• Home
  • About
  • Movies
    • JUMANJI: THE NEXT LEVEL Review
    • FORD V FERRARI Review
    • THE IRISHMAN Review
    • NIGHTMARE SIDE: DELUSIONAL Review
    • RUMAH KENTANG: THE BEGINNING Review
    • FROZEN II Review
    • BIKE BOYZ Review
    • THE FAREWELL Review
    • RATU ILMU HITAM Review
    • DOCTOR SLEEP Review
    • LAMPOR: KERANDA TERBANG Review
    • LOVE FOR SALE 2 Review
    • THE NIGHTINGALE Review
    • KELAM Review
    • SUSI SUSANTI: LOVE ALL Review
    • ZOMBIELAND: DOUBLE TAP Review
    • MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL Review
    • MY DAD IS A HEEL WRESTLER Review
    • PEREMPUAN TANAH JAHANAM Review
    • SIN Review
    • BEBAS Review
    • CINTA ITU BUTA Review
    • THE PEANUT BUTTER FALCON Review
    • JOKER Review
    • 6,9 DETIK Review
    • DANUR 3: SUNYARURI Review
  • Wrestling
    • Survivor Series 2019 Review
    • Hell in a Cell 2019 Review
    • Clash of Champions 2019 Review
    • SummerSlam 2019 Review
    • Extreme Rules 2019 Review
    • Stomping Grounds 2019 Review
    • Money in the Bank 2019 Review
    • WrestleMania 35 Review
    • Fastlane 2019 Review
    • Elimination Chamber 2019 Review
    • Royal Rumble 2019 Review
    • WWE Evolution Review
    • Hell in a Cell 2018 Review
    • SummerSlam 2018 Review
    • Extreme Rules 2018 Review
  • Books
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: monsters

RAMPAGE Review

12 Thursday Apr 2018

Posted by arya in Movies

≈ 5 Comments

Tags

2018, action, adaptation, animals, arcade, drama, friendship, funny, life, monsters, review, spoiler, thougth, video game

“Human beings are the only species capable of deceiving themselves and other people.”

 

 

Bagaimana cara membuat kota porakporanda dan manusia dicabik-cabik hewan-hewan raksasa menjadi sebuah tontonan yang fun dan enggak bikin trauma? Itulah tantangan yang dihadapi Brad Peyton ketika dia menyutradai film yang diadaptasi dari video game klasik yang pertama kali muncul di mesin arcade yang masih pakai koin. Rampage di PS, dulu jadi salah satu kaset favoritku untuk menghabiskan waktu pas puasa. Bermain Rampage, gamer akan bersenang-senang sebagai manusia yang berubah menjadi monster karena eksperimen, dengan misi utama mengamuk menghancurkan gedung-gedung, menepuk helikopter tentara layaknya lalat, sambil sesekali menyantap manusia untuk menambah nyawa. Dan hal itu jualah yang pastinya dicari oleh gamer dan orang-orang yang pergi membeli tiket film Rampage; demi ngelihat aksi seru para monster.

Tapi tentunya bikin film panjang yang isinya melulu monster hancurin gedung dapat dengan cepat menjadi monoton. Kita bakal bosan juga. Brad Peyton paham film yang baik harus punya hati, harus lekat ke penonton. Jadi dia nge-grounded film dengan cerita berbasis persahabatan manusia dengan binatang. Dwayne Johnson berperan sebagai Davis Okoye, ahli primata di sebuah penangkaran. Dia jadi begitu akrab dengan gorilla albino yang dulu ia selamatkan dari kawanan pemburu liar. ‘Begitu akrab’ sepertinya memang agak mengecilkan, karena Okoye dan George si gorilla ini benar-benar punya hubungan yang unik. Mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat, mereka saling ngeledek sebagai cara menunjukkan rasa peduli. Okoye dan George udah kayak abang adek deh. Eventually, George terkena dampak dari kapsul eksperimen yang jatuh dari satelit. Bersama seekor serigala dan buaya, George membesar, menjadi beringas, termutasi, dan oleh akibat ulah pimpinan eksperimen yang ingin mengambil sampe mereka buat diduitin, tiga monster ini terpanggil pergi ke Chicago. Menghancurkan apapun dalam perjalanan. Membuat bule-bule di sana teriak stress. Satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan kota adalah Okoye, karena dia mengenal George, dan tentu saja dia berharap dia masih bisa menyadarkan sobat berbulunya itu menjadi seperti sedia kala.

