PARASITE Review

“… one must climb the ladder from the first step.”

 

 

Kecerdasaan tidak ada hubungannya dengan kekayaan. Jenius matematika enggak lantas membuat kita kaya. Pun, punya duit banyak bukan berarti jaminan seseorang berarti cerdas luar biasa. Engkau bisa saja punya duit bermilyar-milyar namun tetap tertipu oleh seseorang licik yang bahkan tidak punya buku tabungan. Thriller drama keluarga terbaru dari Joon-ho Bong membahas anekdot tersebut, tentu saja dengan nada komedi yang membuat kita tertawa, hingga kita menyadari ini sesungguhnya adalah gambaran menyedihkan yang begitu dekat dan relevan tentang betapa bodohnya kita dalam memandang perbedaan kelas sosial.

Parasit itu adalah keluarga miskin seperti keluarga Ki-taek; empat orang usia-kerja namun tak berpekerjaan selain melipat kotak-kotak pizza saat wi-fi gratis yang mereka tebengi dikunci oleh password. Mereka tinggal di rumah berserangga bau yang letaknya nyaris di bawah tanah. Pemandangan dari jendela mereka adalah kerikil di jalanan, yang akan segera dikencingi oleh seorang pemabuk. Jika mereka bilang mereka berjuang, kita certainly tidak melihatnya. Paling tidak, bukan berjuang dengan cara yang benar. Padahal mereka bukan orang tak ber-skill. Nyonya Ki-taek adalah mantan atlet lempar peluru. Putri bungsu Ki-Taek berbakat di bidang seni. Dan putra sulungnya, meskipun tidak bisa lanjut kuliah, punya kemampuan bahasa Inggris yang sejajar dengan tingkat universitas. Kemampuan bahasa inggris itulah yang kemudian menjadi pintu kesempatan. Putra Ki-taek ditunjuk untuk menggantikan temannya sebagai guru privat di rumah keluarga kaya. Rumah yang tamannya ada di atas. Bagai gula dirubung semut, keluarga kaya itu lantas jadi inceran keluarga Ki-taek; yang menggunakan segala daya upaya (alias tipu muslihat) supaya seluruh anggota keluarga bisa bekerja di sana.

cerita home invasions dan squatters mengerikan karena, siapa sih yang mau diserang di tempat kita buang air paling nyaman?

 

Celetukan sosial bukan ranah asing buat sutradara Bong. Dia sudah pernah menempatkan kita di sudut pandang orang kecil yang berjuang melawan penguasa demi kesejahteraan lewat Snowpiercer (2013) yang punya dunia unik; ‘negara’ dalam cerita itu adalah literally kereta api yang berjalan tanpa henti. However, dalam Parasite, kita ditempatkan dalam posisi yang tak-biasa. Di film ini kita diminta untuk bergerak bersama ‘orang kecil’ yang berjuang supaya hidup enak dengan mengambil cara kriminal. Ada sekuen rinci yang memperlihatkan rencana penipuan yang dilakukan oleh protagonis kita. Yang kita lihat jelas-jelas salah, tapi kita tetap peduli dan mengkhawatirkan rencana tersebut – kita tetap ingin para tokoh miskin itu berhasil. Malahan kita akan bareng-bareng menertawakan kebegoan orang kaya yang dengan gampang tertipu oleh embel-embel “dari Amerika.” Ketika cerita berubah menjadi violent, emosi yang kita rasakan kepada tokohnya pun tidak berubah. Malah berlipat lebih kuat. Film mencoba membuat kejadian berdarah itu masih punya hati. Sehingga kita menyayangkan peristiwa yang terjadi.

Semua itu bisa saja bentuk sindiran Bong kepada negara. Pemilik rumah gedong yang ‘disatroni’ oleh keluarga Ki-taek bisa jadi adalah perlambangan dari pemerintah yang lebih memperhatikan dunia internasional dibandingkan rakyat jelatanya. Standar yang begitu tinggi ditetapkan sehingga untuk membantu orang pun, si petinggi itu milih-milih. Tapi ini semuapun sejatinya sudah pernah dibahas oleh Bong dalam The Host (2006), dengan lebih blak-blakan pula dalam upaya mengingatkan induk semang alias negara yang semestinya melindungi warganya tanpa pandang bulu. Parasite, bagaimanapun juga, adalah lebih tentang para rakyat itu. Membalut ceritanya dalam subgenre horor ‘home invasions’ yang ditubrukkan dengan satu lagi subgenre horor yakni ‘squatters’ (semacam home invasions tapi ancaman datang dari dalam rumah) tidak lain tidak bukan adalah cara film untuk menyuarakan kengerian ketika rakyat menyerang rumahnya sendiri. Yang ditekankan oleh cerita kali ini adalah bagaimana penduduk miskin rela bunuh-bunuhan demi memperebutkan remah-remah kekayaan. Makanya menonton ini terasa miris. Melihat keluarga Ki-taek dan satu keluarga lagi yang jadi kejutan di pertengahan cerita, membuat kita sadar bahwa mereka semestinya tidak melakukan itu, tapi mereka pikir harus begitu.

Dunia mungkin tampak terbalik. Bagaimana mungkin orang yang sukses ternyata tidak lebih pintar daripada kita? Sebagian orang mungkin akan menuding privilege. Atau mungkin nyalahin presiden. Jika rumah adalah negara, maka kita harusnya turut menjaga dan memeliharanya. Daripada memutar otak untuk terus dijamu dan jadi freeloader, sebaiknya kita mulai berpikir apa yang bisa kita lakukan untuk membuat rumah semakin nyaman ditinggali.

 

 

Rumah di bawah tanah dan hunian di lantai atas, orang kaya yang bego dan orang miskin yang cerdik, semua itu tentu saja ada maknanya. Bong ingin menunjukkan kepada kita bahwa satu-satunya pembeda antara si kaya dan si miskin – antara konglomerat dan melarat – bukan pada kecerdasan, bukan pada kesempatan, melainkan pada letaknya. Atas dan bawah yang sebenarnya terhubung oleh tangga. Tinggal menaiki tangga itulah yang menjadi soal. Tapi terkadang, orang untuk naik tangga aja males. Dan orang males ‘keunggulannya’ adalah pikirannya bisa lebih ‘cerdas’, kayak keluarga Ki-taek di film ini. Mereka mau bekerja, tapi hanya jika mereka bisa menyedot keuntungan darinya, dengan cara yang cepat. Ada yang lompat-lompat dari satu anak tangga ke dua anak tangga di atasnya. Ada yang berusaha mencari jalan naik yang lebih gampang. Tapi tentu saja resikonya besar. Bahkan yang hati-hati naik tangga saja bisa terpeleset dan jatuh.

Hanya ada satu cara untuk ke atas. Hanya ada satu cara untuk jadi sukses, kaya, atau makmur. Berusaha dengan giat. Bekerja dengan benar. Jangan ambil jalan pintas. Jangan anggap kesuksesan sebagai sesuatu yang harus dicurangi. Jika mengkehendaki sesuatu, kita harus mengusahakannya. 

 

Terpeleset di tangga actually dijadikan poin penggerak di dalam cerita. Kita melihat beberapa kali para tokoh ‘gagal’ mempertahankan posisi mereka di tangga, karena mereka tidak mengambil langkah yang benar. Di ending film, menaiki tangga  ditekankan kembali sebagai jalan keluar yang disadari oleh tokoh utama cerita. Yang lantas membuat kita ikut menghela napas, ah seandainya dari awal mereka begitu. Di sisi lain, gerak-maju narasi dalam film ini tampak terlalu penting untuk dimulai oleh adegan terjatuh di tangga yang membuatnya tampak sebagai kebetulan. Filosofi tangga dan pentingnya adegan tersebut kita bisa paham. Namun, membuat film ini sendiri menjadi terlalu fantastical. Membuatnya tampak konyol, malah. Dan ketika satu tokoh mengulangi kesalahan yang sama, jadinya annoying. Kita punya bangunan cerita yang kuat, dengan tokoh-tokoh unik yang membuat kita peduli, tapi cerita butuh untuk orang berdiri menguping di atas tangga dan kemudian terjatuh begitu saja; agak kurang memuaskan, dan ya, memaksa.

sudah jatuh, ditimpuk batu pajangan pula!

 

Tubuh besar cerita film ini memang tampak seperti terdiri dari dua bagian. Paruh pertama yang menitikberatkan kepada drama. Dan paruh kedua yang berupa sajian mendebarkan. Sekilas memang seperti kelokan yang cukup tajam, tetapi sebenarnya transformasi cerita ini sudah di-foreshadow di awal oleh kemunculan serangga-bau alias stinkbugs. Hewan ini memegang peranan cukup penting karena dia berfungsi sebagai perlambangan dan akar dari motivasi salah satu tokoh. Serangga-bau actually will come full-circle sebagai relik pada arc salah satu tokoh. Dan merupakan salah satu dari banyak elemen pada film ini yang bekerja efektif dan bertanggungjawab membuat cerita semakin menarik untuk diikuti.

 

 

 

Bermain dengan banyak tone cerita, film-film biasa akan tersandung, terjatuh bergulung-gulung menjadi satu gumpalan yang kacau. That’s not the case for this film. Dari awal hingga akhir, mata kita akan terpaut kepada adegan demi adegan. Memanfaatkan materi cerdas, permainan akting yang meyakinkan, dan kerja kamera yang membuat kita menyaksikan langsung seperti lalat yang hinggap di rumah film itu, penceritaan drama thriller ini bekerja dengan luar biasa efektif. Dia mengambil waktu, dan tidak terburu-buru mengembangkan semuanya. Demi menyampaikan gagasannya, film yang tadinya tampak manusiawi mau tak mau harus berkembang ke arah yang lebih fantastical – dalam sense edan dan di luar nalar – dengan beberapa plot poin memiliki unsur kebetulan. Bagi sebagian penonton hal tersebut dapat mengurangi kepentingan film ini, but still, film korea yang judul aslinya Gisaengchung ini adalah tontonan yang seru dari awal hingga akhir.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for PARASITE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian, kenapa pinter tidak lantas membuat kita kaya? Apa sih yang sebenarnya membuat orang-orang miskin? Apakah karena beneran bodoh atau dibodoh-bodohi?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ANNABELLE COMES HOME Review

“Keep your enemies closer”

 

 

Suka duka jika engkau adalah anak dari pasangan orangtua yang pekerjaannya sebagai demonologis alias pengusir setan cukup banyak. Di antara sukanya adalah, orangtuamu sering bepergian maka tentu saja akan sering bawa oleh-oleh. Dukanya, oleh-oleh yang mereka bawa berupa barang atau jimat terkutuk. Sukanya lagi, orangtuamu akan dianggap pahlawan oleh beberapa orang. Dukanya, kamu bakal sering di-bully oleh orang-orang yang menganggap kalian keluarga tukang-tipu yang aneh.

Judy Warren yang mulai beranjak berpikir angsty layaknya remaja, mau gak mau merasa tertekan juga dengan kerjaan ibu dan ayahnya. Selain babysitter yang cakep, Judy gak punya teman lagi. Dia pun mulai melihat makhluk-makhluk gentayangan di sekitarnya. Namun, Judy mau-tak mau akan belajar untuk menerima pekerjaan orangtuanya beserta segala resiko, juga untuk mengerti kenapa ‘keunikan’ keluarganya dibutuhkan oleh dunia. Percayalah, jika oleh-oleh yang dipajang di ruang bawah tanah oleh orangtuamu adalah boneka Annabelle, kalian pun akan mengerti seperti Judy.

satu yang pasti; Halloween di keluarga tersebut pastilah super menyenangkan

 

Annabelle Comes Home adalah film ketiga dari Annabelle dan seri ketujuh dalam Semesta Conjuring, yang seharusnya adalah film pertama dari seri Annabelle. Kejadian pada film ini langsung menyambung dari penutup The Conjuring pertama (2013) saat Ed dan Lorraine memutuskan untuk tidak menghancurkan Annabelle, melainkan membawanya pulang. Menyegel boneka yang tidak dirasuki itu di gudang barang-barang jahat di rumah mereka. Frasa ‘boneka-yang-tidak-dirasuki’ itu bener-bener ditekankan oleh film. Beberapa kali Lorraine nerangin bahwa ‘cara kerja’ Annabelle itu seolah suar kanal yang menarik dan menyalurkan hantu-hantu jahat. Jadi, ya, tidak perlu memang kita mengetahui asal usul hantu – kenalan sama roh – yang pernah menggerakkan boneka tersebut. Dengan kata lain, sebenarnya film ini juga ngakuin bahwa film Annabelle pertama dan kedua tidak lain dan tidak bukan hanyalah proyek cash grab semata. Untungnya Annabelle kedua – Annabelle: Creation (2017) – jadi kita gak rugi-rugi amat.

Ed dan Lorraine asli memang sudah tiada – film ini actually dipersembahkan untuk mengenang Lorraine yang baru saja tutup usia April yang lalu – tapi legacy dan berkas-berkas kerjaan mereka akan terus hidup dalam semesta film ini. Memanfaatkan nama Vera Farmiga dan Patrick Wilson yang muncul basically sebagai cameo yang kelewat efektif, Annabelle Comes Home seperti ingin tampil sebagai film drama horor yang bener-bener niat. Yang jadi anak mereka pun diganti pemerannya, Judy di film ini jadi diperankan oleh McKenna Grace yang udah buktiin betapa dia calon aktor masa depan lewat Gifted (2017) dan serial The Haunting of Hill House; baru-baru Grace sempet nongol juga jadi Captain Marvel semasa kecil. Penampilan Grace menakjubkan di sini. Padahal skrip film ini juga gak bagus-bagus amat. Tapi aktingnya kerasa jomplang banget lah kalo dibandingin sama akting aktor-aktor cilik dalam film dan horor lokal kita.

Frame demi frame dihiasi oleh gambar-gambar yang ditangkap dengan cukup perhitungan. Permainan warna dan visual mampu menimbulkan kesan yang eerie. Nyaris seratus persen kejadian dalam film ini berada di dalam rumah keluarga Warren. Di tangan film yang benar-benar kompeten, sempitnya ruang ini akan dimanfaatkan maksimal untuk bermain super kreatif demi menggali momen-momen horor yang tak biasa. Harus benar-benar memikirkan kejadian horor seperti gimana lagi yang menampilkan sesuatu yang bercerita, yang mendukung para karakter. Secara tampilan luar, Annabelle Comes Home memang menarik. Judy, dan dua babysitternya, dibuat seperti mengarungi wahana rumah hantu, padahal mereka sedang berada di dalam rumah yang sudah mereka kenal. Dan kenyataannya, memang cuma penampilan luar inilah yang dipunya oleh film.

Tentu, film ini dimulai dengan set up untuk memperkenalkan para pemain yang akan jejeritan di dalam rumah. Kita diberikan backstory masing-masing tokoh – Judy dan dua babysitternya. Sehingga film bisa menemukan alasan untuk salah seorang remaja itu mengambil kunci bawah tanah, masuk ke sana menyentuh setiap barang supernatural yang bisa ia pegang, dan membuka kurungan kaca gereja yang menyegel Annabelle. Kita juga mengerti semua kejadian mengerikan yang terlepas berikutnya adalah supaya Judy bisa belajar mengembrace keadaan keluarganya. Tapi tidak pernah film menggali plot lebih dalam – tidak pernah menyentuh lapisan ‘kenapa’. Ketika semua benda-benda terkutuk itu merajalela, semua makhluk seram mulai dari baju zirah samurai, hantu serigala, hingga gaun pengantin berdarah beraksi menjadikan film ini kayak versi lebih dark dari Goosebumps (2015) – semua adegan hanya berupa para tokoh berjalan dalam lorong gelap menuju rentetan jumpscare demi jumpscare tanpa ada bobot dan kepentingan untuk membentuk plot para tokoh. Semua horor tersebut jadinya menyenangkan. Kita tertawa-tawa setelah dikagetkan dan bersiap untuk kaget berikutnya, untuk kemudian tertawa lagi. Nonton ini udah kayak masuk virtual rumah hantu atau escape room beneran, alih-alih nonton film. Kita tidak merasakan film ini membangun sesuatu, kita tidak melihat pembelajaran karakter. Pembelajaran hanya datang ketika film sudah mau undur diri, ketika sudah waktunya sekuen penyelesaian. Tidak ada journey karakter untuk ke sana; Tidak ada plot.

setelah merantau ke film superhero, Annabelle mudik juga

 

Mungkin tampak berbahaya menyimpan barang-barang berhantu di bawah atap yang sama dengan keluarga yang dicintai tidur. Tapi bagi Ed dan Lorraine, benda-benda itu merupakan pengingat bahwa setan atau kejahatan ada di dunia, dan akan selalu ada. Makanya, lebih mudah menjaga diri darinya jika kita bisa melihat mereka ada, jika kita tahu persis mereka akan ‘menyerang’ dari mana daripada melawan sesuatu yang kita tidak tahu.

 

Yang menakutkan dari film ini sebenarnya adalah fakta bahwa dia bakal laris. Dua film sebelumnya sudah membuktikan. Sosok Annabelle sudah menjadi pop-culture. Salah satu ikon horor modern. Film ini akan menurunkan pengaruh kepada skena perhororan, dan kemungkinan besar yang akan ditiru oleh horor-horor seperti pada sinema tanah air kita adalah jumpscarenya. Mengkhawatirkan sekali jika tumbuh mindset pada kalangan pencipta, juga penikmat film, bahwa horor yang bagus adalah horor yang seperti Annabelle lantaran filmnya laris. Mereka akan totally missing the point bahwa keunggulan horor berlokasi satu seperti ini bukan karena lebih murah dan banyak jumpscarenya. Orang-orang akan mengesampingkan karakterisasi. Semua film akan jadi wahana rumah hantu. Padahal horor seharusnya datang dari psikologis manusia. Horor seperti Hereditary, The Babadook, The Witch bagus tapi butuh penulisan yang kompleks – usaha yang belum menjamin jumlah penonton. Orang kadang suka ide, tapi berusaha mencari cara lain yang lebih mudah. Jenis horor laku seperti Annabelle Comes Home menawarkan cara mudah tersebut, dan kemungkinan besar inilah yang bakal ditiru. I mean, kita sendiri udah nyaksikan horor lokal yang ceritanya ala Hereditary tapi penulisan karakternya sangat sederhana dan hanya mengandalkan gore dan jumpscare sebagai jualan.

Makanya aku ingin menekankan kendatipun Annabelle Comes Home bukannya seram melainkan menyenangkan untuk ditonton, terutama oleh penonton yang suka dikaget-kagetin, kualitasnya sebagai film tidaklah benar-benar bagus. Ceritanya yang minus plot membuat semua kejadian jadi tidak punya unsur kejutan. Bahkan jumpscarenya pun kita semuanya pasti sudah tahu. Aku bertaruh; saat adegan tokohnya berjalan sendiri memeriksa sesuatu di tempat gelap, dengan suara latar dipelankan, kita semua sudah menutup telinga dan/atau menyipitkan mata. Kita sudah tahu apa yang bakal terjadi. Kita sudah tahu beberapa detik lagi akan ada jumpscare. Jadi apa bagusnya cerita atau katakanlah wahana yang kita sudah tahu titik-titik pamungkasnya? Atau malahan banyak sekali ketidaklogisan yang dipaksakan masuk supaya cerita bisa berjalan. Kita harus menerima bahwa seorang remaja dapat menjadi sebegitu begonya membuka kotak kaca berisi barang berhantu. Dia pastilah cukup percaya untuk mencoba, karena aksi remaja ini didasari keinginannya untuk minta maaf kepada ayahnya yang sudah tiada. Jika begitu, kenapa dia tidak minta baek-baek aja untuk dimediasikan sama Ed dan Lorraine? It’s okay kalo memang mencari tontonan untuk ketawa dan seru-seruan ama teman-teman, tapi setidaknya kita harus paham kenapa ini bukanlah film yang bagus. Supaya kita enggak mencampurbaurkan mana yang selera, mana yang beneran bagus. Karena toh yang kita suka tidak mesti selalu bagus.

 

 

Punya kreativitas yang cukup sehingga tampak seperti film horor beneran. Tapi film ini sesungguhnya hanya menggarap bagian luar tanpa benar-benar memperhatikan isi dalamnya. Karakternya tidak beneran punya plot. Mereka berubah dari A ke B tanpa benar-benar punya perjalanan. Karena isi film ini hanya berupa adegan demi adegan ketemu hantu. Jika ada yang dibangun, maka itu adalah jumpscare-jumpscarenya. Mereka lebih peduli kepada nampilin sebanyak-banyaknya setan, sehingga di lain waktu mereka punya kesempatan untuk membuat satu film khusus buat si hantu dan mengekspansi semesta ini. Film ini masih bisa menyenangkan untuk ditonton, tapi jika kalian berniat untuk nonton film horor beneran, kalian tidak akan mendapatkannya dengan membeli tiket film ini.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for ANNABELLE COMES HOME.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurutku kalian ada bedanya gak sih antara Annabelle dirasuki roh jahat dengan Annabelle enggak dirasuki melainkan hanya sebagai penyalur roh jahat? Kenapa menurut kalian film bersikeras membedakan hal tersebut?

Mumpung lagi mood tebak-tebakan, menurut kalian hantu mana di film ini yang bakal dibuatkan film sendiri berikutnya?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

GRETA Review

“It is better to be alone than in bad company.”

 

 

 

Kota gede itu kejam. New York terutama. Kalo gak percaya tanya aja ama Homer Simpons atau ke Jess di New Girl. Bengong dikit, antrian kita bisa diserobot. Polos dikit, kita bisa ditipu. Dicopet. Everyone just mind their own business. Makanya ketika Frances McCullen (Chloe Grace Moretz kudu mainin banyak rentang emosi dengan cepat) mengatakan kepada teman sekamarnya bahwa ia bermaksud mengembalikan dompet yang ia temukan di kereta ke alamat si empunya dompet, Frances lantas dipandang aneh, “Ngapain baik banget sih kenal juga enggak” ujar si teman.

Mungkin bukan hanya Frances yang harus dengerin ‘nasehat’ dari temannya tersebut. Kita juga mungkin sebaiknya lebih berhati-hati dalam menunjukkan kepedulian kepada orang tak dikenal. Belum lama ini, viral di twitter seorang wanita yang mengajak followernya untuk tidak beramah-ramah kepada bapak-bapak yang mengajak ngobrol di tempat umum. Terdengar kasar sih memang. Gimana kalo si bapak beneran lagi butuh bantuan? Masak gak diladeni. Tapi kalo diladeni bisa-bisa malah terjadi pelehan? Itulah point film ini. Bahwa mungkin memang dunia kita sudah jadi begitu mencurigakannya, sudah menjadi tempat yang sudah menakutkan di mana kebaikan dianggap sebagai kelemahan. Yang lantas dilahap dan diperas keuntungan darinya.

Frances dalam film Greta diset sebagai karakter yang rapuh secara emosional. Dia yang bukan anak gaul New York merasa kurang cocok bareng teman-teman seusianya, dia cuma punya satu sahabat yakni si teman sekamar. Pekerjaannya sebagai karyawan di restoran mewah menyimbolkan gimana dia serves society dengan segala kebaikan. Dan sebagai pemanis, Frances dituliskan sebagai gadis yang baru saja kehilangan ibu. Bertemu Greta, si pemilik dompet, bagi Frances adalah seperti bertemu pengganti ibunda. Dia memanggil wanita beraksen Perancis itu sahabat. Dia menemani Greta (Isabelle Huppert menjadikan film ini sebagai lapangan bermain pribadinya) sehari-hari; minum teh di rumahnya, dengerin wanita tersebut main piano. Dan jika terdengar suara gedoran dari balik tembok, Frances akan ngecuekin suara yang bagi kita jelas-jelas adalah ‘alarm tanda bahaya’ tersebut karena dia percaya pada Greta; Itu cuma tetangga yang lagi renovasi rumah.

Film Great garapan Neil Jordan ini menganjurkan kita untuk tidak menjadi senaif Frances. Ramah harus, tapi jangan sampai begitu mudahnya terattach kepada orang baru karena bisa saja mereka sebenarnya bukan teman yang mereka cari.

 

kau bilang dirimu seperti permen karet? Well, aku makan permen karet untuk sarapan setiap hari

 

 

Di sinilah Chloe Grace Moretz menunjukkan kemampuannya menghidupkan seorang tokoh menjadi sangat simpatik. Di atas kertas, Frances sebenarnya dapat dengan mudah menjadi tokoh yang annoying. Karena di awal-awal film, dia selalu membuat keputusan yang bego, regarding to Greta. Ada begitu banyak tanda-tanda bahwa Great adalah tokoh yang enggak beres. Namun bisa dibilang, Frances terlalu baper untuk melihat semua itu. Bahkan jika ternyata Greta bukan orang jahat, Frances ini sudah kelewatan baeknya. Bukan hanya terlalu baik kepada Greta kayak Lala pada BomBom di sinetron Bidadari, Frances ini juga luar biasa pedulinya sama binatang. Ada satu adegan ketika dia mestinya menjauh dari rumah Greta, tapi Frances justru balik lantaran ia mengkhawatirkan anjing peliharaan Greta yang ia bantu pilihkan untuk adopsi. Plot-poin cerita film ini bergerak karena tokoh utama kita ini mengambil keputusan-keputusan berdasarkan perasaan seperti demikian. Yang gak bakal work kalo tokoh utamanya enggak menjelma menjadi sangat simpatik dengan reason yang jelas. Moretz berhasil menggapai semua itu. Penampilan aktingnya sangat meyakinkan. Alih-alih kesel kita malah kasihan melihatnya. Kita itu khawatir akan keselamatannya. Bukan cuma emosional, Moretz juga bermain fisik di sini. Tokoh Frances adalah tokoh dengan tingkat kesulitan yang cukup demanding, dan Moretz berhasil menjawab semua tantangannya.

Aksen palsu dan segala kekakuan tokoh Greta; it’s all by design. Setiap kali Greta muncul di layar, melakukan sesuatu – mengatakan sesuatu, kita tahu ada sesuatu yang gak bener. Like, perasaan gue gak enak nih.. Seperti Greta yang bermain piano, Isabelle Huppert sesungguhnya sukses berat mengenai setiap ‘nada’ yang diminta untuk membuat tokoh Greta tampil ‘mengerikan’. Backstory yang diberikan kepada tokoh ini pada akhirnya berubah menjadi catatan kejahatan, dan itu bukan jadi masalah lantaran tokoh ini sepertinya tidak perlu alasan untuk menjadi seperti dirinya sekarang. Dia edan luar-dalam. Film tidak berlama-lama menyimpan siapa sebenarnya Greta, apa yang bisa ia lakukan, dan ini bagus karena memang kekuatan utama film ini terletak pada kedua pemain utama dan bagaimana aksi-reaksi terjadi di antara mereka. Benar-benar bikin gak enak melihat Frances yang terus menjauh namun dikejar dan malah ditodong ‘sombong’ balik oleh Greta. One time, Greta berdiri diam seharian di pinggir jalan, memandang Frances yang lagi bekerja. Kita melihat betapa mengerikannya efek perbuatan tersebut kepada Frances. Jangankan itu, jumlah missed call dari Greta aja sudah cukup untuk membuat kita bergidik – bahkan mungkin retrospeksi; pernahkah kita membuat orang lain merasa seperti Frances?

Adakalanya kita harus selektif dalam memilih teman. Karena memiliki banyak teman tidak selamanya menyenangkan. Daripada bersama-sama dengan orang yang hanya ingin memanfaatkan, yang lebih banyak ruginya, toh masih lebih baik jika kita sendirian dan tak terluka.

 

 

Film akan menjadi sangat menarik jika terus mengeksplorasi hubungan semacam demikian. Menggali psikologi kedua sudut pandang ini; orang yang gak nyaman di-stalk, dan orang ‘gila’ yang merasa diperlakukan tidak adil karena ditinggal tanpa alasan. Dan lapisan yang membuatnya unik adalah hubungan mereka bukan hubungan romansa. Bukan antara cowok yang naksir berat ama cewek atau semacamnya. Melainkan antara anak yang gak punya ibu dengan seorang ibu-ibu yang sudah lama tinggal sendirian. Dinamika menarik tersebut sayangnya harus berhenti. Lantaran sepertinya sang sutradara yang pernah menang Oscar untuk penulisan skenario film The Crying Game (1992) – film yang bercerita tentang cowok yang menjadi temenan dengan cewek teroris yang menahannya – tidak benar-benar memahami relung resah perihal dua wanita. Peran cowok memang nyaris absen dalam film Greta. Memang cukup aneh, cerita tentang wanita tapi semuanya digarap oleh pria. Berani? Mungkin bisa dibilang lancang. Bicara dari pengalaman; aku bikin film pendek Gelap Jelita (2019) tentang cewek remaja lagi mau berangkat sekolah aja merasa perlu untuk meminta ‘nasehat’, jadi aku meminta tolong temenku yang cewek untuk jadi semacam art director untuk memastikan filmnya benar-benar relate dan menghormati cewek itu sendiri.

cewek dari venus; venus flytrap.

 

Greta memang akhirnya meninggalkan ranah psikologi dan berkembang ke arah horor yang lebih general. That’s the downfall of this movie. Film ini tampak tidak bisa memenuhi janjinya sendiri. Mulai bermunculan klise-klise cerita horor stalking. Bahkan film mulai meminta kita untuk suspend our disbelief. Kejadian yang lagi relevan banget itu tidak lagi terasa nyata oleh sekuen-sekuen seperti Greta yang bisa mengikuti seseorang – memotret orang tersebut dari belakang, mulai dari klub hingga ke dalam bus, tanpa terlihat; seperti ninja. Banyak hal yang dilakukan oleh Greta kepada Frances dan tokoh yang lebih muda yang sukar untuk dipercaya; gimana bisa wanita tua seperti dia melakukan hal tersebut kepada anak muda? Seperti, kenapa jalannya bisa lebih cepat.

Babak ketiga film sudah completely meninggalkan persoalan si tokoh utama. Hampir seperti mereka menyelesaikan journey Frances dalam dua babak, dan babak ketiganya hanya homage untuk kejadian ala horor 90an. Babak terakhir film ini beneran terasa seperti hiasan saja. Kita tidak lagi mengikuti Frances; kita actually berada di sudut pandang karakter-karakter lain, termasuk si Greta sendiri. Bayangkan sekuen ‘pertarungan terakhir’ dalam film horor, nah babak ketiga Greta terasa seperti ‘pertarungan akhir’ yang dipanjangin duapuluh menitan. Completely mengubah arahan film. Dari yang tadinya nyaris seperti in-depth look of characters – materi film art lah kalo boleh dibilang – menjadi semacam horor ‘ditangkap pembunuh gila’ yang sukar dipercaya dan cenderung dilebay-lebaykan biar seru. Bukannya horor seperti demikian jelek, hanya saja tokoh utama seharusnya tetap aktif. I mean, bahkan tokoh utama film Misery (1999) yang kakinya udah patah aja masih bisa menyetir cerita dan tidak lantas berubah menjadi orang yang tidak bisa menyelamatkan diri sendiri.

 

 

 

But of course, thriller seperti demikian memanglah menarik. Bara suspens di dalam cerita masih terus dikipas menyala. Film ini jago dalam menangkap kengerian. Dua pemain utamanya pun bertindak sebagai pilar kembar yang kuat yang menopang penceritaan. Film seharusnya terus mengeksplorasi dinamika hubungan mereka. Tapi kita dapat merasakan limitasi pada penggarapan. Cerita seperti menghindari untuk menggali lebih dalam. Jadi, ia kembali muncul ke permukaan, dan stay bermain di sana. Menjadikan film menjadi serangan teror ‘orang gila’ biasa yang asik sesaat dan kita ignore di kemudian hari, sampai akhirnya terlupakan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GRETA. 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian kebebasan orang lain itu penting? Apakah kamu pernah merasakan kebebasan kamu dibatasi?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

Road to EUROPE ON SCREEN 2019 Festival Film Uni-Eropa ke-19

 

Sinema bukan semata soal hiburan.  Tetapi juga merupakan sarana yang baik untuk meningkatkan kesadaran. Terhadap kemanusiaan. Terhadap lingkungan. Terhadap budaya. Tahun 2019 ini, dua-puluh-tujuh negara Eropa kembali dikumpulkan film-film produksi terkini mereka. “Bukan masalah besar kecilnya negara. Melainkan soal cakupan representasi budaya”, ujar Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend di depan media saat press conference di Goethe-Institute Jakarta, Selasa 2 April 2019. Fakta menarik yang bisa dipungut dari bincang-bincang tersebut adalah ternyata setiap kali ada film Indonesia yang syuting di negara-negara Eropa, hampir bisa dipastikan kunjungan di negara tersebut bakal meningkat. Jadi, ya, Festival yang sudah delapan-belas kali diselenggarakan ini mengemban misi mulia untuk memupuk kerja sama antara perfilman dan industri kreatif Eropa dengan Indonesia, dalam semangat kebudayaan, sebagai sektor ekonomi yang meningkat pesat.

Melanjutkan tradisi, tahun ini Europe on Screen akan menjadi lebih besar dari yang sudah-sudah. Seratus-satu film berkualitas akan mengisi acara sepanjang tiga-belas hari. Tersebar dalam 277 layar di 19 venue di delapan kota seluruh berbeda. Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Denpasar, dan dengan bangga Mr. Vincent menambahkan dua kota lagi yakni Bekasi dan Tangerang.

Satu kesamaan yang dipertahankan adalah, semua rangkaian acara di festival ini GRATIS dan TERBUKA UNTUK UMUM. Bahkan screeningnya ada yang diadain dengan ala-ala layar tancep loh. Jika itu belum cukup untuk membendung rasa penasaran kalian untuk hadir, Europe on Screen 2019 sesungguhnya punya enam hal istimewa yang akan bisa kita dapatkan.

 

 

 

1. SUB-KATEGORI #OURLAND

Europe on Screen dalam pengkurasian film-filmnya memang tidak membatasi dengan tema. Sehingga jangkauan film yang diikutsertakan bisa meluas. Secara garis besar, film di Europe on Screen dibagi menjadi dua; film cerita dan dokumenter. Nah, di kategori dokumenter yang diistilahkan dengan ‘Realities’ itu, tahun ini Europe on Screen memberikan fokus kepada pelestarian lingkungan hidup. Dihimpunlah dokumenter-dokumenter yang mengangkat isu mengenai tanah tempat tinggal kita; apakah itu sebagai tempat yang harus diperjuangkan, ataupun apakah itu sebagai daerah eksplorasi.

Makala, Welcome to Sodom, Giants and the Morning After, Untamed Romania, adalah empat dari tujuh dokumenter yang bakal diputar dalam sub #OurLand, yang akan membuat kita melihat tanah kita dalam perspektif baru dan menarik.

 

 

2. PROGRAM SPECIAL #BAUHAUS100

Merayakan seratus tahun gaya arsitektur Jerman Bauhaus dan mengenang sutradara ternama asal Italia, Bernardo Bertolucci.

Didirikan di kota Weimar pada tahun 1919, sekolah Bauhaus berdiri secara resmia hanya empat-belas tahun. Tetapi kreasi dan pemikiran yang diciptakan sekolah ini terus digunakan. Sekolah desain dan seni di Jerman ini terus memberikan pengaruh besar dalam kehidupan modern sampai saat ini.

Europe on Screen 2019 menghadirkan dua program spesial untuk merayakan #Bauhaus100. Pertama adalah pemutaran dokumenter Bauhaus Spirit yang khusus dibuat untuk perayaan ini. Dan kedua, adalah pameran instalasi video Bauhaus yang memutar klip dan film pendek arsip karya sekolah Bauhaus selama beberapa dekade.

 

 

 

3. PEMUTARAN FILM NOMINASI ACADEMY AWARDS 2019

Rangkaian festival Europe on Screen 2019 yang penuh oleh film-film berkualitas dari negara-negara Uni-Eropa akan dibuka oleh pemutaran The Guilty. Sebuah thriller dari Denmark tentang seorang penerima panggilan darurat yang berubah hidupnya saat menjawab telepon dari seorang wanita yang diculik. The Guilty ini merupakan film yang dikirimkan ke Oscar sebagai perwakilan negara Denmark dalam kategori Best Foreign Language Film.

Untuk penutup acara, bakal diputarkan secara ekslusif film yang tak kalah ‘seru’nya. What Have We Done to Deserve This?, sebuah komedi asal Austria yang menyabet nominasi Best Film di Focus Switzerland, Germany, Austria, Zurich Film Festival 2018 berkat keberaniannya mengangkat isu seorang feminis ateis yang seolah mendapat mimpi buruk ketika putri remajanya memilih masuk ke agama Islam.

Dan kami beruntung sekali di acara Press Conference diputarkan salah satunya yang paling bergengsi, yaitu dokumenter yang masuk nominasi Oscar; Of Fathers and Sons adalah cerita yang sangat menggetarkan hati tentang dua orang anak dalam keluarga radikal Suriah yang digembleng oleh sang ayah untuk menjadi pasukan Jihad.

Udah kebayang dong sekarang, film-film seperti apa yang bakal menghiasi Europe on Screen? Yea? Coba kalikan seratus-satu kali. Wuiihh!!

 

 

 

4. KESEMPATAN KEPADA FILM PENDEK

Tidak terbatas pada film-film panjang, Europe on Screen juga mengadakan penanyangan berbagai film pendek, animasi atau bukan, karya pembuat film pemula dari Eropa.

Untuk pembuat film Indonesia, malah lebih spesial lagi. Europe on Screen mengadakan program pendanaan proyek film pendek. ‘Short Film Pitching Project’ ini idenya adalah mengundang dan memberi kesempatan pada pemula untuk mewujudkan kreativitas film pendek mereka. Untuk tahun ini, EOS sudah memilih sembilan ide cerita – dari seratus pendaftar. Tahapan selanjutnya adalah kesembilan finalis akan mempresentasikan ide cerita mereka di hadapan para juri yang terdiri dari produser dan sutradara film. Proses penjurian ini akan diadakan secara terbuka sebagai bagian dari penutup Festival. Tiga ide cerita terpilih akan mendapatkan dana produksi.

Europe on Screen 2019 akan memutarkan dua film pendek terpilih tahun 2018 yang berjudul Bangkis dan Lasagna.

Pengen gak sih film pendek kita diwujudin dan diputer di festival bergengsi ini? Aku sih iyes.

 

 

 

5. SINEAS EROPA BAGI-BAGI ILMU

Dua film Indonesia yang diputar di Europe on Screen adalah Arini dan The Gift. Pemutaran film tersebut akan dibarengi oleh pembuat film masing-masing yang bakal berbagi pengalaman syuting film di Eropa.

Segmen diskusi ini adalah wujud dari bagaimana film dapat menginspirasi banyak orang. Makanya, Europe on Screen juga akan menghadirkan langsung beberapa pekerja film Eropa untuk, bukan hanya membimbing, namun juga bekerja sama dengan kita dan para penggerak film tanah air.

Di antaranya adalah Lina Flint, produser film The Guilty, yang akan mendiskusikan apa-apa saja yang dibutuhkan ketika kita pengen memproduksi film bergenre thriller. Karena thriller – yang lagi digandrungi oleh penonton di sini – sebenarnya salah satu genre yang cukup sulit dibuat. Enggak bisa sekadar bikin kaget atau terkejut, melainkan juga harus ada rasa gelisah, tegang, saat menontonnya. Penulisan naskah juga harus diperhatikan. Maka turut dihadirkanlah Emil Nygaard Albertsen yang naskah The Guilty garapannya baru saja memenangkan Best Screenplay di Robert Award. Emil akan membagi ilmu seputar menulis naskah thriller yang baik nan mencekam.

Tak ketinggalan, bakal ada pengetahuan tentang bagaimana cara mendesain poster yang efektif dari desainer ternama asal Belgia, Amira Daoudi. Ia mendesain poster film Cargo, In Blue, dan Zagros, yang tiga-tiganya turut ditayangkan pada festival tahun ini. Darinya kita bisa mendapat ilmu bahwa poster haruslah bisa bertindak sebagai alat marketing yang menarik perhatian calon penonton sekaligus sebagai karya seni yang menangkap esensi film dengan estetis.

 

 

 

6. ADA KUIS SURPRISE SCREENING!

Sudah jadi adatnya, setiap tahun Europe on Screen ngadain pemutaran misterius. Di mana judul film yang bakal diputar baru akan diberitahukan tepat sebelum pemutaran film tersebut. Tentu saja ini menghasilkan pengalaman menonton yang unik, seru, dan excited abis karena biasanya kita gak tau harus mengharapkan apa. Nonton tanpa ekspektasi adalah salah satu cara menonton yang paling asik.

Tahun ini, keseruan surprise screening akan semakin bertambah lantaran Europe on Screen mengadakan kuis tebak-tebakan judul film yang bakal diputar. Kita bisa ikutan kuis ini dengan melihat petunjuk yang akan dipos pada akun instagram @europeonscreen

 

 

 

Festival ini akan berlangsung mulai dari tanggal 18 April hingga 30 April 2019 (habis Pemilu, kita pesta lagi horee!) Jangan lewatkan tanggal-tanggal pemutaran di kota-kota kalian.

And I guess, I will see you there!

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Film mana yang paling ingin kalian tonton? Bagaimana pendapatmu tentang perfilman di Eropa.

Beritahu kita semua di komen

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

US Review

“Know your enemy”

 

 

 

Horor terbaru garapan komedian pemenang Oscar Jordan Peele bertindak hebat sebagai cermin buat melihat refleksi mengerikan kehidupan sosial supaya kita dapat melihat dengan jelas bahwa musuh sesungguhnya bukanlah ‘mereka’. Melainkan ‘kita’. Kita yang membuat tembok pemisah itu ada. Ralat; kita yang jadi tembok pemisah di antara kita sendiri. Jika Yowis Ben 2 (2019) bisa membuat kata ‘gandeng’ sebagai komedi yang efektif; maka film Us ini membuat bergandengan tangan yang tadinya simbol pemersatu berubah menjadi simbol yang membatasi. Dan secara kontekstual keadaan negara asal film ini sendiri, Us merupakan komentar yang kuat terhadap negara U.S. (hey bahkan judul filmnya kayak ngarah ke nama negara mereka kan) dengan bagaimana teror dalam film ini berjati diri sebagai ‘orang Amerika’ dan tokoh utamanya menjadikan Meksiko sebagai tempat tujuan keselamatan.

Mengerikan bagaimana film ini rilis berdekatan dengan kejadian seorang teroris yang menembaki jemaat Jumatan di Selandia Baru, di mana berbagai media ‘kulit putih’ memberitakannya dengan malu-malu, seolah mereka tidak mau mengakui teroris bisa datang dari golongannya. This is exactly what this Us movie is about. Lebih gampang untuk menuding mereka terbelakang, budaya yang mendukung kekerasan, yang penuh kebencian. Lihatlah betapa lincahnya media-media itu mengelak dari mengatakan pelakunya adalah “teroris dari golongan kita” – karena itu berarti seperti mengakui seluruh putih juga sama kasarnya. Atau seperti mengakui dirinya sudah salah selama ini?

Film Us mendorong kita, dari golongan apapun, untuk berhenti memberikan privilige – menyudahi dobel standar – dan menerima bahwa kekurangan itu bisa datang dari dalam diri sendiri yang telah salah melihat perbedaan sebagai pemisah

 

Menjadi komedian yang hebat sudah barang tentu dapat mengasah ketajaman seseorang dalam melontarkan kritikan dengan subtil; menangkap esensi yang ingin dibicarakan, mengamplify hal tersebut berkali lipat sehingga kita horor mendengarnya, dan kemudian mewarnainya dengan cerdas dalam warna-warni komedi. Jordan Peele ini adalah contoh nyata seorang komedian dan sekarang sutradara horot yang hebat. Dalam Get Out (2017) kita diperlihatkan pandangan yang kuat sekali tentang ketakutan terhadap ras. However, dalam film Us kali ini, Peele lebih banyak bermain-main dalam genre horor itu sendiri. Us tampil sebagai pure horor yang menyenangkan, yang memuaskan penggemar horor sepertiku yang udah jarang banget dapat horor yang berisi. Us bercerita tentang satu keluarga yang sedang berlibur, dan liburan mereka berubah menjadi petaka saat rumah mereka disatroni oleh keluarga misterius berpakaian merah, membawa gunting, dan ini nih paling horornya; berwajah mirip banget sama mereka! Jadi, Us ini balutan ceritanya berupa thriller home invasion, akan ada orang mengendap-ngendap membawa perkakas apapun yang bisa mereka temukan untuk membela diri, akan banyak tusukan di sana-sini, darah bermuncratan, visual dan musik yang eery banget (lucunya ada satu musik film ini yang ngingetin aku sama musik game South Park: The Stick of Truth).

salah satu hak istimewa yang mereka miliki adalah gak takut hitam main panas-panas

 

Perhatikan cara film menghujamkan kengerian tentang kembaran dan duality kepada kita semua di babak pertama. Kaca yang bukan kaca, frisbee yang dengan tepat menutup pola alas duduk di pantai, kemunculan terus menerus angka 11:11 sebagai sebuah simetri mengerikan – mengenai makna horor dari 11:11 secara general sudah pernah aku tuliskan di review 11:11 Apa yang Kau Lihat (2019) – dan bagaimana film mengaitkan angka tersebut dengan ayat kitab yang bersuara sebagai peringatan untuk hal mengerikan yang akan datang. Suspens dan ketakutan kita sudah ikut terbendung bersamaan dengan kecemasan yang dirasakan oleh tokoh utama kita; Adelaide. Seorang wanita yang punya trauma bertemu dengan ‘gadis cermin’ saat ia tersesat di wahana taman hiburan semasa kecilnya.

Adelaide diperankan oleh Lupita Nyong’o, aktris ini akan membuat kita melongo menyaksikan kebrilianan aktingnya. Aku sendiri berharap penampilan Nyong’o di film ini akan berhasil mematahkan ‘kutukan’ Oscar terhadap genre horor. Dalam Us, tantangan bagi Nyong’O adalah memainkan dua orang yang serupa tapi tak sama. Adelaide, dan Red kembarannya. Yang satu melotot cemas, yang satu lagi melotot bikin kita pengen pipis di celana. Duality antara dua perannya ini berhasil tersampaikan dengan luar biasa. Malahan, bukan hanya Nyong’O saja. Cast lain juga bermain dengan rentak yang benar-benar mentok. Mereka harus memainkan dua versi yang berbeda dari tokoh yang sama. Adelaide punya suami dan dua anak, dan pada satu poin cerita keempat orang ini masing-masing harus berhadapan dengan kembarannya. Peran mereka menuntut banyak, dramatis dan creepy, sekaligus juga komedi. Ini actually jadi salah satu kehebatan dari arahan dan penceritaan film Us. Bahkan komedinya saja bisa begitu menyatu dengan horor. Tidak terasa terpisah, tidak ada satu karakter yang dipaksakan nyeletuk konyol untuk komedi – membuat tokohnya terkotak di sana. Komedi pada Us berjalan sama naturalnya dengan drama dan teror yang disajikan.

Yang membuat film ini berbeda dari kebanyakan horor adalah kita yang menonton merasa bahwa ceritanya yang mengusung fenomena aneh tersebut punya interpretasi yang beragam sehingga kita tertarik untuk pengen menonton lagi. Dan tentu saja, jika kita nonton ulang kita akan bisa melihat film ini dari sudut pandang yang berbeda, kita akan menangkap maksud-maksud yang mungkin terlewat. Heck, kita akan dibuat pengen nonton lagi karena ini adalah horor yang benar-benar menyenangkan, yang dibuat dengan penuh passion. Film ini justru bertambah urgen saat kita sudah pernah menontonnya, padahal ceritanya sendiri sengaja dibuat obvious oleh Peele. I do think film ini bisa lebih baik jika dibuat lebih ambigu. Misalnya seperti Annihilation (2018) yang ditutup dengan enggak jelas apakah yang di akhir cerita itu tokoh utama yang asli atau android kloningannya. Yang akan membuat endingnya terus dibicarakan. Us dihadirkan dengan sebaran metafora, namun pada akhirnya semua kejadian itu terangkum dengan jelas apa dan kenapanya. Dan mungkin saja itu bukan pilihan yang membuat film terasa maksimal. Namun aku mengerti kenapa Peele membuat film ini punya kesimpulan yang terang. Sebab dia ingin kita semua mengerti apa yang ia sampaikan. Karena dia ingin menekankan poin-poin yang mendukung komentar dan kritiknya tentang siapa musuh kita sebenarnya. Dia ingin membuat kita membicarakan ini bertahun-tahun kemudian, alih-alih membicarakan siapa yang asli mana yang palsu.

Karena inilah poin film yang utama: semua orang sama, tidak ada asli-palsu. Tidak ada us or them.

 

 

Dan sampailah kita ke ranah spoiler. Inilah alasan kenapa aku sengaja telat mempublish review Us, karena yang udah sering mampir ke blog ini pasti tahu aku gak akan segan-segan menuliskan isi mendetail film. Jadi aku sengaja ngasih tenggat waktu sedikit supaya pada menonton dulu sebelum baca review ini. Tapi aku gak bisa menahan diri selama itu hehehe… so here it goes:

Lewat Us, Peele ingin menunjukkan bahwa semua manusia itu sama. Yang membedakannya adalah privilege. Menurutku inilah kata kunci utama yang menjadi tema besar film horor ini. Privilege – hak istimewa. Dan bagaimana kitalah yang salah karena privilege itu yang bikin ya kita sendiri. Kita yang mengistimewakan suatu golongan di atas golongan yang lain.

 

Makanya para kembaran yang hidup di gorong-gorong bawah tanah itu disebut sebagai the Tethered – Yang Tertambat. Yang Terikat. Mereka tak punya privileged untuk bergerak. Mereka harus ngikutin kembaran asli mereka. Film memperlihatkan kembaran suami dan anak Adelaide yang paling kecil mati karena mereka harus menirukan gerakan suami dan anak Adelaide yang asli. Padahal orang-orang bawah ini, tak kalah cakap. Bahkan film menunjukkan para kembar jahat ini lebih jago lari, lebih kuat dari yang asli. Ada momen menyentuh ketika kita menyadari bahwa si anak tiruan mengalami luka bakar hanya karena api di tangannya menyala sedangkan api di tangan yang asli tidak karena yang asli kalah kompeten. Inilah kenapa film memutuskan untuk memberi tahu kita Adelaide itu sebenarnya bukan yang asli – bahwa dia dan kembarannya bertukar tempat. Karena film ingin menunjukkan bahwa tak ada perbedaan yang mendasar. Si tiruan bisa punya anak, bisa jatuh cinta, bisa punya perasaan. Mereka bisa bicara layaknya orang normal jika dilatih, sama persis ama manusia. Hanya tempat dan privilege saja yang mereka tak punya. Mereka tak bisa memilih jodoh di bawah sana karena harus menuruti versi yang tinggal di atas. Tempat juga jadi faktor yang menarik. Adelaide asli tidak kunjung normal kemampuan bicaranya semenjak lehernya dicekek waktu kecil karena tidak ada yang mengajaknya bicara di bawah sana. Keturunan Adele yang asli tak bisa berkembang normal di bawah sana. Adelaide yang asli malah merasa dirinyalah yang tiruan; karena ia tinggal di tempat yang tak mengakui siapa dirinya – the human within. Hanya ketika dia bisa menarilah, orang-orang bawah mulai mendengarnya, dan inilah yang menyebabkan Adelaide asli mulai memikirkan gerakan invasi.

Pada akhirnya, keputusan film untuk membeberkan jawaban alih-alih tetap ambigu adalah untuk mempertegas bahwa yang enggak istimewa pun bisa menjadi istimewa jika diberikan kesempatan yang sama. Pertanyaannya adalah maukah kita memberikan kesempatan yang sama terhadap semua orang. Semua hal. Film bioskop, misalnya, sebuah film boleh saja dapat privilege diberikan jumlah layar yang banyak sehingga mereka mendapat kemungkinan perolehan jumlah penonton yang lebih banyak dan kita berargumen filmnya pantas mendapat keistimewaan. Dan kita berargumen gak semua film bisa sesukses dia jika diberi kesempatan yang sama. Tapi dari mana kesimpulan ini sesungguhnya? Padahal yang lebih penting adalah, mau tidak memberikan film lain perlakuan jumlah layar yang sama. Beranikah mencoba memberi kesempatan yang sama untuk dia membuktikan diri? Nah ‘Kenapa’ tersebutlah yang jadi pokok persoalan film Us. Kenapa kita membeda-bedakan, kemudian merasa terancam ketika ada yang berusaha mendapatkan privilege. Kenapa kita menciptakan sesuatu untuk dikejar dan terusik ketika ada yang beneran mengejar. Perkara ini adalah tokoh kulit hitam memperkuat tema privilege dan kita semua sama tersebut sebab di luar sana perbedaan perlakuan itu masih terjadi.

 

 

Jika dibandingkan, film ini terasa lebih pure horor ketimbang Get Out yang lebih tematis. Namun pada film ini, Jordan Peele menunjukkan kedewasaan dalam bercerita. Dia tidak lantas menjadi pretentious dalam film keduanya ini. Film ini dapat dinikmati, bahkan bikin kita pengen nonton lagi secepatnya. Kita bisa menerima penjelasan cerita bahwa kelinci itu ada untuk makanan para Tethered, namun kita tetap pengen nonton lagi karena kelinci itu kita pikir bakal punya arti lebih dalam. Film mendorong kita untuk mempertanyakan dan mencari jawaban, meski mereka sudah meletakkan jawabannya. Bobot komentar sosial yang disisipkan pada akhirnya membentuk seperti apa akhirnya film ini, and it’s a really interesting shape.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for US.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa kalian punya teori sendiri tentang film ini? Kenapa menurut kalian senjata penjahat film ini adalah gunting terkait dengan elemen kembar yang ia usung? Setujukah kalian semua orang di dunia berhak atas kesempatan yang sama?

 

Buat yang suka cerita tentang ‘kembaran’ dan ‘cermin’, silakan disimak film pendekku yang berjudul Gelap Jelita: https://www.vidio.com/watch/1597796-isff2019-gelap-jelita-full-movie-bandung

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

[Readers’ NeatPick] – MEMORIES OF MURDER (2003) Review

“Tidak hanya membahas tentang kasus pembunuhan saja, melainkan menyindir – dengan komedi – cara kerja polisi-polisi Korea waktu itu dan juga menggambarkan dengan jelas betapa primitifnya pikiran orang-orang Korea waktu itu, bahkan sekelas polisi sekalipun” Andy Kurniawan, karyawan dengan akun instagram @andykur21

 

 

 


Sutradara: Joon-ho Bong
Penulis Naskah: Joon-ho Bong, Kwang-rim Kim, Sung-bo Shim
Durasi: 2jam 12 menit

 

Sepanjang September 1986 hingga April 1991, sepuluh orang wanita di Hwaseong, Korea Selatan ditemukan meninggal dalam keadaan terikat oleh pakaian mereka sendiri. Dengan rentang usia yang begitu random, tidak banyak kesamaan yang bisa ditarik di antara mereka selain dugaan mereka ‘dikerjai’ oleh satu orang yang sama. Seorang pembunuh psikopat berdarah dingin. Dengan hanya sedikit sekali bukti dan petunjuk, polisi seperti mencari satu jarum di antara, literally, 21.280 orang yang dicurigai menjadi tersangka. Kasus ini sampai sekarang belum terpecahkan. Film Memories of Murder terinspirasi dari kasus serial-killer pertama dalam sejarah Korea Selatan tersebut. Kita akan ngikutin Park Doo-man, detektif ‘ngasal’ yang berusaha menangkap si pembunuh dengan segala sense of justice yang dia punya. Dan ini bukan sekadar soal misteri ‘whodunit’, karena seperti halnya kasus di dunia nyata yang sampe sekarang belum terjawab, film ini menggunakan itu sebagai alat untuk menceritakan lapisan yang lebih manusiawi soal Park Doo-man – dan juga detektif dan polisi lainnya – menyadari bahwa petanyaan sebenarnya bukan ‘siapa’, melainkan ‘bagaimana’.

“Suka banget film ini. Ngeselin, tentu Detektif Park. Banyak banget hal penting yang kelewat begitu saja karena kebegoannya.”

“Hahaha iya sih di awal-awal memang pengen nonjok dia banget. Super gak-kompeten. Masa investigasi tersangka modal tatapan mata doang. Paling ngakak pas dia mukulin detektif yang baru dateng dari Seoul cuma karena menurutnya gerak-gerik si detektif mencurigakan. Tendangan terbaaanggg~~ XD”

“Yang paling cool memang si Detektif Seo Tae-yoon. Dia melakukan kerja yang lebih baik”

“Sentral cerita film ini terletak pada dua tokoh detektif yang amat bertolak-belakang tersebut. Satunya makan mulu, bergerak berdasarkan prasangka, maksain bukti malah dia gak ragu untuk ciptain bukti sendiri supaya teorinya benar dan kasus cepat selesai. Kocaknya lagi, si Park ini justru ngerasa dirinya detektif yang baik. Perhatiin enggak, metode interogasi Park ama temennya di kepolisian? Di situ Park berperan sebagai ‘good cop’, sedangkan temannya jadi ‘bad cop’ yang kerjaannya mukulin tersangka. Padahal Park dan temennya itu sama-sama bego. Satunya lagi ada detektif yang lebih metodikal, gak males mikir, rasional, bergerak berdasarkan bukti dan dokumentasi. Park dan Seo malah terlihat saling benci kan, Park pastilah menganggap kedatangan Seo yang beneran cakap dan baik itu sebagai ancaman buat posisinya sebagai ‘good cop’ di kantor mereka.

“Soal polisi atau aparat yang mengandalkan kekerasan terhadap tersangka atau pelaku kriminal ini sebenarnya agak dilema buat gue. Kadang memang ada beberapa orang yang harus dikerasi dulu baru dia ngaku. Boleh-boleh aja sih kalau memang perlu, asal jangan sampai keterlaluan dan jangan sampai orang yang diinterogasi ini dipaksa untuk jadi pelakunya”

Kerennya film ini, ntar semakin ke akhir kedua detektif ini mendapat ‘goncangan’ – masing-masing mereka dibuat jadi meragukan kepercayaan mereka sendiri oleh kasus pembunuhan berantai itu. Aku suka banget gimana menjelang akhir mereka jadi kayak bertukar posisi, si Park yang belajar mengakui kinerjanya buruk terlihat jadi seperti beneran ‘good cop’ ketimbang Seo yang semakin ‘kasar’ kelakuannya lantaran frustasi bukti-bukti yang ia dapatkan selalu terbukti patah. Pada akhirnya kita justru melihat perbedaan sikap dua orang ini saat mereka dihadapkan pada kesalahan dan kegagalan. Park, meskipun masih mengandalkan “tatapan gue bisa melihat kebohongan orang” -walaupun masih belum tahu siapa pelakunya setelah sekian lama, tapi di akhir cerita dia menjadi pria yang lebih baik dari semua tokoh di film ini.”

“Hahaha iya makanya gue memilih film ini untuk dibahas. Karena menurut gue film ini salah satu masterpiece perfilman Korea dan banyak orang yang gak tau tentang film ini. Tapi selain Park dan Seo, menurut gue karakter lain biasa aja sih”

“Padahal karakternya banyak ya. Polisi, tersangka, saksi, para ekstra. Saking banyaknya, sering banget film ini masukin semuanya sekaligus ke dalam satu shot”

“Tapi fokus gue gak pernah teralihkan sama penggunaan kamera yang menangkap banyak orang dan aksi sekaligus yang dilakukan oleh film ini.”

“Kita masih tetap mengerti ceritanya kan ya. Inilah kehebatan sang sutradara Joon-ho Bong, bukan hanya bloking posisi tokoh, dia juga mainin fokus kamera. Bukan cuma para tokoh yang ia arahkan, melainkan juga fokus kita para penonton. Tokoh-tokoh yang belum penting dia tarok di sudut di luar fokus, dan setiap ada pergantian fokus atau dia ingin memindahkan perhatian kita ke tokoh lain maka Joon-ho akan membuat entah itu tokohnya yang bergerak atau kameranya yang berayun. Treatment kamera dan konteks cerita klop banget, ini soal tatapan mata.”

“Gue paling ingat dan paling sedih itu adegan waktu detektif Park melihat ke arah penonton, mencari pelakunya di antara kita. Goosebump banget. Kendati gue sebel banget sama detektif Park, gue tetep bisa melihat bahwa dia sendiri sangat bedeterminasi tinggi buat nangkep pelakunya. Gue paham betul amarah dan keputus asaanya saat melihat ke arah kamera, lebih tepatnya ke arah pelaku pembunuhan yang menonton film ini”

“Aku bisa bilang shot terakhir itu merupakan salah satu momen terkuat yang pernah aku saksikan dalam sejarah hidupku menonton film. Adegan tersebut diniatkan untuk terbuka-bagi-interpretasi, meaning beda orang akan beda cara melihatnya. Namun aku yakin kita semua bisa kompak dalam merasakan itu momen yang sangat mengena. Entah itu apakah ada penonton yang mengira Park memandang tajam ke arah dirinya langsung, atau melihatnya sebagai Park mengenang kasus tersebut dalam penekanan bahwa dia memandang salah dirinya sendiri karena tak melihat kemungkinan yang disebutkan si anak kecil sedari awal – bahwa Park mengaplikasikan ‘mata kebenarannya’ kepada dirinya sendiri. Karena ada satu pesan yang jelas; bahwa pelakunya adalah orang yang seperti orang kebanyakan. Pembunuh tidak dicirikan sebagai orang yang terbelakang mental, yang aneh, yang berbeda dari kebanyakan. Ingat gak ketika Park sempat mencurigai pelakunya adalah biksu hanya karena polisi tidak pernah menemukan jejak rambut di korban sehingga ia menyimpulkan pembunuhnya orang botak? Mata adalah jendela jiwa, namun selama ini Park menyadari dia mengamati hal yang salah.”

“Kalau menurut gue psikopat kadang gak kelihatan. Mereka pinter akting, persis seperti anak kecil di film ini yang ngomong kalau muka pelakunya itu biasa aja, kayak orang normal.”

“Exactly. Maka menurutku jawabannya yang paling penting harus dicari oleh polisi dan kita, manusia penonton filmnya, adalah kenapa kita gagal menangkap pelaku. Film ini memperlihatkan bahwa salah satu rintangan para detektif itu mengungkap kasus adalah kurang memadainya teknologi. Untuk tes DNA saja mereka harus membawa dulu sampel ke Amerika. Teknologi mungkin memang berperan, tapi tetap kunci utamanya adalah pada manusia. Kengasalan para polisi adalah faktor yang sama berperannya. Aku geram sebenarnya melihat mereka menjadikan timing pemutaran satu lagu di radio sebagai petunjuk. Memang teori mereka menarik, dan kebetulan cocok, tapi logikanya maksa banget; gimana si pelaku bisa beneran nemu cewek yang lagi jalan sendirian hujan-hujan malam-malam saat lagu radio itu diputar? kan ‘petunjuk’ yang begitu itu terlalu kondisional. Kadang kita keburu excited melihat hal-hal yang tampak ‘wah'”

“Kita dikenalkan dengan detektif Seo yang sifat dan kepandaiannya kebalikan dari detektif Park, tapi toh dia juga tidak mampu mengungkap pelakunya karena teknologi yang terbatas waktu itu. Di satu sisi menurut gue juga percuma kalau teknologi canggih tapi manusianya yang gak bisa menggunakan, tetep aja gak ketangkep pelakunya. Karena manusia tanpa teknologi juga gak bisa maju, sebaliknya teknologi sendiri tidak serta merta membuat manusia cerdas. Buktinya di masa sekarang banyak orang-orang beli hape canggih tapi tidak bisa memanfaatkannya dengan betul.”

“Pada sebagian besar waktu kita akan tertawa melihat para tokoh film ini, tapi yang kita tertawakan itu adalah hal kelam yang sampe sekarang juga masih terjadi sadar atau enggak. Gimana kita prasangka duluan sama orang lain, gimana kita bertindak asal jadi, asal benci. Malah mungkin semakin menjadi-jadi. I mean, mungkin itu sebabnya kenapa sekarang kita jarang mendengar ada pembunuh berantai. Serial-killer dan misteri pembunuhan tak terpecahkan itu hanya ‘rame’ di jaman dahulu. Bukan semata karena teknologi sekarang udah maju sehingga mereka bisa lebih cepat ditangkep, tapi mungkin juga karena saking tingginya level kebobrokan sehingga orang merasa gak perlu sembunyi-sembunyi lagi, justru bangga sebagai psikopat. Sekarang lebih ‘ngetren’ teroris kan. yang di Selandia Baru itu, penembakan terang-terangan pake di-livestream segala. Seharusnya dengan teknologi maju, pembunuhan bisa cepat diungkap, namun karena manusia malah semakin bobrok, kejahatan pun ikutan berevolusi, malah jadi skala besar dengan lebih cepat.”

“Banyak faktor soal jaman dulu banyak pembunuh psikopat sedangkan sekarang enggak; seperti teknologi, kemampuan polisinya yang belum mumpuni, konspirasi dengan petinggi negara dan sebagainya. Terus mengenai teroris, gue rasa karena aksi mereka lebih terbuka, lebih brutal dan sori to say, melibatkan suatu agama tertentu. Sedangkan serial killer lebih membutuhkan banyak waktu, korban dan misteri agar terkenal.”

“Komentar sosial yang mengena banget ke seluruh dunia. Pembunuh berantai itu bisa siapa saja. Teroris itu bisa siapa saja. Tidak terkait golongan, ras, atau apapun. Tapi film yang bernada komedi ini toh tetap mengajak kita untuk ‘bermain-main’, mengajak kita untuk ikutan menebak-nebak siapa pelaku. Di satu poin dalam cerita, kita malah diperlihatkan wajah blur pelaku. Jadi, mungkin sebenarnya film ini punya pelaku versi cerita mereka sendiri. Kalo mau main detektif-detektifan, aku sih paling curiga sama tukang reparasi yang keluar-masuk ruang interogasi kepolisian itu. Kamera gak pernah lihatin wajahnya, tapi yaah mengingat semua yang terekam oleh film ini punya kepentingan berkat arahan dan staging yang detail seperti yang kita bahas di atas, menurutku rasanya aneh aja ada tokoh tukang reparasi yang hanya ada di sana tanpa dimaksudkan sebagai apa-apa.”

“Kalau menurut gue pasti salah satu penduduk daerah situ. Petunjuknya adalah karena dia kelihatannya gak sembarangan pilih korban dan juga tahu betul lokasi yang ideal untuk melakukan aksinya. Cuma warga desa situ yang menurut gue bisa melakukannya.”

“Dipikir-pikir lagi, dari gimana hebatnya film membangun dunia ceritanya – semua di desa itu terlihat seperti beneran sesuatu yang bisa kita temukan di desa nyata…”

“Kesan tempatnya mirip kampung-kampung di Indonesia wkwkwk. Justru itu gue juga heran kenapa pembunuhnya malah gak ketangkep-tangkep, padahal orang-orang di kampung situ harusnya akrab-akrab”

“Nah itu, kampung mereka tampak tertutup dan gak akrab, meski penghuninya akrab-akrab kayak anak sekolahan, atau juga kondisi di warung. Secara kontekstual, film ini berlangsung di jaman kericuhan Korea Selatan dan Utara, kan. Kita melihat beberapa kali desa itu kena jam malam, dan ada simulasi-simulasi keamanan yang sedang berlangsung sebagai latar cerita. Dan menurutku, film ini juga ingin mengkritik itu. Bahwa itu semua mungkin bisa dijadikan petunjuk bahwa menurut film ini pelaku sebenarnya – ‘pelaku’ yang menyebabkan di zaman dulu Korea Selatan bisa kebablasan ada serial-killer yang bukan hanya gak tertangkap basah, melainkan juga seperti mengejek polisi dengan aksi-aksinya – adalah sistem negara itu sendiri. Jika mereka tidak dalam darurat perang, jika tidak ada simulasi-simulasi itu, pintu dan jendela rumah-rumah mungkin tidak akan tertutup oleh ketakutan sehingga tidak ada kesempatan untuk si pembunuh melancarkan aksinya.”

“Masterpiece! Dari skala 1-10, gue  ngasih 9 deh, minusnya film ini cuma kemampuan mata Park kurang dijelasin dan timeline korban-korban pembunuhan juga kurang dijelasin lagi. Tapi karena Bang Arya cerewet pasti film ini dikasih skor mentok di tujuh setengah wkwkwkwk”

“Wahahahaha film ini dalem banget. Misterinya engaging. Tokoh-tokohnya menarik. Teknisnya juga luar biasa. Untuk film ini, aku tak menemukan cela yang merusak. Semuanya bekerja efektif mengisi konteks. Soal ‘mata kebenaran’ Park itu buatku juga jenius banget. Kali ini aku pikir aku setuju, aku juga ngasih 9 dari 10 buat Memories of Murder. Jarang-jarang ya!”

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Andy Kurniawan udah berpartisipasi dan ngusulin film ini, ke mana aja aku baru tau ada film keren ini ya haha.

Apakah kalian punya teori sendiri siapa pembunuh dalam film ini? Apa yang kalian rasakan saat ditatap oleh Park di momen final film ini?

 

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

[Readers’ NeatPick] – THE GREEN MILE (1999) Review

“Frank Darabont berhasil membius pikiran saya hingga masuk ke dalam setiap karakter-karakter yang disajikan. Hingga akhirnya Darabont dengan cerdas menciptakan kekuatan dari setiap karakter….”Mochamad Ridwan Alamsyah, pemilik akun instagram @m.ridwanalamsyah

 


Sutradara: Frank Darabont
Penulis Naskah: Frank Darabont, Stephen King (penulis novel aslinya)
Durasi: 3 jam 9 menit

 

 

The Green Mile, satu lagi cerita berlatar penjara adaptasi novel Stephen King yang disutradarai oleh Frank Darabont. Tapi tidak seperti The Shawshank Redemption (1994), Green Mile punya elemen supernatural dalam ceritanya. Ini adalah cerita tentang Paul Edgecomb, seorang sipir penjara di blok khusus terpidana mati, yang menyaksikan dan mengalami sendiri, literally, keajaiban di dalam sel yang ia jaga. Keajaiban berupa sesosok raksasa kulit hitam tinggi besar – yang pandangan mencela akan cepat memandangnya sebagai seorang dengan cacat mental – yang ditahan di sana karena tuduhan sudah membunuh dua gadis cilik. Dalam hari-hari menjelang eksekusi matinya, John Coffey ternyata tidak seseram pandangan mata. Bagi Paul tentu saja jadi beban apakah Coffey benar-benar membunuh atau bukan, sementara dalam hati dia sudah yakin jawabnya. Bagaimana mungkin orang yang mengorbankan diri demi menghidupkan kembali tikus yang sudah mati, yang menyembuhkan penyakit kelamin Paul – dan keharmonisan keluarganya – adalah seorang pembunuh. Bagi Paul, seperti yang selalu ia lakukan terhadap tahanan di sana, adalah bagaimana memperlakukan mereka tetap sebagai manusia yang punya martabat, dan konflik yang ia rasakan setiap kali dirinya menggiring mereka melewati lantai hijau – mil terakhir di hidup para terpidana, menuju kursi listrik yang mengakhiri nyawa mereka.

“Film ini menyuguhkan drama yang rapi. Dialog-dialog yang berwarna. Kadang serius dan penuh isi, kadang satir dan lucu.”

“Durasinya termasuk panjang banget, udah jarang kita temuin film Hollywood dengan durasi melewati tiga-jam. Kalo film ini dibuat di masa-masa sekarang, aku gak yakin mereka bakal berani membuatnya sepanjang ini. Remake It (2017) saja kan, adaptasi Stephen King juga, difilmkan jadi dua film. Studio gak ada yang berani lagi bikin film sepanjang ini. Dan hebatnya, tiga jam film ini buatku terasa sekejap.”

“180 menit yang saya habiskan di depan layar tidak sekalipun membuat saya ingin beranjak meninggalkan film ini. Saya sangat menyukai sekali film yang mempunyai cerita yang menarik, fresh, berbobot, dan mempunyai gaya tersendiri dalam menyampaikan cerita tersebut kepada penonton tidak peduli film itu panjang atau pendek. Bagiku film ini mempunyai plot yang sangat baik sekali dan ceritanya juga tidak klise, dari awal film sampai akhir kita akan menemukan beberapa plot twist yang cukup mengejutkan.” 

“Efektif sekali memang film mengisi durasinya. Kita merasakan waktu berjalan di balik sel-sel penjara tersebut dengan kuat. Perubahan karakternya, baik dari para penjaga maupun para tahanan. Dan Coffey sebagai pusat perubahan itu memang terasa hidup sekali”

“John Coffey juga Paul Edgecomb adalah tokoh yang berkesan buat saya. Peran mereka berdua di film ini paling dominan tetapi peran pendamping lainnya juga tidak kalah penting. Banyak adegan-adegan memorable, salah satu adegan yang paling emosional tentu saja ada pada bagian menjelang akhir cerita dari film ini di mana John Coffey akan dieksekusi mati”

“Ya benar, ada banyak sekuens adegan yang benar-benar powerful. Menurutku ini satu lagi pembeda waktu buat film ini; sekali lagi, kalo The Green Mile dibuat di tahun 2019 aku gak yakin mereka benar-benar akan memperlihatkan eksekusi di kursi listrik, ataupun adegan Mr. Jingles yang diinjak, dengan benar-benar gamblang seperti yang ditampilkan oleh film ini. The Green Mile sangat intense, suspensnya begitu menguar dan terbuild up dengan rapi karena film memanfaatkan waktu untuk kita mengenal setiap karakternya. Si Coffey ini memang dibangun untuk pancingan emosional kita, dan di akhir itu .. maaan… aku nonton ini pertama kali sekitaran 2014 yang lalu, disaranin ama seorang teman, katanya “this will broke your heart”, dan setelah nonton itu aku… aku masih memunguti pecahan hatiku saat temanku nongol dan bilang “I told you so, Kak””

“The Green Mile bukanlah film drama tragis yang bisa dengan mudah membuat saya mengeluarkan air mata di setiap adegannya. Sedangkan air mata dan kesedihan yang ada justru berada hampir di penghujung film, saat semua kisah sudah terangkum dan kita mengerti dan mengetahui banyaknya hal hal yang sudah dibangun oleh Darabont untuk membangun emosi tersebut di setiap menit dan menitnya. Menurut saya sangatlah tidak adil bila John Coffey harus dieksekusi mati atas perbuatannya karena ia tidak bersalah atas segala tuduhan pembunuhan terhadap dirinya dia hanya ‘A right man in the wrong place and situation’. Namun, ada satu pertanyaan dasar yang tidak saya dapatkan disini. Yaitu tentang asal kekuatan magis yang dimiliki Coffey. Melalui dialog, film ini hanya mampu menjelaskan jika kekuatan magis yang dimiliki Coffey semata-mata mukjizat dari Tuhan. Saya berasumsi jika hal ini sengaja dilakukan oleh penulis supaya penonton dapat memutuskan secara bebas menggunakan imajinasi mereka.” 

“Mungkin memang bukan tanpa alasan kenapa tokoh yang dimainkan penuh penghayatan oleh si Michael Clark Duncan itu diberi nama John Coffey. Yang jelas bukan karena mirip ama kopi, seperti yang disebut oleh si tokoh sendiri haha.. Banyak teori yang menyandingkan inisial Coffey; J.C. dengan Jesus Christ. Apa yang dilakukan Coffey dengan mukjizat-mukjizat itu juga sama. Dia menyembuhkan orang lain dengan menelan ‘penyakit’ itu, membuat dirinya sendiri sakit. Dan dia melakukannya dengan tulus.”

“Mungkin karena unsur supranaturalnya yang spiritual seperti demikian itu film berlatar penjara ini bisa disebut sebagai film religi, ya”

“Mungkin juga. Tapi toh ada juga kan adegan di mana Coffey ‘menghukum’ tokohnya si Sam Rockwell – dan film ini membiarkan kita memutuskan apakah yang dilakukan Coffey kepadanya itu sebuah tindak ‘main hakim’ sendiri atau memang sebuah ‘balasan dari Tuhan’. Tapi mungkin memang di situlah letak kekuatan film ini. Dia menggambarkan perjuangan yang besar antara melakukan perbuatan baik dengan melakukan perbuatan yang  buruk. Serta ganjaran yang kita terima terhadap perbuatan kita kadang tidak seadil yang kita harapkan. Film ini juga bicara tentang prasangka, makanya secara fisik Coffey digambarkan ‘kontroversial’ menurut standar tokoh-tokoh yang lain.”

“Dengan prasangka tersebut, bisa jadi film ini cukup kontroversi bila dibuat tahun 2019, tetapi mengingat banyaknya film yang mengangkat tema isu rasisme terhadap orang kulit hitam seperti BlackKklansman (2018) mungkin kontroversi tersebut tidak akan terlalu diperbincangkan.”

“Tokoh Coffey ini sebenarnya masuk ke dalam trope ‘Magical Negro’; sebutan yang dicetuskan oleh Spike Lee untuk tokoh-tokoh kulit hitam dalam film yang tidak diberikan bangunan cerita yang kuat, selain mereka punya kekuatan khusus dan berfungsi untuk membantu tokoh utama kulit-putih menjadi pribadi yang lebih baik. I do think tokoh Coffey ini mestinya bisa dikembangkan dengan lebih baik lagi, mungkin kita bisa dikasih tahu siapa dirinya sebelum semua itu terjadi, apa yang dia inginkan dalam hidup, mungkin dia dibuat sedikit mengadakan perlawanan terhadap hukum mati yang ia terima. But then again, jika memang tokoh ini diniatkan sebagai simbol yang mewakili Yesus, masuk akal juga kenapa kita tidak diberikan lebih banyak soal backstory dirinya. Dia di sana untuk membuat Paul dan semua tokoh lain melihat dan berprasangka lebih baik lagi. Mungkin hukuman mati justru adalah jalan pembebasan yang selama ini ia cari.”

“Hukuman mati, dalam dunia nyata, memang sangat diperlukan tetapi saya juga terkadang tidak setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati karena saya ingin mereka memetik pelajaran juga mengambil hikmah serta menyadari atas apa yang mereka perbuat agar mereka dapat menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Di sisi lain kita juga harus mendukung adanya pemberlakuan hukuman mati di dunia ini agar orang-orang yang melakukan tindak kejahatan seperti menghilangkan nyawa orang lain harus dibayar sesuai dengan mereka perbuat atau istilah lainnya yaitu ‘nyawa dibayar nyawa’, tapi tentu saja harus dilakukan dalam cara yang manusiawi yaitu dengan cara hukuman suntik mati atau Lethal Injection, dilakukan melalui tiga tahapan. Tahap pertama adalah memberikan suntikan untuk anasthesi (pembiusan). Tahap kedua adalah memberikan suntikan untuk melumpuhkan tubuh dan menghentikan pernafasan. Tahap ketiga atau terakhir adalah memberikan suntikan untuk menghentikan detak jantung. Tanpa Anastesi, terhukum akan mengalami asphisiasi, sensasi terbakar pada seluruh tubuh, nyeri pada seluruh otot, dan akhirnya berhentinya detak jantung. Oleh karena itu, anastesi yang memadai diperlukan untuk meminimalisir penderitaan dari terhukum dan untuk memperkuat opini publik bahwa hukuman suntik mati itu relatif bebas rasa sakit.”

“Dalam film ini juga benar-benar ditunjukkan prosedur hukuman mati dengan kursi listrik yang dilakukan dengan memastikan si terpidana bisa langsung isdet tanpa berlama-lama menanggung sakit. Tapi di film ini mereka membuat hukuman mati sebagai tontonan. Buatku hal tersebut kurang manusiawi. Juga, menurutku, sebaiknya terpidana mati langsung dieksekusi saja, jangan lagi menunggu hari-hari mereka dipanggil. The Green Mile menekankan cerita pada soal ‘hari-hari menunggu’ ini. Istilahnya sendiri kan merujuk pada jarak. Buatku gak adil aja seseorang yang sudah berbuat salah dan dijatuhi hukuman, diberikan ruang untuk introspeksi – antara hari-hari itu mereka bisa saja insaf dan berperilaku laksana malaikat – hanya untuk dimatikan tanpa bisa mengurangi hukuman. Bukankah mengetahui batas akhir umur kita itu sesungguhnya adalah suatu keuntungan?”

“Mengetahui batas akhir dari umur kita menurut saya memang bisa jadi menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi kita karena hal tersebut membuat kita menjadi orang yang lebih baik lagi dari hari ke hari dan dapat membuat kita meningkatkan keimanan kita kepada tuhan kita sebelum kematian itu tiba saatnya, jadi kita senantiasa mempersiapkan diri untuk berbuat kebaikan. Tapi itu juga tergantung bagaimana orang tersebut menyikapi tentang kematian itu sendiri. “

“It was unfortunate apa yang terjadi pada Coffey, tapi di sisi lain mungkin dia bebas dan justru Paul-lah yang menderita setelah mendapat anugerah dari dirinya. Aku bayangin konflik banget buat Paul ketika dia tidak bisa mendapatkan apa yang diperoleh oleh kriminal-kriminal yang ia eksekusi, dan mungkin Coffey bukanlah yang terakhir yang duduk di kursi listrik itu dalam keadaan tidak bersalah. Umur panjang memang sering dikaitkan sebagai musibah dalam film-film, tak terkecuali di sini”

“Bagi saya itu adalah sebuah anugerah yang tuhan berikan melalui perantara si John Coffey kepada Paul agar ia dapat menikmati hidupnya dengan penuh harapan, cinta, dan kedamaian seperti Coffey yang selalu membantu orang-orang yang sedang kesulitan. Mungkin Coffey memberikan umur panjang kepada Paul agar paul dapat menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang.”

“Coffey tentu tidak meniatkannya sebagai kutukan. Paul adalah penjaga paling baik dan hormat kepada para tahanan. Tentu, tokoh yang diperankan Tom Hanks ini awalnya tidak percaya keajaiban, tapi dia tahu hidup sangat berharga. Coffey yang respek sama tokoh ini hanya ingin memberikan waktu yang panjang kepada Paul supaya Paul bisa memanfaatkan umur-umur orang yang dieksekusi sebagai penebusan. Tapi bagi Paul jelas ini jadi beban. Karena dengan umur panjang, tidak seperti para tahanan yang harus meninggalkan orang-orang yang mereka sayangi, justru Paul harus ditinggalkan oleh orang-orang yang ia sayangi. Justru ia yang merasakan Green Mile yang paling panjang. Mungkin dia baru bisa menemukan kedamaian entah berapa tahun lagi haha. Ada loh fans yang niat menghitung berapa tahun lagi Paul bakal meninggal..”

“Haha kira-kira 125 tahun lagi kali yah”

“Mungkin malah jutaan, mengingat banyaknya yang sudah ia eksekusi. Ngomong-ngomong soal eksekusi, it’s scoring time! The Green Mile adalah salah satu film favoritku sepanjang masa, ini adalah film yang mungkin tak-akan berani dibuat lagi, begitu intensnya mengobrak-abrik perasaan, aktingnya flawless, tapi memang pengkarakteran seharusnya bisa lebih dikembangkan lagi. Aku putuskan untuk memberinya 7.5 bintang emas dari 10.”

“I give this movie 8.5/10 stars. Film paling emosional yang pernah saya saksikan.” 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Mochamad Ridwan Alamsyah udah berpartisipasi dan ngusulin film ini, sudah lama aku ingin membahas film-film kayak The Green Mile.

Apakah menurut kalian ini adalah film religi? Apakah umur panjang adalah suatu anugerah? Atau apakah lebih mending kita tahu batas umur kita, walaupun pendek?

 

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

HAPPY DEATH DAY 2U Review

“To the world you may be one person; but to one person you may be the world.”

 

 

 

Yang aku inginkan adalah terbangun dalam keadaan sehat wal’afiat. Bahwa hari ini akan baik-baik saja. Aku tidak akan tewas dengan sukses dalam perjalanan ke bioskop demi menonton sekuel dari Happy Death Day (2017) yang seru dan kocak dulu. Semua orang pastinya pengen harinya berjalan mulus, tetapi hidup tidak pernah segampang itu. Toh, aku bersyukur juga, lantaran Happy Death Day 2U ini enggak benar-benar memberikanku masa yang sulit.

Menyambung langsung satu hari setelah kejadian di film pertama, kita melihat Ryan (tokoh minor dari film tersebut) mengalami kejadian loop yang persis sama seperti yang dialami oleh Tree (protagonis cewek paling feisty yang kita saksikan dalam horor baru-baru ini). Ryan bahkan mati juga dibunuh sama orang misterius yang mengenakan hoodie dan topeng bayi maskot kampus mereka. Maka Ryan yang lebih pinter dari kelihatannya itu berkonsul dengan Tree. Mereka bekerja sama menangkap si pembunuh, Tree menemukan kejutan dan kenyataan bahwa kejadian loop tersebut disebabkan oleh alat ciptaan Ryan. Dan bahwasanya teori multiverse itu benar adanya. Eventually, dalam usaha membereskan kekeliruan dan menutup loop, Ryan gak sengaja ‘mengirim’ Tree ke dunia paralel. Di mana Tree mendapat diri terbangun dalam kejadian film pertama, hanya saja di dunia tersebut keadaan sedikit berbeda. Ibu Tree masih hidup; itu perbedaan baiknya, yang bikin Tree girang dan betah di sana. Buruknya – si pembunuh bertopeng bayi yang dulu sudah ia kalahkan juga masih hidup dan masih berniat membunuh, tentu saja. Tree kembali terjebak dalam lingkaran kematian di hari ulangtahunnya!

Reaktor Kuantum Sisyphus, as in Raja Sisyphus yang dihukum mendorong naik batu raksasa ke atas bukit

 

Tadinya aku langsung pengen cemberut, tapi gak jadi. Film membuka diri dengan sudut pandang tokoh Ryan, yang kupikir adalah langkah yang berani sebab jarang ada genre horor yang tokoh utamanya seorang minoritas. Kupikir film ini akan membahas tentang gimana ia menyingkapi proyek sains berbahaya yang ia lakukan. Namun meskipun memang film ini bakal mengarah ke sci-fi dengan teori multiverse dan alat kuantum dan persamaan fisika segala macem (membuatnya lebih mirip Back to the Future 2 ketimbang Groundhog Day), status tokoh utama itu seperti dikembalikan lagi kepada Tree. Ini ternyata masih cerita Tree. Ini masih kekurangrapihan dalam penulisan skenario menurutku, tapi aku seratus persen bisa memaklumi kenapa mereka kembali melempar Jessica Rothe ke dalam cerita. Karena aktris inilah yang jadi kekuatan utama. Dia begitu kocak di film pertama, dialah alasan kenapa penonton meminta adanya sekuel; kita masih ingin dihibur oleh tingkah berani dan nekat Tree yang ia mainkan dengan begitu alami.

Energi dan kharisma ‘kegilaan’ Rothe sebagai Tree dilipatgandakan oleh sutradara Christopher Landon yang meningkatkan dosis komedi dalam ceritanya. Kita akan terbahak ngeliat reaksi Tree begitu sadar dirinya terjebak lagi. Kita akan guling-guling oleh montase-montase berlatar lagu pop seputar Tree melakukan berbagai aksi bunuh diri karena enggak sudi mati dibunuh pada setiap penghujung hari. Film ini juga tidak melupakan sisi emosional, yang datang dari dilema yang harus dihadapi oleh Tree. Elemen multiverse digunakan untuk menambah bobot pada karakter Tree, membuat dirinya semakin menarik lagi; karena di dunianya sekarang semua hal baru bagi dirinya. Dia punya pilihan yang tak ia miliki sebelumnya. Ultimately dia harus memilih antara dua orang yang ia sayangi. Jarang loh horor komedi punya lapisan cerita emosional seperti ini.

kini kalian tahu kenapa aku mengutip lirik Paramore di paragraf pembuka

 

Bagi dunia kita hanya seorang. Atau mungkin enam, jika menganut teori multiverse film ini. Tapi berapa banyak itu, mau tak-hingga sekalipun, sesungguhnya tak jadi soal karena ‘dunia’ kita terbangun atas kecintaan terhadap satu orang yang begitu spesial. Pilihan yang ditawarkan setiap hari kepada kita memang beragam, selalu ada kesempatan untuk memiliki kembali apa yang sudah hilang dari kita. Tapi seperti halnya Tree, yang harus kita ingat adalah, jangan sampai kita kehilangan ‘dunia’ yang masih kita punya hanya demi mengejar kembali ‘dunia’ yang telah hilang.

 

 

Porsi komedi dan drama benar-benar digadang sehingga elemen horornya sudah seperti beda dunia dengan dua elemen pertama tadi. Tidak banyak kengerian, tidak banyak bunuh-bunuhan yang kita saksikan. Setiap momen konfrontasi dengan si pembunuh pun tidak ada yang memorable lantaran dieksekusi dengan begitu standar. Tidak ada peningkatan dalam cara film ini membangun keseraman. Formulanya itu-itu melulu; selalu berjalan pelan ke tempat yang dicurigai, kemudian ternyata enggak ada siapa-siapa, dan si pembunuh muncul dari tempat lain. Kengeriannya hanya dibangun dari musik, sementara adegannya ya gitu-gitu aja. Konfrontasi final yang kita nanti-nanti setelah sekuens yang begitu panjang yang terdiri dari banyak adegan perpisahan juga gagal menorehkan efek yang membekas. Terutama buatku adalah karena motif si pembunuh di dunia paralel ini berbeda dari yang Tree kira. Pembunuhnya juga beda. Aku gak bakal nyebutin di sini, tapi setelah mengetahui motifnya, aku merasa aneh aja. I mean, Tree bisa aja lanjutin hidup di sana karena gak ada yang bunuh dia, dia bisa banget lanjutin dengan milih ngeloop sekali saja khusus untuk nyelametin satu temennya sekaligus nangkep tuh pembunuh, dia lalu gak usah bunuh diri biar bisa keluar dari loop (since loopnya aktif hanya kalo dia mati) dan nerusin hidup dengan Ibu sambil menumbuhkan cinta dengan cowok yang ia sukai. Solusi win-win kan?

Memang, kalo dia gak melakukan hal tersebut, film gak jalan – dia gak belajar. Tapi kemungkinan dia melakukan itu toh tetap ada. Dan film tidak bisa menjelaskan kenapa Tree tidak memilih itu saja. Kita hanya diminta untuk setuju dengan apa yang ditawarkan film, kita diminta percaya. Banyak adegan di film ini yang meminta kita melakukan hal tersebut. Seperti gimana bisa Tree membuat empat temannya percaya dia jenius yang tahu rumus kuantum yang benar sehingga mereka rela mempertaruhkan kena DO dari kampus, padahal kita tahu empat orang tersebut otomatis tidak punya ingatan apa-apa lagi mengenai apa yang mereka lakukan setiap kali loop terjadi. Memperlihatkan adegan Tree menjelaskan kepada mereka memang akan membuat film menjadi repetitif, namun semakin ke sini aku semakin sulit percaya Tree bisa melakukan dan tidak ada ‘perlawanan’. Kita diminta untuk percaya mereka melakukannya karena ‘takut’ dengan Tree yang mean girl.

Kita diminta untuk tidak bertanya apa yang terjadi pada Ryan yang datang dari dunia yang lain; kenapa bisa ada dua Ryan di dunia yang sama, namun ketika Tree nyebrang ke dunia yang lain kita tidak melihat ada dua Tree di sana. Apa yang terjadi kepada Tree B di dunia yang didatangi oleh Tree A? Convenient sekali dia tidak ada. Padahal jika ada enam dunia, bukankah mestinya ada enam Tree, ada enam SISY, ada enam Ryan, ada enam loop? Tidak mungkin Tree B sudah meninggal karena teman-temannya tidak heran melihat Tree A. Kompleksnya kejadian di film ini membingungkan karena cerita film ini menawarkan jawaban kenapa bisa terjadi loop in the first place. Kita mendapat cerita yang berbau sci-fi, namun jawaban itu sendiri tidak dibuat dengan matang. Film hanya ingin punya ‘alasan’ tanpa benar-benar detil membangunnya. Middle-credit scenenya mengisyaratkan seolah bakal ada sekuel, meng-tease seputar mencari kelinci percobaan untuk uji coba loop, dengan kocak Tree mengajukan satu tokoh yang lantas membuatku heran gimana caranya menargetkan loop kepada satu orang – bukannya Tree dan Ryan kena loop secara random?

 

 

 

 

Menurutku itulah kesalahan terbesar dalam film ini. Menjadikannya sebagai usaha untuk menjelaskan sesuatu yang tidak pernah ditanyakan ‘kenapa’. Film pertama bekerja efektif dengan keambiguannya. Tidak diperlukan penjelasan. Namun jika ingin menjelaskan, maka lakukanlah dengan sebenar-benar jelas. Film kedua ini punya landasan sains untuk memasukakalkan semua kejadian, hanya saja landasan tersebut dibangun dengan lemah sehingga justru jadi menimbulkan banyak pertanyaan lain. Pada akhirnya film menyuruh kita untuk menelan bulat-bulat pertanyaan tersebut. Kita disuruh untuk ikut saja, percaya saja, pada kejadian yang mereka susunkan sebagai alur cerita, tidak usah memikirkan alternatif lain. Ironis sebenarnya untuk sebuah cerita tentang multiverse dan pilihan manusia yang begitu beragam. Di samping semua itu, film ini masih mempertahankan pesona yang membuat film pertamanya disukai dan aspek yang membuat dirinya ada; selera humor dan penampilan Jessica Rothe. Makanya film ini bakal bekerja paling baik jika ditonton maraton langsung setelah film pertamanya.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for HAPPY DEATH DAY 2U.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Punyakah kalian ‘dunia sempurna’ yang sering kalian bayangkan sehubungan dengan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan? Maukah kalian menukar apa yang saat ini dimiliki dengan kesempatan untuk tinggal di ‘dunia sempurna’ tersebut? Dan bicara tentang multiverse, kira-kira bisakah kalian menang melawan diri kalian dari dunia yang lain?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

SUSPIRIA Review

“It’s not just men who wear the pants in the political realm”

 

 

Tarian, seperti halnya bentuk-bentuk seni yang lain, sejatinya adalah sebuah ilusi. Tidak cukup hanya dengan bergerak, kita disebut menari, melainkan juga harus melibatkan pikiran dan perasaan. Sebab pergerakan dalam tari-tarian meniru gerakan alam. Hewan, tumbuhan. Angin. Bahkan cahaya, semuanya bisa ditarikan ketika sang penari mengilusikan dirinya sebagai materi-materi tersebut. Menciptakan keindahan, keelokan, yang mampu menghanyutkan siapa pun yang mengapresiasinya. Ilusi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam seni menari. Akan butuh usaha, kekreatifan, dan keterampilan yang sama besarnya jika ada yang ingin memisahkan ilusi dengan tarian dengan cara yang membekas. Suspiria, horor remake yang ‘dikoreografi’ oleh sutradara Luca Guadagnino, berhasil melakukannya.

Suspiria vokal kepada keduanya, tari dan ilusi. Tapi tidak pernah tampak indah dan memukau. Bukan juga menyeramkan. Mereka seperti tidak berjalan beriringan. Melainkan meninggalkan perasaan diskoneksi, sesuatu yang terentaskan, yang bakal terus merundung kita. Mengambil banyak nama-nama dari film originalnya, Suspiria kali ini tanpa tedeng aling-aling bercerita tentang sebuah akamedi tari di Jerman Barat yang merupakan kedok dari kelompok penyihir wanita. Tarian sebenarnya adalah ritual pengorbanan gadis-gadis muda untuk diambil alih tubuhnya oleh Markos, Ibu dari semua penyihir di sana. Tokoh utama kita, Susie (Dakota Johnson membawa shades of red ke dalam cerita) datang jauh-jauh dari Amerika untuk belajar tari di sana, langsung diajar oleh sosok yang ia kagumi. Tidak mengetahui apa yang terjadi – teman seakademinya menghilang, ada ruangan rahasia, dan penyihir-penyihir di sekitarnya – Susie yang berdeterminasi langsung diangkat menjadi penari utama dalam pagelaran terhebat di sana. Setelah menempuh banyak liukan, putaran, loncatan, dan pelintiran – baik cerita maupun naskah, Susie akhirnya menemukan purpose hidupnya yang sebenar-benarnya.

dan sebagaimana yang sering terdengar di radio pada background film, ini juga adalah cerita tentang perang Jerman

 

Setiap adegan menari dalam film ini akan membuat kita mengernyit. Masing-masing tampak lebih buas dari sebelumnya. Walaupun kita tidak menikmatinya, kita masih ingin terus melihat ada apa berikutnya. Begitu pun dengan misteri alias ilusi yang disajikan oleh film ini. Cerita tidak pernah benar-benar menutupi, tapi tetap saja kita dibuat menggaruk kepala olehnya. Dan terus ingin menyelami. Kita ingin menghubungkan titik-titik itu, namun tidak pernah benar-benar berada di dalam garis penghubung yang lurus. Suspiria adalah berhak menggenggam piagam Film Aneh, dan kalopun memang ada, aku yakin film ini akan mengenakan piagam tersebut dengan bangga. Bahkan menari berkeliling dengannya.

Film ini sesungguhnya punya tiga sudut pandang yang penting. Yang satu-satunya penghubung di antara ketiganya adalah ilusi aneh yang diciptakan oleh si pembuat film; yakni fakta bahwa pemeran ketiga tokoh/sudut tersebut adalah pemain yang sama. Beneran deh, aku kaget banget begitu mengetahui kalo tokoh Josef si dokter tua yang berusaha menyelamatkan para gadis, tokoh Madame Blanc si ketua pelatih tari, dan tokoh Mother Markos si ’emak’ para penyihir alam diperankan oleh satu orang; aktris Tilda Swinton (atau mungkin lebih dikenal sebagai suhunya Doctor Strange). Make up dan prostetik yang digunakan luar biasa sehingga dia bisa menjadi bapak-bapak, bisa menjadi manusia-tak-utuh, dengan sangat mengecoh. Bagian menariknya adalah ketiga tokoh yang ia perankan tidak diungkap punya kesamaan, ataupun ternyata adalah orang yang sama. Swinton benar-benar memainkan tiga tokoh yang berbeda yang lantas membuat kita bertanya-tanya, kenapa film melakukan hal tersebut? Pasti ada maksudnya, tentu akan lucu sekali kalo dilakukan hanya karena mereka malas nge-casting orang lain, kan.

Untuk menafsirkan hubungan-hubungan  dan maksud yang tak kelihatan pada film-film, khususnya film membingungkan seperti ini (and by that I mean; film-film nge-art yang kadang terlalu sok-serius sehingga jatohnya malah pretentious), kita perlu menilik unsur yang tak hadir dalam dunia cerita. Ketiga tokoh yang diperankan Swinton tadi bertindak sebagai pedoman ke mana kita harus melihat. Cukup jelas film ini didominasi oleh tokoh wanita. Akademi tari yang jadi panggung utama cerita itu sendiri adalah tempat untuk para wanita. Tidak ada cowok di dalamnya. Cowok yang nekat masuk, ataupun dipaksa masuk, ke sana hanyalah makhluk yang dipersalahkan. Dan ditertawakan. Film ingin memperlihatkan kontras antara suasana di dalam tempat wanita tersebut dengan keadaan negara di luar – Jerman lagi perang, digerakkan oleh para lelaki, sedangkan wanita di akademi matriarki hidup penuh kekeluargaan.

