RAMPAGE Review

“Human beings are the only species capable of deceiving themselves and other people.”

 

 

Bagaimana cara membuat kota porakporanda dan manusia dicabik-cabik hewan-hewan raksasa menjadi sebuah tontonan yang fun dan enggak bikin trauma? Itulah tantangan yang dihadapi Brad Peyton ketika dia menyutradai film yang diadaptasi dari video game klasik yang pertama kali muncul di mesin arcade yang masih pakai koin. Rampage di PS, dulu jadi salah satu kaset favoritku untuk menghabiskan waktu pas puasa. Bermain Rampage, gamer akan bersenang-senang sebagai manusia yang berubah menjadi monster karena eksperimen, dengan misi utama mengamuk menghancurkan gedung-gedung, menepuk helikopter tentara layaknya lalat, sambil sesekali menyantap manusia untuk menambah nyawa. Dan hal itu jualah yang pastinya dicari oleh gamer dan orang-orang yang pergi membeli tiket film Rampage; demi ngelihat aksi seru para monster.

Tapi tentunya bikin film panjang yang isinya melulu monster hancurin gedung dapat dengan cepat menjadi monoton. Kita bakal bosan juga. Brad Peyton paham film yang baik harus punya hati, harus lekat ke penonton. Jadi dia nge-grounded film dengan cerita berbasis persahabatan manusia dengan binatang. Dwayne Johnson berperan sebagai Davis Okoye, ahli primata di sebuah penangkaran. Dia jadi begitu akrab dengan gorilla albino yang dulu ia selamatkan dari kawanan pemburu liar. ‘Begitu akrab’ sepertinya memang agak mengecilkan, karena Okoye dan George si gorilla ini benar-benar punya hubungan yang unik. Mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat, mereka saling ngeledek sebagai cara menunjukkan rasa peduli. Okoye dan George udah kayak abang adek deh. Eventually, George terkena dampak dari kapsul eksperimen yang jatuh dari satelit. Bersama seekor serigala dan buaya, George membesar, menjadi beringas, termutasi, dan oleh akibat ulah pimpinan eksperimen yang ingin mengambil sampe mereka buat diduitin, tiga monster ini terpanggil pergi ke Chicago. Menghancurkan apapun dalam perjalanan. Membuat bule-bule di sana teriak stress. Satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan kota adalah Okoye, karena dia mengenal George, dan tentu saja dia berharap dia masih bisa menyadarkan sobat berbulunya itu menjadi seperti sedia kala.

Okoye lebih suka bergaul dengan binatang dibandingkan dengan manusia. Sedari babak awal kita diperlihatkan gimana Okoye biasa-biasa aja ketika cewek yang ia bimbing menunjukkan ketertarikan. Ketika ditanya “Lo aneh banget sih?” Okoye menjawab enteng bahwa binatang lebih mudah dipercaya. Dan itu benar adanya. Walau memang ada juga binatang yang mengenal konsep bohong, namun mereka melakukannya demi survival. Tidak seperti manusia yang demen berbohong untuk memanipulasi, untuk mencari keuntungan semata. Kita bahkan menipu diri sendiri bila perlu. Binatang harus belajar dulu baru bisa bohong. Sebaliknya, manusia; yang musti kita pelajari justru adalah bagaimana cara untuk jujur.

The Rock di sini bukan People’s Champion, melainkan Animal’s Champion

 

Bobot cerita begitu sepertinya dinilai terlalu besar dan memberatkan apa yang mestinya menyenangkan. Jadi, Peyton sekali lagi memutar otak; maka akhirnya ia menjadikan Rampage sekaligus sebagai dumb action movie. Adegan pengenalan tokoh yang cool tadi, di mana The Rock ngobrol ama gorilla, seketika menjadi receh berkat gestur jari kurang ajar yang dilayangkan oleh George. Dan kita tertawa. Untuk kemudian lebih banyak lagi makian dan sumpah serapah yang menyusul; film ini dikasih PG-13 bukan hanya karena ada potongan tubuh. Dan kita tertawa. Merasa belum cukup, film membuat kematian orang-orang karena dampak dari serangan monster-monster tersebut sebagai bahan becandaan, kematian massal bukanlah hal serius dalam film ini. Dan kita juga tertawa.