Okoye lebih suka bergaul dengan binatang dibandingkan dengan manusia. Sedari babak awal kita diperlihatkan gimana Okoye biasa-biasa aja ketika cewek yang ia bimbing menunjukkan ketertarikan. Ketika ditanya “Lo aneh banget sih?” Okoye menjawab enteng bahwa binatang lebih mudah dipercaya. Dan itu benar adanya. Walau memang ada juga binatang yang mengenal konsep bohong, namun mereka melakukannya demi survival. Tidak seperti manusia yang demen berbohong untuk memanipulasi, untuk mencari keuntungan semata. Kita bahkan menipu diri sendiri bila perlu. Binatang harus belajar dulu baru bisa bohong. Sebaliknya, manusia; yang musti kita pelajari justru adalah bagaimana cara untuk jujur.

The Rock di sini bukan People’s Champion, melainkan Animal’s Champion

 

Bobot cerita begitu sepertinya dinilai terlalu besar dan memberatkan apa yang mestinya menyenangkan. Jadi, Peyton sekali lagi memutar otak; maka akhirnya ia menjadikan Rampage sekaligus sebagai dumb action movie. Adegan pengenalan tokoh yang cool tadi, di mana The Rock ngobrol ama gorilla, seketika menjadi receh berkat gestur jari kurang ajar yang dilayangkan oleh George. Dan kita tertawa. Untuk kemudian lebih banyak lagi makian dan sumpah serapah yang menyusul; film ini dikasih PG-13 bukan hanya karena ada potongan tubuh. Dan kita tertawa. Merasa belum cukup, film membuat kematian orang-orang karena dampak dari serangan monster-monster tersebut sebagai bahan becandaan, kematian massal bukanlah hal serius dalam film ini. Dan kita juga tertawa.

Inilah masalah kenapa film adaptasi video game itu seringkali berkualitas di bawah garis ‘lumayan’. Karena pembuat filmnya enggak mengerti apa yang membuat video game yang mereka adaptasi begitu digandrungi. Point dari gamenya biasanya jadi hilang, atau dipindahkan. Mereka menambahkan hal-hal yang bahkan tidak diminta oleh penggemar video gamenya. Tomb Raider (2018) adalah pengecualian, film itu benar-benar terasa seperti video gamenya, baik dari aksi maupun cerita.

 

Tidak ada yang mengharapkan cerita dalem sekelas Oscar dengan karakterisasi berlapis-lapis ketika menonton Rampage. Tapi, toh, ceritanya berusaha menggali lebih, setelah mengganti elemen aslinya. Kemudian mereka menambahkan elemen konyol supaya terlihat menyenangkan. Kenapa mesti mengganti sedari awal coba? Seperti  yang kita tahu, dalam video game, monster-monster itu adalah manusia yang berubah karena eksperimen yang gagal. Di film ini, mereka menggantinya menjadi binatang liar, kecuali George. Bukankah versi yang manusia mestinya sudah punya kedalaman cerita jika difilmkan; akan ada dilema moral yang menarik ketika kita ingin membunuh monster yang membuat kerusakan ketika kita tahu tadinya dia adalah manusia yang jadi korban eksperimen? Gak perlu repot-repot mengganti lalu menambah ini itu, kan. Atau kalolah tantangan yang pembuat film ini cari, kenapa mereka gak sekalian aja membuat George menjadi tokoh utama – dia kan dibuat punya perspektif sebagai gorila yang dibesarkan dan ngebond sama makhluk yang satu spesies dengan yang membunuh ibunya, dan kemudian dia dapat kekuatan yang basically membuat kelangsungan spesies itu ada di tangannya yang jadi segede mobil. Tapi enggak. Film lebih memilih untuk menjadi generik, dengan memancing unsur fun di tempat yang gak bener.

