“The truly intelligent person is one who can pretend to be a fool in front of a fool who pretends to be intelligent.”
Luar biasa memang usaha Sacha Baron Cohen dalam mengkritik negaranya!
Empat belas tahun lalu aktor ini nongol sebagai Borat, jurnalis fiktif dari Kazakhstan. Dia ke Amerika untuk studi budaya. Yang pada kenyataannya adalah Sacha sedang memperlihatkan betapa konyolnya ke’open-minded’an ketika diterapkan oleh orang-orang di sana. Sebagai pendatang dari negara yang jauh lebih inferior, Borat ditampilkannya jujur dan polos, namun juga begitu terbelakang. Borat bukan saja memperlihatkan bagaimana sebenarnya orang Amerika ketika dihadapkan kepada sesuatu yang berbeda dengan mereka, tapi juga bagaimana mereka menyingkapi ‘budaya’ mereka sendiri jika budaya tersebut diterapkan dengan cara berbeda. Dua tahun lalu, Sacha mengambil gaya mockumentary yang lebih berani lagi pada serial Who is America. ‘Prank’ yang ia lakukan langsung menyasar ke orang-orang penting. Dia menyamar sebagai sesosok pro- (politik, kepemilikan senjata api, dll), berdialog dengan tokoh-tokoh politik, dan dengan kocak mengekspos kedogolan mereka. Dan sekarang, tepat di bawah hidung kita semua, Sacha Baron Cohen telah sekali lagi mengenakan ‘topeng’ Borat. Kembali ke U.S.and A. Meletakkan cermin itu ke tengah-tengah warga Amerika yang kini berada di bawah kepemimpinan Donald Trump. Gerakan feminis. Dan Covid-19.
Kalo kita mau ikutan berkaca di cermin yang sama, tentulah kita juga akan menemukan sindiran-sindiran yang dilontarkan oleh film ini ikut mengena ke negara kita. Represi, sexism, apapun dijadikan adu kubu politik, sudah jadi masalah sehari-hari. Di negara kita pun bukannya tidak ada gerakan protes ataupun kritik cerdas seperti yang dilakukan oleh Sacha Baron Cohen. Baru-baru ini, Najwa Shihab udah bikin kita berdecak kagum lewat aksinya mewawancarai kursi kosong sebagai ganti Pak Menteri Kesehatan yang menolak hadir saat diundang ngobrol. Kita butuh lebih banyak kritikan-kritikan cerdas seperti yang dilakukan oleh Najwa atau Borat ini. Kritikan yang sayangnya juga harus disematkan kata nekat setelah predikat cerdas tadi. Nekat karena memang ada ‘bahaya’ yang membayangi. Kita lantas mencemaskan Najwa kalo-kalo nanti ditelikung pemerintah. Borat sendiri harus mengenakan rompi antipeluru di balik kostum penyamarannya saat merekam film ini. Dan itu memperlihatkan betapa powerfulnya film yang ingin ia sampaikan ini.
Ada lebih banyak layer pada film Borat kedua ini jika dibandingkan dengan Borat yang pertama. Tajuk originalnya cukup panjang, berbunyi “Delivery of Prodigious Bribe to American Regime for Make Benefit Once Glorious Nation of Kazakhstan”. Dari judul tersebut kelihatan bahwa cerita ini punya target yang lebih spesifik dibandingkan film pendahulunya yang abstrak ke sosial Amerika. Kali ini yang diincar adalah ‘American Regime’. Film kali ini seperti memadukan gaya film pertama dengan serial Who is America. Borat dan, kali ini partner in crimenya adalah putrinya; Tutar, yang berusia 15 tahun, akan semacam menginterview beberapa tokoh (ranging from aktivis feminis, ke pendukung Trump hingga ke major politican) dengan konteks narasi yang lebih ditonjolkan. Narasi yang berakar pada relasi ajaib antara Borat dengan Putrinya itu menjadikan film ini tontonan yang lebih berarah, dan suprisingly lebih emosional, karena jadi bermuatan drama.