Namun bukan berarti tidak ada ‘perang’ di balik tembok berlapis kaca sana. Kita disuruh melihat kepada pemungutan suara yang dilakukan terhadap Markos dengan Blanc. Tetap ada persaingan, ternyata. Ada permainan kekuasaan. Ada perbedaan pandang antara Blanc yang mengkhawatirkan para penari sebab dia actually peduli sama seni menari, dengan Markos yang sebenarnya menipu mereka semua. Dia bukanlah dia yang ia katakan kepada semua penyihir bawahannya. Bahkan tarian dijadikan alat untuk saling menyerang dan menyakiti dalam kelas akademi mereka. Dan ketika semua konflik sudah seperti berakhir di penghujung cerita, kita melihat the real Mother Suspirium bertemu dengan Dokter Josef, apa yang terjadi dalam interaksi mereka? Tetap saja ada penindihan – ada kuasa yang meniadakan satu pihak yang lain. Dinamika power itu terus berlanjut tidak peduli apakah ada cowok atau tidak. Tidak jadi soal apakah ada yang ingin menghapusnya atau tidak.

Begitulah cara film ini mengatakan bahwa politik bukan hanya panggung para lelaki. Bahkan dalam sistem matriarki pun ada permainan kekuasaan. Ketika sudah berurusan dengan kuasa, dengan power, sungguh akan mudah terjebak ke dalam bentuk penyalahgunaan. Bahkan ketika kita berusaha untuk memperbaiki penyalahgunaan tersebut.

“let’s dance together, let’s party and turn off the lights”

 

Dengan pesan yang serius, dengan tokoh-tokoh yang bergantian dalam ‘sorot lampu’ (perlu aku ingatkan, ulasan ini sama sekali belum menyentuh sudut tokoh yang diperankan oleh Chloe Grace Moretz dan oleh Mia Goth), dengan segala keanehan termasuk struktur bercerita yang-tak-biasa, sebenarnya aku sendiri pun tidak tahu pasti kenapa aku semacam terobses sama film ini. Aku tidak yakin kenapa aku seperti begitu menikmati, padahal tidak – aku suka film aneh tapi aku gak bisa bilang aku suka Suspiria. Aku tidak bisa berdiri di belakang film yang tidak mengizinkan kita berada di dalam kepala tokoh utamanya. Arc Susie tidak terasa seperti ia ‘dapatkan’, yang membuat kita pun terasa seperti outsider dalam cerita. Namun tetap saja, menjelang ulasan ini aku tulis, aku sudah menonton film ini tiga kali. Aku tidak tahu mantra apa yang digunakan sehingga aku terus saja kepengen menonton.

 

 

 

Jika kalian menginginkan remake yang dibuat benar-benar berbeda, film ini adalah contoh pilihan tontonan yang tepat. Akan tetapi besar kemungkinan kalian akan kesusahan mencerna apa yang terjadi, kalian mungkin tidak akan menyukai – lantaran film dengan sengaja membuat dirinya sendiri sukar untuk disukai. Dan sementara itu, kejadian-kejadian tersebut tidak akan segera menghilang dari dalam benak kita semua. Karena pengalaman menyaksikannya lah yang dihujam dalam-dalam. Mempengaruhi kita meskipun kita sudah menolaknya. Film ini bisa saja tampil total mengerikan, seperti yang diperlihatkan oleh beberapa adegan mimpi dan sihir yang disturbing. Namun sutradara Guadagnino lebih memilih untuk menjerat kita dengan cerita yang bahkan kita tidak tahu pasti.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SUSPIRIA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian tindakan yang dilakukan Mother Suspirium di adegan paling akhir ini adalah tindakan yang benar, atau tindakan yang salah? Apakah dia benar-benar melakukan suatu perbaikan, katakanlah terhadap, sistem? Apa makna tarian Volk itu menurut kalian?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DREADOUT Review

“Cell phones are the lifeline for teenagers”

 

 

 

Bayangkan menjadi anak sekolah di jaman berteknologi tinggi seperti sekarang. Apa yang paling kalian takutkan sedunia? Kalian punya teman-teman keren yang siap membantu ngebully orang-orang yang membuat kalian sebal (atau iri). Kalian punya follower setia yang siap menaikkan mood dan begitu mencintai kalian sehingga kalian enggak perlu repot-repot untuk mencintai mereka balik. Tempat angker pun kalian jadikan tempat hiburan untuk menaikkan popularitas. Kalian bisa menaklukan apapun dengan internet supercepat dalam genggaman. Satu-satunya yang kalian takutkan adalah, jika kalian lupa membawa smartphone!

DreadOut, semenjak dari video gamenya, mengusung metafora yang bagus soal betapa anak usia SMA sangat bergantung kepada telepon genggamnya untuk bisa menyintas hari-hari mereka.

 

Mengambil periode sebelum kejadian dalam cerita video gamenya yang meledak di kalangan gamer internasional, film DreadOut membawa kita berkenalan dengan masa lalu Linda (dilempar-lempar, ditarik-tarik, tidak hanya secara emosi Caitlin Halderman dipush bermain fisik) yang bekerja di mini market setelah jam sekolahnya selesai. Kita diperlihatkan karena lelah bekerja itulah Linda sempat daydreaming mengenai kejadian sewaktu kecil. Film menjanjikan para penggemar mengenai asal-usul ‘kekuatan’ Linda, dan adegan pembuka diniatkan sebagai tindakan penebusan janji tersebut. Apakah itu cukup atau tidak, you’d be the judge, lantaran film tidak akan membahas lebih jauh. Cerita terus melaju membawa Linda – yang sebenarnya enggan – untuk ikut bersama kakak-kakak kelas yang jauh lebih tajir dan populer darinya ke sebuah apartemen kosong. Uang dijadikan motivasi oleh Linda, yang menyimbolkan keinginannya untuk bertahan hidup. It’s a good thing Linda punya mental ini, sebab geng mereka bakal dengan segera terancam keselamatannya oleh sesuatu di dalam sana. Mereka menemukan kulit ular, kertas bergambar mengerikan, dan simbol besar di lantai kamar apartemen. Linda pun panik saat dia melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh teman-temannya. Beberapa bait tulisan yang begitu dibaca membuat Linda dan temannya tercebur ke dalam kolam yang terhubung dengan dunia di mana pocong bisa mengejar mereka dengan celurit.

Hayo yang lagi nonton di pojokan, itu Takut atau Kesempatan?

 

Smartphone adalah ‘senjata’ yang digunakan Linda, protagonis dalam film adaptasi game DreadOut, untuk mengalahkan hantu-hantu yang menyerangnya secara fisik. Bukan kamera antik yang disepuh oleh batu-batu roh seperti dalam game Fatal Frame. Melainkan gadget teknologi mutakhir yang memancarkan flash. Tanpanya, Linda dan teman-teman sudah barang tentu akan celaka. Film menunjukkan kemenangan dalam bergantung kepada hape. Ilmu pengetahuan menang telak atas klenik dan mitos yang-membudaya dalam film garapan Kimo Stamboel ini. Anak-anak sekolah itu bukan saja berhasil membuka pintu portal ke dunia lain, mengusik Kebaya Merah, mencuri keris pusaka miliknya, mereka memberikan perlawanan yang cukup berarti meskipun mereka tidak pernah benar-benar mengerti apa yang sedang mereka alami. Untuk sebuah prekuel, dan possibly episode pertama dari dunia yang katanya luas ini, tidak banyak mitologi yang digali.

Tentu saja hal tersebut bisa menjadi hal yang mengecewakan buat para penggemar. Film ini punya kesempatan seperti sebuah kertas yang benar-benar kosong; film bisa menuliskan apapun, menambah kedalaman cerita, memperpanjang aturan dunianya, mengekspansi tokoh-tokohnya, tapi film hanya ‘menulis’ sedikit sekali. Seolah ada garis pembatas yang pantang dilanggar. Dan bahkan Linda dan teman-temannya berani untuk melanggar batas wilayah yang diijinkan oleh penjaga gedung. Film seperti punya ide-ide yang jauh lebih gila, namun tidak semuanya bisa mereka wujudkan. Tidak banyak jenis hantu yang muncul. Pun adegan aksinya terasa agak nanggung, mengingat kiprah sang sutradara di film-filmnya sebelum ini. Jelas, ini masalah batasan umur. Bayangkan jika mereka terus dengan adegan penggal kepala alih-alih potong pergelangan tangan. DreadOut tampil agak jinak dengan efek-efek komputer yang dipasang lebih dominan – sekali lagi, technology triumphs! 

Tetapi bukan berarti film kehilangan sentuhannya. DreadOut berhasil menginkorporasikan gaya khas sang sutradara dengan gaya yang sudah mendarahdaging sebagai cap-dagang gamenya. Menggunakan pergerakan kamera seperti yang kita jumpai dalam Upgrade (2018), Kimo menambahkan intensitas ke setiap lemparan-lemparan yang dikenai kepada para tokohnya. Pergerakan yang aktif dan terasa penuh energi ini membuat kita bisa langsung tahu dengan sekali lihat bahwa film ini ditangani oleh orang yang biasa bermain di ranah aksi thriller yang sadis. Sama halnya dengan musik, suara, dan atmosfer, sekali dengar (dan sekali lihat) para penggemar video gamenya bisa langsung konek bahwa mereka sedang menyaksikan dunia yang sama dengan yang beberapa tahun lalu mereka mainkan. Film mempertahankan apa yang membuat game ini fenomenal; gameplaynya. Bagaimana hantu bisa dikalahkan dengan masuk ke mode layar handphone. Ada beberapa scene yang memperlihatkan Linda memberanikan diri melihat ke layar hapenya, dan ada juga beberapa di mana ia hanya ‘asal’ jepret karena begitu ketakutan. Mengingatkanku kepada diriku yang mulai serabutan jika hantu yang muncul ternyata terlalu mengerikan.

Bahkan buat yang bukan penggemar pun, film turut memberikan service. Komedi dengan gaya candaan yang gak terlalu in-the-face akan membuat kita terhibur. Dan untuk alasan tertentu, film akan menampilkan Jefri Nichol bertelanjang dada.

Dengan rambut dikuncir, Caitlin jadi mirip Ariana Grande ya

 

Game DreadOut sendiri menjadi populer, sebagian besar disebabkan oleh seorang youtuber luar yang meng-upload video dia memainkan game ini, dan itu kocak banget. Aku dulu sempat kepikiran untuk melakukan hal yang sama, karena memang saat memainkannya, ada saja reaksi kocak yang timbul oleh tantangan dan pengalaman yang diberikan. Aku masih ingat ketika aku mulai khawatir ketika baterai hape si Linda sudah tinggal setengah. Actually, aku sempat menanyakan hal ini kepada produser filmnya saat diundang dinner bareng cast, “Apakah nanti di film akan ada adegan Linda panik karena hapenya kehabisan baterai?” karena itu akan menambah lapisan kenyataan dan ketegangan, tetapi pertanyaanku hanya dijawab dengan tawa. Sayangnya, memang, ternyata film tidak membahas ‘masalah teknis’ seperti ini. Sisi vulnerable dari kekuatan Linda tidak mereka eksplorasi. Linda tidak pernah benar-benar terpisah dari senjatanya tersebut. Hapenya bahkan sempat tercebur dan that thing is still working just fine.

Linda dalam film juga tidak banyak diberikan ‘pikiran’ sama halnya seperti Linda pada game, dan ini buatku menjadi masalah. Saat bermain video game, gak papa jika tokoh kita adalah jenis tokoh yang ‘silent’, yang lebih banyak diam, yang tidak tahu apa yang terjadi, karena kitalah yang sebenarnya menjadi tokoh cerita. Pemain yang melakukan pilihan, pemain yang bereaksi. Beda dengan tokoh pada film; protagonis utama kudu tahu apa yang ia lakukan, kita harus mengerti keputusan yang dia ambil berdasarkan apa. Semakin lama, semakin melelahkan melihat Linda berlarian ‘tak tentu arah’, so to speak, well actually Lindanya hapal banget arah karena lokasi film ini enggak begitu luas meskipun seharusnya adalah hutan, karena kita tak punya pegangan apa-apa selain dia ingin menyelamatkan diri. Naskah yang baik adalah naskah yang memberikan dua problem buat tokoh utamanya; problem di luar dan problem di dalam dirinya sendiri. Teror dalam film ini terasa terus bergulir, dan kita tak melihat di mana kesudahannya. Portal itu terbuka menutup sekena keperluan naskah. Kocaknya, kabur dari gerbang yang terkunci lebih susah daripada masuk ke alam gaib, pada film ini.

Dan tidak menolong pula tokoh-tokoh yang lain dibuat begitu menjengkelkan. Film meninggalkan sahabat Linda, Ira, di belakang. Membuat kita stuck dengan tokoh-tokoh yang dialognya seputar berbuat iseng, dan mencari sinyal. Malahan ada satu yang kerjaannya menggebah Linda dan teman-teman untuk masuk dan melanggar batas – clearly he’s up to something. Film tidak memberikan kita ruang untuk mempedulikan teman-teman Linda ini. Jikapun ada keberhasilan, maka film berhasil membuild-up kekesalan kita sehingga nanti begitu hantu muncul dan satu persatu mereka disiksa, kita akan merasakan puas tak terkira.

 

 

Cukup bangga rasanya Indonesia punya film adaptasi video game, yang menunjukkan seberapa jauh negara ini berkembang dalam dunia perfilman dan pervideogame-an. Sebagai sebuah survival horor, film ini menunaikan tugasnya dengan loud-and-clear. Kita melihat makhluk-makhluk menyeramkan, menyerang remaja-remaja tak berdaya yang hanya bisa mempertaruhkan nyawa dengan hape mereka. Film ini punya gaya sendiri yang menjadikannya unik. Sayang, pada penulisan-lah DreadOut paling terhambat dan kemudian jatuh terjengkang. Film tidak mengambil kesempatan mengeksplorasi dirinya sendiri lebih jauh. Seperti mereka terjebak antara portal ‘memuaskan orang banyak’ dengan portal ‘tidak membuat kecewa gamers penggemarnya’. Dan selalu bukanlah hal yang baik terjebak di antara dua hal.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for DREADOUT.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Linda menggunakan hapenya untuk bertahan hidup dari hantu-hantu. Kalian gimana, bisakah kalian hidup tanpa hape?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017