Dialog film ini parah banget. Lelucon yang dilontarkan jatuh di antara klasifikasi ‘garing’ dengan ‘miris’. “Dijadiin asbak seseorang” adalah kalimat favoritku. Tokoh-tokoh manusia film ini lebih terasa seperti tokoh video game ketimbang para monsternya. Sejak dari zaman dia bergulat pake kolor di atas ring, The Rock sudah punya kharisma luar biasa, tapi penulisan film ini membuatnya dia jauh dari sekadar kharisma. Okoye ini manusia fantastis yang selamat dari apapun.  Jatuh dari helikopter, terjun bebas dari gedung yang runtuh, ditembak di perut, dia dihajar bertubi-tubi, dan dia ngesold nothing. Makanya kita juga enggak ngerasakan apa-apa. Dia selamat tanpa cedera berarti padahal dia melakukan hal-hal yang mestinya hanya bisa masuk akal di dunia video game. Tidak ada sense realism di sini, dan sementara itu kita diharapkan peduli sama drama yang berusaha cerita angkat. Masalah terbesar film ini memang terletak di penulisan. Enggak bisa setengah-setengah, jadinya bakal keteteran, Tokoh yang diperankan Naomi Harris misalnya, tidak banyak yang ia lakukan selain berlarian dengan tampang bingung sambil bertanya apa yang harus dilakukan selanjutnya kepada Okoye. Si Okoye ini memang bisa apa saja. Rencana yang ia bikin di menit-menit terakhir selalu berhasil. Hampir seluruh bagian aksi film dilakukan dengan formula demikian.

Tiga dari empat tokoh ini tidak pernah disebut dan kelihatan lagi setelah babak pertama berakhir

 

Rampage memutuskan untuk bermain-main dengan tokoh manusia. Mereka dibuat gede hingga gak make sense. Padahal aku suka loh sama desain monsternya. Serigala yang punya selaput sayap, gorila putih, yang paling keren adalah monster buayanya. Bagian terbaik dari film ini mungkin adalah Jeffrey Dean Morgan sebagai agen FBI yang aktingnya maksimal, meski sebenarnya tokoh yang ia perankan hanya device untuk memfasilitasi tokoh utama. Bagian terburuknya? Aku bilang, duo penjahatnya. Mereka dibuat begitu culas, dan mereka komikal banget – sampe ke penampilannya. Yang cewek akan mengenakan gaun merah di akhir cerita, hanya supaya kita bisa bernostalgia dengan video gamenya; actually di game akan ada cewek bergaun merah yang bisa kita makan sebagai bonus optional. Film butuh alasan yang menjadi sumber dari eksperimen ilmiah yang jadi sumber kekacauan, jadi kita dapat dua orang yang mengepalai proyek tersebut. Dua orang ini enggak peduli sama apapun, motivasi mereka totally uang, dan kita sering banget dicutback melihat mereka menyusun rencana jahat, yang sebenarnya konyol.

Dalam usaha terakhir mengaitkan film dengan video game, kita dicekoki sebuah easter egg, dengan harapan kita girang saat melihatnya. Di kantor si duo penjahat, kamera akan memperlihatkan adegan dengan mesin arcade Rampage di latar belakang. Selalu senang rasanya melihat referensi, namun alangkah baiknya kalo referensi tersebut punya hubungan atau digunakan secara paralel dengan cerita. Sebab apa yang dilakukan film ini hanya sebatas meletakkannya di sana. Kenapa ada mesin game di kantor itu? Apa mereka menciptakan eksperimen karena terinspirasi game? Kalo gitu, wah hebatnya kebetulan yang terjadi, nama-nama monster di game dan di dunia mereka sama! Wow magic….

 

 

 

Film ini adalah definisi dari ‘film popcorn’. Seru, tapi enggak benar-benar meninggalkan bekas. Enak untuk ditonton, namun kita akan dengan cepat melupakannya, begitu film serupa datang. Dalam kasus film ini, ceritanya punya unsur drama yang emosinal hanya saja diceritakan dengan sangat cheesy. Tokoh-tokohnya membuat keputusan di menit terakhir yang dengan sukses menyelamatkan mereka. Padahal yang ingin kita lihat adalah monster menghancurkan kota. Memang, kita mendapatkan itu di babak terakhir. Akan tetapi, untuk sampai ke sana, kita harus melewati cerita generik yang membuat kita terombang ambing antara drama dengan lelucon maksa, yang bahkan tidak benar-benar membuat kita teringat akan karakter video gamenya. Adaptasi video game itu susah, dan ini salah satu contoh gagalnya.
The Palace of Wisdom gives 4.5 gold stars out of 10 for RAMPAGE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

PACIFIC RIM: UPRISING Review

22 Thursday Mar 2018

Posted by arya in Movies

≈ 3 Comments

Tags

2018, family, fantasy, life, monsters, relationship, review, robot, sci-fi, sequel, spoiler, thought, war

“To be yourself in a world that is constantly trying to make you something else is the greatest accomplishment.”

 

 

Jake Pentecost bukan ayahnya. Dia tidak mau dipandang tinggi karena nama ayahnya, yang sudah mengorbankan nyawa sebagai pilot dalam perang Jaeger – Kaiju sepuluh tahun yang lalu. Meski toh Jake juga punya kemampuan besar dalam mengendarai Jaeger; mech weapon yang dioperasikan oleh dua orang dengan saling mengsinkronisasi otak, namun Jake tidak mau bergabung dengan militer yang ia anggap sebagai tak ubahnya penjara. Jake hanya mau hidup senang, mumpung dunia sudah damai. Tidak terdengar lagi serangan Kaiju – monster raksasa kiriman alien lewat celah di lingkaran Samudra Pasifik. Demi memperkukuh statusnya sebagai ‘pemberontak’, Jake hobi menjual parts dari Jaeger kepada preman-preman penadah. Dalam salah satu ‘misinya’ tersebut, Jake bertemu dengan cewek remaja 15-tahun yang jenius, yang bisa membuat Jaeger mini dari rongsokan Jaeger beneran. Mereka berdua akhirnya direkrut (secara paksa jika dilihat dari sudut pandang Jake) oleh pihak militer. Dan sekarang Jake harus memimpin pilot-pilot Jaeger yang sebagian besar masih sangat muda melawan serangan tak-terduga dari Kaiju, yang kini juga bisa mengendarai Jaeger!

Jake Pentecost bilang “aku bukan ayahku”. Setiap dari kita bukan orang lain. Percaya pada kemampuan diri sendiri. Setiap orang adalah pilot dari kendaraan hidupnya, sebagai bagian dari keluarga

 

Steven S. DeKnight bukan Guillermo del Toro. Ketika pada film pertamanya, Del Toro delivering pertarungan mech melawan monster yang exciting namun sedikit kosong pada sisi kemanusiaan. Maka pada film kedua ini, DeKnight mengambil alih, dan dia berusaha memaksimalkan pengkarakteran tokoh manusia, terutama pada dua tokoh lead – Jake Pentecost dan si cewek remaja, Amara Namani. Tapi usahanya tersebut bukan tanpa cacat, karena Pacific Rim: Uprising punya niat mulianya tersendiri. Yakni menjadi sebuah brand. Mau nyaingin Transformers, mungkin. Dan mereka enggak berniat bikin lebih baik dari franchisenya Michael Bay tersebut. Usaha ngeflesh out karakter yang menurutku pada babak awal lumayan meyakinkan, malah jadi terkesampingkan karena begitu build up itu beres, film berubah menjadi tak lain tak bukan non-stop aksi Jaeger melawan Jaeger, Kaiju, dengan pengkarakteran yang dipaksa masuk dengan kasar di sana sini lewat flashback saat para tokoh berusaha menyeleraskan otak mereka.

John Boyega bukan Idris Elba. Walaupun sama-sama likeable dan kharismatis, namun John Boyega lebih ke komedi. Sebagai Jake, pada film ini dia punya range emosi yang jauh, namun penulisan lebih menekankan porsinya ke komedi yang bikin kita nyengir karena lebih sering daripada enggak, tingkah Jake pada film ini menyerempet ke batas-batas memalukan. Jake akan sering menyebutkan betapa tampan dan sempurna struktur wajahnya, actually ini jadi running jokes di film, namun yang membuatnya jadi tampak awkward adalah dia nyebutin itu ke Amara yang masih lima-belas tahun, yang buatku malah tampak aneh. Jake juga sering nyebutin gimana partner pilot Jaegernya juga berwajah ganteng dan seksi. Ini dimainkan sebagai komedi, namun punchlinenya tidak efektif sehingga malah bikin nyengir daripada ngakak. Penampilan terbaik di sini datang dari pendatang baru Cailee Spaeny yang jadi Amara. Cewek ini sangat charming, bahkan ketika dia seharusnya menjadi karakter yang annoying buat Jake. Cailee membuatku teringat sama Britt Robertson waktu masih muda, aku excited untuk melihat penampilan Cailee pada film-filmnya setelah ini, karena menurutku cewek ini punya masa depan yang cerah dengan penampilan akting seperti yang ia tampilkan di sini. Sikap antusias Amara ketika dia pertama kali menjejakkan kaki di markas militer, ketika ia melihat Jaeger-Jaeger terkenal yang ‘terparkir’dengan mata kepalanya langsung, benar-benar terasa mewakili antusias kita para nerd melihat robot-robot.

nerd mana sih yang gasuka diwakili cute girl seperti Amara

 

Baik Jake maupun Amara diberikan kesempatan untuk ngeredeem diri mereka masing-masing. Cerita cukup bijak untuk membuat mereka melakukan sesuatu yang menjadi bagian dari apa yang menghantui diri mereka; Amara diberikan kesempatan melompat seperti yang tidak sempat ia lakukan saat masih kecil. Sedangkan Jake diberikan kesempatan untuk menangkap seperti yang dulu pernah gagal ia lakukan. Hanya saja usaha untuk memperkuat karakter pada film ini, terasa sangat dikalkulasi. Hampir terasa seperti film benar-benar memberi petunjuk atas mana bagian untuk karakter development, mana bagian untuk aksi. Ditambah tidak membantu lagi oleh cepatnya pace cerita yang membuat kita tidak yakin ini cerita tentang apa sih sebenarnya. Seharusnya ini adalah cerita tentang gimana dunia menata kembali hidup setalah serangan Kaiju, tapi bagian menata kembali tersebut dengan cepat terlupakan. Aku personally tidak akan menolak jika kita dapat tentang Jake yang melakukan hal yang tak ingin ia lakukan – ada momen menarik di mana dia mendukung Shao Industry yang ingin meluncurkan Jaeger tanpa pilot yang mana akan membuat pilot-pilot militer kehilangan pekerjaan, hanya supaya ia bisa kembali ke kehidupan jalanan yang bebas dan lepas. Tapi cerita ini ditumpangtindihkan dengan berbagai subplot yang diselesaikan dengan cepat, seperti cerita Amara sebagai anak baru yang merasa dirinya doesn’t belong there. Terutama sekali, hal ini disebabkan oleh film yang tidak ingin menjadi lebih dari sekadar film Jaeger melawan Kaiju. Apa yang berpotensi menjadi cerita emosional, hanya berujung menjadi cerita sesimpel yang biasa kita temui dalam film kartun untuk anak-anak. Ada cerita tentang pemanfaatan darah Kaiju yang mengancam populasi manusia, tapi pada akhirnya hanya gimana cara mengalahkan Kaiju yang jadi persoalan.

Setengah paruh akhir film adalah aksi tarung, yang tentu saja seru melihat makhluk-makhluk raksasa bertarung dengan senjata dan teknik masing-masing. Tetapi toh akan bosan juga melihat robot dan monster dilempar menghancurkan gedung-gedung. Film meniadakan dampak begitu saja sehingga kita tidak lagi menganggap serius apa yang kita saksikan. Pada satu pertempuran, sebuah Jaeger menggunakan sinar plasma yang mengikat mobil-mobil, menjadikan mereka semacam bola untuk dilempar sebagai senjata menumbuk Jaeger jahat. Tidak pernah ada usaha untuk memastikan, atau mengangkat dampak dari perbuatan ini; apakah ada orang di dalam mobil-mobil tersebut, ada berapa orang yang jadi korban di sana. Akan ada banyak adegan seperti demikian pada Pacific Rim: Uprising di mana kita diminta untuk tidak peduli dan tidak menggunakan akal sehat dan nikmati saja. Dan sebagaimana film-film blockbuster, film ini juga berusaha tampil hits dengan masukkan twist pada satu tokohnya. Demi menjaga spoiler, aku gak akan bilang tepatnya apa, tapi tokoh yang diperankan komedian Charlie Day akan membuat kita tertawa, karena beberapa bagian memang diniatkan untuk lucu-lucuan, namun eventually film melakukan hal lain dengan karakter ini dan tetap saja membuat kita tertawa padahal sudah tidak semestinya lucu, karena apa yang dilakukannya betul-betul malu-maluin.

Saat kita yang paling kecil di antara yang besar-besar, film menyarankan kita untuk menjadi yang terpintar di sana. Kadang kita harus bisa untuk outsmarted the situation. Menggunakan berbagai resources untuk menjawab tantangan. Karena tidak ada gunung yang terlalu tinggi, pandai-pandainya kita aja gimana harus mendaki

 

Ada satu shot saat lokasi cerita ada di Jepang yang nunjukin patung Gundam. Adalah hal yang bagus mereka memasukkan tribute spesifik untuk robot asal Jepang tersebut, namun akan jadi lebih bagus lagi jika mereka juga ‘meniru’ apa yang membuat Gundam begitu fenomenal. Gundam bukan semata soal robot mech yang bertempur di luar angkasa, bukan sekedar ledakan tak berarti. Tema gede dari Gundam adalah horor dan penderitaan yang disebabkan oleh perang. Pertempuran robot hanyalah lapisan terluar yang anggaplah sebagai bonus dari penceritaan yang menarik. Pacific Rim: Uprising, semuanya tentang lapisan terluar. Film ini mengerti bagaimana mengadegankan sekuens aksi yang menghibur, hanya saja tidak ada apa-apa di balik permukaannya. Beberapa penonton mungkin akan terhibur, tapi sebagian besar waktu, film ini tak lebih dari usaha agresif  mengapitalisasi sebuah brand yang baru.

Scrapper ngingetin aku sama Acguy di game Gundam

 

 

 

Benar-benar film studio dengan ledakan tanpa seni di dalamnya. Jika kalian hanya peduli monster dan robot berantem dengan spesial efek yang keren, kalian akan bersenang-senang dengan film ini. Jika kalian ingin sesuatu yang bisa membuat kalian peduli dan menonton sesuatu yang actually punya maksud dan kedalaman, film ini tidak akan memuaskan tuntunan kalian.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for PACIFIC RIM: UPRISING

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Goosebumps Review

16 Friday Oct 2015

Posted by arya in Movies

≈ 7 Comments

Tags

2015, 90's, adventure, chase, family, fantasy, halloween, hollywood, horror, kids, monsters, nostalgia, novel, review, thought

“We make our own monsters, then fear them for what they show us about ourselves.”

 

Goosebumps-Poster

 

Waktu SD aku suka bikin cerita-cerita dari judul buku Goosebumps, aku masih ingat ngubah Pantai Hantu menjadi misteri detektif dengan pelakunya …. well, seorang hantu. Hahaha that was my first-story ever. Mengenalkan pada cerita horor monster universal dan membuat aku menulis, ya aku rasa Goosebumps memegang peran cukup penting in my life.

Sepertinya bukan cuma aku. Ngehits banget di 90an akhir, semua pada tuker pinjem -ada yang dibalikin, ada yang enggak-, rela bolak balik taman bacaan, Goosebumps sudah membawa banyak anak-anak berpetualang ke dalam berbagai skenario horor. Kita udah pernah disekap dalam cermin, temenan ama putri duyung, tidur di kamar perubah nasib, bantu nyariin kepala hantu, difoto pake kamera pembawa sial. Aneh-aneh memang buah pikiran R.L. Stine ini. Meski begitu, kurasa buku ini adalah bacaan yang cukup bagus untuk anak kecil. Mengajarkan mereka untuk menghadapi ketakutan terbesar, and in turn overcome it. Dalam salah satu bukunya –yang juga di’quote’ dalam film ini, R.L. Stine bilang monster-monster itu diciptakan supaya kita bisa menyadari bahwa dunia nyata tidaklah seseram apa yang terjadi di buku. Dalam film ini, dia membuat karakter monster tersebut sebagai pelampiasan atas apa yang terjadi kepadanya di dalam kehidupan. Monster-monster itu adalah cerminan dari apa yang kita takuti. Dan jika dalam buku mereka bisa dikalahkan, maka kita juga pasti bisa mengatasi masalah apapun yang kita hadapi di luar sana.

