HOW TO MAKE MILLIONS BEFORE GRANDMA DIES Review

 

“It is better to give than to receive”

 

 

Kata orang, nenek atau kakek lebih sayang cucu ketimbang anaknya sendiri. Benarkah begitu? Hmm… Film debut penyutradaraan Pat Boonnitipat ini bakal bisa membantu kita untuk menjawab itu. Di balik judulnya yang terdengar matre, How to Make Millions Before Grandma Dies bicara soal hubungan dalam keluarga besar; antara anak dengan orangtua, lalu antara keduanya dengan grandparents. Bagaimana masing-masing menunjukkan cintanya, siapa yang sering pulang, siapa yang tidak. Kalopun pulang, karena memang kangen atau ada maunya. Keluarga yang disorot cerita boleh saja keluarga Thailand keturunan Cina, tapi permasalahan mereka sangat beresonansi dengan keluarga modern di manapun. Dan karena kedekatan tersebut, certainly cepat atau lambat film ini akan menggugah hati sanubari kita. Pat yang memang mengincar emosi itu tahu untuk terlebih dahulu menyajikan bahasannya dengan lugas dan menggelitik. Semua keseharian sosial di negaranya seperti berusaha dipotret olehnya. Menjadikan film ini juga sebagai komentar yang kocak. Lagipula memang benar judulnya matre, toh para karakternya dapat menjadi begitu money oriented, dan konflik mereka pun berangkat dari hal yang bisa dikatakan ngeri-ngeri sedap untuk dibicarakan, yaitu soal harta warisan.

M siap untuk meninggalkan sementara pekerjaannya (itu juga kalo bikin konten main game di Internet bisa disebut sebagai pekerjaan yang beresiko jika ditinggalkan) karena dia sudah menemukan pekerjaan yang lebih mudah dan yang lebih menguntungkan. Merawat Amah alias nenek yang divonis kanker. Ya, M tergiur ketika ada sepupu yang diwarisi rumah besar oleh kakek yang dirawatnya. M juga ingin ketiban warisan. Jadilah ia pindah dan ikut tinggal bersama Amah yang tadinya tidak begitu ia pedulikan. Tapi ‘kerjaan’ ini ternyata tidak semudah perkiraan M. Cowok putus sekolah itu merasa Amah tidak begitu suka kepadanya, afterall Amah memanggil dia sebagai cucu yang tidak berguna. M merasa ribet dengan aturan dan keseharian Amah yang berdoa kepada Dewi Kwan Im (sehingga gak makan sapi) dan pergi berjualan sedari jam 4 pagi. Apalagi M juga merasa anak-anak Amah (2 paman dan termasuk ibunya sendiri) bermaksud sama dengan dirinya; ngerawat Amah supaya jadi ranking pertama orang yang paling dicintai Amah – sehingga bakal mendapat warisan rumah. Yang bikin sedih, Amah sebenarnya tahu, M dan anak-anaknya yang mendadak sering berkunjung sedang berharap dapat ‘menuai benih dari yang mereka tanam.’

Review Lahn Mah
Mungkin judulnya lebih tepat How to Get Millions from Grandma’s Death

 

Persaingan M dan anak-anak Amah tidak lantas digarap film menjadi kompetisi komedi. Film justru tetap di ranah keseharian. Langkah M terutama adalah meningkatkan value dirinya di mata Amah. Sehingga M ada di rumah Amah sebagai penonton, sama seperti kita, mengobservasi orang-orang dan kejadian yang terjadi di seputar Amah. Lantas M akan mencoba membereskan jika ada yang salah. Jadi bibit dari konflik internal di sini adalah tentang orang yang melakukan kebaikan kepada orang lain, tapi secretly dia punya maksud yang lebih selfish. Ini membuat M jadi karakter bercela yang menarik. As in, menarik melihat dia terdevelop menjadi semakin peduli kepada Amah. Melihat M menjadi lebih terbuka matanya terhadap keadaan keluarga, yang selama ini ia cuek saja sibuk main game sendiri. Terus berada di dekat Amah dan mengurusi ini itu membuat M jadi tahu lebih banyak tentang Amah, kebiasaannya, kesukaannya, cara spesifik Amah mengenakan pakaian, siapa anak favorit Amah, hingga ke masa lalu Amah dan cerita keluarga mereka yang M dan anak-anak Amah sudah lupa tapi Amah tetap mengingatnya.

Hubungan M dan Amah inilah yang menjadi hati pada cerita. Di awal-awal kocak sekali melihat film memotret generational gap lewat M yang gen Z selalu saja ‘menjawab’ larangan atau aturan dari Amah – yang honestly memang seringkali aku lebih setuju sama ngelesnya M yang sebenarnya males, tapi masih lebih logis ketimbang perkataan Amah yang masih menganut old ways. Memang pada potret-potret kehidupan sosial-budaya seperti inilah Pat menunjukkan ketajaman komentarnya. Di luar urusan adab tradisional di rumah, Pat juga menyentil dengan lucu persoalan yang ada di negaranya. Seperti saat M dan Amah ke klinik dari pagi sekali, mereka tetap harus ngantri, dan ‘budaya’ orang sana yang mengantri adalah sendal saja, sementara pemiliknya bisa duduk dan beristirahat sembari menunggu loket dibuka. Seiring M semakin dalam mengenal Amah dan keluarganya sendiri, seiring kanker yang menggerogoti Amah semakin ganas, film bertransisi dari kocak ke nada yang lebih mengharukan. Kita bisa melihat M tidak lagi punya kendali, Amah membuat keputusan-keputusan yang bahkan M tidak bisa melihat alasan untuk menyetujuinya. Itu semua karena relationship yang digali cerita semakin meluas jangkauannya. Mulailah problematika keluarga yang relate itu mendera kita semua.

Film memilih untuk mengeksplorasi dramatisasi dari sini. Dari kedekatan kita dengan masalah yang dipotret. Penonton pada nangis karena kita semua punya nenek, atau kakek, yang dikunjungi paling hanya setahun sekali (saat libur lebaran atau libur natal atau hari besar lainnya). Nenek atau kakek yang tampak masih kuat tinggal sendiri, tapi film ini memperlihatkan kepada kita bahwa mereka sebenarnya kesepian. Banyak kita yang jarang pulang menengok mereka, dan selama ini kita mengira mereka oke-oke saja. Tapi film ini ngasih lihat dilema nenek terkait hal itu; bahwa mereka antara senang dan sedih tidak dikunjungi atau tidak dikabari, karena dari pengalaman mereka paham bahwa biasanya justru ketika anak pulang dan mengabarkan itu berarti si anak lagi punya masalah. Nenek seperti Amah pengen dikunjungi – Amah setiap hari Minggu pakai baju bagus demi menyambut anak-anaknya pulang – tapi beliau juga khawatir jika dikunjungi berarti anaknya bisa saja sedang ada masalah. Terutama kita jadi tahu betapa sulitnya bagi mereka untuk membagi kasih. Akan selalu ada yang merasa difavoritkan, akan ada yang cemburu, tapi kita gak akan pernah tahu pengorbanan yang Amah-amah lakukan untuk semua anaknya. Inilah yang akhirnya dipelajari M dari Amah yang ternyata, diam-diam, terus saja memberi. Anaknya ketauan loser kapital L pun, Amah tidak lupa untuk memberikan bagiannya.

We make a living by what we get, tapi we can make a life, by what we give. Karena itulah memberi lebih baik daripada menerima. Tindakan memberi merupakan satu semangat juang, ekspresi dari kehidupan kita sendiri. M yang tadinya hanya mengharap, hanya meminta, mencoba merawat neneknya. Tapi kemudian dia belajar pelajaran berharga ini dari neneknya. Sang ultimate giver. Dari pilihannya di akhir film, M bukan saja sudah jadi caregiver yang baik bagi tetua, tapi dia jadi paham arti untuk menjadi seorang love giver, seperti nenek dan juga nanti ibunya sendiri.

 

Memberi sedikit bukan berarti enggak cinta

 

Yang paling sedih buatku ditunjukkan oleh film ini adalah bahwa di dalam keluarga itu gak butuh maaf. Mau kesalahan gimana pun, all is forgiven selama nama belakang mereka itu masih sama. Amah masih akan terus menanti anak-anaknya, cucu-cucunya untuk kembali. Inilah kenapa film ini gak punya banyak momen berantem yang dramatis. Kalo debat kecil-kecilan yang seringkali jatuhnya lucu, sih banyak. Tapi film ini memang gak punya momen emosi yang sampe berdebat teriak-teriak ataupun nangis kejer. Jika ada yang ketahuan salah, film hanya akan menampilkan ekspresi Amah atau M yang sedang menelisiknya, dan lalu cerita berjalan di hari kemudian. Arahan dramatis atau emosional film ini lebih ke arah personal. Kontemplatif. Makanya bisa terasa lambat  dan kurang naik turun bagi penonton.

Pilihannya ini bisa aku pahami, dan sepertinya aku juga lebih suka arahan yang lebih calm-tapi-menyayat seperti ini. Hanya saja, di jalur yang personal dan kontemplatifnya ini pun film terasa kurang ‘meledak’. Sebab akhirnya film memilih untuk menyandarkan ledakan emosinya kepada pengalaman penonton mengalami hal serupa. Ini terasa belum imbang, karena film jadi ‘lupa’ aspek galian dari protagonis. M dibiarkan sebagai pengamat, yang pilihan-pilihannya tidak terasa kuat terhantar kepada kita. Penonton yang tidak relate dengan kesedihan punya orangtua yang sering sendirian, harusnya masih bisa punya pijakan emosi dari journey M, jika journey tersebut lebih diperjelas dengan eskalasi konflik personal yang dipertegas. Misalnya, momen eskalasi bisa datang ketika M  gagal mendapat rumah, dan dia marah kepada Amah. Proses M pergi ninggalin Amah, lalu bagaimana dia bisa balik lagi menjemput Amah setelah menyadari pembelajarannya; inilah yang mestinya bisa lebih dinaikkan dramatisnya di balik konteks ‘all is forgiven’ tadi. Karena di situ akan ada choice berat bagi M. Memilih ikut sepupu nyari duit demi kerjaannya kembali, atau kembali karena dia sudah beneran peduli kepada Amah. Naskah akan bisa lebih full circle jika kita dikembalikan sekali lagi kepada M dan motivasi  terdahulu (pengen punya komputer baru buat ngegame), karena di saat itulah momen dramatis pembelajaran dia bisa ‘terbukti’ kepada kita.

 

 




Konflik dalam keluarga tampaknya selalu ribet dan nyelekit. Apalagi kalo udah urusan duit. Semuanya pengen menuntut, semuanya pengen jadi favorit. Tapi siapa sangka, sebenarnya kita melupakan hal penting di balik itu semua. Hal yang ternyata tampak begitu sederhana dan menghangatkan seperti yang diceritakan oleh film ini. Awalnya kocak, lalu perlahan tapi pasti film ini tugs our hearstrings. And never lets it go. Film berjalan pada arahan yang lebih personal dan kontemplatif. Dengan momen-momen dramatisnya disandarkan kepada potret-potret keluarga yang sebagian besar penonton pasti akan relate, gak peduli kita turunan mana, tinggal di mana. Bagi yang somehow gak relate, di sinilah sedikit kurang maksimalnya film. Mereka jadi kurang pegangan. Bibit emosional pada naskah – journey protagonisnya – kurang terangkat sebagai konflik. Penyadaran protagonisnya jadi hampir seperti teresolve dengan sendirinya. Karena dia sudah sadar seiringnya waktu. Film tidak memberikan momen yang kuat ketika dia harus memilih sebagai bukti penyadaran. Tapi di samping semua itu, pertanyaan yang lebih penting adalah: Apakah aku nangis nonton ini? Aku nangis… jika saja belum terwakili oleh setengah studio yang terisak-isak keluar dengan mata sembab
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOW TO MAKE MILLIONS BEFORE GRANDMA DIES

 

 




That’s all we have for now.

Jadi, apakah pertanyaan di awal sudah terjawab? Dari pengalaman kalian, apakah grandparents kalian lebih sayang cucu-cucunya, seberapa besar perbedaan cara mereka menunjukkan kasih sayang antara kepada cucu dengan kepada anak?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



DUA HATI BIRU Review

 

“It’s not about being better than anyone else; it’s about being better than you used to be”

 

 

Dua Garis Biru (2019) berhasil menorehkan impact. Bahasan pernikahan dini yang diangkatnya, mencuat berkat perspektif dan gagasan modern yang kuat. Solusi win-win yang diberikan Gina S. Noer kepada karakter-karakternya di film tersebut, bukan tanpa ‘kontroversi’. Menikah karena hamil di usia begitu muda (like, di usia sekolah!) bukan berarti hidup Bima dan – terutama – Dara berakhir. Bahwa perempuan seperti Dara masih bisa kok meneruskan dan mengejar karirnya. Bahwa bukan hanya  selalu perempuan yang harus menanggung beban punya-anak. Hidup baru mereka justru baru saja dimulai. Syd Field bilang, sebuah film yang bagus ketika film itu tamat, ceritanya tidak ikut berakhir. Melainkan dunia karakternya masih berlanjut, mereka seolah masih terus hidup di dalam kepala kita. Well, sekarang kita bisa berhenti membayangkan gimana kelanjutan Bima mengasuh anak sepeninggal Dara yang lanjut kuliah ke Korea. Karena Gina S. Noer, kali ini bersama Dinna Jasanti telah membuat kisah officialnya. Dua Hati Biru adalah lanjutan yang membahas struggle personal baik itu Bima maupun Dara yang menjadi orangtua muda, lengkap dengan beban, root keluarga, dan masing-masing ego mereka.