Drama ayah-anak ini dijadikan oleh sutradara Jason Woliner sebagai pengikat sketsa-sketsa ‘prank’ di dunia nyata yang dilakukan oleh Borat dan Tutar dari waktu ke waktu. Beberapa hal yang dikritik (dan dibuktikan) oleh film Borat 2 ini antara lain adalah soal salah kaprahnya gerakan feminis, soal negara yang seperti melanggenggkan perdagangan perempuan, soal sikap negara terhadap perempuan itu sendiri – dan juga terhadap minoritas, soal sikap terhadap jurnalistik, dan tentu saja soal penanganan dan propaganda terhadap pandemi virus Corona. Drama ayah-anak yang jadi tulang punggung narasi akan memberikan setiap sketsa bermuatan kritik-kritikan tadi konteks yang mengikat yang menjadikannya punya bobot lebih sebagai tontonan. Meskipun memang drama ayah-anaknya itu sendiri konyol alias absurd. Resolusinya menghangatkan dan membawa banyak harapan untuk dunia yang lebih baik, tapi juga tidak sepenuhnya terasa baru. Borat ingin memberikan putrinya tersebut sebagai hadiah untuk Vice President. Ini adalah misi yang diberikan negara baginya, karena Kazakhstan ingin mengapresiasi Amerika yang sudah kembali menjadi negara kuat yang bisa dijadikan panutan. Journey putrinya Borat (dimainkan dengan berdedikasi dan luar biasa oleh Maria Bakalova) sangat dramatis meskipun di awal karakternya ditulis sangat komikal demi satire yang diincar oleh film.
Semua kekonyolan karakter pada film ini fits perfectly ke dalam konteks satir yang diincar. Penekanannya sekali lagi adalah pada cara bercerita sambil menyindir itu sendiri. Film Borat percaya untuk melakukannya dengan mengolok diri sendiri terlebih dahulu. Untuk mengekspos seseorang yang pura-pura pintar, kita harus berpura-pura bloon di hadapannya terlebih dahulu. Untuk membuat mereka merasa makin superior, dan ketika kepala itu sudah demikian gede, maka jatuhnya akan semakin keras.
Maka film melandaskan betapa terbelakangnya Borat dan Tutar dan negara Kazakhstan itu sendiri dibandingkan dengan Jerry, atau Jim, atau Karen; dengan Amerika yang superior. Jika kalian enggak suka dengan humor vulgar yang dilakukan tanpa ditahan-tahan dari karakterisasi Borat dan Tutar, maka kalian akan susah untuk menyukai film ini walaupun mungkin kalian sepaham dengan gagasannya. Karena kelucuan cerita film ini memang bertumpu pada pengkarakteran ‘polos tapi barbar’ tersebut. Film harus membuild up gap antara Borat dengan Amerika supaya komedinya dapat berjalan. Dan ketika sudah berjalan, memang film ini jadinya lucu sekali. Misalnya adegan ketika Borat membeli kandang untuk putrinya, si penjual bingung atas permintaan si pembeli tapi kelihatan dia berusaha untuk open minded dan gak ikut campur. Sementara itu si Borat terus memancing reaksi. Sampai di satu titik akhirnya Borat berkata soal bukankah normal membeli kandang untuk tempat tinggal anak perempuan karena presiden “McDonald Trump” toh mengandangi anak-anak Mexico. Ataupun ketika Tutar gak sengaja menelan hiasan bayi pada kue yang disuapi oleh Borat, lalu mereka pergi ke dokter untuk mengeluarkan bayi yang tertelan tersebut. Sampai di sini aku yakin kalian bisa membayangkan bagaimana kocaknya Borat dan Tutar memainkan keadaan yang mengetes keopen-mindedan dokter yang menangani mereka.