 

Namun, bayangin kalo semua makhluk horor ciptaan nya itu menjadi nyata dan gentayangan di dunia….Hiiii!! And that’s that, anak-anak. Literally, itulah premis film Goosebumps ini, nah lo! Mereka enggak pilih-pilih buku, nanti dapat kutu. Mereka menggodok semua yang seram-seram dari enampuluhduaan buku original plus seri-seri Goosebumps yang lain, IT IS AN ULTIMATE MONSTERS MASH UP! Bukan hanya ngambil tokoh monsternya, film ini juga ngambil beberapa elemen plot dari buku (salah satunya adalah buku favoritku!). Aku gak akan bilang buku yang mana mana aja, soalnya dari judulnya pasti langsung ketahuan. Tebak sendiri aja, lebih asyik begitu. Yang pernah baca pasti bakalan instan ngeh saat nonton.

Oke serius, kalo kalian belum pernah baca salah satu dari ini, masa kecilnya kalian pasti enggak…. pernah makan mie mentah.

Oke serius, kalo kalian belum pernah baca salah satu dari ini, masa kecilnya kalian pasti enggak…. pernah makan mie mentah.

 

Momen terbaiknya tentu saja saat makhluk-makhluk tersebut terlepas. Oh I was having fun neriakin nama monster plus asalnya dari buku yang mana. “Manusia Salju dari Pasadena!”, “ooohh itu kurcaci di Pembalasan Kurcaci Ajaib, “Belalang Shock street!!”, “Manusia Serigala Rawa Demam haha, that’s an easy one!” “Itu kau, King Jelly Jam?”.. maaf berisik buat yang kebetulan nonton satu studio denganku. Yelling at something familiar on screen is kinda my thing. Dang, I’m such a geek…. Anyway, daaan tentu saja, mereka harus membuat Slappy dari Boneka Hidup Beraksi sebagai bos besar. Memang harus seperti itu! Slappy itu licik, jahil, kejam, pokoknya yang paling jahat deh di antara semua. Baca saja bukunya-dia dapat paling banyak judul, Slappy bahkan lebih seram dari Chucky. Malah kemaren aku ketemu Annabelle lagi nangis mau bunuh diri karena cintanya ditolak Slappy hehe. Aku suka bagaimana film ini membahas tentang hubungan Slappy dengan pengarangnya. That was so cool liat momen-momen yang terjadi antara Stine dan Slappy.

Jack Black jadi R.L. Stine, cukup kocak ngeliat dia dikejar-kejar makhluk karangannya sendiri. Orang ini berhasil mengubah karakter grumpy menjadi funny. Ya you read that right, R.L. Stine himself jadi karakter dalam film ini. Jadi, Zach Cooper (Dylan Minnette meranin tokoh utama khas tokoh-tokoh di buku) dan ibunya baru pindah rumah– vintage Goosebumps! Rumah mereka bersebelahan sama rumah Hannah (mau dong tetanggaan ama Odeya Rush) dan ayahnya yang tertutup, pemarah, tipikal keluarga yang aneh. Karena penasaran dan menduga ada yang gak beres -tetangga masa gitu?-, Zach nekat menyelinap masuk. Di dalam rumah Hanna itulah, Zach dan temennya Champ (Ryan Lee, menang banyak nih orang) nemuin satu rak penuh buku-buku yang dikunci, “hey, those are Goosebumps books!”. As meta as Goosebumps gets, benar saja ayah Hanna tak lain tak bukan adalah R.L. Stine.

"My name is Dewey Finn. And no, I’m not a licensed teacher."

“My name is Dewey Finn. And no, I’m not a licensed teacher.”

 

Seri buku Goosebumps selalu TENTANG PERSAHABATAN, MISTERI, TWIST, DAN WEIRD CLIFF-HANGER ENDING yang selalu worth untuk kita tunggu. Goosebumps terlihat tampil sesuai standar tersebut. Punya momen-momen dalem yang menyentuh kita, relationships antara karakter-karakternya cukup baik. Sayang aja mereka enggak masukin karakter ‘saudara kandung nyebelin’ ke dalam film ini, padahal tokoh begitu kan salah satu cap dagangnya Goosebumps.