Setelah empat tahun, Dara kembali ke tengah-tengah Bima, Adam, dan keluarga besar mereka. Selama ini Bima mengasuh Adam sendirian, dengan bantuan ayah dan ibunya. Angga Yunanda basically meranin cowok yang jadi single dad selama empat tahun. Sebagai lulusan SMA, Bima bekerja sebagai penjaga kolam bola di mall, sehingga dia bisa curi-curi kesempatan untuk membawa dan bermain dengan Adam sambil gawe. Sehingga Adam pun otomatis lebih dekat dengan Bima, ketimbang dengan Dara yang hanya berkomunikasi lewat video call. Kehadiran kembali Dara yang kini lebih dewasa (kali ini diperankan oleh Aisha Nurra Datau), dengan benak penuh mindset baru termasuk juga dalam hal parenting,  tentu saja mengubah semua dinamika tersebut. Tidak segampang itu bagi Dara yang ingin Bima dan dirinya mandiri, lepas dari tangan keluarga besar yang merasa lebih tahu cara merawat anak. Tidak segampang itu bagi Dara untuk bonding dengan Adam yang menolak kehadirannya. Sebaliknya, sama tidak gampangnya bagi Bima untuk ‘evolve’ seperti Dara; tidak segampang itu bagi Bima untuk menerima nafkah dari istrinya. Ah, menjadi orangtua ternyata memang banyak ‘tidak segampang itu’-nya. Let alone menjadi orangtua muda.

review dua hati biru
Adam was right soal mamanya beda

 

Serta merta, anaklah yang jadi stake rumah tangga Bima dan Dara. Terjadi apa-apa sama Adam, berarti kegagalan mereka sebagai orangtua. Sepertinya ini jugalah (selain judul) kenapa film memutuskan untuk tidak memilih di antara dua sebagai satu perspektif utama. Film tidak memulai cerita dengan memperlihatkan kenapa Dara memutuskan untuk pulang, dan sebaliknya film tidak  dimulai dengan detil kehidupan sehari-hari Bima mengasuh Adam, melainkan hanya lewat montase singkat. Dua Hati Biru ingin membahas kedua sudut pandangBima dan Dara secara menyeluruh supaya konflik rumah tangga pasangan muda ini terbahas semua. Karena keduanya memang masih harus banyak belajar bagaimana cara menjadi orangtua yang baik, bukan yang sempurna. Film menampilkan banyak masalah sehari-hari parenting mereka lewat kejadian-kejadian yang relate banget. Permasalahan yang memang bisa kita jumpai pada rumah tangga orang beneran. Anak yang menangis karena mainan kesayangannya ‘hilang’, suami yang kedapatan kebanyakan main hape/game, ibu mertua yang gak taat sama jam tidur anak. Kedekatan kejadian atau masalah-masalah mereka membuat film ini menyenangkan untuk ditonton, sebab sedikit banyak kita pasti akan membawa kisah ini kepada pengalaman, sehingga tanpa sadar kita ikut melibatkan dalam usaha penanganan masalah yang mereka lakukan. Film berhasil menghindar dari menggurui.

Value-value yang disajikan perihal hidup berumah tangga toh memang berharga sekali. Salah satu yang disorot adalah tentang komunikasi. Di masyarakat sepertinya lumrah, yang namanya keluarga mau itu kelas menengah ataupun atas, biasanya komunikasi ya itu pakek emosi. Pakek nyolot. Aku tergelak melihat adegan meja makan Dara-Bima-Adam bersama keluarga Bima. Masing-masing ngobrol, dengan suara keras. Tergelak karena teringat keluargaku begitu juga, kalo udah ngobrol semua berebut ngomong. Semua berebut nyumbang pendapat untuk satu masalah sepele. Semua ngotot ingin ‘ngatur’. Dua Hati Biru meluangkan waktu untuk menguliti cara komunikasi begini. Film dengan perspektif menyeluruhnya memperlihatkan kenapa para karakter jadi begitu. Karena mereka sama-sama peduli sama keluarga. Mereka sama-sama capek kerja, mikirin yang terbaik buat si kecil. Apa yang disebut ego itu sebenarnya cuma rasa khawatir dan peduli yang sama besarnya, sehingga masing-masing merasa knows better. Padahal enggak. Komunikasi ‘berantem’ begitu justru membuat perasaan semakin sulit tersampaikan dengan benar.

Perbedaan Dara dan Bima bukan sebatas soal beda kelas sosial atau beda level pendidikan. Tapi juga soal mindset. Yang satu belum bisa berubah sementara satunya sudah mengerti pentingnya untuk evolve. Hanya saja, keduanya sama-sama failed to realize berubah itu bukan berarti menjadi lebih baik dari orang lain. Film menyebut anak-anak belajar dari orangtua mereka. Dara dan Bima kendati sudah jadi orangtua, mereka juga berangkat dari anak yang melihat kepada orangtua mereka. Dan mereka merasa harus berubah menjadi lebih baik daripada orangtua mereka. Yang mereka perlukan sebenarnya menyadari tidak ada orangtua yang sempurna. Mereka cuma perlu menjadi lebih baik dari diri mereka sendiri sebelumnya.

 

Bahasan perspektif yang menyeluruh ini tentu saja memerlukan penampilan akting yang maksimal. Inilah yang juga jadi salah satu kekuatan film ini. Akting yang terutama terasa natural.  Pemeran pendukung membuat dunia lebih hidup karena mereka semua tampak luwes. Pemeran anak Farrel Rafisqy akan mencuri perhatian kita karena – satu kata – gemas. Mbak Gina ternyata jago juga mendirect aktor cilik; bukan hanya penulisan dialognya tidak tampak dipaksa, aktingnya juga. Aisha Nurra Datau juga ‘temuan’ yang sangat jeli; presence maupun permainan aktingnya sebagai Dara versi sudah evolve jadi dewasa sungguhlah patut kita apresiasi. Dia melanjutkan karakter ini tanpa canggung. Namun di luar itu, aku penasaran juga gimana kalo Dara tetap diperankan oleh Adhisty Zara; karakternya yang sudah dewasa ini tentu secara meta harusnya bisa jadi pembuktian Zara memerankan karakter yang sedikit lebih dewasa dari biasanya. Sementara, Angga Yunanda tampak semakin terasah. Membandingkan dengan penampilannya di Dua Garis Biru, aku merasa Angga yang sekarang ready for more emotional ataupun adegan yang lebih demanding lainnya. Sehingga aku sempat menyayangkan juga film ini tidak seperti film pertama yang fokus pada satu perspektif, yaitu Dara. Aku menyangka bakal gantian di film keduanya ini, giliran Bima yang jadi fokus

Nontonin Adam hilang, aku malah lihat Max ama Ucil di layar

 

Itulah, sebenarnya perspektif dan bahasan yang banyak ini merupakan sandungan yang biasa kita rasakan pada film-film Gina S. Noer belakangan ini. Dua Hati Biru, sama seperti Like & Share dan Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga sebelumnya, melimpah ruah oleh bahasan. Akibat yang pertama ternotice adalah ada beberapa yang seperti tidak membangun kepada apa-apa. Misalnya, soal giliran Dara yang kerja, tapi rintangannya adalah dia harus melepas cincinnya; pura-pura masih single. Kirain ada konsekuensi atau akibat lanjutan dari dia melepas cincin, tapi ternyata tidak ada bahasan susulan. Kemudian, flow ceritanya pun lebih seperti buku ketimbang sekuence film dengan tiga babak. Alih-alih masalah puncak yang terbuild up dari masalah-masalah lain yang timbul sepanjang proses pembelajaran karakter, alur dalam film ini terasa seperti episode; masalah satu datang setelah masalah yang sebelumnya reda, terus begitu sampai struktur naskah seperti tidak muat membendung. Jadilah sering muncul kesan “oh udah mau beres, eh ternyata belum” saat menonton film ini.  Susah untuk pinpoint di mana cerita akan mendarat, karena penggalian masalah/bahasan terus dilakukan  sampai bener-bener waktu mau habis, saking banyaknya bahasan. Dan ketika nanti cerita bener-bener tamat, efeknya jadi kurang berasa. Permasalahan yang dialami karakter jadi seperti rutinitas saja. Apalagi konteks masalahnya adalah rumah tangga, yang kita semua tahu bakal terus ada masalah, sehingga dengan memusatkan pada masalah silih berganti, ending dengan penyelesaian masalah terakhir itupun jadi kurang kuat. Hidup mereka yang lanjut saat film berakhir pun jadi kehilangan bobot menarik karena kita sepanjang film juga mengikuti siklus yang sama. Tidak seperti pada film Dua Garis Biru yang penyelesaiannya benar-benar terasa seperti gagasan unik milik film itu sendiri, Dua Hati Biru endingnya terasa seperti just another peace moment. Solusi dari karakter terasa bisa sampai lebih cepat jika film lebih fokus pada perspektif ketimbang masalah.

Rutinitas pasangan muda dengan segudang masalah menanti mungkin lebih cocok jika diarahkan kepada semacam slice of life. Mungkin, bahasan yang banyak seperti ini bisa lebih terakomodir jika film berani memainkan bentuk atau arahan keluar dari zona yang biasa. Aku pikir di kursi sutradara film panjang keempatnya ini, Mbak Gina mestilah sudah lebih dari sekadar capable untuk mencoba bereksperimen dengan gaya storytellingnya. Afterall, adegan long take di UKS pada Dua Garis Biru jadi bukti bahwa pengarahannya cukup peka dan berani. Pada Dua Hati Biru pun kamera berhasil ngasih kesan dinamis yang benar-benar menempatkan kita di tengah-tengah karakter, seperti yang bisa kita rasakan saat Bima dan Dara beserta keluarga masuk ke rumah kontrakan baru. Aku menunggu permainan long take berikutnya, dan ngerasa kayak missed opportunity ketika adegan mereka semua menelusuri gang demi mencari Adam yang hilang tidak dilakukan dengan treatment spesial. Pada penulisan, Mbak Gina terus memperdalam eksplorasi bahasan dan tema, dan itu bagus karena film-filmnya jadi punya kedalaman materi. Sudah saatnya storytelling/directingnya juga ikut dikembangkan untuk mengimbangi bahasannya.

 

 




Cocok loh sebenarnya film ini buat tayang di libur lebaran. Bukan semata karena kreditnya dihiasi sketsa ala lagi lebaran. Ceritanya; yang seputar keluarga hadir dengan vibe dan value berharga yang positif lagi menghangatkan. Permasalahan yang serius seperti parenting dan komunikasi di-tacklenya tidak dengan menggurui, melainkan seperti mengajak duduk membahasnya bersama. Berhasil mengambil jalan tengah dari bentrokan antara permasalahan ‘temurun’ dengan mindset yang lebih modern. Karakter-karakternya pun lovable (terutama Adam yang pasti mencuri perhatian semua penonton). Cuma memang dibandingkan dengan film pertamanya, film kali ini terasa sedikit lebih generic (kehilangan bobot unik karena pasangan muda basically masalahnya sama aja dengan pasangan umumnya), perspektifnya pun lebih bloated, dan tidak diimbangi oleh storytelling yang harusnya bisa dicari bentuk yang lebih cocok untuk menampung semuanya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DUA HATI BIRU.

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian punya tips parenting atau komunikasi dengan pasangan tersendiri?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



BABY BLUES Review

“Parenting is about teamwork and not undermining your partner”

 

 

Ada dialog dalam adegan Baby Blues garapan Andibachtiar Yusuf yang menyebut bahwa seorang suami bertugas menafkahi, sementara seorang istri tugasnya merawat anak di rumah. Gagasan role rumah tangga tersebut bisa bertukar, tampak begitu aneh oleh karakter film ini. Pandangan aneh tersebut toh tampaknya memang masih sejalan dengan pandangan mayoritas penduduk di Indonesia. Ayah bekerja, ibu rumah tangga, masih bentukan keluarga ideal di masyarakat kita. However, di tempat-tempat yang masyarakatnya lebih suka untuk tampak modern, role tersebut lebih fleksibel. Istri gak harus ‘bekerja’ di rumah. Bapak yang ngasuh anak, dan sebagainya. Makanya sebenarnya menarik melihat bagaimana ide soal peran rumah tangga tradisional dimainkan dalam era/pandangan modern.

Seiring durasi berjalan, dari dialog-dialog dan how things played out di awal-awal, kupikir Baby Blues bakal ngarah ke situ. Suami dan Istri yang bertukar tubuh, merasakan tugas partner hidup mereka. Tapi dari konsep tersebut, Baby Blues ternyata menekankan kepada bagaimana keduanya jadi lebih saling menghargai, dan memang ini pesan yang tak kalah penting. Dengan pesan itu, tentu saja sebenarnya Baby Blues masih baik untuk ditonton oleh keluarga (khususnya young parents). Hanya saja, pesan yang lebih tradisional tersebut tidak benar-benar mendarat sesuai dengan yang diniatkan, karena naskah film ini tidak dikembangkan dengan berimbang.

blues2905717046
Penulis Imam Darto sepertinya memang hobi ngasih pelajaran ke perempuan-perempuan yaa

 

Sesuai judulnya, cerita memang berangkat fenomena psikologis yang hanya dirasakan oleh seorang ibu. Perasaan sedih, lelah, kesepian yang merundung seorang ibu pasca melahirkan. Ya, film ini mengambil perspektif perempuan sebagai sudut pandang utama. Dinda dan suaminya Dika baru saja dikaruniai putri pertama. Suddenly, Dinda merasa hidupnya berat sekali. Istirahatnya kurang, badannya sakit. Dia yang capek dua puluh empat jam ngurusin anak, masih disuruh jaga badan oleh mertua, disalah-salahin karena penampilannya jadi kucel. Sementara Dika suaminya tampak enjoy-enjoy aja main PS sama temen-temen sepulang kerja. Cuek teriak-teriak padahal anaknya baru saja tidur. Dinda merasa cuma dia yang bertanggungjawab. Maka saat bertengkar hebat dengan suaminya suatu malam, Dinda yang minta dingertiin, meminta Dika merasakan hidup sebagai dirinya. Permintaan Dinda terkabul. Pagi harinya, pasangan itu terbangun di dalam tubuh yang tertukar. Dinda jadi cowok – jadi Dika. Dan sebaliknya, Dika kini gak bisa lagi ngelak dari mendiamkan bayi yang nangis dengan alesan “Susunya kan di kamu”

This whole story diceritakan dalam balutan komedi yang, yah katakanlah, merakyat. Tidak dalam dialog cerdas dan situasi elegan, namun dalam dialog-dialog candaan receh dan situasi yang komikal. Karakter perempuan dan laki-laki yang dikontraskan di sini merupakan karakter yang stereotipe, dalam artian cowok digambarkan ‘ngasal’ kayak duduk ngangkang, suka garuk-garuk, unhigenis dan cewek digambarkan either sangat feminim atau strong seksual objek. Tentu saja tipe yang ekstrim ini digunakan untuk komedi gampang yang maksimal tatkala Dika jadi bertubuh Dinda, dan sebaliknya. Film ini terutama tampak sangat gemar bikin lucu-lucuan dari cowok yang bertingkah kemayu. Ada lebih banyak candaan pada Dinda yang kini bertubuh tegap. Yang membawa kita kepada kunci dari penampilan film ini. Permainan akting. Vino G. Bastian dan Aurelie Moeremans definitely gak sekadar mainin cowok lelembut atau cewek tomboy. Kita bisa lihat mereka berusaha benar-benar memberi nyawa karakter lawan main yang telah bertukar tubuh. Basically masing-masing mereka mainin dua karakter sentral itu sekaligus. Dari dramatic point, ada cukup layer dalam tuntutan akting mereka. Melihat dari sini, komedi yang dibikin simpel bisa dianggap mempermudah mereka, komedi jadi tidak menghalangi dramatic point yang jadi ‘daging’ dari karakter mereka.

Niat film ini sebenarnya memang baik sekali. Dari bertukaran tubuh, bertukar role tersebut, ayah dan ibu diharapkan bisa lebih saling mengerti kewajiban masing-masing. Bahwa menjadi orangtua sesungguhnya adalah kerja tim. Membesarkan anak butuh banyak ‘pengorbanan’. Pertengkaran Dinda dan Dika berawal dari Dinda yang menyangka cuma dirinya yang kerja, sementara Dika tidak kelihatan pulling the weight. Dengan meng-experience kehidupan Dika, Dinda jadi sadar bahwa masing-masing mereka ternyata harus dan memang mengalahkan ego dan kepentingannya, demi mendahulukan apa yang terbaik bagi anak.

 

Panggung cerita semakin terasa lokal karena ada lapisan soal hidup bersama mertua. Dinda dan Dika basically hidup serumah dengan ayah dan ibu Dika (cuma berbatas tembok dan pintu) yang turut jadi pemicu stres-nya Dinda. Film lebih lanjut mengembangkan ini sebagai permasalahan dengan orangtua pasangan, karena Dika sebaliknya diceritakan sebagai orang yang tampak cuek ama keluarga istrinya. Lapisan ini harusnya semakin menambah dalamnya eksplorasi tentang pembelajaran saling mengerti. This is the extra layer, tapi ternyata inilah yang jadi pembahasan yang paling diperhatikan oleh naskah. Di pembahasan inilah naskah melakukan penggalian cukup berimbang. Kalo film ini cuma tentang hidup dengan mertua, Baby Blues bisa dapat nilai yang lebih baik. Tapi sayangnya, main course film ini – yakni soal stresnya mengasuh anak – tidak mendapat bahasan yang berimbang.

Film terus saja seperti ‘memberikan pelajaran’ kepada Dinda. Sampai ke titik film seperti menunjukkan Dika bahkan bisa jadi ibu yang lebih baik daripada Dinda. Film benar-benar memperlihatkan hampir semua keputusan Dinda – dalam usahanya jadi ibu yang baik – tampak egois dan nyalahin suaminya , tanpa balik memperlihatkan perjuangan Dika. Dika setelah bertubuh perempuan, tampak gampang aja menyesuaikan diri. Dika gak seheboh Dinda mempermasalahkan gigitan anak mereka. Anak mereka justru sakit diurus oleh Dinda. Film merasa gak perlu ngasih waktu untuk Dika memperbaiki sikapnya yang hobi main PS. Gak ada adegan-adegan Dika berusaha mengerjakan pekerjaan ibu, seperti masak, ngurus anak. Dia bisa gitu aja, dan melakukannya lebih baik dari Dinda karena dia gak stress. Hanya ada satu keputusannya yang meragukan, yakni soal ngasih ASI dari orang lain karena ASI tubuhnya gak keluar. Tapi film menampilkan dampak adegan itu sebagai kesalahan Dinda yang gak menghargai usaha Dika mencari ASI. Dinda dengan tubuh Dika diperlihatkan dipecat dari kerjaan eventho she really tries, tapi kita gak lihat Dika berusaha biar ASInya keluar.

Aku pikir nanti Dinda berhasil membuat kafe tempat Dika bekerja jadi rame, sebagai penyeimbang Dika merasa lebih fun ngurus anak di rumah. Yang seperti kutulis di awal mengarah kepada film ini ngasih solusi pandangan modern terhadap role rumahtangga tradisional yang masih banyak dianut keluarga di negara kita. Tapi ternyata film ini lebih memilih untuk memperlihatkan Dinda menyadari dia bukan orangtua yang baik karena terlarut dalam baby blues-nya, bahwa suaminya ketika beneran ngelakuin hal yang ia lakukan justru melakukannya dengan lebih baik daripada dirinya. Suaminya lebih cepat belajar sementara Dinda sendiri lebih sering mendahulukan perasaan dan emosinya semata. Film ini memilih untuk ngajarin cewek cara-cara menjadi ibu yang baik, ngajarin bahwa suami juga telah berusaha sebisa mereka. Jadi ya buatku naskah film ini memang agak-agak problematik.

bluesY2ZjXkEyXkFqcGdeQWFuaW5vc2M@._V1_
Pembelajaran menjadi ibu dari penulis laki-laki.

 

Dari segi penyampaian atau penceritaan, film ini pengen berusaha sebaik mungkin ngeset tone komedi serta membuat logika-cerita yang melogiskan kenapa pertukaran tubuh itu bisa terjadi. Hanya saja film mengambil keputusan yang salah, atau at least belum memikirkan masak-masak pilihan yang mereka lakukan. Karena menurutku film masih bisa melakukannya dengan lebih baik lagi. 

Jadi film ini menggunakan narator, seperti dalang. Tokoh di luar cerita, di luar aturan-dunia cerita, yang bergerak dalam dimensi yang berbeda dari Dinda, Dika, dan yang lain. Tokoh atau karakter ‘Tuhan’ ini muncul sporadik sebagai transisi yang merangkum kejadian serta mengantarkan kepada apa yang bakal terjadi berikutnya, di closing untuk ngasih kesimpulan, dan juga di opening; menyambut kemudian memperkenalkan kita kepada karakter-karakter cerita. Singkatnya, kehadiran narator tersebut justru menyuapkan kita banyak hal yang tidak perlu. Emangnya kita bayi, disuapin! Opening film ini bisa lebih ringkas; efektif dan ngalir, tanpa komedi pengenalan karakter dari si narator. Film ini benar-benar gak butuh narator. Kepentingannya cuma untuk membuat pemahaman bahwa keanehan bertukar tubuh dapat terjadi di dunia cerita yang disetir oleh narator ajaib ini. Itulah tadi maksudku soal mestinya film bisa memperlakukan ini dengan lebih baik lagi. Alih-alih narator, kenapa gak dibikin saja dia karakter yang benar-benar berinteraksi. Anggap dia sebagai oranggila yang aneh, dan hidup bersama karakter lain. Bikin keajaiban itu jadi karakter yang menghidupi cerita, ketimbang muncul dan ngatur cerita dari luar. Eksposisi yang hadir bersama narator itu gak dibutuhkan, hanya menghambat pace cerita.

 

 

 

 

Nonton ini ada beberapa kali aku ngikik juga, beberapa kali membatin ‘wah bener sih, ada yang kayak gitu terjadi di dunia nyata’. Potretnya yang simplistik itu memang beresonansi juga dengan masyarakat. Film ini punya niat dan pesan yang baik. Hanya masalahnya, penyampaian dan perspektifnya saja yang timpang. Film ini tidak mempertanyakan gagasan, melainkan dengan pedenya ngasih jawaban mutlak. Karakter-karakternya diposisikan sebagai objek dari jawaban yang diusung. Bukan subjeknya. Sebenarnya film ini sama saja dengan film-film agenda-ish yang biasa kita saksikan. Tapi biasanya film agenda-ish suka hadir dengan karakter perempuan yang selalu benar. Film ini tampil dengan karakter perempuan yang terus-menerus dipersalahkan. Dan ya, hadir untuk ngasih gagasan yang tidak seimbang. But I believe, bakal ada juga penonton yang sependapat, kayak film agenda-ish yang penggemar banyak banget karena segagasan. 
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BABY BLUES.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah gender role tradisional dalam parenting masih relevan untuk diterapkan? Jika tidak, kenapa? Apa faktor yang menyebabkan gender role tersebut kini bisa berubah?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA