaan, yang menggumpal menjadi satu. Menjadi penyakit yang merundung Chrisye.

 

Tapinya lagi, film tidak menyoroti Chrisye sebagai penyanyi sebanyak itu. We do get perjuangan Chrisye bertahan sebagai seorang musikus, tetapi fokus film sesungguhnya terletak kepada menyajikan Chrisye sebagai seorang pria, seorang ayah, seorang manusia. Salah satu aspek cerita yang mendapat build up yang cukup banyak dan menarik adalah soal beda agama. Kita melihat suara Adzan mempengaruhi pilihan Chrisye, dan later juga menambah banyak bobot buat elemen Chrisye dengan musiknya. Kalo boleh menekankan, aku akan bilang sekali lagi film ini bekerja terbaik begitu dia memperlihatkan tentang Chrisye dan perjuangannya dalam musik. Namun, alih-alih itu, film memperlihatkan aspek-aspek yang lain yang datang dan pergi begitu saja.

Hubungan yang terjalin antara Chrisye dengan Damayanti mengambil posisi utama pada paruh pertama. Yang gak sepenuhnya menarik dan ingin kita ketahui. Dan film ini sendiri pun sepertinya aware dengan hal tersebut. Buktinya, film banyak mengambil waktu untuk membuat kita melihat bagaimana mereka bertemu, kemudian pacaran, dan kemudian ketika menunjukkan bagian romantis, bagian kedekatan mereka, film menceritakan lewat montase, seolah ingin segera cepat sampai ke bagian yang lebih serius. Dialog di bagian awal-awal ini pun ala kadarnya. Ada begitu banyak kejadian, film terus melompat-lompat periode waktu, sehingga membuat kita susah untuk pegangan. Tidak ada yang bisa dicengkeram pada bagian-bagian awal ini. Tidak ada stake yang kerasa. Aku benar-benar susah untuk peduli sehingga sebagian besar waktu itu aku jadi lebih tertarik kepada penampilan-penampilan kejutan dari tokoh dunia musik lain yang hadir di cerita.

“Sejak lihat babak pertama, ku langsung ilang rasa
Walau ku tahu c’rita ada personalnya
Tapi ku tak dapat membohongi hati nurani
Ku tak dapat ngerasain, gejolak cinta ini.

Maka, izinkanlah aku mengritisimu
Atau bolehkan aku sekedar jujur padamu~”

 

Film berkelit dari banyak potensi konflik. Itulah yang membuat bagian awal tampak mudah tanpa ada kejadian yang menarik. Halangan bermain musik dari ayahnya, tergugurkan oleh mimpi. Kita gak dikasih liat reperkusi dari pindahnya Chrisye menjadi penyanyi solo, bagaimana dengan bandnya, gimana dia keluar, film melompati ini di saat yang bersamaan dengan mereka melompati periode waktu. Ketika dia pindah agama juga mulus-mulus saja. Semua seperti terhampar begitu saja, dan di sinilah letak susahnya mengritik film dari kisah nyata. Karena mungkin memang di kenyataannya enggak ada masalah yang Chrisye hadapi sehubungan dengan poin-poin tadi. Toh film harus dibuat tetap menarik, jika memang harus sama, pertanyaannya adalah kenapa memasukkan bagian yang tidak menarik, yang tidak berkonflik? Padahal kan film menarik karena kit amelihat benturan antara manusia dengan konflik.

bayangkan betapa leganya Chrisye setelah dua kali setiap dia ngangkat telepon, ada yang mati.

 

Bagus mereka memasukkan detil kecil Chrisye suka merapikan selimut untuk orang yang sedang tertidur karena kebiasaan tersebut menambah suatu aspek terhadap karakternya. Tapi dalam film ini, repetisi lain pada beberapa adegan terasa annoying karena gak berujung apa-apa. Gak ada faedahnya. Kita mendengar “Amerika!” disebut-sebut dengan antusias berlebih berulang-ulang seolah film ini banyak bertempat di sana, namun enggak. Jadi, kenapa?  Kelemahan ini berasal dari penulisan dialog yang acap terdengar ala kadarnya. Bincang-bincang pasangan di diskotik hanya “turun, yuk” yang membuat adegan tersebut semakin tidak penting. Dan saking berulangnya adegan orang yang tertidur, aku yakin kalo aku menoleh ke samping, orang di sebelahku juga sudah ngorok kayak orang-orang di film ini yang begitu meleng sedikit, begitu mereka ngeliat temannya lagi, teman tersebut sudah pulas.

 

 

 

Bukannya aku mau menodai kenangan personal seorang istri terhadap almarhum suami, karena alur film ini adalah bagaimana kenangan Damayanti terhadap Chrisye, namun sesungguhnya tidak semua bagian kehidupan bisa ditranslasikan dengan menarik sebagai bahasa film. Ataupun tidak semuanya benar-benar perlu. Film ini sayangnya, bukan hanya memasukkan banyak, malah mereka ngeskip bagian yang potensial menarik dan lebih penting untuk ditampakkan. Dengan set piece yang detil, film ini adalah biografi yang membuktikan betapa Chrisye adalah sosok tak tergantikan, terutama di mata istrinya, dan ini terlihat dari suara nyanyian asli dari Chrisye yang dilip-sync. However, erita baru bekerja dengan benar-benar baik saat dia tiba di satu bagian tertentu. Selebihnya, benar ini seperti kenangan yang terpotong-potong. Tidak pernah mengalir dengan baik. Dan itu bukan bentuk yang menyenangkan dalam menikmati perjalanan film.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CHRISYE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.