HUJAN BULAN JUNI Review

“Love is walking in the rain together”

 

 

 

Previously on My Dirt Sheet:

Writer: “Oke ehem.. jadi, ini adalah film tentang seorang pengemudi bus yang menulis puisi..”
Studio: (tanpa mengangkat kepala, pura-pura baca sinopsis padahal lagi ngeliatin foto ibu guru si Amel di hp) “Terus? Terus? Ntar bomnya di mana?”
Writer: “anu.. enggak ada bom.. dia cuma nulis puisi.”
Studio: “Enggak ada bom? Teroris ada? Kebut-kebutan di jalan harus ada sih ya, biar seru.” (sinopsisnya sekarang dijadiin kipas, maklum gerah mau ujan)
Writer: “umm..bisnya ntar sempat rusak sih sekali.. electrical problem gitu..”
Studio: “Bisnya enggak bisa jalan-jalan ke luar negeri dong? Cinta segitiganya mana? Vampirnya?”
Writer: “e..e..enggak ada”
Studio: (ngobrol di telepon)
Writer: “gimana he, Pak?… Pak?”

 

Di atas barusan adalah kutipan dialog yang kutulis Februari silam di halaman ulasan Paterson (2016), sebuah film puisi yang begitu mengena walaupun digarap dan bercerita dengan teramat sederhana, sehingga membuat aku takjub membayangkan usaha keras yang punya ide untuk menjadikannya sebuah film. Karena bikin film itu sudah susah sejak dari tahap meyakinkan yang punya dana bahwa cerita kita menjual. Studio, produser, atau PH  pengen jaminan duit kembali; yang biasanya berupa cerita yang sudah laris sebagai novel, apalagi kalo cerita dengan tema cinta yang bisa bikin baper. Hujan Bulan Juni berawal dari puisi, yang kemudian dipindah duniakan menjadi novel dan banyak lagi sebelum akhirnya, berdasarkan novelnya, mengambil wujud sebuah film yang sedang kita bicarakan sekarang.

Hujan Bulan Juni adalah kelanjutan dari apa yang terjadi kalo penulis Paterson mengalah kepada studio dan membiarkan ceritanya dirombak susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan aspek-aspek yang ditujukan demi menjadi ngepop.

 

Sepasang dosen UI yang sedang saling cinta. Pingkan yang dosen sastra Jepang dengan Sarwono yang asli Solo mengajar di Antropologi. Informasi ini dengan cepat melandaskan kepada penonton bahwa jarak akan dengan gampang menjadi musuh mereka. Pingkan hendak distudikan ke Jepang selama dua tahun, sedangkan Sarwono jelas harus bepergian di dalam ruang batas wilayah Indonesia. Menjelang waktu keberangkatan Pingkan, misalnya, Sarwono ditugaskan ke Manado. Pingkan yang berkampung halaman di Manado dibawa serta, “Aku butuh guide. Setiap saat aku butuh kamu.” Tampaknya bukan jarak saja yang menguji coba cinta mereka; kedekatan Pingkan dengan sepupu angkatnya, keakraban Pingkan dengan sejawat dari Jepang, perjodohan, beda kepercayaan, dan rasa percaya itu sendiri. Pingkan bukan tak menyadari. Cinta adalah usaha. Sebuah misi. Dan ini adalah tentang siapa yang berusaha di dalam cinta.

Sarwono, Katsuo, Solo, Manado, karena puisi ada rima maka nama Pingkan mestilah Pingkan Mambo!

 

Sosok penyair yang sudah menulis puisi dan novel Hujan Bulan Juni yang udah sukses bikin baper banyak orang dapat kita saksikan dalam film ini. Sapardi Djoko Damano kebagian peran singkat sebagai ayah dari Sarwono. Dan aku enggak tahu seberapa besar peran beliau di dalam pembuatan film ini, apakah hanya sebagai cameo atau punya andil yang lebih besar lagi. Karena to be honest, aku berulang kali mengucek mata saat menonton. Mengucek bukan karena ngantuk bosen, tetapi mengucek karena aku tidak percaya pada apa yang kulihat. Dan kuharap dugaanku benar bahwa penulis puisinya tidak banyak campur tangan. Ada begitu banyak pilihan yang diambil oleh film, yang membuat keseluruhan presentasinya terasa disulam tambal oleh aspek-aspek yang enggak bekerja dengan baik dalam konteks memfilmkan puisi.

Bait-bait puisi kerap muncul di layar, disuarakan oleh para tokoh. Bayangkan seperti voice over narasi, namun yang ini berupa bacaan puisi. Bukanlah seberapa indah kata, melainkan seberapa besar kata tersebut menyampaikan rasa. Masalah film ini datang ketika ia memindahwacanakan bahasa kata-kata itu ke dalam bahasa gambar. Kutekankan sekali lagi, ini bukan masalah source materialnya. Puisi Sapardi bergaung lantang oleh kata-kata yang mencerminkan rasanya. Namun saat menjadi film, puisi dan segala keadaan diolah TERLALU CATERING KE BIKIN PENONTON BAPER – tanpa benar-benar memikirkan apakah sudah diset-up, apakah worked atau enggak. Misalnya kalimat “Apa angin sudah sampai ke situ, tadi aku titip salam buat kamu ke dia” yang dikirim Sarwono lewat pesan Whatsapp. Kalimat tersebut puitis dan bekerja baik jika dituliskan di buku, dikirimkan secara tidak langsung, dan si Pingkan baru membacanya ketika dia merasa sangat rindu. Namun ketika Sarwono ngeWA, bilang langsung, kontan itu adalah pesan paling gombal yang pernah dikirimkan oleh seseorang lewat hape. Kesan puitisnya berkurang drastis sebab, hey Whatsapp itu practically langsung bicara ke orang, kita bisa bilang rindu tanpa muter-muter bragging bilang nitip salam ke angin.

Dosen-dosen itu bicara bahasa puisi, tetapi most of the time ketika lagi dua-duaan, mereka terutama  Pingkan terdengar kayak remaja yang lagi pacaran. Mungkin memang benar cewek kalo lagi bareng orang yang dicinta akan bertingkah seperti anak kecil, dan film sering menampilkan seperti itu sehingga aku sering lupa sedang menonton orang dewasa. Velove Vexia memainkan peran yang cenderung gampang buat dirinya, she hits the notes just perfectly. Adipati Dolken sekali lagi bermain sebagai karakter yang bisa dikatakan cenderung posesif. Sarwono digambarkan sebagai tokoh yang kelewat insecure. Kerjaannya cemburu, malah ketika Pingkan lagi nari pesta sama keluarga, si Sarwono ngeliat cemburu sampe menimbulkan efek trippy di kamera hhihihi… Dolken di sini seharusnya jadi orang Jawa, but he’s not really good at it. Dan ketika membacakan dialog-dialog panjang yang subtil, ataupun dengar ketika dia berpuisi, dia melafalkannya dengan kayak orang lagi ngafal teks banget. Aku enggak bisa melihat Sarwono sebagai seorang penyair. Buatku, departemen akting diselamatkan oleh Baim Wong yang berperan sebagai sepupu angkat Pingkan. Wong sangat underrated di Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017), dan kali ini pun dia mencuri perhatian. Dia menghidupkan dinamika antara Sarwono dan Pingkan.

Sudah semestinya Sarwono cemburu, spotlightnya direbut oleh Benny

 

Puisi menggambarkan lewat kata-kata, sementara film menggambarkan lewat visual. Sinematografi bekerja dengan baik, shotnya cantik-cantik. Aku suka terutama di adegan-adegan surreal mimpi Pingkan. Malahan, menurutku film bisa menjadi lebih asyik dinikmati jika adegan-adegan surreal mendominasi film. Like,  just drop the whole road trip element, dan tampilkan saja perbincangan dengan suasana aneh. Alih-alih dari itu, kita dapatkan banyak pilihan gajelas dalam bercerita. Di awal mereka nyewa dua kamar hotel, kemudian di pertengahan mereka nyewa hotel satu kamar – ini adalah bentuk keinkonsistensian yang tak terjelaskan yang dapat kita temui. Wide shots kebanyakan difungsi sebagai papan iklan sponsor. Ada satu shot yang membuatku bingung, yaitu ketika di meja makan keluarga Pingkan, mereka makan sambil ngobrol serius tentang hubungan Pingkan, dan tau-tau kamera nyorot tempe. Ada banyak hal gapenting kayak gitu yang terekam, bukan sebatas  visual. Film juga mengajak kita mengikuti perbincangan tentang pembagian jurusan di kampus yang mereka datangi di Manado,  yang ternyata hanya dimainkan untuk komedi. Yeah, apa banget.

Sesungguhnya mengenai kenapa mesti Jepang, aku juga sempat bingung. Masa iya sih karena Japanesse dan Javanesse itu cuma beda satu huruf? Apa mungkin film ingin mempertemukan puisi dengan haiku? Di sepuluh menit pertama Jepang begitu dijejelin kepada kita, namun film berubah menjadi cerita perjalanan dengan tokoh yang cemburu dan cewek yang ramah dan ditaksir banyak orang. Barulah di akhir, Jepang kembali lagi. Actually, Jepang penting lantaran film banyak menggunakan analogi sakura dan samurai untuk menggambarkan perjalanan inner Pingkan dan Sarwono.

Ini bisa menjawab puisi Hujan Bulan Juni: Jika seseorang bisa membuat dirinya terperangkap, maka dia pasti bisa membebaskan diri sendiri. Kau yang memulai, dan benar, kaulah yang mengakhiri. Dan setelahnya usai, akan ada pelangi di sana. Hujan di bulan Juni biasanya tidak pernah ada, dan ini adalah metafora yang pas mengenai apa yang terjadi kepada Pingkan dan Sarwono.

 

Dalam denyut nadinya, film mengangkat tentang permasalahan beda agama yang membayangi relationship Pingkan dan Sarwono. Dan seperti Pingkan yang tidak menjawab pertanyaan Ben tentang anak mereka nanti ikut siapa, film ini juga tidak memberikan jawaban terhadap polemik yang diangkatnya. Film dalam kepentingannya membuat penonton baper memilih jawaban termudah yang pernah diambil oleh film-film. Aku gak akan bilang, tapi kalian pasti punya dugaan, dan setelah menonton sendiri, kalian juga pasti akan kecewa.

Actually, kita bisa bikin teori lengkap mengenai kapan tepatnya timeline kejadian di film ini berlangsung. Para tokoh berkomunikasi dengan whatsapp, mereka sudah kenal selfie, penyair puisi dilabeli jadul, semuanya mengisyaratkan kejadian berset di Juni somewhat recent. Tapi seberapa recent? Sarwono sempat mengatakan mereka duduk makan seperti di bulan Ramadhan, yang berarti Juni itu mereka belum puasa. Jadi kemungkinan enggak jauh-jauh amat di belakang tahun 2017. Namun yang bikin mindblown adalah tahun yang tertera di buku puisi Sarwono adalah 1991. Puisi tak lekang waktu, dan Sarwono mengatakan pusinya ada di dunia sendiri. Mungkin film ini memang bertempat di universe yang surreal dari sudut pandang ingatan Pingkan. Atau yang lebih likely; sekali lagi film menggunakan perkataan Sarwono tadi sebagai jawaban termudah.

 

 

 

Menonton ini diniatkan sebagai pengalaman membaca puisi dalam sebuah buku dengan gambar yang bergerak. Tetapi film terlalu mengorkestrasi keadaan. Menafsirkan puisi dengan lingkupan dan cara yang cheesy, dan beserta pretty much good things about this movie dibuat jadi latar belakang sebuah roman yang sudah acap kita lihat. Mengambil banyak pilihan untuk humor dan baper, sebagai langkah menjawab permintaan pasar. Aku bisa lihat film ini akan menemukan tak sedikit penggemar yang tidak akan mempedulikan sejumlah kekurangan pada penceritaannya. Dan lantaran ini dari puisi Sapardi, khalayak sastra akan bisa jadi bias melihat atau menyingkapinya. Apalagi ini adalah kali pertama sastra puisi nongol di ranah mainstream kekinian, which is a good thing buat perkembangan kesusastraan. Tapi puisi ya puisi, film ya film. Film ini bukan dibuat oleh Sapardi, dan filmnya jelek enggak seketika berarti sastranya juga jelek.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HUJAN BULAN JUNI.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Pikiran Keluyuran


Di langit ada ikan
Sisiknya terang
Siang renang renang berputar haluan
Malam dilemparkannya bintang!
Pecah berkeping kena bibirku

Pernahkah kalian melihat air mata duyung?
Tangis sesungguhnya tiada suara
Dan pernahkah kalian mendengar duyung bernyanyi?
Ia ajari aku bertahan
Hingga perahu selesai menyeberang

Di langit ada ikan
Sisiknya basah
Terang masih, biarlah
pikiranku saja bersamanya
Keluyuran.


 

Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu


Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
Dulu, di kamusku tak masalah jika 4 kata tersebut berada dalam 1 kalimat.
Ketika orang merutuki 3 kata pertama, aku tetap baik baik saja, karena aku tahu akan selalu ada kata yang terakhir itu.
Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu.
3 kata pertama adalah perusak bahagia yang utama.
Tapi, aku selalu memiliki kata yang paling akhir.
Yang malah menjadi sumber bahagia termutakhir.

Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu.
Kini aku turut memaki keempat kata itu.


 

 

 

 

As seen on https://thedeepeyes.wordpress.com/cropped-beautiful-girl-drawing-eyes1

r(u)mah


Sayangku, aku menulis ini di bawah kendali rindu yang teramat,
dalam paksaan malam yang pekat dan bayanganmu yang kulihat lamat lamat.

Kucoba untuk merangkai sesak, dalam untaian abjad yang nantinya bisa kau baca.
Agar kau mengerti rasa dan rinduku yang tanpa batasan.

Masih jelas terasa sisa kecupmu berbulan bulan silam dan
hangat dekap yang kau berikan.
Saat kau merentang tangan untukku yang butuh ketenangan.

Karena dalam rengkuhmu kutahu, aku sudah pulang.
Karena kamu adalah rumah.
Tempat kembaliku saat lelah,
tak peduli seberapa jauh aku sudah melangkah.
Kembali padamu, bukan sebatas singgah.

Rumahku yang menenangkan,
kutulis ini untukmu, agar kau memahami hangatmu adalah hal yang selalu ingin kurasa.
Kamulah sesatunya rumah yang kuharap.
Tujuan akhir dari setiap perjalanan.
Tempatku melabuhkan segala resah.
Meski kini kita hanya mampu mendekap jarak.
Kuharap akan selalu aku yang menjadi hangat dan udara yang kau hirup dalam dalam.
Karena kamu, pemilik dari segala rindu dan kasih sayangku yang satu.

Karena kamu, rumahku.


 

 

 

 

As seen on https://thedeepeyes.wordpress.com/cropped-beautiful-girl-drawing-eyes1

Konstelasi Rindu


Lagi lagi ini masih tentang kamu, tuan merah jambuku.
Wujud nyata dari beribu doa yang ku pinta sejak dulu.

Bentuk bahagia yang satu.
Hari ini aku bersama sepi.

Karena memori memaksaku untuk berdiam diri mengingat segala memoar tentang kamu.

Ketika tawa dan haru kita berintegrasi jadi satu saat cinta datang bertamu dan tatapan malu malu sering kali menciptakan sepi panjang yang canggung.
Lagi lagi aku bicara tentang kamu.

Karena ternyata panah cinta terlalu tertanam dalam saat itu.

Dan mencabutnya pun terlalu penuh haru.

Sakit. Karena darah kasat mata mengalir tanpa mengerti arti habis.
Hari ini,

Setelah kata melupakanmu sudah bisa terealisasi.

Memori itu datang lagi.

Memori membuatku mengecap rasa rindu.

Rindu yang sering membuat lidahku kelu.

Ah, ternyata hari ini rinduku masih saja berkonstelasi berwujud kamu.

Dan aku, hanya mampu tersenyum kaku.


 

 

 

As seen on thedeepeyes.wordpress.comcropped-beautiful-girl-drawing-eyes1

Jumat Pagi yang Basah


Aku masih rindu
Pada percakapan dan tawa tawa yang tak jelas, serta

Pada khayalan kita yang tak berbatas.

Jumat pagi yang basah,

membuat rinduku makin resah.

Menuntut temu yang tak mungkin, dipaksa pasrah.
Jumat pagi yang basah,

dingin merambat pelan, dalam hatiku yang belum ikhlas.

Hati dan raga ini butuh dekapan.

Untuk meredam dingin dan rindu yang tak berkesudahan.
Jumat pagi yang basah.

Rindu yang resah.

Dan aku yang dipaksa pasrah,

mataku… kembali basah.

(Jakarta, 27 Januari 2017 – Saat hujan dan rindu sedang sama derasnya)


 

 

 

As seen on https://thedeepeyes.wordpress.com/cropped-beautiful-girl-drawing-eyes1

PATERSON Review

“Repeat daily: Today I’m thankful”

 

patersonposter_1200_1788_81_s

 

Tidak ada yang extraordinary dari kehidupan Paterson. Dia tinggal di rumah sederhana bersama istrinya yang cantik. Rutinitas hidupnya biasa saja. Paterson bangun pagi, sarapan, berjalan kaki ke tempat kerjanya, yaitu garase besar tempat bis kota sudah siap menunggu dikemudikan olehnya. Sorenya Paterson pulang, betulin kotak surat yang miring di depan rumah, ngobrol dengan istrinya. Malam hari dia membawa anjing piaraan mereka jalan-jalan. Paterson nyempetin minum di bar. Ngobrol dengan bartender. Dan pulang untuk tidur. Begitu terus setiap hari dengan kegiatan yang sama. Paterson adalah orang biasa dengan kerjaan yang biasa. Namun di samping kerjaan yang memang harus dilakukan for living, sesungguhnya orang-orang punya ‘kerjaan’ lain. Entah itu ikutan turnamen catur, belajar lagu country, atau dalam kasus Paterson; menulis puisi. Dalam perjalanan ke maupun dari tempat kerja, Paterson merangkai kata di dalam benaknya. Kata-kata yang untuk kemudian dia tuliskan ke dalam buku catatan, karena Paterson sesungguhnya juga adalah seorang penulis puisi.

Segala KE-‘BIASA’-AN tersebutlah yang justru membuat film ini jadi LUAR BIASA. Maksudku, it was really surprising gimana cerita kehidupan where there’s nothing to it seperti ini bisa lulus sebagai film. Aku enggak kebayang loh gimana susahnya penulis merangkap sutradara Jim Jarmusch memperjuangkan film ini. Aku sedari taun lalu ke mana-mana pitching cerita tentang kompor yang berbicara dan sampe sekarang masih ditanggepin dengan eye-rolling. I mean, cerita aneh aja gak ada jaminan bisa nemu jodoh. And now we have ordinary story with nothing happened. Gimana ngepitchnya coba?

Writer: “Oke ehem.. jadi, ini adalah film tentang seorang pengemudi bus yang menulis puisi..”
Studio: (tanpa mengangkat kepala, pura-pura baca sinopsis padahal lagi ngeliatin foto ibu guru si Amel di hp) “Terus? Terus? Ntar bomnya di mana?”
Writer: “anu.. enggak ada bom.. dia cuma nulis puisi.”
Studio: “Enggak ada bom? Teroris ada? Kebut-kebutan di jalan harus ada sih ya, biar seru.” (sinopsisnya sekarang dijadiin kipas, maklum gerah mau ujan)
Writer: “umm..bisnya ntar sempat rusak sih sekali.. electrical problem gitu..”
Studio: “Bisnya enggak bisa jalan-jalan ke luar negeri dong? Cinta segitiganya mana? Vampirnya?”
Writer: “e..e..enggak ada”
Studio: (ngobrol di telepon)
Writer: “gimana he, Pak?… Pak?”

 

We totally harus sangat berterima kasih kepada orang-orang yang berhasil mewujudkan film ini. I love this movie from the beginning to end. It is so relatable. Aku dulu suka nulis notes Pelit gitu di facebook, dan kemudian teman-teman mulai nulisin cerita mereka juga, fb akhirnya seru oleh kami yang saling tag cerita. Aku pengen blog ini juga bisa bikin orang-orang tertarik nulis, jadi aku buka kesempatan buat teman-teman yang mau berkontribusi buat majangin buah pikiran mereka. Sebagaimana film Paterson yang ceritanya sungguh-sungguh menginspirasi.

Film ini adalah PERAYAAN DARI HAL-HAL YANG LUMRAH. Hal-hal biasa, yang dilakukan orang sehari-hari. Memang, tidak ada adegan ‘gede’ di sini, beberapa penonton akan mati kebosanan karena pacing yang lambat dan practically enggak ada yang terjadi. Namun aku secara konstan terus tertarik by just how different this movie is. Strukturnya enggak terasa kayak yang biasa kita lihat di film-film. Elemen ceritanya dengan berani menyorot orang biasa. Pria yang ngendarai bis, dengerin obrolan penumpang, makan siang di taman sambil nulis puisi. Wanita yang punya banyak mimpi tapi dia rela tinggal seharian di rumah, dengan membuat cupcake, berkreasi dengan merias rumah, dan belajar main gitar. Film ini sungguh refreshing oleh kesan nyata, sehari-hari, sembari juga kocak-akrab lewat percakapan-percakapannya.

“no ideas but in things, no ideas but in things.”
“no ideas but in things, no ideas but in things.”

 

Ada banyak observasi mengenai kehidupan dan bagaimana kita memandangnya yang terus disuarakan oleh film ini lewat hal-hal yang diperhatikan oleh Paterson. Dan itulah yang menjauhkan kita dari kebosanan. How real everything felt sungguh sangat mengagumkan. Juga sebenarnya sedikit mengejutkan, karena aku gak expecting film tentang puisi, yang surely bakal penuh oleh simbolisasi kayak Istirahatlah Kata-Kata (2016), malah mempersembahkan dirinya dengan benar-benar ‘biasa’. Kalian tahu, bahkan dalam Personal Literature pun biasanya kentara antara bagian yang nyata dengan bagian yang dilebaykan sesuai kebutuhan.

Emosi dalam film ini mengalun tenang. Sesungguhnya ini adalah cerita yang sangat subtle, termasuk dalam humornya because sometimes aku ngerasa pasangan-pasangan yang sudah menikah tentunya bakal lebih ngena ke humor film yang seputar percakapan rumah tangga. Cek-cok dalam hubungan Paterson dengan istrinya juga dengan digambarkan dengan tersirat. Mereka enggak benar-benar ada masalah, sih. Malahan everything is okay, tapi dari kalemnya Paterson nanggepin passion sang istri yang kerap berubah, atau the way he look at the guitar, atau gimana dia enggak benar-benar looking forward bawa anjing mereka jalan-jalan, kita dapet sedikit hint yang memperkaya layer hubungan tokoh-tokoh tersebut.

Paterson meminta, ah bukan, mendorong kita untuk melihat kehidupan seperti si Paterson melihat hal-hal di sekelilingnya. Paterson membuat puisi dari sekotak korek api. Karena sesungguhnya kekuatan utama seorang penulis bukanlah merangkai kata, melainkan perhatiannya terhadap sekitar. Dia melihat sesuatu untuk dihargai pada setiap benda-benda, pada setiap apapun. In a way, film ini menginspirasi kita untuk memiliki observasi selayaknya para penulis puisi. Tapi enggak necessarily supaya kita bisa nulis puisi. It was more supaya kita bisa melihat keindahan dari keseharian, so we can make something out of it. Mengasah kepekaan supaya ‘puisi-puisi’; dalam hal ini adalah apapun yang kita kerjakan, menjadi lebih berarti.

 

Tidak pernah film ini terasa lead to nothing walaupun ceritanya terbentuk dari seputar kejadian sekitar Paterson yang disekat-sekat oleh pergantian hari. Ketertarikan terhadap apa lagi yang akan Paterson tulis sebagai puisi akan terus bikin kita tersedot. Penggambaran proses kreatif Paterson terasa begitu intim. Kita melihat teks muncul di layar, dengan latar belakang yang sangat menenangkan, dan sementara itu terjadi kita mendengar suara pikiran Paterson. Actually, Paterson sangat menjaga kerahasian puisinya dari orang lain. Bahkan kepada istrinya, dia rada enggan bacain sebelum benar-benar selesai. He’s so reclusive about his poems. Yang juga menarik adalah Paterson enggak mau punya hape karena “It would put me on a leash”, katanya. Penampilan Adam Driver memainkan Paterson akan membuat kita bersyukur orang ini bekerja sebagai aktor. Ini adalah penampilan terbaiknya so far. Adam relentlessly charming dan enggak sekalipun dia terasa out-of sync dengan karakternya. Menjelang akhir film ada adegan menakjubkan dengan seorang pria di kursi taman yang just change the whole movie for me.

Sejak istrinya menceritakan mimpi tentang punya anak kembar, Paterson jadi terus-terusan melihat orang kembar setiap hari. Duality lantas menjadi tema berulang yang jadi kunci pada film ini. There are so much ‘twins’ in this movie. Nama Paterson yang sama ama nama kota ia tinggal, sama ama nama puisi dari pengarang yang ia idolakan; William Carlos Williams, heck bahkan Adam Driver di sini diplot sebagai bus driver.

kalo di Indonesiain, Paterson ini jadi orang Sunda nih, namanya Paterson Mulpaterson
kalo di Indonesiain, Paterson jadi orang Sunda nih, namanya Paterson Supaterson

At one time, Paterson bertemu gadis cilik yang juga menulis puisi, punya ‘secret notebook’ seperti dirinya, and that little girl actually punya sodara kembar. Menilik dari keengganan Paterson untuk membuat salinan dari buku catatan puisinya, plot Paterson adalah dia akan belajar bahwa sesuatu yang kembar atau mirip, tidak mesti sama. Belum tentu selalu sama. Kayak bidak catur; ada hitam ada putih. Kayak lirik lagu rap yang juga punya wisdom, yang bersajak mirip-mirip syair. Kayak pistol mainan dan pistol beneran yang perbedaannya adalah nyawa seseorang. I think film ini menyuruh kita untuk embrace hidup, di mana kita ngelakuin hal yang sama setiap hari, karena kitalah yang membuat setiap hari menjadi pengalaman yang berbeda. Setiap hari adalah lembaran baru untuk kita ‘tulisin’.

Serupa tapi tak sama. Semua tergantung persepsi kita.

 

 

 

I love how real it all felt. Aku suka performancesnya. Aku suka arahan film yang berani. I just love the fact film kayak gini sukses dibuat. Sungguh berbeda dari apa yang kita tonton sebelumnya. Para penggemar puisi juga bakal suka sama film ini, bagiku juga apa yang disajakkan terasa unconventional. Menontonnya kita akan diajak berkontemplasi lewat naturenya yang filosofis. Wise and inspiring. Sukuri hal hal yang terjadi di hidupmu. Namun jika mencari adegan-adegan aksi heboh, louds and bang ala superhero, kita tidak akan menemukannya di sini. Meski begitu, kata siapa yang normal-normal enggak bisa dijadiin film yang menarik.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 for PATERSON.

 

 

 

That’s all we have for now.

Kami sekarang punya segmen khusus kategori Poems, loh. Bagi yang suka puisi-puisi ataupun bentuk sajak dan syair lain silahkan mampir baca-baca. Just search for the category di bagian atas halaman. New entry bakal turun cetak di hari Jumat #JumatPuisi 😀 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Pesan Untuk Hati yang sedang Patah

img_9583-1

 

Kapan kau akan lupa?

Kapan kau akan siap menghapus air mata?

Kapan kau akan mampu menjalani hari seperti biasa?

Kapan kau percaya bahwa kau akan baik baik saja?

Kapan kau yakin kalau semua ada hikmahnya?

Kapan kau paham bahwa semua suka dan duka sifatnya sementara?

Karena bahagia tak selalu tentang dia.
Waktu tak akan pernah berhenti.

Hari akan selalu berganti.

Tinggal bagaimana caramu menghadapi, perasaanmu yang berduka sendiri.
Kau bisa memilih untuk kuat atau terkoyak,

atau bahkan mati sesak.

Tapi waktu tak pernah berhenti biarpun sejenak.

Tak akan menunggumu yang sedang retak.
Jadi, kapan kau akan yakin dan percaya bahwa bahagia tak selalu tentang dia?

Jakarta, 29 Januari – 2.48 dini hari (sedang berusaha menyadari, bahwa memang lebih baik sendiri)

 

 

 

As seen on https://thedeepeyes.wordpress.com/2017/01/29/pesan-untuk-hati-yang-sedang-patah/cropped-beautiful-girl-drawing-eyes1

Aku Suka…..



Aku suka aroma kulitmu.

Dari pipi sampai kaki.

Aku suka aroma sehabis kau mandi.

Bahkan setelah kau lelah berlari.
Aku suka mencium rambutmu, pipi, mata, hidung, hingga bibirmu.

Aku suka mencium punggungmu, tengkuk lehermu, hingga bawah lenganmu.

Aku suka menciummu berkali kali, tak mau berhenti.

Menyesap dalam-dalam aroma kulitmu yang tak habis-habis.
Kau bilang, cara aku menciummu berbeda.

Tak berbunyi, tanpa suara.

Karena ciumku yang sunyi, adalah aku yang sedang menikmati aromamu yang bertahan disana.
Aku rindu aroma kulitmu yang selalu wangi.

Aku rindu menciummu berkali kali, tanpa henti.

Aku rindu menikmati kedua hal itu, malam ini.
Untuk kamu,

semesta kenyamanan bagi indera penciumanku.



 

 

As seen on https://thedeepeyes.wordpress.com/2017/01/26/aku-suka/cropped-beautiful-girl-drawing-eyes1