Aku harus memperingatkan kalian, film ini lumayan banyak false jump scares. Pendapatku agak campur aduk akan hal ini. Di satu sisi, aku enggak suka film yang nakutin nya pake taktik ngagetin dengan suara keras, apalagi kalo ternyata yang ngagetin itu bukan setan. Tapi di sisi lain, sebagai anak yang nyelipin buku Goosebumps di dalam LKS IPA, aku rasa aku bisa memaafkan hal tersebut karena; Pertama, mereka enggak terlihat ngebuild-up adegan-adegan jump scare palsu itu sebagai sebuah ancaman buat tokohnya, enggak ada real suspense. Seolah film ini gak berniat untuk bikin adegan tersebut jadi seram karena–Kedua, kalo kamu pernah baca satu aja bukunya, kamu pasti sadar kalo nyaris semua bab cerita Goosebumps diakhiri kayak gini

Diambil dari Serangan Setan Kuburan bab 7-8

Diambil dari Serangan Setan Kuburan bab 7-8

FAKE JUMP SCARES ADALAH GIMMICK BUAT GOOSEBUMPS, seperti juga weird hanged ending. Mereka ini udah semacam harus ada kalo kalian mau bikin sesuatu dengan embel-embel Goosebumps nya. Aspek-aspek itulah yang membuat Goosebumps, Goosebumps.

Yang aku enggak sreg adalah tokoh utama yang lebih gede dari “Usiaku 12 tahun.” Kerasa beda aja, it’s like film ini gak yakin mau dipersembahkan untuk siapa. Film Goosebumps terasa seperti bukunya, sebuah WAHANA HOROR RINGAN UNTUK ANAK-ANAK YANG BARU PERTAMA KALI NYICIPIN GENRE INI. Tapi tokoh-tokoh protagonis itu secara fisik lebih cocok sebagai tokoh Fear Street. Makanya tingkah laku mereka -dan juga para grown ups– susah untuk dijustifikasi. Humor nya juga lumayan childish. Aku ga yakin generasi sekarang bisa tertarik baca Goosebumps setelah nonton film ini. REFERENSI HOROR-HOROR KLASIK di sepanjang film (which is pretty awesome, aku nemuin Carrie, Rear Window, The Blob, dan of course, The Shining) juga kayaknya enggak ketangkep sama mereka.

Dan meski ada tokoh sang pengarang, jangan kira film ini punya self awareness yg tinggi. Ceritanya memang seolah di dunia nyata, but not really. Dari aspek horor, film ini bahkan jauh dari standar ‘seram-seram-aneh’ Goosebumps yang biasa. Fokus film ini ya KEJAR-KEJARAN MONSTER doang. Kalau kalian bertanya gimana cara mereka memperkenalkan begitu banyak monster sekaligus, jawabannya: they don’t. Hanya sebagian kecil monster yang diperlihatkan maksimal, sementara yang lainnya sekelebat saja. Aku maklum sih, jelas karena durasi, but still Darah Monster disebut doang-masa????!!

 

Film yang fun buat ‘ghostalgia’, I’ve invented that word, by the way, I’ve looked it up. Tapi whether film ini bagus atau jelek is still debatable. Gampangnya gini; kalo kamu mau nonton Goosebumps- maka ini film bagus sekali. Tapi kalo kamu mau nonton film horor- Yaah The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for Goosebumps.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember in life, there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

We be the judge.

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Recent Posts

  • JUMANJI: THE NEXT LEVEL Review
  • FORD V FERRARI Review
  • THE IRISHMAN Review
  • NIGHTMARE SIDE: DELUSIONAL Review
  • RUMAH KENTANG: THE BEGINNING Review
  • FROZEN II Review
  • Survivor Series 2019 Review
  • BIKE BOYZ Review
  • THE FAREWELL Review
  • RATU ILMU HITAM Review

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2016 2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • @hadiantaufik @forumfilmbdg @christmellody @KautzarKuntjoro @Radityasptraa @adlynalin @NugrahaDP @neshasurya… twitter.com/i/web/status/1… 12 hours ago
  • Kartu2 sepele yang dikasih gratis/beli untung-untungan pakai diamond tapi ternyata kartunya bisa dimaksimalkan oleh… twitter.com/i/web/status/1… 14 hours ago
  • The new banlist hits free deck hard :( #duellinks https://t.co/f0NyQgvRjd 15 hours ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Blog at WordPress.com.

Cancel
loading Cancel
Post was not sent - check your email addresses!
Email check failed, please try again
Sorry, your blog cannot share posts by email.
%d bloggers like this: