THE MEDIUM Review

“All is amiss. Love is dying, faith’s defying, heart’s denying”

 

 

Sebagai satu rumpun Asia Tenggara, Thailand mirip-miriplah sama kita. Di sana pun kepercayaan terhadap kleniknya tinggi (maksudnya, orang sono juga lebih suka ke dukun ketimbang ke klinik! hihihi) Dalam catatan yang lebih serius, ada perbedaan fundamental antara kepercayaan klenik orang Thailand dengan orang kita. Di kita, mempercayakan kesembuhan kepada ilmu ghaib bisa disebut sebagai dosa. Sebagai praktek syirik, karena bertentangan dengan ajaran agama. Menduakan Tuhan. Sedangkan bagi mayoritas penduduk Thailand, klenik tersebut justru bagian dari kepercayaan religi mereka. Bangsa Thailand berdoa kepada Dewa-Dewa. Meminta kesejahteraan, kesehatan, peruntungan. Dukun adalah perantara rakyat dengan sesembahan mereka. Menolak menjadi dukun saja, berarti menolak percaya kepada Dewa-Dewa, dan itu adalah perbuatan salah yang bakal mendatangkan kemalangan. Seperti yang persisnya terjadi pada cerita film yang di-review kali ini. The Medium, kolaborasi antara penulis naskah Thailand dan Korea, akan membuka perjalanan horor My Dirt Sheet pada musim halloween tahun ini!

medium80hnp3NoCkV75bXWPLA88wEgFcK
Kalo kita bisa percaya penyakit sihir seperti cacar naga, maka kita juga bisa percaya sama sakit guna-guna

 

Poster filmnya bilang bahwa ini adalah cerita tentang perdukunan di Thailand. Maka kita dibawa melihat keseharian seorang dukun perempuan yang cukup populer bernama Nim. Cerita tampak cukup inosen di awal-awal. Kita melihat dia mengobati orang. Kita mendengar Nim menjelaskan tentang pekerjaannya tersebut, tentang darimana ia mendapat ilmu, dan bahkan soal ia memposisikan diri sebagai sanding dari ilmu kedokteran. Semua itu ternyata set up untuk kekacauan yang bakal terjadi. Bermula dari Nim yang menghadiri pemakaman suami kakaknya. Kita lantas diberitahu soal keluarga besar Nim, yang adalah bungsu dari tiga bersaudara. Keluarga besar Nim sepertinya dikutuk, lantaran sang kakak pernah menolak ilmu dukun dari Dewa. Nim langsung tahu bahwa ada yang tidak beres pada Mink, kini anak satu-satunya dari kakaknya. Mink, dengan mood swing yang mengkhawatirkan. Mink, yang bicara kepada orang yang tak kelihatan. Mink, yang pantulannya di cermin bisa senyum sendiri (jantungku copot lihat adegan ini!) Mink, yang sempat menghilang dan kembali – tidak lagi seperti orang normal. Nim bisa jadi satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan keluarganya, namun bahkan serangan kekuatan gaib yang jahat itu too much untuk dihandle oleh Nim. 

Medium storytelling yang dipakai oleh sutradara Banjong Pisanthanakun (salah satu horor karyanya yang paling membekas buatku adalah Shutter di tahun 2004) dalam The Medium ini adalah gaya dokumenter. Kehidupan Nim direkam oleh beberapa kru kamera yang ingin meneliti profesi dukun sebagai tradisi lama yang ada di Thailand. Dalam perfilman, istilah untuk cerita fiksi yang dibingkai dengan gaya dokumenter disebut mockumentary. Dokementer ala-ala. Yang memang, seringkali, bukan gaya dokumenternya saja yang di-mockery. Melainkan juga ada film menggunakan gaya tersebut untuk menyentil topik yang diangkat. Seperti bagaimana Taika Waititi dalam What We Do in the Shadows (2014) memparodikan genre vampire. Atau bagaimana This Is Spinal Tap (1984) didesain untuk ngeledek kehidupan rock band. Akan tetapi, The Medium tidak terasa seperti komentar nyeleneh terhadap perdukunan. Sutradara Banjong justru terlihat punya respek yang dalam terhadap profesi tersebut. Lewat dialog yang dibentuk sebagai interview, dimuatnyalah berbagai insight.

Bahwa kerjaan dukun punya beban, tanggungjawab, dan segala kesusahan tersendiri. Kita melihat Nim yang tidak menikah, hidup sendiri alih-alih dua saudaranya yang tinggal serumah di bagian lain kota. Nim tidak dibuat sebagai karakter serbabisa, yang punya mantra-mantra ampuh, dengan tarian-tarian ritual memukau. Tidak ada jurus-jurus. Tidak ada merintah-merintah hantu berantem untuk berantem kayak Shaman King. Ketika Nim bekerja, yang kita rasakan justru ke-vulnerable-an. Dukun ternyata tidak segampang itu mengusir setan. Nim butuh waktu berhari-hari berdoa dalam lingkaran ritual yang rumit dan gak mentereng. Dia bahkan harus berhujan-hujan menanti petunjuk dari roh yang ia ajak komunikasi. Bumbu drama antara Nim dengan keluarga kakaknya, dengan abangnya, menambah lapisan pada gambaran seorang dukun yang diceritakan oleh film ini. Pekerjaan Nim benar telah jadi mockery, bahkan di kalangan rakyat Thailand itu sendiri. Dua saudara tertua Nim sendiri tidak terlampau respek sama kerjaan dukun. Sang kakak justru menolak ilmu tersebut jatuh kepadanya, dan memilih ‘kabur’ memeluk agama lain. Dalam satu adegan diperlihatkan Nim nangis dengan tragis saat patung Dewa yang sudah turun temurun jadi sembahan keluarganya ditemukan dalam keadaan patah. Kepala Dewa itu berguling di tanah.  Film tidak menegaskan bahwa itu adalah perbuatan roh jahat yang berusaha ia usir, atau ada orang tertentu yang sengaja menghancurkan patung. Yang jadi poin adalah kerjaan relijius Nim tidak lagi mendapat perlakuan atau diterima dengan sebagaimana mestinya.

Dari sekian banyak dosa yang bisa dilakukan umat manusia terhadap keyakinannya, menolak Tuhan adalah dosa paling besar. Film ini menunjukkan dosa tersebut tidak terampuni. Tuhan balik meninggalkan keluarga kakak Nim, dan di momen eksak itulah keluarga tersebut tidak bisa tertolong lagi.

 

Gaya dokumenter digunakan dengan maksimal. Karena dengan konsep ini yang kita lihat terbatas pada apa yang direkam oleh kamera dalam narasi saja, info yang kita dapat juga tidak bisa lebih banyak daripada kameramen – kita tidak melihat kejadian yang off-camera atau yang tidak direkam – sehingga ini menambah banyak bobot ke dalam aspek misteri yang dimiliki oleh film. Kayak patung tadi, kita tidak tahu pasti bagaimana bisa rusak, dan oleh siapa. Tapi misteri kejadian tersebut dengan efektif menaikkan tensi. Dan film juga jago dalam membangun tensi. Atmosfer mengerikan juga terjaga dengan baik. 

Salah satu tantangan dalam mockumentary adalah membuat alasan yang bisa dimaklumi kenapa ada kamera di sana. Film ini bijak sekali dalam menempatkan kamera tersebut. Ketika there’s no way kru bisa ada di satu tempat tertentu, maka film enggak ragu untuk memindahkan pandangan kita kepada rekaman cctv misalnya. Dan actually, memang pada permainan gimmick kamera inilah The Medium menyimpan kekuatan. Sekuen kamera tersembunyi pada menjelang babak ketiga adalah bagian yang paling seram buatku. Jumpscare yang dilakukan pun tidak annoying, melainkan memang efektif sebagai punchline adegan seram. Selanjutnya tentu saja adalah kru kamera itu sendiri. Film harus menemukan adegan atau alasan yang pas, yang memungkinkan kenapa mereka bisa terus merekam padahal ada hantu. Film juga memikirkan rancangan untuk ini. Yang juga dimainkan ke dalam pay off adegan horor nantinya. You know, dengan santainya nanti si hantu merebut kamera dari tangan kameramen, dan balik merekam mereka. Mengungkapkan horor yang selama itu tak-terlihat kepada kita semua.

Dalam lingkup horor, film ini memang enggak segan-segan menampilkan darah, adegan menjijikkan, adegan vulgar, hingga ke adegan sadis. Korbannya juga enggak pilih-pilih. Kuat-kuatin mental deh kalo mau nonton film ini. Jika kalian punya soft spot kepada hewan atau anak bayi, maka kalian akan butuh sebanyak mungkin comfort items yang bisa kalian dapatkan sebagai persiapan sebelum menonton.

medium808503_s_1624271312911
Bayangin, Dewa aja ditolak loh. Women, am I right?

 

Dengan perhatian tercurahkan kepada rancangan gaya dokumenter supaya efektif untuk capaian horor, film ini mau tidak mau jadi abai sama bangunan narasinya. The Medium akan terasa kepanjangan, ada masalah pacing yang cukup serius di pertengahan saat film mulai terasa menapaki poin yang berulang-ulang. Mink menghilang, ketemu, kesurupan, Nim berusaha mengusir roh jahat dengan ke tempat-tempat misterius, Nim seolah tahu sesuatu, tapi Nim tetap gagal. Ada beberapa kali siklus tersebut berulang, dalam berbagai variasi. Nim sebagai tokoh utama pun mulai menjengkelkan. Karena meskipun seharusnya ini adalah interview dia, tapi dia tidak pernah memberitahu kita apa-apa soal kasus Mink. Kamera, dan kita, hanya mengikutinya ke mana-mana. Mengikuti tindakan dan pencerahan yang ia dapatkan, tapi kita tidak pernah tahu dia sebenarnya lagi ngapain. Kita tidak tahu apa makna telur yang kuningnya berwarna hitam. Kita hanya melihat Nim bereaksi. Ada kesan seperti film sendiri juga sebenarnya tidak tahu, dan hanya melakukannya untuk mengulur-ulur misteri. Lalu Nim ‘hilang’ begitu saja. Posisinya digantikan oleh dukun pria, yang hadir so late in the game sehingga seperti karakter yang serbatahu. Seperti film butuh solusi instan. Dan on top of pergantian tokoh utama begitu saja (dari Nim sepertinya ke kakaknya), kasus misteri tetap tidak ada penjelasan.

Cerita film ini tidak berakhir dengan perasaan yang memuaskan. Yea aku tahu, ini bukan happy ending. Tapi bad ending yang disajikan juga tidak memuaskan, karena tidak benar-benar terasa seperti menuntaskan apa-apa. Babak ketiga film ini adalah ketika semua kerusuhan terjadi. Asik untuk horor-hororan, tapi film juga seketika menjadi all over the place. Ada orang yang kayak zombie, makanin orang. Ada orang kesurupan nabrakin kepala ke tembok ampe serpihan otaknya nempel. Kamera dengan infrared. Voodoo doll. Semua itu berlangsung gitu aja tanpa ada kepedulian sama konflik karakter yang seperti disudahi begitu saja. They are helpless, so, here’s hell for your entertainment. Film kayak bilang begitu kepada kita semua. Film yang tadinya meminta perhatian kita pada cerita, pada drama dan perasaan karakter, pada kerjaan dukun, mendadak menyuruh kita untuk senderan dan rileks menikmati horor yang mereka sajikan. Yang tampak buatku, ini merupakan sebuah ketidakkonsistenan, dan malah hampir seperti film memang tidak tahu cara mengakhiri cerita dengan tepat.

 

 

Sebagai wahana horor, aku suka. Aku merekomendasikan ini sebagai tontonan Halloween kalian semua. Nuansa horor yang kental, relate dengan kita. Karakter yang juga somehow terasa akrab. Gaya bercerita yang efektif sebagai landasan momen-momen seram yang bikin kita segen matiin lampu rumah di malam hari. Film ini punya semua itu. Yang tidak film ini punya, dan ini penting, adalah konsistensi bangunan cerita. Kita yang orang Indonesia bisa nonton ini tanpa subtitle, dan tidak akan ketinggalan banyak narasi penting, dan bisa tetap mengerti. Karena yang punya pay off pada film ini hanya gaya berceritanya. Ceritanya sendiri tidak. Jika kalian pengen nyimak cerita seputar dukun dan kepercayaan yang lebih padet dan matang, kalian akan lebih menemukannya pada The Wailing (2016), karya penulis naskah dari Korea yang ikut kolab ngerjain naskah film ini. Efektif hanya sebagai wahana horor, namun tidak demikian halnya sebagai film horor, film ini ternyata tepat sekali seperti judulnya. Medium. Sedang-sedang saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE MEDIUM.

 

 

 

That’s all we have for now

Ngomong-ngomong soal dukun, waktu kecil aku punya penyakit amandel. Yang cukup parah, gampang meradang. Aku pasti sakit demam dan tidak bisa menelan makanan, paling tidak satu kali dalam sebulan. Karena takut dioperasi, maka aku dibawa orangtua berobat ke dukun. Nah lucunya, sebelum ketemu sama dukun yang bener, aku sempat nyasar dulu ke dukun yang ngasal. Dari mana aku dan orangtuaku tahu bahwa dukun pertama itu ngaco? Well, karena, dia nyuruh kami untuk nyari obat berupa telur dari ayam hitam berbulu putih!

Apakah kalian punya pengalaman lucu (atau mungkin seram!) seputar berobat ke dukun?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

THE GUYS Review

“Vulnerability is the only bridge to build connection.”

 

 

Tidak ada penulis yang mengeksplorasi laki-laki dan kejombloan lebih sering dari yang dilakukan oleh Raditya Dika. Sejak Kambing Jantan (2009), formula cerita comedian yang mengawali karir dari blog ini selalu adalah tentang cowok awkward yang desperately pengen punya pacar, dia mencoba banyak tips ajaib yang justru bekerja di luar harapan, dan sebagian besar memang berakhir tragis. Namun di situlah letak lucunya; bagi penonton muda pengalaman kocak yang diceritakan Raditya Dika sangat mudah buat direlasikan. Dia berani tampil unik, yakni TAMPIL VULNERABLE. Mengeluarkan sisi lemah untuk ditertawakan bersama-sama. Namun begitu, hal tersebut juga jadi alasan kenapa karya-karya Raditya Dika lebih mudah diterima oleh pembaca cewek. Sebab cowok enggak suka menunjukkan vulnerability atau ‘kelemahan’. Dan manusia secara umum; semakin dewasa orang-orang akan semakin lebih nyaman menyimpan sisi vulnerable mereka dalem-dalem. Makanya Pak Jeremy dalam film The Guys terlihat galak dan kontras sekali dengan tokoh yang Alfi yang diperankan oleh Raditya Dika. Di film ini, kita akan melihat dua generasi yang berbeda mengekspresikan kevulnerablean mereka dalam relationship. Dan ini adalah elemen yang paling menarik yang ditawarkan oleh The Guys.

Being vulnerable mengimplikasikan kita berani untuk menjadi diri sendiri. Dan meskipun adalah menakutkan untuk menunjukkan kelemahan, seperti Jeremy yang segera mengganti ikat pinggangnya yang seragam dengan Alif – yang menunjukkan dia mungkin se’lemah’ Alif, vulnerability adalah hal yang penting dalam menjalankan hubungan sosial, terlebih hubungan percintaan. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa menjalin hubungan kepercayaan di antara dua orang, tapi jika dan hanya jika, kedua belah pihak mau bersikap vulnerable bersama-sama.

 

Alfi pengen jadi orang yang sukses. Punya istri cantik dan pekerjaan yang ia senangi. Yang ia punya dari kerjaannya sebagai karyawan kantor marketing Pak Jeremy adalah tiga sohib sekontrakan dan status jomblo dua-tahun. Keinginan-keinginan Alif sudah akan terwujud sekaligus; dia berhasil deket sama temen kantornya yang bernama Almira, cewek cantik yang ternyata adalah anak dari bosnya, Pak Jeremy. Tapi kemudian kejadian menjadi membingungkan bagi Alif karena setelah keluarga mereka makan malam bersama, Pak Jeremy yang lama menduda malah jatuh cinta kepada ibunya yang juga sudah lama ditinggal oleh ayah. Aku jadi teringat cerita si Mandra di sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang batal ngelamar lantaran hari itu bapaknya keburu bikin acara lamaran nikah buat dirinya sendiri. Elemen cerita ini menciptakan semacam sense kompetisi dan urgensi. Alif, tentu saja dia harus segera mengungkapkan cintanya (sukur-sukur diterima!) sebelum Almira malah berakhir menjadi sodara tirinya.

gimana awkwardnya coba kalo jadi kakak-adek beneran!

 

Konflik drama tersebut datang sebagai midpoint, menjadikan film ini seperti terbagi menjadi dua bagian. Paruh pertama kita melihat kehidupan sosial Alif. Dan dalam kasus film ini, sosial adalah berarti beredar mencari cewek. Kita menyaksikan cinta Alif yang kandas, melihat dia mendengar saran-saran dari teman-temannya, dan ketika dia kenalan dan pedekate kepada Almira. Bagian ini penuh oleh trope-trope komedi cinta untuk remaja, yang cenderung konyol. Separuh akhir lagi adalah giliran elemen-elemen dramatis untuk unjuk gigi. Kita sesekali diperlihatkan si Alif ini mikir apa aja kala dia sedang sendirian di kamar mantengin skema ‘Life Goal’ yang ia buat; soal relationshipnya dengan Almira, haruskah dia ngalah buat ibu dengan Pak Jeremy. Ada bicara soal menjadi bos bagi diri sendiri juga. Meski tone cerita tetap dijaga enggak jauh-jauh dari komedi konyol, bagian akhir film ini agak sedikit berat oleh pecahnya fokus cerita. Usaha film ini memancing sisi dramatis kerap terasa out of nowhere sebab mereka terlalu bermain ringan di babak set up.

Motivasi Alif tidak pernah tercermin dengan baik, dan terasa dijejelin begitu saja. Naskah yang baik seharusnya mampu menggali tiga sisi kehidupan tokoh; profesional, sosial, dan personal. Kita tidak pernah melihat karakter Alif dalam lingkup cahaya profesional. Maksudnya, ini adalah cerita dengan set kantoran, Alif digambarkan jenuh dengan kerjaan, tapi kita tidak pernah melihat kerjaan dia tuh ngapain aja. Ada adegan ketika tim mereka ketinggalan flashdisk buat presentasi, dan yang dilakukan Alif hanya berdiri di sana, enggak ngapa-ngapain. Harusnya bisa dibikin dia nekat presentasi impromptu walaupun toh tetep ketahuan dan gagal. Niat mulia yang keluar kuat dari Alif adalah dia pengen punya cewek, karena film ini sebagian besar akan mengekspos hal tersebut. Penyelesaian dari elemen kerja ini juga datang begitu saja, tanpa ada build up ataupun rintangan yang dihadapi. Dia cuma kayak “Oke gue selesai, gue sekarang berani ngambil langkah ini, gue bisa kok bikinnya” dan memang semuanya jadi serba gampang. Bahkan perjuangan cinta Alif juga dibahas dengan ‘cepat’ dan enggak benar-benar ada rintangan selain kekonyolan yang terus dipancing due to this film’s comedy nature.

Aku sempat bengong juga harus mulai mengulas film ini dari mana. Sebab semua elemen cerita serta elemen penggarapannya DIOLAH DENGAN SANGAT BASIC. Alasan Almira enggak ngasih tau siapa bapaknya kepada Alif sampai sebelum dinner adalah karena dia takut Alif nanti kaget; dari sana saja mestinya udah bisa ngasih gambaran tentang kualitas dialog dan penalaran tokoh pada film ini. Lima menit pertama film udah nyamain remaja dengan air conditioner yang belum diservis, not to mention kita juga sudah dapat dua lelucon kamar mandi dalam rentang waktu segitu. Dan hitungannya masih bakal terus meningkat lagi sampai akhir. Situasi, jokes, karakter, semuanya ditulis dengan standar. Film ini punya kecenderungan buat ngejelasin jokesnya lewat percakapan, yang sebetulnya enggak perlu, tapi mungkin karena filmnya sendiri sadar bahwa materi yang mereka punya enggak cukup kuat. Delivery dan pengintegralan lelucon-lelucon tersebut pun biasa sekali. Hanya ditargetkan buat memancing tawa dengan gampang. Materi komedinya kebanyakan diambil dari anekdot-anekdot yang sedang ngehits sekarang ini. Bagus sih, jadi kekinian, tapi bayangkan kalo film ini ditonton sepuluh tahun lagi. But hey, paling enggak di film ini ada orang yang ‘bola’nya sakit, itu pasti lucu sepanjang waktu kan?

Iya sih, kalo film ini dibuat atas dasar ngetawain diri sendiri, mestinya kita sadar dong seberapa gede kans film ini dibuat dengan mereka menghormati para penonton.

 

Sebagai tokoh utama, Alif sebagian besar waktu enggak ngapa-ngapain. Dia dapat info-info penting dari orang lain, dia nyaris enggak figure out anything. Raditya Dika hanya berdiri di sana pasang tampang komedi (alias ekspresi sangsi campur bloon). Ketiga sahabatnya enggak diberikan penokohan yang cukup. Hanya ada satu yang diperhatikan lebih, yaitu si Sukun dari Thailand yang jago bikin teh beraneka khasiat. Dia adalah sahabat Alfi yang vulnerable dan itu membuatnya mudah konek dengan penonton. Namun film ini masih terasa sengaja membuat tokoh ini sebagai karakter ‘bego’ sehingga dengan bisa digunakan dengan mudah untuk memantik sisi dramatis. Penampilan yang bisa dinikmati adalah dari Tarzan dan Widyawati, mereka terasa humane. Namun menjelang akhir, film berpindah ke aspek persahabatan yang enggak pernah sebelumnya diset dengan meyakinkan. There’s so much things going on. Jika film lebih fokus, mungkin jika mereka bener-bener mengeksplorasi dari aspek saingan yang konyol dengan Pak Jeremy sebagai ‘antagonis’, narasi akan lebih rewarding. Bagian akhir terasa sangat numplek, beberapa bagian narasi juga kelupaan untuk dibahas lagi. Almira enggak nongol lagi. Tokoh-tokoh cewek, selain ibu Alif, juga ditulis dengan basic. Almira is nothing but a love interest. Sejak Aach… Aku Jatuh Cinta (2016), Pevita nunjukin peningkatan dalam penyampaian dan intonasi, namun permainan ekspresinya masih lemah. Dan sebagai Almira, comedic delivery Pevita Pearce masih minim, dia masih sebland biasanya.

aku bisa relate sama perasaan diajak ketemuan ama Pevita

 

Elemen romansa seputar Alif enggak ditangani dengan cara yang dewasa. Para tokoh film ini kayak anak abg yang pake kemeja kantoran. Ada banyak film atau juga serial di mana tokoh-tokohnya udah gede namun masih kekanakan, tapi dalam film ini, they are just dumb. Aku pikir, ini enggak exactly masalah umur ataupun enggak cocok sama demografi pasar ceritanya, karena toh memang ada beberapa momen yang bisa kurelasikan. Tapi sebagian besar film memang terasa datar, emosinya artifisial, enggak ada nuansa fun – bahkan para pemain tidak tampak fun memainkan tokoh mereka, dan yang paling menarik adalah bagian ketika tokoh-tokoh yang lebih dewasa menunjukkan sisi vulnerable mereka. Everything about this film is so basic. Raditya Dika mungkin nyaman dengan itu, tapi film enggak bisa mengandalkan vulnerabilitas semata. Strukturnya harus diperhatikan. Penulisannya perlu dimatangkan. Sebagai penonton kita akan selalu punya banyak pilihan film lain yang lebih relatable dan lebih menantang.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE GUYS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And they are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.