BIRDS OF PREY Review

“Freedom is the emancipation from the arbitrary rule of other men.”
 

 
Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Begitu mungkin – dan memang seriang lagu itulah – kata hati Harley Quinn setelah cintanya bersama Joker kandas. Sama seperti kita semua, supervillain yang super kece dan super gokil; yang membuatnya jadi superkeren ini juga bisa patah hati. Galau. Namun kisah yang ia sebut dalam narasi sebagai emansipasi dari Harley Quinn akan mengingatkan kepada setiap cewek di dunia bahwa cewek sebenarnya jauh lebih hebat lagi ketimbang cowok yang kata pepatah berdiri di depannya.
Birds of Prey sempat dinyinyirin penggemar DC karena harusnya (kalo fans komik udah ngomong “harusnya” itu berarti “yang benernya di komik adalah”) Birds of Prey merupakan nama kelompok superhero cewek. Tapi dalam versi film yang disutradarai oleh Cathy Yan ini (sutradara wanita Asia pertama yang ngegarap film superhero? might wanna check on that...), Harley Quinn yang bandit memasukkan dirinya ke dalam cerita. Sebegitu unik dan gokilnya tokoh ini. Film is actually, totally, about her. Judul aslinya aja “The Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn”. Bercerita tentang Harley yang udah gak lagi di bawah perlindungan Joker sehingga ia diburu oleh penegak hukum dan juga para penjahat-penjahat di sudut-sudut gelap Kota Gotham yang dendam dan geregetan pengen menjitak kepalanya. Salah satunya adalah si Black Mask, hanya saja ketua geng ini pengen menguliti wajah Harley – seperti yang sudah jadi cap-dagang kejahatannya. Harley membuat perjanjian dengan Black Mask; ia akan menemukan berlian inceran Black Mask yang hilang sebagai ganti nyawanya. Perburuan berlian yang ada pada pencopet cilik membawa Harley pada sebuah persahabatan baru. Bukan saja sama si anak kecil, Harley juga bergabung dengan tiga wanita tangguh Gotham. Yang tadinya saling bermusuhan dan punya agenda masing-masing, menjadi satu grup jagoan cewek yang memberantas geng jahat yang didominasi oleh pria.

Harley pasti berani ke kondangan sendirian

 
Agenda feminism jelas merupakan misi utama dari film ini. Sungguh sudut pandang yang jadinya menarik karena Harley Quinn bermula dari seorang penjahat. Jadi film ini awalnya ingin memperlihatkan dunia kejahatan bukan sebatas milik kaum pria. Dalam banyak film modern, narasi feminis seringkali jadi sandungan sebuah penceritaan. Tokoh utama ceweknya akan jatoh sebagai karakter mary-sue alias karakter sempurna yang cakap akan apa saja dan tokoh-tokoh lain – bahkan dunia cerita – mengalah untuk membuatnya terlihat mandiri, kuat, capable. Program cewek harus unggul dari cowok membuat film jadi annoying. Masalah ini tidak berlaku pada Birds of Prey. Harley Quinn enggak seketika menjadi ratu jalanan. Film akan memperlihatkan proses. Zona nyaman Harley adalah berada di balik nama Joker – di awal cerita dia merahasiakan sudah putus dari Joker hanya supaya dia masih bisa menangguk keuntungan dan keselamatan sebagai ‘pacar Joker’. Lalu ketika semua orang sudah tahu, setiap sudut kota menjadi tempat mengancam nyawa bagi Harley. Vulnerability-nya sebagai wanita di tengah sarang penyamun dijadikan stake dan kita peduli padanya karena kita juga mengakui betapa bahaya dunia tersebut bagi wanita, as in, cewek semenarik Harley gak akan survive di sana. Yea, I said it. Margot Robbie sangat memukau sebagai Harley Quinn. Ketawa cekikikan badutnya saja udah bikin terpesona.

Tips setelah putus buat cewek-cewek ala Harley Quinn: Jangan mengurung diri, go out. Ledakkan kenangan akan mantan sampai lenyap. Dan carilah teman; entah itu hewan peliharaaan, ataupun… makanan!

 
Tentu, Harely Quinn bisa macam-macam. Mulai dari berkelahi tangan kosong hingga bertarung dengan senjata, baik itu senjata api maupun tongkat baseball, ataupun berkelahi sambil bersepatu roda. Adegan Harley berantem pake baseball bat terlihat sangat seru dan menyenangkan. Namun bukan karena itu semata dia berhasil selamat dan mengalahkan musuh yang mengejarnya. Film benar-benar mengeksplorasi kekuatan Harely Quinn, juga kelemahan-kelemahannya. Aku suka film ini enggak melupakan basic ilmu yang dipunya oleh Harley. Ia sebenarnya adalah psikiater, dan kemampuan menganalisis orang akan sering kita temui ia gunakan dalam film untuk berbagai keperluan seperti membujuk, negosiasi, atau keluar dari situasi sulit. Keabsurdan Harley Quinn juga tergambar dengan baik; sangat kocak meskipun gak masuk akal. Tokoh ini exactly kayak tokoh kartun yang bisa menarik benda begitu saja. Film merecognize hal ini, seperti ketika ada tokoh yang mempertanyakan Harley Quinn yang tiba-tiba sudah memakai sepatu roda untuk bertarung.

Film ini, lewat pembelajaran yang dilalui oleh Harley Quinn, memperlihatkan kepada kita makna emansipasi dan kemandirian wanita yang enggak dibuat-buat atau dipaksakan. Emansipasi berarti kemandirian dari aturan orang lain yang mengekang. Namun independen bukan berarti harus sendirian. Bukan berarti enggak butuh bantuan. Cewek yang dibantu bukan semata lemah. Bekerja sama adalah jalan keluar bagi Harley dan tokoh-tokoh wanita jagoan dalam film ini. Mereka mengalahkan para geng pria dengan independen menjadi diri mereka sendiri, bersama-sama.

 
Harley Quinn yang dikejar-kejar penjahat satu kota mengingatkan kita pada John Wick. Ia juga punya hewan peliharaan yang jadi semangat juang, tapi bukan anjing melainkan hyena! Adegan berantemnya pun semenyenangkan itu. Dari attitudenya sendiri, film ini mirip dengan Deadpool. Film ini juga ‘cerewet’ oleh narasi yang crude sambil sesekali breaking the fourth wall. Birds of Prey berjalan dengan diceritakan oleh voice-over Harley Quinn. Hal ini dijadikan alasan bagi film untuk tampil sangat unpredictable. Dari sekuen animasi hingga montase backstory, semuanya dikisahkan cepat keluar mulut tokoh utama kita. Tau dong gimana karakter ini kalo ngomong? Ngasal, gokil, dan kadang melompat-lompat bahasannya. Penceritaan seperti begini jadi gimmick yang bagus, meskipun memang menjadikan film jadi berantakan. Ada empat cewek lain yang nantinya jadi pasukan Birds of Prey, plus satu tokoh jahat, dan di babak pertama Harley Quinn akan serabutan menceritakan backstory mereka masing-masing. Akan cukup sering kita dibawa mundur dari alur karena Harley mau menjelaskan satu tokoh saat sedang menceritakan kejadian yang berlangsung. Ini bisa jadi melelahkan, karena cerita utuh jadi seperti terpotong-potong dan disusun acak.

also, there will be a lot of ‘kick to groin’ fighting moves.

 
Dan bahkan semua latar itu belum cukup dijejelkan di babak satu. Film masih punya tanggungan satu tokoh lagi, yang sengaja dibiarkan jadi rahasia hingga setelah pertengahan film. Birds of Prey terasa jadi kayak set up yang berkepanjangan, meskipun secara struktur; film berusaha memakai narasi yang maju-mundur supaya strukturnya bener. Mereka menggunakan cara ini sebagai alternatif penceritaan biasa yang membosankan. Namun sebenarnya akar masalah Birds of Prey ini sama dengan permasalahan film-film superhero DC; terlalu rame oleh karakter. Bahkan untuk film yang seharusnya adalah solo, film ini masih merasa perlu untuk menggabungkannya dengan grup lain. Basically ini adalah dua film yang digabung jadi satu; Harley Quinn dan Birds of Prey, dengan perspektif Harley Quinn dan tema feminis sebagai pengikat. Konsep yang berani, hanya saja pada film ini DC masih dalam tahap mencari cara mengintroduce segitu banyak sekaligus. Birds of Prey lebih solid dan berhasil melandaskan karakter-karakter dibandingkan Suicide Squad atau Justice League, tapi memang masih belum sempurna. Tokoh-tokoh selain Harley masih terasa lebih seperti gimmick ketimbang tokoh franchise. Antagonis di film ini, si Black Mask, juga masih satu-dimensi – karakternya jahat karena dia bos geng yang pengen memonopoli dunia kejahatan dengan uang.
 
 
 
Film ini seperti Harley Quinn itu sendiri. Unik, cerewet, tak tertebak. Gokil. Adegan aksinya juga seru, violencenya menyenangkan. Musik dan set piece di battle akhir itu keren dan asik punya. Darah dan tulang patah bergabung dengan warna-warna ngejreng, ini mungkin sekalian menunjukkan tone cerita film. Dengan berani tidak menampilkan sosok Joker sama sekali, maka film ini benar telah mengemansipasi Harley Quinn yang originally hanya sebagai sidekick/pasangannya. Kini kita bisa menyebut nama Harley Quinn dan hanya membayangkan aksi-aksinya tanpa bayang-bayang sang mantan. Karakter dan tema feminis dalam cerita enggak hadir menyebalkan dan seperti dijejalkan, melainkan berjalan dengan cukup berbobot. Hanya saja film ini punya banyak untuk diestablish. Alih-alih memberi ruang untuk pengembangan, film memilih bercerita cepat dan resiko bolak-balik untuk mengakomodir banyaknya elemen dalam cerita. Kisah emansipasi di dunia jahat ini pack quite a punch, dan kupikir hal terbaik dari film ini bagi cowok-cowok adalah gak bakal terlalu kesusahan lagi ngajak pacar nonton film dari buku komik, bahkan mungkin kalian yang diajak duluan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for BIRDS OF PREY: AND THE FANTABULOUS EMANCIPATION OF ONE HARLEY QUINN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Pelajaran apa yang kalian ambil dari putusnya Harley Quinn dengan Joker? Apa hal tergokil yang pernah kalian lakukan demi lepas dari bayang-bayang mantan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SPLIT Review

“Wounded children become the target of their own rage.”

 

split-poster

 

Berakting pada dasarnya adalah memainkan personality yang berbeda dari keseharian. Misalnya ketika kita jadi sakit kalo besok banyak pe-er, atau ketika ada temen yang jadi peduli banget ama kita kalo lagi ada maunya hihi. Anyway, ada perbedaan antara akting memerankan peran fiktif dengan akting menjadi karakter yang berasal dari nonfiksi, seperti pada film biopik; permainan peran di situ sort of safe karena aktor bisa recreate sifat dan pribadi suatu peran degan mengacu kepada seseorang yang benar-benar ada di dunia nyata. Dengan peran fiksional, however, para aktor seolah bermain dari nol. They just have to be out there. Aktor mesti menyerahkan sepenuhnya kepada kreativitas sendiri, sesuai tuntutan sutradara dan naskah. Seperti yang dilakukan oleh James McAvoy di film Split, di mana dia benar-benar menyemplungkan diri ke dalam semua various personalities yang ia perankan.

Mencari tahu siapa nama tokoh yang diperankan oleh James McAvoy dalam film ini aja pada awalnya kita akan kebingungan. Kadang dia dipanggil Dennis. Kadang dia pake baju cewek dan memanggil dirinya Patricia. Later did we learn, he’s actual name is Kevin. Kenapa bisa ganti-ganti begitu, apakah karena dia lagi diuber debt collector? Bukaan, itu karena James McAvoy memerankan seseorang yang memiliki ‘kelainan’ yang biasa dikenal dengan istilah Kepribadian Ganda. DISSASOCIATIVE IDENTITY DISORDER. Dua-puluh-tiga kepribadian bersemayam di dalam kepala Kevin dan salah satunya sudah menculik tiga gadis remaja. Dia mengurung mereka entah di mana, dengan alasan yang secara perlahan dibeberkan oleh cerita.

 

James McAvoy commit seratus persen sama peran (-peran)nya dalam film ini, dia memainkan mereka semua dengan courageous luar biasa. Kita actually bakal bisa bedain dia sedang menjadi siapa karena McAvoy membuat masing-masing kepribadian Kevin very distinguishable dari yang lain. Ya dari intonasi suaranya, ya dari ekspresi facialnya, ya dari mannerism dan gesturnya. Brilian banget deh. Kalo film ini tayang di 2016, aku yakin James McAvoy sudah dapet nominasi Best Actor di mana-mana. Malah mungkin udah menang satu. He’s that good, guys.

Jika The Visit (2015) adalah jalan pulang M. Night Shyamalan balik ke style dan kekuatan filmmakingnya yang dulu, maka Split ini adalah cara sutradara dan penulis Shyamalan ngumumin kalo dia udah sampai di ‘rumah’.

 

Film ini terasa kayak M. Night Shyamalan‘s earlier films; kalian tahu, psikologikal thriller traditional khas dirinya yang bakal caught us off guard dengan twist sederhana yang direncanakan dengan matang. Split adalah film terbaik dari beliau sejak Signs (2002), no doubt about that. It was a very good psychological thriller yang juga punya elemen ruang tertutup yang aku gandrungi.

Sinematografer sukses banget menangkap suasana klaustrofobik, menghasilkan kesan contained banget. Pencahayaannya pun superb. Split actually adalah film dengan visual yang ciamik. Di The Visit (2015) Shyamalan enggak pake musik sama sekali, dalam film Split ini, aku nyaris enggak sadar ada musiknya. Scoring film ini mengalun dengan mengendap-ngendap, dia membangun kengerian dengan perlahan, dan buatku ini adalah teknik yang efektif dan bekerja dengan baik pada penceritaan.
Nonton film ini kita akan dibawa bolak-balik. Kita akan ngeliat ketiga cewek yang berusaha keluar dari ‘sarang’ Dennis, dan kita juga ngikutin Kevin – dalam persona flamboyan Barry – yang mengunjungi psikologis demi menangani masalah split personalitynya.

 

 

Sesungguhnya ada tiga penampilan utama yang jadi fondasi superkokoh penceritaan film Split. James McAvoy, Betty Buckley, dan Anya Taylor-Joy. Dalam film ini, Anya berhasil membuatku mempertanyakan keputusan soal pemenang Unyu op the Year di My Dirt Sheet Awards Hexa-six awal tahun ini. This movie is another very good turn from her. Anya adalah bagian terbaik dalam film Morgan (2016). Anya fantastis banget di film The Witch (2016). Dan di Split, Anya Taylor-Joy buktiin sekali lagi bahwa dirinya adalah salah satu talenta aktor paling exciting generasi sekarang ini. Karakternya, Casey, punya banyak layer yang bisa kita kupas. Yang bisa kita pelajari. Ada banyak hal yang bisa kita discover dari tokoh ini. Casey adalah peran yang sangat subtle. At first, kita akan dibuat heran sama sikapnya, kenapa dia kelihatan yang paling tenang di antara tiga cewek yang diculik, dari mana dia bisa dapet ide “kencinglah di celana”. Sembari film berlanjut, kita akan belajar gimana naluri survival bisa tumbuh dari dirinya dalam cara yang sangat tersirat. Aku paling suka adegan terakhir, saat kamera linger on ekspresi Casey begitu polisi bilang pamannya datang menjemput. Her wide eyes semakin melebar, rasa lega yang absen dari wajahnya, ngundang banget untuk kita mengira-ngira apakah Casey bakal kabur atau dia ngapain sesudah adegan tersebut. Film ini membiarkan arc Casey terbuka dan aku puas banget karenanya.

keluar dari mulut singa dan masuk ke mulut buaya.
keluar dari mulut singa dan masuk ke mulut buaya.

 

Aku selalu tertarik menyelam masuk ke dalam pikiran orang-orang, apalagi orang gila. Mungkin itu ada kaitannya dengan aku suka film horor. I mean, tempat terhoror toh letaknya memang di dalam kepala manusia sendiri. I was intrigued oleh karakter-karakter, makanya aku suka nonton film. Karena di mana lagi aku bisa mendengar atau ngikutin masalah mental orang-orang kalo bukan di film, aku kan bukan psikolog. Aku malah kuliah di Geologi. Oke, jangan malah jadi curhat, ehm…

What I’m trying to say adalah aku suka sama karakter psikolog yang diperankan oleh Betty Buckley (hey, lihat! nenek-nenek gila dari film The Happening). Si Dr. Fletcher ini desperado banget ingin berkomunikasi sama semua kepribadian di dalam kepala Kevin. Mendengar bahwa mereka duduk melingkar nunggu giliran dapat ‘cahaya’ kelihatan sekali membuat Dr. Fletcher penasaran. Dia mencoba untuk figure out how Kevin and his various identities work. Dia mencoba masuk ke dalam otaknya, bukan hanya untuk mencari tahu apa akar masalah sehingga bisa menolong dan memgobati Kevin, melainkan juga karena dia percaya ‘kemampuan’ pasiennya ini dapat digunakan untuk kebaikan. Tokoh Dr. Fletcher actually brings a lot to the story.

Child abuse dan trauma jadi tema berulang yang jadi titik tolak cerita film ini berangkat.Dipresentasikan dengan shocking manner; Kita bisa melihat gimana pasien mengubahnya menjadi sebuah sistem pertahanan diri, kita melihat dua remaja yang tidak punya’ self –defense’ actually jadi korban dan yang pernah ngalamin abuse justru kuat dan selamat. Juga ada indikasi mengerikan seputar Kevin yang eventually dioverpower oleh persona-persona yang lain, karena mereka terbentuk dari rage yang disurpress oleh Kevin. Anak-anak yang terluka have a rage, yang terkumpul di dalam, they need to be lash out, namun satu-satunya yang bisa ‘diserang’ adalah diri mereka sendiri.

 

 

Sebagaimana pada kerja-kerjanya terdahulu, sekali lagi M. Night Shyamalan mempercayakan sepenuhnya kepada kita para penonton untuk belajar dan menemukan sendiri apa yang terjadi pada film ini. Aspek inilah yang bikin aku suka sama film-filmnya. Shyamalan nanem banyak elemen dan poin cerita di awal, yang enggak akan bisa kita ngerti sepenuhnya sebelum kita sampai di penghujung film. Kita belajar things about characters, belajar mengenai backstory mereka, film akan mempersembahkan mereka sebagai fakta, dan kita sendiri yang akan mengerti kenapa mereka seperti itu. Penonton dikasih kesempatan untuk mengupas dan menelaah lapisan-lapisan yang ada pada tokoh-tokoh. Dan pada akhirnya memang the bigger picture akan terasa lebih impactful karena kita discover everything on our own. Shyamalan menghormati kita, dia meminta kita untuk sabar. Karena sesungguhnya, Split adalah FILM YANG BUTUH KITA UNTUK MEMBUANG SEDIKIT LOGIKA.

Honestly, aku sedikit terlepas ketika cerita sampai di bagian persona The Beast muncul ke permukaan. Kevin berlarian di kota, dia manjat-manjat tembok bertelanjang dada, dengan urat-urat menyembul, dia enggak mempan ditembak. Dia bengkokin baja sel penjara. Ceritanya mulai enggak masuk akal. Masak iya beda personality doang bisa bikin orang jadi kuat kayak monster seperti itu. Namun Shyamalan pada akhirnya selalu memberi kita penghargaan lewat twist, dan pada kasus film ini, kesabaran kita – our leap of faith – akan terasa sangat rewarding, terlebih jika kita ngikutin film-film karyanya sedari awal.

Twist sederhana pada film Split akan terasa wah! terutama jika kita sudah menonton Unbreakable (2000). Karena ternyata film ini berada di universe yang sama dengan universe film Unbreakable; salah satu film adaptasi comic book yang bagus banget, mengangkat kesuperheroan dalam cahaya yang realistis. Saat kita melihat tokoh David Dunn (kameo Bruce Willis di sini dapet 50-50 reaksi, yang udah nonton Unbreakable tereak histeris, yang belum cuma bengong) duduk dengar berita soal Kevin yang dijulukin “The Horde” di cafeteria, barulah kita sadar bahwa ini adalah film superhero dan semuanya jadi make sense. Membuat kita ingin nonton lagi, experiencing cerita Split dari kacamata yang berbeda. Ya, semua twist Shyamalan sesederhana itu; oh ternyata dia hantu, oh ternyata dia yang jahat, oh ternyata mereka bukan kakek neneknya, oh ternyata ini film superhero, ternyata ini adalah origin story seorang supervillain – ternyata ini sekuel dari film yang tayang tujuh belas tahun yang lalu!

Mindblown!!!
Mindblown!!!

 

Sejak di film Signs (2002), Shyamalan berusaha masukin humor ke dalam thrillernya. Kadang-kadang berhasil, kadang-kadang gagal total. Dalam Split, untungnya kedua tone tersebut berhasil menyatu dengan mulus. Film ini paham kapan harus membuat kita tertawa, tanpa membuat suasana jadi awkward. Kemunculan persona Hedwig, si bocah sembilan-tahun, mampu membuat kita tergelak dengan sikapnya, but then film ini juga precisely ngasih timing ketika kata-kata Hedwig mendadak menjadi mengerikan. Contohnya di adegan nari. It was so incredibly ringan dan kocak, dan sejurus kemudian jadi uneasy saat Casey bertanya jendelanya mana dan Hedwig menjawab riang sambil nunjuk gambar jendela hasil karyanya.

 

 

Babak pertamanya adalah yang paling lemah, namun film ini akan terus terbuild menjadi semakin intens. Kengerian dan ketegangan disemarakkan dari penampilan-penampilan akting yang excellent. This is also a very good looking psychological thriller. Namun ada beberapa aspek penceritaan yang semestinya bisa ditrim sedikit. Seperti adegan eksposisi saat Dr. Fletcher jelasin apa itu DID lewat skype. At least, harusnya penjelasan tersebut bisa dibikin lebih menarik dan lebih terintegral lagi. Dialog-dialog pun kadang banyak enggak masuk, masih terdengar terlalu memaparkan. Performa dua cewek teman Casey yang kaku dan rada over-the-top terlihat berada di luar level tiga tokoh mayor. Ini adalah jenis film yang berani meminta kita untuk bersabar, untuk mau discover things on our own, dan aku very pleased begitu mengetahui ini sebenarnya tentang apa. Dan ya, aku harap Shyamalan benar-benar bikin kelanjutan film ini; Dunn lawan The Horde. Lawan Mr. Glass. Mauuuuu!!!!
The Palace of Wisdom give 7.5 out of 10 gold stars for SPLIT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.