DEVIL’S WHISPER Review

“I hear voices in my head, they council me, they understand. They talk to me.”

 

 

Alex sudah hampir pasti menjadi pastor sejati, jikasaja dia tidak mendengar bisik-bisik itu. Suara setan yang disebutkan sebagai judul film ini, menariknya, enggak mesti benar-benar berasal dari makhluk mengerikan.

“Kamu yakin kamu mau jadi Pastor?”  sobat cewek – yang kemudian menjadi love interest – menggoda iman Alex saat mereka lagi berduaan. Bahkan seorang Romo yang menjadi semacam mentor dan tempat Pengakuan bagi Alex di gereja pun, terang-terangan meminta cowok lima-belas tahun tersebut untuk menikmati ‘dunia’ dahulu selagi bisa, sebelum dia resmi berkiprah di jalan agama. Di waktu yang bersamaan, Alex menemukan kotak aneh dari dalam lemari peninggalan nenek. Alex dan ayahnya yang penasaran akan sesuatu yang ‘glutak-glutuk’ di dalamnya, membuka paksa kotak tersebut. Oke, mereka kudu menghancurkan kotak. Namun bukan hanya salib milik mendiang kakek yang terbebas ketika kotak terbuka. Ada sesuatu yang mengerikan yang nempel di salib, yang terus merundung Alex yang menjadi sangat terikat oleh salib tersebut. Memberondong pikiran remaja polos ini dengan bisikan dan pikiran negatif. Membuatnya melihat penampakan yang tidak terlihat oleh orang lain. Mengubah Alex menjadi seorang yang sama sekali berbeda. Dan ultimately, korban berjatuhan tanpa bisa ditahan oleh Alex.

Kalo kata iklan deterjen di tivi, “Berani kotor itu baik”

 

Kita hidup di masyarakat yang lebih mudah menyukai seorang pendosa yang insaf ketimbang seorang alim seumur-umur. Devil’s Whisper mengangkat perspektif yang menarik yang mungkin belum pernah ada yang berani mengeksplorasinya, apalagi hari gini. Seorang anak muda yang pengen jadi pemuka agama. Topik orang yang taat beragama cenderung dihindari, konotasinya adalah berpandangan sempit, kaku, dan sama sekali enggak fun. Film ini enggak peduli. Dia enggak takut untuk menunjukkan agama masih mampu untuk melawan kejahatan. Film pun enggak membuat tokohnya sebagai orang yang, katakanlah, cupu dan terkucilkan. Alex punya teman-teman dekat, dia cukup populer untuk punya pacar. Alex adalah anak baik, yang oleh sosialnya dikhawatirkan ‘terlalu’ baik. Tokoh Alex ini  disandingkan dengan tokoh Romo Cutler, yang berperan layaknya pembimbing. Cutler sudah melihat cukup banyak, dia tahu mana yang baik dan buruk, dan dia percaya kepada Alex, so much, sehingga dia pada dasarnya menyuruh Alex untuk melakukan apa yang ia tahu mestinya Alex lakukan sebagai remaja.

Kita harus pernah melakukan kesalahan, karena tanpa pernah  berbuat salah kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya menghargai kebenaran.

 

Devil’s Whisper fitrahnya adalah sebuah horor yang MENGEDEPANKAN KETAKUTAN PSIKOLOGIS, makanya horor film ini terasa bekerja lebih baik ketika kita melihat Alex berdiam, pikirannya berlomba, dan kemudian meledak. I’m a sucker for this genre, dan aku memang menemukan ada lapisan ketakutan personal yang menguar kuat dari tokoh utama. Narasi juga punya lapisan subtil menyangkut masa lalu yang menjadi mengakar menjadi trauma bagi Alex. Film tidak pernah menjelaskan dengan terlalu gamblang soal ini, namun membiarkan kita menerawang atas apakah ada hubungan langsung antara perubahan pribadi Alex dengan bertepatannya timing dia dilantik dengan dia memungut salib bekas kakeknya. Kalung salib tersebut jelas adalah pemantik trauma yang tak bisa (atau menurut psikiater Luna Maya, tak mau) diingat oleh Alex. Aku lebih suka jika film tetap pada jalur psikologis, seperti pada adegan pesta di kolam, Alex yang enggak ikutan berenang bersama teman-temannya terbakar api cemburu demi ngeliat teman-temannya saling bersentuhan, bermain di kolam. Di mata Alex, dia ditertawakan, dan kita melihat Alex dengan marah nyebur ke kolam. Menurutku, film dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mengerikan dan dalem jika kita melihat Alex melawan setan yakni dirinya sendiri alih-alih dia seperti dirasuki oleh makhluk halus.

Sesungguhnya horor seperti ini enggak butuh potongan anggota tubuh, atau mayat sekalipun. Kematian sadis tidak menjadi soal di sini. Hanya ada satu kali penampakan mayat yang benar-benar berarti, yaitu di sebuah sekuen involving Father Cutler dan momok masa lalunya. Devil’s Whisper pada intinya adalah tentang trauma masa lalu yang muncul ke permukaan, yang dijahit bersama perasaan insecure seseorang (untuk sebagian besar adalah anak muda) yang timbul dari pilihan hidupnya. Ketika film mulai membahas ke arah supernatural, cerita yang sudah dibangun menjadi kurang meyakinkan. Aku enggak mengerti kenapa dan apa pentingnya tiga orang teman Alex dibuat mati dengan cara yang ‘kecelakaan yang aneh’ secara bersamaan. I mean, thriller psikologis mestinya bisa lebih kuat tersampaikan jika cerita dibuat mendua; apakah Alex yang membunuh mereka. Penggunaan CGI yang acapkali tampak kasar juga tidak membantu. Sosok goib yang membayangi Alex mestinya bisa tampil lebih meyakinkan dalam wujud efek praktikal, atau malah enggak perlu diliatin wujudnya sama sekali.

adik cewek itu basically memang iblis

 

Tampil dengan iming-iming ‘horor sekelas Hollywood’ tampaknya lebih menjadi beban daripada menguntungkan. Sebab produk akhir horor produksi kolaborasi rumah produksi MD Pictures dengan Vega Baby, perusahaan hiburan asal Amerika, tidak semengesankan yang mereka harapkan. Malahan, secara produksi, film tampak seperti karya amatiran. Bukan hanya CGInya yang seperti tempelan, audio, adegan, dan bahkan penampilan para tokoh juga banyak yang enggak masuk dengan tone penceritaan. Editingnya terlihat kasar dan mentah sehingga kita menjumpai detil adegan seperti noda lemparan lumpur dari teman Alex di jendela yang menghilang tak terjelaskan di adegan berikutnya. Ini adalah salah satu contoh film yang punya visi kamera yang baik namun dimentahkan oleh arahan yang konvensional.

Film terlihat berusaha keras untuk menjadi mainstream. Digunakanlah taktik jumpscare, meski sesungguhnya taktik tersebut tidak benar-benar diperlukan dalam konteks cerita dan genre ini. Turut dipakai pula musik-musik yang sekiranya cocok dengan telinga anak muda kekinian. The problem is, karakter film ini tidak pernah benar-benar menjelma menjadi pribadi yang mudah direlasikan oleh anak muda.  Ketika dia menunjukkan sifat dan tabiat yang ‘normal’ untuk standar remaja, karakternya sudah dibuat begitu messed up, wajahnya pucet, matanya nanar, rambutnya mencuat di sana-sini. Luca Oriel yang jadi Alex sangat piawai beradegan muntah, dan hanya itulah yang bisa aku bilang dari penampilannya di sini. Emosi Alex tidak pernah tampak genuine. Mode anak baiknya adalah ekspresi berbinar dan penampilan seramnya berupa memandang kosong dengan dagu rapat ke leher. Tokoh ini berakting sesuai arahan dan that’s just about it. Dialog-dialog ditulis dengan sama standarnya, kalo gak mau dibilang dangkal

Kita punya peraturan dan agama masing-masing. Kita beriman kepadanya supaya kita merasa aman. Tapi ketika peraturan tersebut mulai terlanggar, kita mulai mempertanyakan kepercayaan kita. Suara-suara yang didengar Alex adalah suara pendosa yang mempertanyakan semua itu. “Tuhan pembohong!” cecar suara itu. Padahal itu sebenarnya adalah suara yang sama dengan yang tadinya memantapkan Alex menjadi pendeta.

 

 

Tontonan horor dengan tema religi yang kental yang terhambat oleh bisikan-bisikan yang menyarankan dirinya tampil mainstream dan enggak benar-benar memilih jalur yang revolusioner. Mencoba untuk menggali horor lewat jalur psikologis, namun tetep masih bertumpu pada jumpscare, sekuens kematian yang terlalu dilebihkan, dan personifikasi hantu dengen efek komputer yang masih kasar. Film ini hampir menjadi benar, hanya saja tak mampu (atau mungkin tak mau) untuk melebihi pakem ataupun trope-tropenya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DEVIL’S WHISPER.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

PENGABDI SETAN Review

“One man’s cult is another man’s religion.”

 

 

Orang yang hidup sebenarnya lebih berbahaya dari orang yang sudah mati. Terutama orang hidup yang enggak beriman kepada Tuhan. Dalam bahasa film ini; yang enggak sholat. Orang hidup dapat actually mencelakai kita. Dan pas mereka mati, orang-orang kayak gini akan bangun lagi, dan jadi hantu. Lagi-lagi menganggumu.

 

Pengabdi Setan (1980) hakikatnya adalah cerita kemenangan iman atas keingkaran. Tentang sebuah keluarga yang begitu gampangnya disusupi kekuatan hitam, diganggu, dan pada akhirnya dicelakai lantaran mereka memilih untuk berlindung kepada yang salah. Versi remakenya ini, however, masih mengeksplorasi aspek yang sama. Hanya saja kali ini digarap menggunakan teknik bercerita yang relevan dengan mainstream appeal jaman sekarang. Dan film ini sukses melakukan itu. Narasinya semakin diperluas, stake dan misterinya juga ditingkatkan.

Keluarga yang kita ikuti kali ini adalah keluarga dengan empat orang anak. Mereka ‘mengungsi’ ke rumah nenek karena rumah mereka digadai. It’s 1980s dan karir nyanyi Ibu mereka sudah meredup. Ibu sudah tiga tahun sakit parah sebelum akhirnya meninggal dengan misterius. Pasca kematian Ibu, Bapak berangkat ke kota untuk mencari penghasilan. Meninggalkan Rini, Tony, Bondi, dan Ian di rumah Nenek. Namun apa yang seharusnya anak-anak menunggu Bapak pulang, berubah menjadi mengerikan. Tanpa ada yang nunggu, Ibu mereka yang tadi baru dikubur mendadak pulang. Menebar ketakutan di tengah Rini dan adik-adiknya. Salah satu dari mereka akan diajak ke alam baka, dan Rini harus figure out siapa, kenapa, dan apa yang sebenarnya terjadi yang berkaitan dengan masa lalu orangtua mereka.

Atmosfer mencekam sedari awal sudah terestablish. Di babak awal, kita diperlihatkan kehidupan keluarga ini ketika Ibu masih hidup seadanya. Hanya bisa berbaring di tempat tidur. Ini adalah elemen yang tidak kita temukan di film orisinalnya. Kita tidak tahu seperti apa hubungan para tokoh dengan Ibu yang mayatnya sedang dikuburkan begitu film dimulai. Pengabdi Setan modern, memberi kita kesempatan untuk melihat seperti apa Ibu di mata masing-masing anaknya. At least, seperti apa Ibu saat sakit keras. And it was very interesting, kita ngeliat mereka takut kepada Ibu kandung mereka sendiri. Mereka sayang, peduli, dan ingin Ibu sembuh, namun di saat yang sama mereka tampak enggan untuk berlama-lama di kamar dengan Ibu berdua saja. Sakit Ibu yang misterius membuat sosoknya menjadi semakin menyeramkan. Bahkan Bondi terang-terangan mengungkapkan ketakutannya. Misteri ini juga langsung berpengaruh kepada kita, ada apa sebenarnya dengan si Ibu yang lagu hitsnya punya lirik bikin merinding itu.

I’m gonna make sure malam ini tidak akan sunyi

 

The whole deal soal menjadi abdi setan mendapat eksplorasi yang lebih dalam. Motivasi akan dibeberkan kepada kita, but just enough. Film ini masih menyisakan misteri yang membuat kita berpikir ke mana arah cerita dibawa. Ada beberapa referensi ke film orisinalnya – tokoh maupun pengadeganan – yang diberikan dengan subtil, yang menurutku ada beberapa yang work, ada yang enggak. Dan film ini begitu pede dengan materi yang ia punya, sehingga berani mengambil resiko berupa benturan tone cerita demi mendelivery beberapa referensi ataupun jokes.

Untuk sebuah cerita tentang sekte, film ini termasuk pengikut lantaran dia banyak memakai trope-trope cerita horor yang sudah pakem. Meninggalkan kita dengan rasa yang enggak benar-benar fresh. Rumah di area terpencil, over reliance sama jumpscare – hanya sedikit sekali adegan-adegan subtil seperti hantu nongol di cermin, elemen komunikasi dengan lonceng, sumur, elemen anak kecil yang sulit bicara. Penggemar horor jangan kuatir, penampakan hantu; kostum mayat hidup, pocong, efek dan darah dan sebagainya jelas mengalami peningkatan. Kalo Pengabdi Setan jadul masih bisa bikin kalian ketakutan, maka versi baru ini jelas akan BIKIN KALIAN JEJERITAN.

Desain produksi film ini nomor satu banget. Build up adegan-adegan seram menjadi efektif olehnya. Sinematografinya juga all-out, teknik-teknik kayak wide shot dengan kamera melengok ke kanan dan kiri, Dutch Angle untuk memperkuat kebingungan dan kengerian secara psikis, close up shot, bahkan quick cut ala Edgar Wright juga digunakan untuk mengantarkan kepada kita pengalaman visual yang bikin kita penasaran-tapi-gak-berani-melototin-layar-berlama-lama. Musik dan suara dirancang untuk benar-benar menggelitik saraf takut. Most of them are loud, jadi buat yang demen dikagetin bakalan have a scary good time nonton ini.

Personally, meskipun digunakan dengan efektif, jumpscare dalam film ini terlalu keseringan. Ngikutin kesan beberapa teknik yang digunakan hanya karena bisa, maka karena aku bisa, aku akan menarik perbandingan antara horor dengan bercinta. Saat kita nonton horor, kita gak ingin cepat-cepat teriak “aaaaaaaaaaahhh!”. Kita ingin ada build up menuju adegan menyeramkan, membangun teriak ketakutan  layaknya fore play. Dan jumpscare berujung ke premature orgasm, hanya akan membuat kita terlepas dari kengerian yang udah kebangun. Untuk kasus film ini, jumpscarenya malah sama dengan fake orgasm. Setiap kali ada setan muncul, penonton di studio ketawa sambil teriak ketakutan, lebih tepatnya ditakut-takutin. It’s annoying. Kesan yang ada adalah mereka teriak setiap kali ada hantu, untuk lucu-lucuan, atau hanya supaya dibilang berpartisipasi – kebawa reaksi video penonton premier Pengabdi Setan yang sempat rame di social media menjelang film ini rilis untuk umum.

what’s more of a sign than sign language?

 

Manusia adalah makhluk yang vulnerable. Selalu butuh untuk mencari tempat perlindungan. Kita cenderung ingin menyandarkan insecurity kepada sesuatu yang lebih gede dari kita, yang bisa kita percaya. Anak akan bersandar kepada orangtua. Orangtua yang beriman akan meneruskan cari perlindungan ke Tuhan. Dan tak sedikit yang terjerumus kepada hal-hal ghoib. Ini menjadi polemik, sebab sekte menurut satu orang adalah agama bagi orang lain.

 

Keluarga Rini tidak dekat dengan Tuhan, sebab Ibu yang menjadi pusat semesta mereka sudah lebih dahulu diam-diam menyandarkan bahu, meminta kepada setan. Journey Rini semestinya sudah jelas. Dia harus memegang kendali membawa keluarganya ke jalan yang benar. Akan tetapi, tidak seperti Pengabdi Setan dahulu yang less-ambitious – film tersebut dibikin hanya untuk menyampaikan baik melawan jahat, Pengabdi Setan versi baru ini terkesan ingin membuktikan bahwa dia bisa melakukan yang lebih baik, makanya dia banyak memakai teknik dan trope-trope film lain. Tak pelak, ini jadi bumerang.  Dalam film ini, not even Ustadz dapat mengalahkan kekuatan setan. Dan ini menihilkan keseluruhan journey dan pembelajaran. Narasi film tidak terasa full-circle. Semakin mendekati akhir, revealing atas apa yang mereka lakukan terdengar semakin konyol. Like, “Tadinya gini, eh ternyata ada diralat.” Terasa seperti film ini bernapsu untuk mengupstage plot poin mereka sendiri dengan twist dan turn yang kelamaan makin gak make sense.

At its worst, film lupa untuk mengikat banyak hal, memberi banyak celah untuk kita nitpick. Editing di bagian kejar-kejar akhir agak off, eye tracingnya membuat kita bingung persepsi dan arah bangunan rumah. Beberapa poin cerita juga tersambung dengan aneh dan goyah banget. Sepanjang bagian tengah dihabiskan Bondi tampil kayak kesurupan; berdiri diam, dia bahkan ngambil pisau, dan tau-tau di akhir, dia menjadi baik saja. Sebelum Bapak pergi ke kota, anak-anaknya mencemaskan gimana kalo nanti ada apa-apa, Bapak bilang apa sih yang bisa terjadi? Beberapa hari kemudian, nenek bunuh diri, dan kita enggak melihat usaha dari Rini ataupun Tony untuk menghubungi ayah mereka. I mean, ibu dari ayah mereka baru saja tiada, alasan apa lagi sih yang ditunggu buat nyari Bapak? Ada adegan ketika mereka nunggu jam duabelas malam, Bapak menyuruh Rini dan Tony tidur duluan pukul setengah sebelas, dia bilang dia masih kuat nungguin bareng Pak Ustadz. Adegan berikutnya yang menampilkan Bapak, jam duabelas teng ketika all hell broke loose, kita melihat beliau bobok di ranjang. Tokoh ini tidak ada determinasi sama sekali. Well, yea, semua tokoh Pengabdi Setan memang ditulis seadanya. Selain Rini, enggak banyak karakter yang dapat development, selain beberapa di antara mereka ternyata punya pengetahuan tentang Ibu, dan beralih fungsi menjadi easy eksposisi.

Karakter terbaik dalam film ini adalah si bungsu Ian (M.Adhiyat mampu menafsirkan arahan dengan baik). Tingkahnya beneran seperti anak-anak, and he was so likeable. Ketika nyawanya terancam di bagian akhir, kita beneran peduli. Tokoh ini juga satu-satunya yang punya plot. Bahkan Rini, tokoh utama, enggak berkembang banyak. Karakternya cuma sebagai si Kakak Tertua. Tara Basro dan kebanyakan pemain sudah cukup kelimpungan oleh penggunaan aksen jadul seperti pemakaian kata ‘kau’, sehingga mungkin memang penulisan karakternya sengaja tipis-tipis saja. Tony adalah anak yang paling deket dengan Ibu, setiap malam dia nyisirin Ibu. Sementara Bondi, well, anak macam apa sih yang nyebut kuburan lengkap banget dengan “areal pekuburan”? I mean, bahkan Lisa Simpson aja enggak sekaku itu ketika dia mengadu ketakutan melihat kuburan dari jendela kamarnya dalam salah satu episode The Simpsons. Bondi adalah anak paling boring sedunia, he only good at screaming like a girl. Dan Hendra, oh boy, anak Pak Ustadz ini has the worst flirting tactic ever. Dia plainly bilang ke Rini dia ngestalk kuburan dan rumah mereka di malam hari, namun dia malah melihat hantu Ibu, dan ujung-ujungnya dia ngajak Rini nginap di rumahnya.

 

 

 

Remake dari horor cult classic Indonesia ini adalah contoh penerapan yang sangat baik dari template horor mainstream James Wan. Bahkan dengan twistnya – yang merupakan upaya untuk menutupi kegaklogisan plot-plot poin – film ini pun tidak pernah terasa benar-benar fresh. Tapi ini adalah horor yang sangat fun dan enjoyable. Design dan teknik produksi kelas atas. Beberapa adegannya akan mudah sekali membuat kita menjerit kaget. Merasa kita ketakutan. Terutama jika kita nonton ini bareng-bareng dan termakan sama strategi viral video reaksi penonton premier.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PENGABDI SETAN.

 



That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.



A GHOST STORY Review

“I wanna be alive. I am alive. Alive, I tell you!”

 

 

A Ghost Story akan membuat banyak orang kesal alih-alih takut, sebab meskipun benar ini adalah cerita yang ada hantunya, film ini juga adalah kisah cinta, kisah tentang kesendirian, kisah tentang penyangkalan, kisah pencarian, dan kisah lompatan waktu sekaligus.

 

Mobil yang dikendarai Casey Affleck tabrakan, dia meninggal dunia. Namun pria tersebut menolak untuk mengakhiri hidupnya. Affleck terbangun di rumah sakit, wujudnya sekarang berbungkus selimut putih dengan dua lingkaran sebagai mata – persis kayak kostum hantu-hantuan yang dipakai anak kecil sewaktu Halloween. Sebagai hantu, Affleck berjalan balik ke rumah, tempat Rooney Mara; istrinya, menghabiskan masa berkabung. A Ghost Story literally adalah cerita hantu, as in cerita seorang hantu, di mana kita akan ngikutin perjalanan eksistensial si hantu Affleck, melewati masa lalu dan masa depan. Kita akan menonton hantu Affleck sejak dia mengobservasi istrinya, hingga mengamati roh nelangsa tersebut berusaha menemukan sesuatu yang ia cari-cari.

(un)lucky to be coming home again

 

Kita tidak akan mendapatkan jumpscare ataupun adegan-adegan horor pada film hantu yang satu ini. Tapi itu tidak berarti nonton film ini kita tidak merasa ngeri. A Ghost Story diarahkan oleh David Lowery menjadi sebuah tontonan yang sangat berbeda dan teramat orisinil. Lowery mengambil trope-trope pada horor kebanyakan, seperti buku yang jatuh sendiri, lampu yang hidup-mati, suara aneh di tengah malam, dan memberikan arti yang berbeda terhadap tropes tersebut. Bukan lagi sebatas ada keberadaan gaib yang mencoba menakuti kita, namun ada makna yang lebih dalem di balik segala macam fenomena tak-terjelaskan itu.

Ini adalah film yang bakal menghantui kita secara emosi. Malahan, saking impactfulnya, aku duduk terhenyak beberapa menit setelah film ini usai. Suasan sekitarku seolah surut ke dalam keheningan, karena apa yang kusaksikan di ending, juga semua peristiwa menjelang ending itu sudah berhasil mengguncangku secara emosional. A Ghost Story adalah SALAH SATU FILM TERSEDIH yang pernah aku tonton. Di sini kita melihat bagaimana seseorang bisa menjadi sangat tersesat oleh ketidakpahamannya terhadap purpose ataupun terhadap fakta bahwa dia tidak perlu untuk kembali sebab pada satu titik tertentu kita memang harus terus.  Ada getir yang menohok ketika kita menyaksikan hantu Affleck terus menetap di rumah, lama setelah isrinya pindah, hanya karena ia ingin mengambil catatan yang disimpan oleh istrinya. Sebuah tujuan yang sederhana, poinnya adalah setiap kita ingin mengerti. Seperti yag juga digambarkan oleh si tetangga hantu yang terus menunggu seseorang untuk kembali ke rumah, meski ia tidak lagi ingat siapa yang ia tunggu tersebut. Keberadaan kita adalah semata untuk memahami tujuan, dan begitu kita achieve that, poof! Kita undur diri seketika.

Kematian benar-benar dieksplorasi di sini. Derita dan kehilangan yang seseorang alami saat harus mengalami perpisahan dengan yang dicintai. Rooney Mara dan Casey Affleck perfectly menyampaikan emosi tersebut, tanpa banyak dialog. In fact, film ini memang minim sekali dialog. Saking pelit ngomongnya, kita bahkan enggak diberitahu siapa nama tokoh utama. Film ini menggunakan visual sebagai lidah untuk bercerita, dengan hint-hint subtil menghiasi sinematografi yang sudah memukau sedari awal. Long takes digunakan dengan efektif, Lowery berhasil menghasilkan gambar tanpa sekalipun terlihat pretentious. Semua ada maknanya. Adegan Rooney Mara duduk makan pie demi menelan bulat-bulat perasaannya akan membuat kita turut merasakan duka, juga terasa sangat manusiawi.

kenyataanlah yang susah untuk ditelan

 

Seni adalah wujud kebudayaan suatu bangsa. Dalam ruang lingkup yang kebih kecil, seni adalah apa yang kita hasilkan just to show that “ini loh karya gue”. Gue hidup. Ini loh bukti gue pernah hidup di dunia! Manusia begitu desperate untuk meninggalkan jejak, meskipun sebenarnya seperti yang diperbincangkan oleh dua tokoh film ini di awal cerita; kita cepat atau lambat akan meninggalkan dunia – yang dalam kasus ini dianalogikan sebagai rumah dan catatan-catatan keci yang disembunyikan oleh tokoh Rooney Mara di dalam rumahnya. Keengganan untuk pergi tanpa meninggalkan jejak, atau malah tanpa pernah tahu pasti apa punya jejak atau enggak, membuat seseorang menjadi terikat dan gak gampang move on. Seperti hantu.

 

Penggunaan frame yang tepiannya membundar kayak bingkai instagram membuat menonton ini seperti menonton video rumahan. Treatment ini menurutku bekerja in favor of the movie karena membuat feel cerita terasa real. Sekali lagi, film ini enggak kayak dibuat-buat. Lumrah bagi film-film arthouse untuk mempersembahkan cerita lewat sinematografi yang mesmerizing, namun tak jarang  seberes nonton kita ngerasa “meh, that’s just a bunch of pretty scenes”. Pada A Ghost  Story, adegan-adegan tersebut terlihat benar punya pesan dan kita akan mencoba untuk memahami mereka.

 

Jika hantu adalah sebutan buat entitas yang ngambang di antara dunia nyata dengan dunia fana, maka A Ghost of Story adalah film yang memastikan tidak ada penonton yang jadi hantu setelah menontonnya. I mean, tidak ada ‘di antara’ dalam hal suka film ini, it’s either cinta atau benci. Buatku; I adore this film. So much. Aku setuju sekali sama keputusan film untuk enggak menampakkan apa yang ditulis oleh Rooney Mara di kertas itu.

Kita enggak akan dapat film yang seperti ini lagi entah untuk berapa tahun lamanya. Sedangkan untuk kekurangan, well I do have an issue buat satu adegan yang terasa sedikit enggak selaras dengan keseluruhan film. Sekitar pertengahan, hantu Affleck mendapati rumahnya dijadikan tempat pesta oleh sekumpulan anak muda, dan salah satu dari mereka berceloteh tentang manusia dan usaha yang dilakukan untuk mengukuhkan eksistensi. Monolog yang berbobot banget, kalian mungkin akan merasakan dorongan untuk nyatetin kata-kata yang dilontarkan oleh orang ini. Masalahku adalah, adegan ini seperti film nyuapin ke kita tentang ide yang hendak mereka sampaikan. You know, it was just too frontal, padahal sebelum ini film amat subtil lewat visual. Kita sudah semangat dan terlanjur tertarik untuk menelaah apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh pembuat film, dan kemudian adegan monolog yang menjelaskan ini datang. Ini kayak mendadak film mutusin untuk switch ke mode easy, untuk talking down ke penonton. Menurutku kita enggak perlu untuk mendapat penjelasan gamblang seperti itu.

 

 

Hantu adalah pengamat yang baik. Dan untuk itu, film ini membuat kita semua menjadi hantu, mengamati orang-orang dalam duka seperti itu. Namun begitu, apakah ada sebutan untuk hantu yang baik? Sebab hantu juga adalah sisa-sisa, jejak, dari urusan tak selesai yang muncul ketika kita merasa bahwa kita belum selesai mengukir keberadaan di atas dunia. So emotionally haunting, ini adalah drama sedih yang hidup oleh sinematografi memukau, musik yang mengiris hati, dan penceritaan visual yang luar biasa menghanyutkan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A GHOST STORY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

PETAK UMPET MINAKO Review

“We are what we hide.”

 

 

 

Apa yang sebaiknya dilakukan ketika sewaktu sekolah kita sering dibully oleh teman-teman? Well, itu tergantung kita masing-masing. Kita bisa mendem sendiri terus diam-diam bikin kaset sebelum bunuh diri kayak Hannah Baker. Atau kita bisa menyimpan dendam kesumat sampe bertahun-tahun lamanya, untuk melampiaskannya saat reuni. Kita adalah apa yang kita simpan. Yang kita sembunyikan akan mendefinisikan apa yang akan kita perbuat.

Seperti yang dilakukan cewek di film Petak Umpet Minako. Malam itu, cewek yang kuliah di Jepang tersebut mengusulkan kepada teman-teman reuninya untuk nostalgia ke gedung sekolah mereka yang lama. Sesampai di sana, niat mulia si cewek langsung kelihatan. Dia mengajak mereka semua untuk bermain petak umpet. Tapi ini bukan sembarang petak umpet, ini petak umpet impor dari Jepang di mana yang manusia bersembunyi sementara yang ‘menjaga’ adalah hantu! Dan untuk membuat hal lebih gawat, permainan itu punya satu peraturan gede: hanya ada satu orang yang bisa memenangkan pertandingan. Yup, sebaiknya segera aktifkan mode survival karena di dalam gedung sekolah yang lagi direnov tersebut, mereka tidak bisa percaya kepada siapapun.

definitely jangan percaya sama peran aktor yang punya nama yang enggak ngapa-ngapain di awal cerita

 

Hitori Kakurenbo, nama asli permainan yang jadi ide dasar film yang diadaptasi dari novel ini, konon sebenarnya adalah salah satu ritual pemanggilan arwah menggunakan medium boneka yang lazim dilakukan di Jepang pada jaman dahulu. Dan tentu saja, the whole tradisi dan urban legend tersebut menarik minat anak-anak muda yang penasaran. Aku salah satunya. Kalo saja aku bisa menjahit, maka aku bakal nekat ngelakuin berbagai macam peraturan untuk memainkan permainan ini. Aku gak akan menjelaskan peraturan permainan, apa yang dibutuhkan, dan segala macem teknisnya sebab film Petak Umpet Minako sudah mengambil banyak waktu untuk menerangkan kepada kita gimana sih cara memainkan petak umpet maut. Lengkap dengan pantangan dan catatan ekstra mengenai cara menangkal roh jahat yang bakal menjelma menjadi boneka yang kita pakai. Kita tahu ada pepatah barat yang mengatakan “curiosity killed the cat”, dan yeah, rasa penasaran atas permainan tersebut berhasil membujukku untuk menonton film ini. Dan aku berasa pengen mati di bioskop.

Keseluruhan film adalah cerita penyelamatan diri di dalam gedung sekolah di malam hari. Banyak yang bisa dieksplorasi dari lingkungan ini, belum lagi banyak tokoh-tokoh seolah mereka meminta untuk diberikan cerita. Tapi film tidak pernah mengolah mereka dengan dalem. Di menit-menit pertama aku masih tertarik. Aku masih bisa memaafkan kehadiran eksposisi yang amat banyak soal peraturan permainan. Eksposisi yang dibutuhkan, dan aku yakin ada cara yang lebih kreatif dan yang less-boring yang bisa dilakukan untuk menjelaskan semua. Tapi pada awal-awal itu aku tertarik karena menurutku adalah sebuah pilihan yang bagus mengangkat naskah dari sudut pandang korban perundungan (eh, pada udah tau belum sih kalo bully itu istilahnya Indonesianya ‘rundung’?) yang begitu ingin balas dendam sampai-sampai dia rela melakukan permainan yang turut mengancam dirinya sendiri.

Aku salah. Tokoh utama film ini bukan Vidha si cewek yang mengusulkan permainan petak umpet boneka. Jagoan kita adalah seorang cowok bernama Baron yang telat datang ke reuni, dan satu-satunya alasan dia dateng adalah karena ingin mencari pacarnya. So yeah, motivasi tokoh utama cerita ini adalah pengen menyelamatkan ceweknya. Standar abis. Baron adalah salah satu tokoh utama terburuk yang pernah ada di dunia sinema. Dia enggak bisa menghentikan pembunuhan yang terjadi di depan matanya. Moral compassnya hanya jalan untuk hal-hal yang menyangkut sang pacar. Di tengah-tengah keadaan gawat, gagasan terbaiknya adalah berpencar. “Kamu tunggu di sini, aku masuk ngambil korek api”, kenapa gak barengan AJAHHHH? Baron juga butuh 3 scenes untuk membakar boneka, yang sudah ada di tangannya beserta alat-alat untuk membakar. Dan tau gak apa yang dilakukan Baron ketika giliran his butt yang harus diselamatkan – ketika dia disuruh cepat-cepat lari suapay temannya bisa buy some time dengan mengorbankan diri? Baron malah lari dengan slow motion, sebelum akhirnya jatuh pingsan!

Film ini tidak melakukan hal kreatif ataupun hal baru pada premis mereka. If anything, film ini cukup lihai menggabungkan ritual petak umpet setan dengan elemen Battle Royale (2000) dengan elemen The Mist (2007). Dan elemen zombie. Hanya saja di sini zombienya bisa mukul dan berantem alih-alih pengen gigit orang. Ada usaha untuk mengembangkan karakter dalam lingkungan tertutup ini. Kita melihat ada salah satu tokoh yang berkembang menjadi semacam cult leader, di mana dia dianggap penyelamat yang berhasil membawa mereka ke gedung Gereja yang aman, seperti Mrs. Carmody di The Mist. Tapi narasi tidak pernah melakukan hal yang benar-benar pinter buat tokoh ini. Sebenarnya ada banyak yang bisa digali dari petak umpet dan mitologi sekitar permainan itu sendiri, namun film sepertinya hanya tertarik pada twist yang enggak benar-benar masuk akal. I mean, ini adalah permainan di mana kita bisa memanggil arwah yang bisa hidup dengan mengambil wujud boneka mediumnya, mereka bisa paling enggak menggali sesuatu tentang obsesi dari sana. Sayangnya, Petak Umpet Minako hanyalah cerita satu lapis yang kadang-kadang belok dikit tanpa benar-benar terbayar dengan memuaskan.

kebayang gak sih susahnya bagi orang Jepang nyebut kata “leluhur”?

 

Sebagai makhluk horor, Minako punya presence yang mengerikan. Dia bukan boneka yang dirasuki, Minako adalah hantu yang mengambil wujud boneka yang dirasuki. Bayangin tuh. Kostum dan segala macam penampakannya berhasil membuat takut, namun tidak banyak yang dilakukan oleh Minako. Dia cuma going around mencari orang-orang sambil mengayun-ayunkan pisau. Di tengah-tengah kacaunya penceritaan dan mish mash elemen, film bahkan sepertinya melupakan Minako ini adalah hantu. Aku ngakak berat ketika Baron dan temannya berhasil mengalahkan Minako di gereja, kalimat pertama yang terucap dari mulut Baron adalah pertanyaan “Apa dia sudah mati?” I’m like, DUH SHE’S A GHOST!!!  Malahan ada satu adegan ketika Minako dibuat main tarik-tarikan pintu sama satu orang manusia. Apa Minako segitu takutnya sama air garam sehingga dia melupakan kodratnya sebagai setan yang bisa tinggal mencekek saja orang yang menghalangi jalannya?

Kalo ada benang merah yang menghubungkan poin-poin film ini maka itu adalah kata ANNOYING. Editingnya annoying; antara satu adegan dengan adegan lain dijahit enggak mulus, gak ada ritmenya. Tokoh-tokohnya annoying; mereka semua melupakan konsep utama main petak umpet, yakni diam-diam – gak ngeluarin suara. Reaksi dan motivasi tokohnya terlihat staged, enggak ada yang meyakinkan. Dan aktingnya? Aku yakin para aktor akan merasa malu kalo film ini ditonton oleh teman-teman mereka. Eksposisinya annoying; dialog film ini jarang sekali soal pengembangan karakter, it was either nerangin aturan main, teriak-teriak gak jelas demi drama,  ataupun “Mana yang lain?” “Si anu lari ke sana, si itu lari ke sini”  dan beberapa detik kemudian si anu dan si itu muncul. I mean, kenapa gak diliatin aja sih mereka tadi ngalamin kejadian apa, alihalih mendengarkan penjelasan dari orang yang gatot menampilkan eskpresi teror dan ketakutan. Flashbacknya annoying; akan banyak dijumpai adegan Baron ketemu temannya, dia nanya apa yang terjadi, dan si teman akan bercerita membuat kita masuk ke flashback yang  menjelaskan backstory yang enggak pernah ada build up ataupun pay offnya. Film ini bisa lebih baik jika diceritakan linear.

Efek dalam film ini lumayan bisa menghadirkan imaji yang seram. Tapi ada satu yang aku heran, kenapa mereka harus banget nampilin adegan boneka dibakar dengan menggunakan efek komputer? Apa budget segitu fokus di promosinya sehingga mereka enggak bisa mengusahakan properti dummy untuk dibakar beneran. Lucu aja ngeliat di satu adegan ada boneka terbakar dan di adegan berikutnya terlihat jelas di lantai enggak ada apa-apa.

 

 

 

Sebenarnya semua elemen-elemen yang bekerja parah tersebut bisa saja jadi mengasyikkan jikasaja film ini mempersembahkan dirinya sebagai sesuatu yang mengarah ke komedi. Nyatanya, film ini menganggap dirinya keren, it takes itself way too seriously. Ini adalah horor sejenis kucing-kucingan rumah-hantu dengan elemen menyelamatkan diri dengan jangan-percaya-kepada-siapapun yang penceritaannya sangat kacau. Tokoh-tokohnya tidak pernah bertingkah layaknya manusia beneran, kita tidak bisa peduli kepada mereka. Padahal ada premis dan sudut pandang menarik yang bisa saja menjelma menjadi horor yang segar. Tapi ngumpet banget dan arahan filmnya malah membuat kita enggan untuk menemukannya.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for PETAK UMPET MINAKO.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

IT Review

“Adults are the real monsters.”

 

 

Masa kecil ninggalin kenangan, hanya jika kita punya kelompok bermain. Teman-teman sepermainan yang sharing suka dan duka, bertualang naik sepeda bersama. Bahkan ketika kelompok tersebut dijuluki anak-anak lain sebagai The Losers’ Club. Bill, Ben, Richie, Eddie, Stan, Mike, dan Beverly jadi deket lantaran mereka sama-sama sering dibully. Bagi lingkungan sekitar, mereka tak lebih dari si Gagap, si Gendut, si Mulut Besar, si Penyakitan, si Anak Rabi, si Orang Luar, dan si Cewek Murahan. Tahun 1988an itu adalah waktu yang keras di kota Derry. Tapi Bill dan teman-temannya, mereka baik saja as they have each other. Perundung yang mereka benar-benar cemaskan bukanlah Henry Bowers yang suka main pisau lipat itu. Yang mereka takutkan adalah sosok yang sudah membuat banyak anak-anak lain menghilang, termasuk adik Bill. Sosok yang satu ini munculnya di tempat-tempat tak terduga, dia ‘memangsa’ rasa takut dan imajinasi anak-anak. Sosok yang jauh lebih menyeramkan daripada orangtua masing-masing. Pennywise the Dancing Clown. Dan dia bahkan bukan badut beneran!!

come float with us

 

Dengan seribu-seratus lebih halaman, sesungguhnya It adalah novel yang sulit sekali untuk diadaptasi ke layar lebar. Belum lagi predikatnya sebagai salah satu cerita paling seram yang pernah ditulis oleh Stephen King. Sebelum ini, It pernah disadur ke miniseri televisi yang dibagi menjadi dua episode. Quick review: miniseri televisi tersebut sudah berusaha untuk loyal kepada materi bukunya, mempersembahkan penampilan Pennywise yang seram, tapi dari segi efek memang terasa tertahan. Lagipula ketika ditonton bareng sekarang-sekarang ini, efek filmnya terasa sangat out-of-date. Banyak aspek kemampuan Pennywise yang tidak bisa digambarkan dengan baik tahun 1990 itu.

Makanya aku seneng sekali melihat apa yang mereka lakukan kepada Pennywise di film baru ini. Aktor Bill Skarsgard did an awesomely creepy touch terhadap si badut horor. Aku suka matanya tampak natural ketika melihat ke dua arah sekaligus, aku suka gimana ilernya menetes-netes setiap kali ngebujuk anak-anak. Sebenarnya Pennywise itupun hanyalah salah satu dari wujud jelmaan dari makhluk yang Bill and-the-genk sebut sebagai It (aku jadi teringat cerita Lupus yang nyebut hantu sebagai Anuan karena dia takut menyebutnya sebagai hantu). It mengambil bentuk yang berbeda-beda tergantung dari anak mana yang mau ia mangsa berikutnya. Dan dari adegan pembuka kematian Georgie yang sangat ikonik hingga ke menit-menit It bergiliran menakuti tujuh protagonis kita, film ini setia mengikuti apa yang tersurat di novel. Efek yang digunakan juga terlihat meyakinkan. Sutradara Andy Muschietti – sebelumnya menggarap horor Mama (2013) – paham bagaimana menebar visual untuk membangun adegan seram. Adegan Ben di perpustakaan ketika dia melihat halaman buku yang terus berulang dengan nenek-nenek menyeringai mengerikan di latar belakang adalah salah satu favoritku.

Para aktor cilik bermain luar biasa fenomenalnya. Mereka terlihat kayak teman sepermainan beneran. Highlight paling terang tersorot dari Finn Wolfhard yang kembali berperan sebagai anak 80an yang keliling naik sepeda, dia kebagian sebagai Richie si ‘badut’ dalam grup, dan Finn really nails his comedic role. Persahabatan mereka, gimana anak-anak bergaul, film ini merekamnya dengan jujur. Banyak serapah dan kata-kata jorok, hal tersebut bisa dimengerti karena – bagi orangtua yang masih menyangka anak mereka anak-anak manis – memang seperti itulah anak kecil kalo lagi bermain, di luar pengawasan orangtua mereka. Ada nuansa underdog beneran yang melingkupi mereka karena mereka harus berurusan dengan sesuatu yang tidak mereka mengerti, yang tidak akan ada yang percaya kepada mereka.

Untuk urusannya sebagai adaptasi, karakter para tokoh sebagian besar sama, dengan beberapa apa-yang-mereka lakukan yang dibuat sedikit berbeda. Ada beberapa tokoh yang terasa jadi sedikit lebih sederhana, like, mereka jadi agak terlalu stereotypical, terutama si Ben. Dari ketujuh anak, Ben actually tokoh favoritku di novel It. Makanya aku agak kurang sreg kenapa di film ini mereka enggak lagi bikin dam; yang meniadakan kemampuan Ben di mana Ben lah yang merancang dam. Juga soal ‘cinta segitiga’ Ben-Bill-Beverly yang menurutku mereka mengecilkan skenario sweet secret admirer Ben dan Beverly lantaran di sini Ben dibuat canggung banget.

Persahabatan anak-anak bertemu dengan monster tukang bunuh, humor ketemu horor – semuanya terasa fisikal. Meski demikian, It bukan sekedar cerita sekumpulan anak muda melawan musuh terbesar mereka, yakni ketakutan, yang terpersonifikasi sebagai badut dengan balonnya. Ada tone kelam seputar tumbuh remaja, sexuality, trauma dan gimana untuk melupakannya yang dibahas dalam narasi. Satu pesan yang menguar dari balik It adalah bahwa anak-anak muda begitu terbebani oleh ketidakadilan dunia yang lebih dewasa. Para orangtua digambarkan entah itu pemabuk, terlalu mengatur, manipulative, ataupun downright cruel – tidak pernah dipandang sebagai pahlawan oleh anaknya.

 

ada alasannya kenapa orang dewasa takut sama anak-anak

 

 

Aku tidak mengikuti perkembangan dan promosi untuk film ini, aku enggak nonton trailernya. Dan aku harus bilang, saat menonton film ini aku merasa sudah termisleading. Jadi menurutku, aku harus ngespoiler  sesuatu buat calon-calon penonton yang sudah pernah membaca buku ataupun nonton miniseri televisinya dan mengharapkan sesuatu yang berbeda dari film berdurasi dua-jam-sepuluh-menitan ini: It yang ini juga adalah CHAPTER SATUNYA SAJA. Dengan durasi sepanjang itu ditambah dengan beberapa perubahan kecil namun signifikan, saat menonton It kita bisa dengan mudah menumbuhkan asumsi bahwa film ini mengambil langkah adaptasi yang eksrim as in cerita bakal selesai tanpa ke babak mereka dewasa. Tapi enggak. Bagian masa kecil ini penting untuk pelandasan karakter dan relationship, sehingga meskipun agak ngestrech, film tetap harus membagi buku menjadi dua chapter (atau mungkin lebih, kita bisa ngarep). Fokus cerita adalah pada masa kanak-kanak para tokoh, and I just think they need to put the ‘Chapter One’ bit sedari awal.

Di sinilah sedikit masalah timbul; daging cerita It sebenarnya terletak di bagian ketika Bill dan kawan-kawan yang sudah dewasa ‘diundang reuni’ oleh Pennywise. Saat itulah cerita mengerikan soal trauma atas apa yang kita takuti mulai kick in. Maka dari itulah sebabnya, kenapa in the long 2 hours run film ini terasa semakin kehilangan intensitasnya. It bekerja dengan sangat baik sebagai HOROR SLASHER MENAMPILKAN ANAK KECIL DENGAN LEVEL KENGERIAN YANG SAMA SEKALI JAUH DARI LEVEL SEKOLAH DASAR. Aksinya brutal, nasib beberapa tokoh mengenaskan, walaupun kamera tidak pernah benar-benar menangkap sesuatu di luar batas sadis yang wajar. Akan tetapi, ada kehampaan pada intinya. Motivasi inner karakternya belum berjalan maksimal, plotting tokohnya belum full circle. Bahkan kota Derry gak benar-benar menjelma sempurna sebagai lokasi yang seharusnya berkembang seakan menjadi tokoh tersendiri oleh sejarah kelamnya. Aku suka gimana film ini memperkenalkan kita kepada tujuh anak tersebut dengan porsi yang sama besar, kita juga diperlihatkan apa bahan bakar ketakutan mereka, kelemahan mereka di mata Pennywise, tanpa menggunakan flashback – jika boleh kutambahkan sebagai perbandingan dengan versi miniseri tv. Namun adegan per adegan terasa berjalin dengan kurang mulus. Seperti tidak ada ritme, sebab sesungguhnya yang kita lihat memang setengah dari keseluruhan cerita. But then again, enggak banyak cara menghandle pembagian cerita It yang lebih baik dari yang dilakukan oleh film ini.

On the other hand tho, jika kalian baru pertama kali tahu cerita yang berjudul It, menonton ini akan terasa sama menyenangkan dan serunya dengan menonton horor slasher klasik semacam A Nightmare on Elm Street. Dan there’s nothing wrong with that, aku malah beranjak dari penonton film-film genre itu. Film ini  melakukan kerja yang sangat baik mengembalikan kita ke kejayaan genre monster pembunuh lewat tayangan yang juga kocak, penuh oleh penampilan akting yang meyakinkan.

 

 

 

This is one of the better Stephen King adaptation. Fokus cerita pada masa kanak-kanak para tokoh. Mereka madetin dan menghidupkan elemen-elemen paling mengerikan dari buku, dan wisely meninggalkan bagian yang kontroversial ataupun yang kurang bekerja dengan baik. Pennywisenya sangat menyeramkan, meski aku pikir tokoh ini bisa diberikan dialog creepy lebih banyak lagi kayak di buku ataupun mini seri tv. CGnya menyatu dengan mulus. Terang saja Chapter Keduanya akan sangat dinantikan karena kita bisa menagih janji cerita yang benar-benar berdaging saat film tersebut tiba di bioskop.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for IT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

ANNABELLE: CREATION Review

“If your soul has no Sunday, it becomes an orphan.”

 

 

Seorang tukang kayu membuat sebuah boneka yang mirip dengan manusia. Boneka tersebut dia dandani, dia kasih baju baru. Tapi tukang kayu yang satu ini bukan bernama Pak Gepetto. Dia tidak pernah memohon kepada peri biru supaya bonekanya hidup. Apalagi supaya bonekanya membunuhi dan memakan jiwa orang-orang. Pak Mullins, instead, berdoa supaya putri kecil semata wayangnya hidup kembali. Beliau dan istrinya begitu terpukul sehingga mereka meminta kepada apa yang dijelaskan dalam babak ketiga film ini. Annabelle: Creation adalah cerita asal mula gimana boneka Annabelle dibuat dan berujung menjadi tempat bersemayam suatu entitas jahat yang menyebarkan horor ke sebuah panti asuhan, sebelum akhirnya horor tersebut menyebar ke mana-mana, sebagaimana yang sudah kita ketahui.

Kita hidup di dunia di mana setiap studio film gede kepengen punya Dunia-Sinema sendiri. Ada superhero universe, monster universe, dan sekarang kita punya Conjuring Universe. That’s just a thing now. Indonesia juga sepertinya bakal punya juga; Doll Universe atau entah apa lagi yang diperkirakan bisa meraup untung gede. Buat Conjuring Universe katanya kita bakal dapat backstory dari masing-masing tokoh hantu, kayak Annabelle, The Crooked Man, dan Valak. Beginilah tren sekarang, kita harus menerimanya. Meski memang, dalam kondisi normal aku enggak akan pernah berpikir cerita origin Annabelle benar-benar penting untuk kita ketahui. Ini semacam prequelception, film ini adalah cerita prekuel dari film pertama yang merupakan prekuel dari The Conjuring (2013), jadi ya mindset saat masuk nonton adalah memang siap-siap melihat wahana cash grab banget.

But actually, wow, Annabelle: Creation bakal bikin malu film pertamanya. Bukan sekedar horor ngagetin. It is fun and very enjoyable, lore Annabellenya sendiri digali dengan baik, cara mereka mengaitkan film ini dengan yang pertama keren banget, dan saat film berakhir, aku ingin tepuk tangan. So yea, perihal movie-movie cash grab kayak gini – yang fokusnya bangun universe, saranku ya memang udah trennya. Give it a chance. Stop fighting it, just give in to it…

I don’t know why I’m quoting a rapist

 

Studio yang membuat film horor mainstream harusnya bisa terbuka matanya oleh film ini; bahwa HOROR MAINSTREAM BISA KOK DIBIKIN BAGUS. Kuncinya ya di keahlian pembuatnya. Film horor selalu adalah cerminan talenta sutradaranya. Arahan seperti apa yang bisa ia berikan untuk memancing rasa takut bergentayangan dalam diri kita, penontonnya. Untuk menghimpun scare tanpa memberikan banyak waktu untuk kita melepaskan rasa takutnya dengan kaget dan bernapas lega. David F. Sandberg  memanfaatkan teknik pencahayaan dan pembangunan suspens serupa seperti yang ia lakukan sebelumnya dalam Lights Out (2016), horor yang juga berhasil menangkap ide sederhana dan menggubahnya dengan cerdas dan inventif.

Rumah yang dijadikan panti itu dijadikan kembali oleh sutradara sebagai sebuah tool-box of horror. Kita bisa lihat geliat kretivitasnya bekerja around trope-trope scare penghuni yang kejebak di rumah yang ada hantunya, dan hasilnya memang menghibur. Sandberg mengerti betul dua aspek paling penting untuk diperhatikan ketika seorang sutradara membangun suspens. Sinematografi dan design suara. Banyak scares yang fun akibat dari penggunaan kamera, atmosfer, dan suara yang efektif. Jikapun ada gore, maka darah-darah itu dilakukan dengan subtil dan sangat singkat. Secukupnya, enggak seperti pada The Doll  2 (2017) yang babak berdarahnya begitu horrifying sehingga menyemenkan genre lain di luar yang kita kira. Kita tidak terlepas dari cerita oleh efek dan segala macam gimmick berdarah di sini.

Annabelle: Creation juga punya kesamaan dengan Ouija: Origin of Evil (2016). Keduanya sama-sama cerita yang berangkat dari objek biasa yang jadi angker lantaran dihantui. Keduanya sama-sama membahas asal mula kenapa bisa terjadi. Keduanya sama-sama surprisingly jauh lebih bagus dari film pertama mereka. Eeriely enough, keduanya sama-sama menampilkan aktor cilik Lulu Wilson, yang penampilan aktingnya stand out banget pada masing-masing film. Kita akan mengikuti Lulu Wilson yang berperan sebagai Linda dan temannya bernama Janice (dimainkan dengan tak kalah totally amazingnya oleh Talitha Bateman, yang nanti gedenya mirip Dahlia Poland, nih). Janice yang pincang dan Linda adalah sobat karib, mereka udah lama bareng di panti asuhan. Mereka berharap mereka bakal diadopsi bersama, jadi saudara beneran, mereka sering membicarakan harapan ini, dan membuat tokoh mereka jadi punya kedalaman. Dan terutama kita jadi tumbuh rasa peduli, kita ingin melihat impian mereka berbuah manis. Jadi,kita punya karakter, tokoh film ini bukan sebatas anak kecil yang suka main boneka. Mereka tidak diberikan skrip dan arahan sekedar ngeliat hantu ataupun bicara sendiri. Ini lebih dari gangguan hantu di malam hari. Ada set up drama. Persahabatan mereka diuji oleh kehadiran si roh jahat. Ketika hal mulai menjadi semakin serius dan semakin mengerikan menuju ke babak tiga, kita akan terinvest sepenuhnya kepada nasib kedua anak.

Hantu akan lebih mudah mengganggu orang-orang yang imannya lemah. Akan tetapi, Janice diganggu not necessarily karena dia yang paling lemah secara iman maupun secara fisik. Hantu dan anak yatim piatu seperti Janice punya kebutuhan yang sama; Rumah.

 

Aku jadi kepikiran untuk bikin semacam jumpscare meter setiap kali ngereview film-film horor. Buat film ini, itungan jumpscarenya tinggi banget di paruh awal. Ada banyak momen yang kayak ngebuild ke sesuatu untuk kemudian diikuti oleh suara yang lantang. Flaw ini jika ditelusuri sepertinya musababnya adalah skrip yang enggak kuat-kuat amat, terutama di bagian awal. Film menyediakan ruang untuk set up sehingga ceritanya terasa lambat, dan untuk mengakali ini mereka merasa perlu untuk memasukkan jump scare supaya penonton enggak bosan. Langkah yang bisa dimengerti, namun tetap bukanlah pilihan terbaik. Tadi aku sempat nyebutkan cerita terselesaikan dengan keren; tokoh-tokoh mendapatkan apa yang mereka mau, bahkan Annabelle ‘reuni’ dengan bonekanya – tie in cerdas ke Annabelle (2014) dan urban legend Annabelle yang asli, which is a good thing. Aspek yang sedikit goyahnya adalah pergantian sudut pandang  selama narasi. Kayak ada pergantian tokoh utama. Ini sebenarnya adalah resiko kreatif penceritaan yang diambil, karena biasanya kalo ganti-ganti begini paling enggak ada benang merah atau keparalelan pada arc tokoh-tokoh. Narasi film tidak memparalelkan semua, hanya beberapa tokoh. Meski begitu aku tetep bisa respek film ini karena film ini nunjukin mainstream horor bisa kok diolah dengan baik dan enggak melulu dominan oleh cheap scare.

tag, you’re it!

 

 

Horor dengan scare yang bagus, walaupun di paruh awal terlalu mengandalkan kepada jump scare. Arahan dan performance akting yang kuatlah (terutama dari aktor-aktor cilik) yang membuat film ini menjadi menyenangkan. Bikin kita terinvest. Dan secara konstan merepet di sudut kursi masing-masing. Horor mainstream ternyata mampu diolah menjadi bagus di tangan filmmaker yang handal. Prekuel dari prekuel enggak setiap hari adalah sesuatu yang jelek. Film ini dapat menjadi Teladan yang baik sekaligus adalah PR berat bagi sineas-sineas tanah air, jikalau memang ingin membuat scene horor lokal yang benar-benar layak menyandang status genre signatur di film Indonesia. Sebab, seperti yang disenggol oleh film ini, hantu juga ingin punya rumah.
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for ANNABELLE: CREATION.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

PHOENIX FORGOTTEN Review

“The truth is out there.”

 

 

Ada dua jenis manusia bumi;  yang dengan semangat ngegosipin alien (apalagi kalo sambil ngemil gorengan), dan yang skeptis. Either way, penampakan alien selalu adalah topik yang menarik. Dan sangat menjual, tentunya. Kalian sering kan ketemu artikel semacam “7 Bukti Kita Tidak Sendirian Di Dunia Ini” atau “8 Orang Terkenal yang Pernah Diculik Makhluk Luar Angkasa”, well yea, aku biasanya akan ngarahin mouse ke judul itu, dan ngelik, dan membaca artikelnya untuk beberapa menit ke depan. Para believer masuk karena bukan hanya penasaran sama Alien, kita juga pengen nyimak berbagai teori konspirasi yang menyertai di baliknya. Bahkan untuk para skpetis, pembahasan tentang UFO menjadi sangat menantang karena mereka ingin membuktikan diri mereka benar.

Dan untuk urusan film tentang penampakan alien, aku biasanya termasuk golongan skeptis. Apalagi kalo filmnya memakai gaya found-footage alias first-person view. Biasanya sih, film kayak gini cuma ngandelin jumpscare dan berbagai teknik filmmaking murahan lain untuk meraup sebanyak mungkin untung yang mereka bisa dari ketertarikan natural manusia terhadap hal-hal supranatural. Kita udah paham deh, ‘aturan main’ film-film genre begini.

Sekilas, Phoenix Forgotten mungkin memang terlihat  niru-niruin The Blair Witch Project (1999). Ini bahkan bukan film pertama yang mengeksplorasi fenomena misteri Phoenix Light yang BENERAN TERJADI DI ARIZONA TAHUN 1997. It was a very interesting world phenomenon. Ratusan orang mengaku melihat barisan bola cahaya misterius yang membentuk formasi V, melayang di langit malam Arizona. Dokumentasi tentang ini banyak banget. Dari yang pernah aku baca, katanya Pemerintah setempat mengklaim hal tersebut hanyalah salah persepsi yang berkembang menjadi hoax yang dibesar-besarkan. Cuma lampu flare dari pesawat militer, katanya sambil berkelakar. Namun setelah Beliau hengkang dari jabatan, Governor tersebut mengaku sebenarnya dia enggak tahu persis tentang kejadian tersebut. Kontroversi dan teori pun menjadi semakin liar oleh ini. Phoenix Forgotten memasukkan aspek-aspek ini ke dalam narasi. Akan tetapi, nama Ridley Scott di barisan eksekutif produserlah yang terutama membuat aku tertarik nonton film ini.

Dan aku enggak menyesal udah nonton.

And if the name Ridley Scott sounds too alien to you, well yea…

 

Narasi film ini mengejutkanku; efektif sekali. Ceritanya ada tiga anak remaja yang di tahun 1997 menghilang gitu aja. Mereka diketahui sedang dalam ‘misi’ mengejar jejak cahaya misterius yang muncul di langit beberapa waktu sebelumnya. Peristiwa hilangnya mereka diceritakan, dikenang kembali oleh adik dari salah satu remaja. Penceritaannya dipersembahkan bergaya dokumenter, dan kita akan ngikutin si adik yang sekarang udah gede, mengunjungi berbagai tempat dan menginterview beberapa orang yang dulu pernah bertemu dengan kakaknya, atau yang mungkin ada hubungannya dengan sang kakak, ataupun yang dulu pernah melihat cahaya misterius itu. Masa kini dan masa lalu digabungkan as kita turut menonton kaset-kaset video buatan tiga remaja tersebut – berisi perjalanan ekspedisi mereka – yang ditonton oleh si adik yang gedenya diperankan oleh Florence Hartigan yang sempet aku sangka si Spencer dari PLL, namun ternyata adalah orang yang berbeda.

Misteri datang dari apa yang membuat tiga remaja tersebut menghilang dan tak pernah terlihat lagi hingga sekarang. Enggak ada seorang pun yang tahu mereka kemana. Aspek ini memberikan bobot emosi kepada cerita. Film-film UFO modern kebanyakan payah dan membosankan karena mereka tidak mengerti apa yang membuat subjek ini menarik. Enggak paham soal apa sih yang membuat genre ini bekerja. Ini bukan sebatas tentang hutan angker, atau jejak dan cahaya tak-dikenal di angkasa. Mereka pikir mereka cukup hanya dengan nunjukin hal-hal menyeramkan, sekelebat sosok alien berjalan di balik jendela, diiringi suara keras, dan mungkin ledakan. Namun UFO dan alien bukan sebatas tentang itu. Yang terbaik di antara film-film (ataupun serial TV) tentang Alien selalu adalah yang membahas tentang PARANOIA SEPUTAR EVENT penampakan atau encounter, lantas obsesi yang timbul dari kejadian tersebut. Phoenix Forgotten benar-benar menangkap dua hal ini dengan sangat baik.

It’s not that kita bego-bego amat, mau aja percaya sama hal di luar nalar seperti keberadaan Alien. Kita ingin percaya akan hal tersebut. Di luar kesadaran, sebagian kita ingin Alien yang kita sangsikan, benar-benar ada. Kita terobsesi sama ide bahwa ada kehidupan lain di luar sana. Dan ini sama sekali enggak ada hubungannya dengan kita ingin our belief yang benar, namun ini lebih kepada rasa ingin tahu dan naluri berpetualang yang sama besarnya. Bayangkan berapa banyak kemungkinan hidup kita akan berkembang menjadi  who knows what jika Alien benar-benar ada. And lets face it, untuk membuktikan itu saja entah berapa banyak terobosan yang sudah dicapai oleh umat manusia atas nama ilmu pengetahuan dan teknologi. Intinya adalah, enggak ada ruginya ngomongin Alien.

 

 

Jika kalian suka sama hal-hal berbau konspirasi, or just like mystery overall, film ini bisa dijadikan pilihan yang bagus untuk ditonton saat senggang. Tapi yah, memang bisa sedikit bias sih. Elemen terobses dan paranoia film ini dapat berbalik menjadi too much juga.  I mean, I do feel related ama film ini karena aku suka baca-baca dan riset tentang misteri UFO. Walaupun unfortunately aku belum pernah ngeliat UFO, justru mama dan adekku yang pernah. Jadi sekitaran taun 2004an, mereka pulang dari lari pagi sambil heboh kayak histeris massal. Mereka mengaku melihat barusan lampu-lampu di langit yang terbang dengan kecepatan lambat banget menjadi wwuuuussshhh!! Ngebut tapi sunyi. Adekku sempat ngerekam lewat hapenya, namun entah karena teknologinya jelek entah karena UFO beneran, hasil rekamannya malah gelap gulita dengan bunyi desingan kayak mesin di latarnya. Miriplah sama suara efek UFO dalam film ini.

Sejak itu, aku jadi penasaran pengen liat UFO, jadi aku mengerti darimana rasa obsess salah satu tokoh remaja yang menghilang itu berasal, meski enggak sepenuhnya tereksplor oleh cerita. Dia ngefilmin semua dokumenter tersebut, kita bisa merasakan penasaran dan obsesnya tumbuh dan terdevelop dengan baik. Ada momen-momen ketika mestinya dia lari, namun dia ingin tetap bertahan, dia cuma mau dapat lima menit rekaman lagi to hopefully mendapat yang ia cari dan membuat keingintahuannya terpuaskan.

Kamera, rolling, …kabuurrr!!!

 

Dua babak pertama menyuguhkan misteri yang sangat compelling. Film ini bekerja jauh dari sekedar tentang anak tersesat dan melihat penampakan alien. Ada drama keluarga yang turut berkontribusi di sana, bahu membahu dengan elemen misteri. Kita akan melihat rekaman tahun 97, diselang-seling dengan kejadian di masa sekarang. Aku menghitung tidak ada satupun jumpscare dalam film ini. It is less a jumpscare fest and more of a mystery di mana tokohnya hanya pengen mencari anggota keluarga yang hilang. Fokusnya ada pada keluarga dan dampak trauma kehilangan anak buat mereka. Agak sedikit goyah sih di babak akhir di mana arc ini berakhir abrupt, dan proses kita mendapatkan final tape juga sangat dipermudah.

 

 

Dengan gaya found-footage, film ini sukses menangkap tiga hal: feel of 1997, trauma kehilangan orang yang disayangi, dan paranoia serta obsesi seputar UFO dan alien. The way penceritaannya dilakukan, mengedit adegan-adegan, membuat ini jadi enak untuk dinikmati. Surprisingly very effective. Mampu membuat kita terinvest. Penampilan akting dan tokohnya pun menarik. Ada bobot emosi di sana. Meski ada juga bagian yang terasa annoying, terutama saat mereka ngulang-ngulang reaksi yang sama saat melihat sesuatu yang ganjil di langit. Mengingatkan kita kembali akan peristiwa fenomenal yang terjadi di Arizona tahun 1997, dan mungkin kita enggak akan pernah tahu apa sebenarnya yang dilihat orang-orang kala itu. Namun untukku, aku ingin orang-orang enggak begitu saja melupakan film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for PHOENIX FORGOTTEN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

JAILANGKUNG Review

“See yourself as a soul with a body rather than a body with a soul.”

 

 

Di mana ada film horor, aku akan duduk ngejogrok di sana tanpa perlu dijemput atau diantar. Kayak Jailangkung yang ngeliat ada pesta kecil-kecilan. Horor selalu adalah objek cerita yang menarik, maka tak heran genre ini menjadi penjualan mudah untuk bisnis bioskop. Buktinya, liat deh box office film Indonesia tahun 2017 ini; horor naik tahta kembali dengan gampangnya. Film Jailangkung terbaru ini sempat menyinggung bahwa tubuh dan sukma harus berimbang. Harus sehat dua-duanya. Dan ketika kebutuhan fisikal kita sudah terpenuhi, maka kita merasa dorongan keperluan untuk memuaskan dahaga atas keingintahuan spiritual. Di sinilah film horor seperti Jailangkung memiliki peran besar.

Kita demen ditakut-takuti, Kita penasaran melihat hantu. Kita bahkan mencoba berkomunikasi dengan hantu, lewat permainan jailangkung. Karena kita adalah makhluk jiwa dan raga.

 

Meskipun digarap oleh duo yang sama, Jailangkung adalah cerita yang sama sekali terpisah dan tidak ada sangkut pautnya dengan Jelangkung yang sukses mengangkat pamor horor di sinema Indonesia tahun 2001 lampau. Pada kesempatan ini, Rizal Mantovani dan Jose Poernomo memilih untuk menggarap horor yang LEBIH GROUNDED. Bukan lagi soal pengungkapan mitos urban oleh sekelompok remaja, Jailangkung bercerita seputar keluarga yang harus menyelidiki misteri seputar penyakit ayah mereka. Naturally, cerita keluarga seperti ini mudah untuk kita relasikan. Kita akan melihat Bella dan saudari-saudari nyabergerak sebagai satu unit menghadapi masalah supranatural, mereka harus bermain jailangkung, dan ultimately, narasi juga akan menyinggung budaya lokal saat mitos hantu Matianak mulai mengambil tempat sebagai ‘penjahat utama’. Jadi, film ini punya amunisi yang tepat untuk menjadi sesajen horor untuk ditonton merinding bareng keluarga.

Kemunculan hantunya lumayan seram. Suara cekikikan hantu itu sanggup membuat kita merinding. Kalo mau iseng, coba deh sekalian hitung detak jantung masing-masing saat adegan Bella di tangga darurat rumah sakit. Timing penampakannya diatur dengan tepat. Penggunaan beberapa overhead shot membuat film ini terlihat sangat profesional. But there’s not much reflecting or reasoning behind those scenes except just to show that the filmmakers have enough budget so they can use drone to do the filming. Ditambah dengan scoring yang maksain feel banget, lucunya, shot-shot cantik itu malah bablas terlihat seperti video musik atau malah potongan iklan ketimbang sebuah media penceritaan.

Kreativitas oleh film ini ditampakkan dari betapa lihainya mereka menemukan cara untuk menggunakan adegan-adegan flashback. Lewat kenangan lah, lewat kaset video lah. Dan buat yang gak bisa nangkep nada ironisku; flashback adalah cara tergampang yang bisa dipikirkan oleh filmmaker untuk menjelaskan misteri dan backstory di dalam film horor. Serius deh, sedari awal aku sudah meragukan segi kreativitas film ini sebab dari banyaknya hal yang bisa dilakukan untuk memasarkan film tentang papan pemanggil arwah dengan cara yang berbeda, film ini berpuas diri comes up dengan mantra “Datang gendong, pulang bopong” yang terdengar konyol. I mean, musti bangetkah judulnya Jailangkung (beda ejaan doang)? Selain alasan komersial, aku gak bisa nemuin alasan kreatif di balik pemilihan itu. Dan setelah menonton filmnya, yang melimpah oleh flashback dan eksposisi, dugaanku terhadap kreativitas film ini terbukti sudah.

Hantunya bisa ngeja b-o-r-i-n-g gak ya?

 

Kita tidak bisa membuat penonton instantly peduli sama tokoh hanya karena tokoh-tokoh tersebut dimainkan oleh orang-orang kece. Tokoh tersebut perlu diberikan karakter, mereka perlu dihadapkan kepada tantangan dan pilihan yang sulit, yang nantinya akan membentuk mereka menjadi pribadi yang baru. So people could latch onto them. Dua bintang muda yang lagi hits-hitsnya, Amanda Rawles dan Jefri Nichol, tidak diberikan banyak hal yang bisa mereka lakukan. Film ini enggak membantu banyak untuk usia akting mereka yang masih belia dan butuh banyak perkembangan. Penokohan Bella dan Rama sangat hampa. Rama hanya ada di sana untuk dua alasan; sebagai sarana untuk eksposisi, dan supaya ada sosok yang bisa ‘didambakan’ oleh Bella. Aku sempat ngakak sih, Bella bersikeras untuk menjaga ayahnya di rumah sakit, dia membujuk kakaknya pulang dan beristirahat. Tapi setelahnya kakaknya pulang, Rama pun turut minta diri pamit pulang, dan di situ ekspresi Bella kayak kecewa banget seolah Rama gak ngerti ‘kode’ darinya yang pengen jaga berduaan hhihi.

Bella sesungguhnya punya akar motivasi. Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudari dalam keluarga yang sudah lama ditinggal mati oleh ibu. Sebagai anak tengah, tentu dia haus untuk membuktikan diri, bahwa dia juga capable untuk mengurus diri serta keluarganya, bahwa dia juga bisa seperti kakaknya yang mandiri. Pengarakteran ini disinggung sedikit sekali, sehingga di akhir film tidak ada perubahan yang dialami oleh karakter Bella. Seolah filmnya malu malu menyolek bahu Amanda Rawles. Semua kejadian tidak diset up untuk nantinya resolve around penokohan Bella. Sebagai seorang tokoh utama, Bella enggak ngapa-ngapain; bukan dia yang menggendong, bukan dia yang ngebopong. Malahan, di akhir, justru dia yang harus diselamatkan. Motivasi tokoh ini jadi sia-sia belaka, seperti terlupakan.

Dan bukan motivasi tokoh lead saja yang dilupakan oleh film ini. Ada banyak elemen yang hanya disinggung sekilas tanpa ada penyelesaian atau kontinuitas yang masuk akal. Sejak dari adegan pembuka yang terasa rushed banget, film ini tidak mampu untuk membuat kita bertapak kepada momen horor yang hendak dibangunnya. Hantu Matianak tersebut tidak pernah dijelaskan tuntas apakah dia menyerang silsilah keluarga mereka, let alone the reasons behind it. Plot poin soal ibu mereka juga enggak ada penyelesaian. Banyak penonton yang aku kenal juga mempermasalahkan soal ayah Bella yang tadinya nyasar di hutan, kemudian di adegan berikutnya dia sudah main jailangkung di dalam ruangan. Jangankan pemain-pemain muda, pemain senior semacam Lukman Sardi dan Wulan Guritno aja terlihat payah, terima kasih kepada penulisan tokoh dan naskah yang kayak diketik oleh anak kecil. Ngomong-ngomong soal anak kecil, tentu saja tokoh cilik di film ini tidak mendapatkan jiwa sama sekali. Mereka cuma jasad untuk media horor, jadi kenapa musti bersikap manusiawi, kan?

ada pesta, ada jailangkung

 

Kualitas dialognya juga mempersulit para tokoh untuk mendapatkan bobot yang berarti. Ada adegan ketika Rama kebingungan bertanya kenapa boneka jailangkungnya nutup sendiri padahal jelas-jelas dia yang goyangin. Mantra pemanggilannya juga dilafalkan oleh para aktor dengan little to no weight, sehingga tidak menimbulkan kesan apa-apa. Padahal tokoh yang diperankan Butet Kertaradjasa udah literally nyontohin gimana cara dan intonasi yang dramatis dan menimbulkan efek seram.

Segalanya terasa setengah-setengah. Ada momen ketika Bella berlari, dan aku mengira kita bakal mendapat long continuous take dari udara yang kreatif saat mereka mencari kakak di dalam rumah. Ternyata enggak. Mereka melakukanya di tempat paling mudah, yakni di areal pekuburan. Sepertinya film ini bisa lebih baik jika dipush menjadi lebih dewasa. Karena film ini menyinggung soal kehamilan, it would be better kalo Bella sendiri yang ngalamin apa yang dialami oleh Angel. Mereka bisa menggali banyak drama dari sana, Rama juga bisa jadi punya peran yang lebih berarti. Dan tentu saja horornya akan lebih kena, karena apa yang dialami Angel dalam film ini adalah hal yang sangat menyeramkan, apalagi buat wanita. Sayangnya, film ini – mungkin karena mengingat batasan usia penonton – tidak bisa menggali elemen tersebut. Membuatnya hanya sepintas dan terasa rushed out.

 

 

 

Ada kisah horor yang mumpuni dan berpotensi sangat seram terkubur di dalam film ini. It was a grounded story, diwarnai oleh mitos dan budaya pula. Aku gak tau apa yang terjadi di dapur produksi mereka, but the end product yang kita tonton sangatlah mengecewakan. Semuanya generik, gak seram, karakternya membosankan. Selayang pandang memang terasa profesioal, namun tidak ada bobot di dalamnya. Horornya digarap dengan buru-buru, meninggalkan banyak kesempatan demi jumpscare yang benar-benar out-of-place dan gak perlu. Karena semestinya film horor adalah soal jiwa, ketakutan dari dalam, alih-alih ketakutan fisik semata. Jika filmmaker lain memutuskan untuk mengikuti ‘kesuksesan’ film ini, maka bisa dipastikan masa depan film horor Indonesia akan sangat gelap dan mengerikan.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for JAILANGKUNG.

 

 

 

That’s all we have now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.