Inilah masalah kenapa film adaptasi video game itu seringkali berkualitas di bawah garis ‘lumayan’. Karena pembuat filmnya enggak mengerti apa yang membuat video game yang mereka adaptasi begitu digandrungi. Point dari gamenya biasanya jadi hilang, atau dipindahkan. Mereka menambahkan hal-hal yang bahkan tidak diminta oleh penggemar video gamenya. Tomb Raider (2018) adalah pengecualian, film itu benar-benar terasa seperti video gamenya, baik dari aksi maupun cerita.

 

Tidak ada yang mengharapkan cerita dalem sekelas Oscar dengan karakterisasi berlapis-lapis ketika menonton Rampage. Tapi, toh, ceritanya berusaha menggali lebih, setelah mengganti elemen aslinya. Kemudian mereka menambahkan elemen konyol supaya terlihat menyenangkan. Kenapa mesti mengganti sedari awal coba? Seperti  yang kita tahu, dalam video game, monster-monster itu adalah manusia yang berubah karena eksperimen yang gagal. Di film ini, mereka menggantinya menjadi binatang liar, kecuali George. Bukankah versi yang manusia mestinya sudah punya kedalaman cerita jika difilmkan; akan ada dilema moral yang menarik ketika kita ingin membunuh monster yang membuat kerusakan ketika kita tahu tadinya dia adalah manusia yang jadi korban eksperimen? Gak perlu repot-repot mengganti lalu menambah ini itu, kan. Atau kalolah tantangan yang pembuat film ini cari, kenapa mereka gak sekalian aja membuat George menjadi tokoh utama – dia kan dibuat punya perspektif sebagai gorila yang dibesarkan dan ngebond sama makhluk yang satu spesies dengan yang membunuh ibunya, dan kemudian dia dapat kekuatan yang basically membuat kelangsungan spesies itu ada di tangannya yang jadi segede mobil. Tapi enggak. Film lebih memilih untuk menjadi generik, dengan memancing unsur fun di tempat yang gak bener.

Dialog film ini parah banget. Lelucon yang dilontarkan jatuh di antara klasifikasi ‘garing’ dengan ‘miris’. “Dijadiin asbak seseorang” adalah kalimat favoritku. Tokoh-tokoh manusia film ini lebih terasa seperti tokoh video game ketimbang para monsternya. Sejak dari zaman dia bergulat pake kolor di atas ring, The Rock sudah punya kharisma luar biasa, tapi penulisan film ini membuatnya dia jauh dari sekadar kharisma. Okoye ini manusia fantastis yang selamat dari apapun.  Jatuh dari helikopter, terjun bebas dari gedung yang runtuh, ditembak di perut, dia dihajar bertubi-tubi, dan dia ngesold nothing. Makanya kita juga enggak ngerasakan apa-apa. Dia selamat tanpa cedera berarti padahal dia melakukan hal-hal yang mestinya hanya bisa masuk akal di dunia video game. Tidak ada sense realism di sini, dan sementara itu kita diharapkan peduli sama drama yang berusaha cerita angkat. Masalah terbesar film ini memang terletak di penulisan. Enggak bisa setengah-setengah, jadinya bakal keteteran, Tokoh yang diperankan Naomi Harris misalnya, tidak banyak yang ia lakukan selain berlarian dengan tampang bingung sambil bertanya apa yang harus dilakukan selanjutnya kepada Okoye. Si Okoye ini memang bisa apa saja. Rencana yang ia bikin di menit-menit terakhir selalu berhasil. Hampir seluruh bagian aksi film dilakukan dengan formula demikian.

Tiga dari empat tokoh ini tidak pernah disebut dan kelihatan lagi setelah babak pertama berakhir

 

Rampage memutuskan untuk bermain-main dengan tokoh manusia. Mereka dibuat gede hingga gak make sense. Padahal aku suka loh sama desain monsternya. Serigala yang punya selaput sayap, gorila putih, yang paling keren adalah monster buayanya. Bagian terbaik dari film ini mungkin adalah Jeffrey Dean Morgan sebagai agen FBI yang aktingnya maksimal, meski sebenarnya tokoh yang ia perankan hanya device untuk memfasilitasi tokoh utama. Bagian terburuknya? Aku bilang, duo penjahatnya. Mereka dibuat begitu culas, dan mereka komikal banget – sampe ke penampilannya. Yang cewek akan mengenakan gaun merah di akhir cerita, hanya supaya kita bisa bernostalgia dengan video gamenya; actually di game akan ada cewek bergaun merah yang bisa kita makan sebagai bonus optional. Film butuh alasan yang menjadi sumber dari eksperimen ilmiah yang jadi sumber kekacauan, jadi kita dapat dua orang yang mengepalai proyek tersebut. Dua orang ini enggak peduli sama apapun, motivasi mereka totally uang, dan kita sering banget dicutback melihat mereka menyusun rencana jahat, yang sebenarnya konyol.

Dalam usaha terakhir mengaitkan film dengan video game, kita dicekoki sebuah easter egg, dengan harapan kita girang saat melihatnya. Di kantor si duo penjahat, kamera akan memperlihatkan adegan dengan mesin arcade Rampage di latar belakang. Selalu senang rasanya melihat referensi, namun alangkah baiknya kalo referensi tersebut punya hubungan atau digunakan secara paralel dengan cerita. Sebab apa yang dilakukan film ini hanya sebatas meletakkannya di sana. Kenapa ada mesin game di kantor itu? Apa mereka menciptakan eksperimen karena terinspirasi game? Kalo gitu, wah hebatnya kebetulan yang terjadi, nama-nama monster di game dan di dunia mereka sama! Wow magic….

 

 

 

Film ini adalah definisi dari ‘film popcorn’. Seru, tapi enggak benar-benar meninggalkan bekas. Enak untuk ditonton, namun kita akan dengan cepat melupakannya, begitu film serupa datang. Dalam kasus film ini, ceritanya punya unsur drama yang emosinal hanya saja diceritakan dengan sangat cheesy. Tokoh-tokohnya membuat keputusan di menit terakhir yang dengan sukses menyelamatkan mereka. Padahal yang ingin kita lihat adalah monster menghancurkan kota. Memang, kita mendapatkan itu di babak terakhir. Akan tetapi, untuk sampai ke sana, kita harus melewati cerita generik yang membuat kita terombang ambing antara drama dengan lelucon maksa, yang bahkan tidak benar-benar membuat kita teringat akan karakter video gamenya. Adaptasi video game itu susah, dan ini salah satu contoh gagalnya.
The Palace of Wisdom gives 4.5 gold stars out of 10 for RAMPAGE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PACIFIC RIM: UPRISING Review

To be yourself in a world that is constantly trying to make you something else is the greatest accomplishment.”

 

 

Jake Pentecost bukan ayahnya. Dia tidak mau dipandang tinggi karena nama ayahnya, yang sudah mengorbankan nyawa sebagai pilot dalam perang Jaeger – Kaiju sepuluh tahun yang lalu. Meski toh Jake juga punya kemampuan besar dalam mengendarai Jaeger; mech weapon yang dioperasikan oleh dua orang dengan saling mengsinkronisasi otak, namun Jake tidak mau bergabung dengan militer yang ia anggap sebagai tak ubahnya penjara. Jake hanya mau hidup senang, mumpung dunia sudah damai. Tidak terdengar lagi serangan Kaiju – monster raksasa kiriman alien lewat celah di lingkaran Samudra Pasifik. Demi memperkukuh statusnya sebagai ‘pemberontak’, Jake hobi menjual parts dari Jaeger kepada preman-preman penadah. Dalam salah satu ‘misinya’ tersebut, Jake bertemu dengan cewek remaja 15-tahun yang jenius, yang bisa membuat Jaeger mini dari rongsokan Jaeger beneran. Mereka berdua akhirnya direkrut (secara paksa jika dilihat dari sudut pandang Jake) oleh pihak militer. Dan sekarang Jake harus memimpin pilot-pilot Jaeger yang sebagian besar masih sangat muda melawan serangan tak-terduga dari Kaiju, yang kini juga bisa mengendarai Jaeger!

Jake Pentecost bilang “aku bukan ayahku”. Setiap dari kita bukan orang lain. Percaya pada kemampuan diri sendiri. Setiap orang adalah pilot dari kendaraan hidupnya, sebagai bagian dari keluarga

 

Steven S. DeKnight bukan Guillermo del Toro. Ketika pada film pertamanya, Del Toro delivering pertarungan mech melawan monster yang exciting namun sedikit kosong pada sisi kemanusiaan. Maka pada film kedua ini, DeKnight mengambil alih, dan dia berusaha memaksimalkan pengkarakteran tokoh manusia, terutama pada dua tokoh lead – Jake Pentecost dan si cewek remaja, Amara Namani. Tapi usahanya tersebut bukan tanpa cacat, karena Pacific Rim: Uprising punya niat mulianya tersendiri. Yakni menjadi sebuah brand. Mau nyaingin Transformers, mungkin. Dan mereka enggak berniat bikin lebih baik dari franchisenya Michael Bay tersebut. Usaha ngeflesh out karakter yang menurutku pada babak awal lumayan meyakinkan, malah jadi terkesampingkan karena begitu build up itu beres, film berubah menjadi tak lain tak bukan non-stop aksi Jaeger melawan Jaeger, Kaiju, dengan pengkarakteran yang dipaksa masuk dengan kasar di sana sini lewat flashback saat para tokoh berusaha menyeleraskan otak mereka.

John Boyega bukan Idris Elba. Walaupun sama-sama likeable dan kharismatis, namun John Boyega lebih ke komedi. Sebagai Jake, pada film ini dia punya range emosi yang jauh, namun penulisan lebih menekankan porsinya ke komedi yang bikin kita nyengir karena lebih sering daripada enggak, tingkah Jake pada film ini menyerempet ke batas-batas memalukan. Jake akan sering menyebutkan betapa tampan dan sempurna struktur wajahnya, actually ini jadi running jokes di film, namun yang membuatnya jadi tampak awkward adalah dia nyebutin itu ke Amara yang masih lima-belas tahun, yang buatku malah tampak aneh. Jake juga sering nyebutin gimana partner pilot Jaegernya juga berwajah ganteng dan seksi. Ini dimainkan sebagai komedi, namun punchlinenya tidak efektif sehingga malah bikin nyengir daripada ngakak. Penampilan terbaik di sini datang dari pendatang baru Cailee Spaeny yang jadi Amara. Cewek ini sangat charming, bahkan ketika dia seharusnya menjadi karakter yang annoying buat Jake. Cailee membuatku teringat sama Britt Robertson waktu masih muda, aku excited untuk melihat penampilan Cailee pada film-filmnya setelah ini, karena menurutku cewek ini punya masa depan yang cerah dengan penampilan akting seperti yang ia tampilkan di sini. Sikap antusias Amara ketika dia pertama kali menjejakkan kaki di markas militer, ketika ia melihat Jaeger-Jaeger terkenal yang ‘terparkir’dengan mata kepalanya langsung, benar-benar terasa mewakili antusias kita para nerd melihat robot-robot.

nerd mana sih yang gasuka diwakili cute girl seperti Amara

 

Baik Jake maupun Amara diberikan kesempatan untuk ngeredeem diri mereka masing-masing. Cerita cukup bijak untuk membuat mereka melakukan sesuatu yang menjadi bagian dari apa yang menghantui diri mereka; Amara diberikan kesempatan melompat seperti yang tidak sempat ia lakukan saat masih kecil. Sedangkan Jake diberikan kesempatan untuk menangkap seperti yang dulu pernah gagal ia lakukan. Hanya saja usaha untuk memperkuat karakter pada film ini, terasa sangat dikalkulasi. Hampir terasa seperti film benar-benar memberi petunjuk atas mana bagian untuk karakter development, mana bagian untuk aksi. Ditambah tidak membantu lagi oleh cepatnya pace cerita yang membuat kita tidak yakin ini cerita tentang apa sih sebenarnya. Seharusnya ini adalah cerita tentang gimana dunia menata kembali hidup setalah serangan Kaiju, tapi bagian menata kembali tersebut dengan cepat terlupakan. Aku personally tidak akan menolak jika kita dapat tentang Jake yang melakukan hal yang tak ingin ia lakukan – ada momen menarik di mana dia mendukung Shao Industry yang ingin meluncurkan Jaeger tanpa pilot yang mana akan membuat pilot-pilot militer kehilangan pekerjaan, hanya supaya ia bisa kembali ke kehidupan jalanan yang bebas dan lepas. Tapi cerita ini ditumpangtindihkan dengan berbagai subplot yang diselesaikan dengan cepat, seperti cerita Amara sebagai anak baru yang merasa dirinya doesn’t belong there. Terutama sekali, hal ini disebabkan oleh film yang tidak ingin menjadi lebih dari sekadar film Jaeger melawan Kaiju. Apa yang berpotensi menjadi cerita emosional, hanya berujung menjadi cerita sesimpel yang biasa kita temui dalam film kartun untuk anak-anak. Ada cerita tentang pemanfaatan darah Kaiju yang mengancam populasi manusia, tapi pada akhirnya hanya gimana cara mengalahkan Kaiju yang jadi persoalan.

Setengah paruh akhir film adalah aksi tarung, yang tentu saja seru melihat makhluk-makhluk raksasa bertarung dengan senjata dan teknik masing-masing. Tetapi toh akan bosan juga melihat robot dan monster dilempar menghancurkan gedung-gedung. Film meniadakan dampak begitu saja sehingga kita tidak lagi menganggap serius apa yang kita saksikan. Pada satu pertempuran, sebuah Jaeger menggunakan sinar plasma yang mengikat mobil-mobil, menjadikan mereka semacam bola untuk dilempar sebagai senjata menumbuk Jaeger jahat. Tidak pernah ada usaha untuk memastikan, atau mengangkat dampak dari perbuatan ini; apakah ada orang di dalam mobil-mobil tersebut, ada berapa orang yang jadi korban di sana. Akan ada banyak adegan seperti demikian pada Pacific Rim: Uprising di mana kita diminta untuk tidak peduli dan tidak menggunakan akal sehat dan nikmati saja. Dan sebagaimana film-film blockbuster, film ini juga berusaha tampil hits dengan masukkan twist pada satu tokohnya. Demi menjaga spoiler, aku gak akan bilang tepatnya apa, tapi tokoh yang diperankan komedian Charlie Day akan membuat kita tertawa, karena beberapa bagian memang diniatkan untuk lucu-lucuan, namun eventually film melakukan hal lain dengan karakter ini dan tetap saja membuat kita tertawa padahal sudah tidak semestinya lucu, karena apa yang dilakukannya betul-betul malu-maluin.

Saat kita yang paling kecil di antara yang besar-besar, film menyarankan kita untuk menjadi yang terpintar di sana. Kadang kita harus bisa untuk outsmarted the situation. Menggunakan berbagai resources untuk menjawab tantangan. Karena tidak ada gunung yang terlalu tinggi, pandai-pandainya kita aja gimana harus mendaki

 

Ada satu shot saat lokasi cerita ada di Jepang yang nunjukin patung Gundam. Adalah hal yang bagus mereka memasukkan tribute spesifik untuk robot asal Jepang tersebut, namun akan jadi lebih bagus lagi jika mereka juga ‘meniru’ apa yang membuat Gundam begitu fenomenal. Gundam bukan semata soal robot mech yang bertempur di luar angkasa, bukan sekedar ledakan tak berarti. Tema gede dari Gundam adalah horor dan penderitaan yang disebabkan oleh perang. Pertempuran robot hanyalah lapisan terluar yang anggaplah sebagai bonus dari penceritaan yang menarik. Pacific Rim: Uprising, semuanya tentang lapisan terluar. Film ini mengerti bagaimana mengadegankan sekuens aksi yang menghibur, hanya saja tidak ada apa-apa di balik permukaannya. Beberapa penonton mungkin akan terhibur, tapi sebagian besar waktu, film ini tak lebih dari usaha agresif  mengapitalisasi sebuah brand yang baru.

Scrapper ngingetin aku sama Acguy di game Gundam

 

 

 

Benar-benar film studio dengan ledakan tanpa seni di dalamnya. Jika kalian hanya peduli monster dan robot berantem dengan spesial efek yang keren, kalian akan bersenang-senang dengan film ini. Jika kalian ingin sesuatu yang bisa membuat kalian peduli dan menonton sesuatu yang actually punya maksud dan kedalaman, film ini tidak akan memuaskan tuntunan kalian.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for PACIFIC RIM: UPRISING

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017