Kehadiran Tutar sebagai pemain kunci cerita bukan saja menghantarkan kritik terpenting yang disampaikan oleh film, melainkan juga berfungsi sebagai penanda eksplorasi lebih jauh yang dilakukan oleh film ini sehubungan dengan statusnya sebagai sekuel dari tontonan yang begitu berpengaruh terhadap rakyat Amerika itu sendiri. Mau tidak mau memang yang paling duluan kita ingat dari Borat adalah tingkah antiknya. Ucapan-ucapannya yang katro sekaligus porno. Sosok Borat udah jadi salah satu ikon pop-culture yang tidak mungkin tidak dikenali. Sekuel ini juga bermain-main dulu dengan hal tersebut. Ia menunjukkan kepada kita bahwa Borat udah jadi ‘selebriti’ di Amerika. Orang-orang di jalan pada berebut memanggilnya. Bahkan sudah dijual kostum untuk orang yang mau cosplay jadi Borat di malam halloween nanti. Hal ini hanya mendorong film Borat untuk merancang cerita yang lebih beda lagi, dan tokoh Tutar adalah jawabannya.
Resep keberhasilan sekuel Borat ini adalah tempat dan waktu. Tempat; Amerika sebagai negara yang supposedly berpikiran terbuka, memungkinkan cerita seperti Borat ini dilakukan. Membuat kelucuan yang datang dari kontrabalans antara aksi dan reaksi yang timbul dari mindset dan pola pandang yang mereka anut sendiri. Waktu; karena film ini begitu relevan. Ia mempermasalahkan hal-hal yang memang sedang kita hadapi sekarang. Menargetkan keadaan politik Amerika, dan tayang hanya sebulan sebelum election berikutnya di negara itu. Perihal covid, film juga berhasil memasukkannya ke dalam konteks cerita. However, jika kita melihatnya dari sudut lain, kita juga bisa bilang film ini berkat ke-happening-nya, bakal dengan cepat terasa out-of-date. Memang, hanya waktu yang akan menentukan. Namun kita bisa membayangkan bagaimana jika kita menonton film ini untuk pertama kali di tahun 2025, katakanlah saat pandemi sudah berakhir. Joke/pranknya mungkin tidak lagi semuanya mengena. Untuk perbandingan, film Borat yang pertama; meskipun tidak menonjol di tubuh narasi, ia diingat melalui prank2 sindiran Borat leading up ke dia nyulik Pamela Anderosn. Dan itu karena yang disindir Borat adalah kebudayaan Amerika di masa modern secara keseluruhan. Yang secara waktu, jangkauannya lebih luas. Kita masih mengingatnya. Aku pikir ketimeless-an tersebut lebih susah dicapai oleh film yang kedua ini. Also, film ini juga sedikit terlalu mengandalkan popularitas Borat itu sendiri, mengandalkan ke semua penonton sudah tahu siapa Borat itu sebelumnya.
Komedi satir dengan konsep yang menakjubkan. Luar biasa tajam, dan nekat. Film ini enggak ragu untuk ‘menipu’ narsumnya demi memberikan mereka pandangan yang lebih terbuka, penyadaran, dan merefleksikan kepada kita keadaan yang sebenarnya. Di balik itu semua, film ini masih mampu untuk menghadirkan drama ayah anak yang cukup dramatis dan mencuri emosi kita. Hanya komedinya yang mungkin gak untuk semua orang. Kasar, vulgar. Terutama untuk orang-orang yang kesindir langsung oleh gagasan film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BORAT SUBSEQUENT MOVIEFILM
Menurut kalian bisakah film seperti ini tercipta di Indonesia, mengingat iklim politik dan pola pikir orang indonesia itu sendiri? Apakah menurut kalian jurnalis seperti Najwa Shihab atau seniman seperti Sacha Borat Cohen ini melanggar etika ketika mengekspos ‘bintang tamunya’ sehingga jadi bahan olokan?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA