Di langit ada ikan Sisiknya terang Siang renang renang berputar haluan Malam dilemparkannya bintang! Pecah berkeping kena bibirku
Pernahkah kalian melihat air mata duyung? Tangis sesungguhnya tiada suara Dan pernahkah kalian mendengar duyung bernyanyi? Ia ajari aku bertahan Hingga perahu selesai menyeberang
Di langit ada ikan Sisiknya basah Terang masih, biarlah pikiranku saja bersamanya Keluyuran.
Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
Dulu, di kamusku tak masalah jika 4 kata tersebut berada dalam 1 kalimat.
Ketika orang merutuki 3 kata pertama, aku tetap baik baik saja, karena aku tahu akan selalu ada kata yang terakhir itu.
Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu.
3 kata pertama adalah perusak bahagia yang utama.
Tapi, aku selalu memiliki kata yang paling akhir.
Yang malah menjadi sumber bahagia termutakhir.
Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu.
Kini aku turut memaki keempat kata itu.
Katniss Everdeen kedatangan saingan baru, nih! Dari Indonesia pula.
Kalo biasanya tidak banyak novel Indonesia, atau malah film Indonesia, yang berani berandai-andai seperti apa negara ini ke depannya, maka Dhanuverda ini beda. Fiksi ini bercerita tentang seorang wanita muda yang memimpin kelompok massa, mereka mencoba mencari tahu sebab tragedi politik terbesar dalam sejarah umat manusia. Nama tokoh utamanya masih dirahasiakan, aku enggak tahu, mungkin nanti bakal ada big reveal apa gimana. Namun, tema bukunya sih udah cerita dystopia banget yakan? Dhanurveda mengambil setting pasca perang dunia ketiga, saat Indonesia dipimpin oleh Presiden kesepuluh. Siapa presidennya? Gimana keadaan Indonesia saat itu? Gimana negara ini bisa survive dari perang dunia ketiga?? Seneng enggak sih akhirnya ada penulis yang ngajak kita berimajinasi sekaligus mungkin berkontemplasi, karena kata penulisnya sih, novel ini penuh dengan sentimen; mulai dari sentimen politik hingga sentimen agama.
Ngomong-ngomong siapa ya yang ngarang novel ini?
Dhanurveda adalah novel pertama yang ditelurkan oleh Zahid Paningrome. Tapi tenang, walaupun bisa nelur, mas Zahid ini manusia kok, kayak kita-kita. Mas Zahid juga aktif nulis di blognya; zahidpaningrome.blogspot.com. Biasanya dia suka nulis cerpen, puisi, cerita bersambung, dan tulisan kreatif nan-berbobot yang lain. Bahkan di blognya tersebut, mas Zahid juga lumayan cerewet mengulas film. Samaan deh ama blog kesayangan kalian ini (idiih, ngaku-ngaku). Reviewan mas Zahid, bisa kita baca, selalu tajam melihat detil-detil. Ya teknis, ya cerita, visi sutradara juga tak luput dari pengamatan. Apalagi detil mengenai isu sosial yang membayangi sebuah film. Dan tentu saja, kita bisa mengharapkan ketajeman yang serupa hadir dalam penuturan cerita Dhanurveda.
Kata mas Zahid ketika diwawancara di kediamannya di Semarang (via internet!), nama Dhanurveda dipilih karena kecintaannya pada ajaran bela diri dan penggunaan senjata (panah) di medan perang yang terdapat pada KItab Weda (sastra Hindu). Dan kata mas Zahid lagi, sesungguhnya novel ini sangat personal buat dirinya. Katanya, novel ini termasuk perjalanan panjang dalam sejarah dirinya menulis.
Ah, daripada kebanyakan ber’kata-katanya’, marilah kita beri kesempatan sebebas-bebasnya buat Mas Zahid. Berilah waktu supaya dia bisa menuturkan sendiri cerita tentang karya debutnya di dunia sastra. Bicaralah, Mas!
“Teman-teman, sebetulnya saya membuat cerita Dhanurveda dalam keadaan gundah. Bukan gundah yang robot-robotan Jepang, itu Gundam! Gundah yang disebabkan dari melihat politik di Indonesia yang penuh intrik dan trik yang culas dan kasar. Saya mencoba menuliskan akibat dari itu semua di tahun sekarang untuk ditarik ke tahun-tahun berikutnya. Membuatnya menjadi bom waktu. Untuk itulah maka saya memilih genre novel yang bersifat futuristik. Kita musti berani membicarakan masa depan, utamanya masa depan Indonesia.
“Saya juga gundah gulana menyadari dunia literasi atawa sastra, khususnya di Indonesia, sedang sekarat. Karena dipenuhi metro-pop ringan yang membuat perempuan-perempuan yang membacanya berteriak kegirangan. Tapi sejatinya tidak mengubah pemikiran siapa-siapa. Padahal kan, membaca berarti juga memahami isi, bukan sekadar membaca dan terpuaskan. Hati girang, buku lantas dibuang. Metro-pop yang sudah sangat menjamur tersebut selalu saja bercerita tentang kisah cinta ringan dan aneh, menjadikan dunia ini tidak lagi punya varian yang banyak. Sedihnya lagi, fenomena pop ringan ini juga terjadi di dunia musik dan, tentu saja, film. Jadi ya, tentu saja kehadiran Dhanurveda, dengan cerita mencekam berbahasa pop science dan dibumbui kisah cinta khas ini siap untuk menjadi koleksi buku terbaru setiap anak muda dan pembaca yang berani bertualang. Saya menyebut cerita buku ini ‘ROMANTIC TRAGIC-COMICO’.”
“Novel ini mulai masuk proses pencatatan ide sejak Juli 2016. Kemudian mulai ditulis bener-bener sekitar bulan Agustus 2016 dan selesai pada akhir November 2016. Hingga pertengahan Desember, novel ini disemayamkan memasuki proses editing. Akhirnya rilis pada 14 Februari 2017. Tanggal perilisannya memang sengaja saya pilih tanggal empat-belas Februari karena saya ingin teman-teman ingat betul bahwa tanggal segitu bukanlah Hari Valentine, melainkan hari kelahiran Dhanurveda. Duh, bangganya buah karya saya diperingati!
“Umm.. sebetulnya ini rahasia, tapi karena ada desakan dari si penanya, terutama dari penumpang kereta api yang suka mudik lebaran berdesak-desakan, akhirnya saya mau juga bercerita perihal yang sedikit ‘pribadi’. Novel Dhanurveda adalah persembahan bagi perempuan yang saya cintai sepenuh hati. Saya menjadikan perempuan itu sebagai tokoh utama cerita novel ini. Jadi yaa, namanya bisa sama bisa enggak hehehe. Yang jelas perempuan ini, saya berikan tempat tersendiri. Juga terlihat dari paragraf terakhir di Kata Pengantar Dhanurveda. Sosok perempuan ini sudah sangat lama menghilang dan tidak bisa lagi saya temui sejak pertengahan 2015. Hingga kini, saya masih belum bisa bertemu dan berkomunikasi dengannya.
“Di Dhanurveda ini ada uniknya juga loh. Salah satu babnya ada yang saya tulis berdasarkan pengalaman nyata yang saya alami di dalam mimpi di suatu malam. Baca novelnya, deh (red: beli dong!), cari bab yang saya namai ‘Ruang Mimpi’. Memang, sejak memilih jalan untuk menulis di ranah cerita fiksi, saya sering mengalami masa-masa transendental. Maksudnya, saya seperti hidup di dalam mimpi sendiri, menjadi arsitek bagi mimpi. Di dalam mimpi, saya melihat diri saya sendiri yang lagi tertidur. Aneh? Enggak juga. Saya percaya setiap dimensi kehidupan selalu punya ruang, tak terkecuali dimensi mimpi. Bagi saya, mimpi adalah dimensi yang memiliki ruang yang sangat bercabang.”
..
“Ya, kayaknya statement saya sudah cukup kepanjangan. Sejak awal, Teman-teman, hanya satu tujuan saya menulis; Untuk membangkitkan gairah membaca yang mulai pudar karena perkembangan zaman, khususnya di kalangan anak muda. Saya masih akan terus konsisten dengan gerakan #MariBaca yang sering saya kumandangkan di setiap tulisan yang rilis di blog saya. Dua-ratus rilisan pos, sejak 2013 akhir dan masih terus menambah jumlah hingga kini, karena saya juga sembari berharap kepada Tuhan supaya tujuan saya bisa tercapai.”
Novel futuristik yang bisa jadi bukan saja bakal nyaingin The Hunger Games, tapi juga sanggup sejajar ama 1984nya George Orwell. Membawa banyak pengharapan dari penulisnya, semoga buku ini bisa menjadi breakthrough yang amat sangat dibutuhkan oleh scenery sastra Indonesia kekinian. Dan kalian tahu, it’s all up to us the readers to make it all come true. Untuk detil pemesanan, silahkan kunjungi http://zahidpaningrome.blogspot.co.id/2017/02/hari-lahir-dhanurveda.html Kalian juga boleh menghubungi Mas Zahid langsung lewat facebook, twitter, dan instagram @Zahidpaningrome
Semoga dengan dirilisnya novel ini, kita bisa menemukan kembali kecintaan membaca, sebagaimana perempuan yang ia cintai bisa melihat keseriusan Zahid dalam mencintainya.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
Sayangku, aku menulis ini di bawah kendali rindu yang teramat,
dalam paksaan malam yang pekat dan bayanganmu yang kulihat lamat lamat.
Kucoba untuk merangkai sesak, dalam untaian abjad yang nantinya bisa kau baca.
Agar kau mengerti rasa dan rinduku yang tanpa batasan.
Masih jelas terasa sisa kecupmu berbulan bulan silam dan
hangat dekap yang kau berikan.
Saat kau merentang tangan untukku yang butuh ketenangan.
Karena dalam rengkuhmu kutahu, aku sudah pulang.
Karena kamu adalah rumah.
Tempat kembaliku saat lelah,
tak peduli seberapa jauh aku sudah melangkah.
Kembali padamu, bukan sebatas singgah.
Rumahku yang menenangkan,
kutulis ini untukmu, agar kau memahami hangatmu adalah hal yang selalu ingin kurasa.
Kamulah sesatunya rumah yang kuharap.
Tujuan akhir dari setiap perjalanan.
Tempatku melabuhkan segala resah.
Meski kini kita hanya mampu mendekap jarak.
Kuharap akan selalu aku yang menjadi hangat dan udara yang kau hirup dalam dalam.
Karena kamu, pemilik dari segala rindu dan kasih sayangku yang satu.
Lagi lagi ini masih tentang kamu, tuan merah jambuku.
Wujud nyata dari beribu doa yang ku pinta sejak dulu.
Bentuk bahagia yang satu.
Hari ini aku bersama sepi.
Karena memori memaksaku untuk berdiam diri mengingat segala memoar tentang kamu.
Ketika tawa dan haru kita berintegrasi jadi satu saat cinta datang bertamu dan tatapan malu malu sering kali menciptakan sepi panjang yang canggung.
Lagi lagi aku bicara tentang kamu.
Karena ternyata panah cinta terlalu tertanam dalam saat itu.
Dan mencabutnya pun terlalu penuh haru.
Sakit. Karena darah kasat mata mengalir tanpa mengerti arti habis.
Hari ini,
Setelah kata melupakanmu sudah bisa terealisasi.
Memori itu datang lagi.
Memori membuatku mengecap rasa rindu.
Rindu yang sering membuat lidahku kelu.
Ah, ternyata hari ini rinduku masih saja berkonstelasi berwujud kamu.