FENCES Review

“Boundaries don’t keep other people out, they fence you in.”

 

fences_teaser-poster

 

Entah itu untuk menjaga agar pihak luar enggak bisa sembarangan masuk, atau supaya yang di dalem enggak bisa sekonyong-konyong ngelayap ke luar, orang membangun pagar dengan alasan keamanan.

 

Rose Maxson mengingatkan suaminya, Troy, untuk segera menyelesaikan pagar di halaman belakang rumah mereka. Rose wants to keep her family together. Troy, sebaliknya, lebih melihat kegunaan pagar sebagai poin yang pertama; to keep things out. Dan as much as dia fearless dan percaya kepada kebebasan, being a negro membuatnya terbatas dalam beberapa hal, Troy membuat pagar lebih kepada bentuk pembuktian that he’s capable of providing his family. He wants to keep people out jauh-jauh dari pahamnya sendiri. Dualitas simbolisasi pagar adalah garis batas yang mengelilingi cerita film yang diangkat dari drama teater ini. Troy dan Rose adalah pasangan suami istri yang hidup di daerah urban amerika 1950, and this film tells how they live their live dengan segala problematika dan strugglenya.

Cukup lucu banyak orang yang meragukan film ini disebabkan oleh filmnya sendiri hanya berupa serangkaian SEKUENS DIALOG-DIALOG PANJANG di lokasi yang di situ situ melulu. Terasa sekali seperti play yang disadur ke media film. Dalam film ini yang akan kita lihat adalah orang-orang beragumen atau saling bercanda, bernyanyi, ataupun lagi mendongeng. Padahal, banyaknya dialog tidak pernah jadi penghambat sebuah film yang ditulis dengan sangat hebat. I mean, lihat saja 12 Angry Men (1957) atau Carnage (2011)nya Roman Polanski atau sesama adaptasi teater August: Osage Country (2013), some of the best movies of all time menampilkan dialog demi dialog maha-panjang set in one or two locations. Fences tidak pernah keluar dari pagar environmentnya, dan itu pulalah yang bikin kita tersedot masuk terus ke dalam cerita.

Sekuens percakapan panjang dalam film ini were so well-crafted, emosi kita akan dibawa turun naik olehnya, kayak, percakapannya dimulai dengan ringan, kita tersenyum dan tertawa bersama para tokoh, sampai kemudian seseorang mengatakan sesuatu. Atau mungkin mereka cuma ngelakuin hal yang not necessarily gak-sopan, misalnya anak Troy yang menatap ayahnya dengan pandangan yang sedikit merendahkan, and snap! Semuanya berubah menjadi gak-enak dan Troy, oh boy, bapak yang satu ini akan berubah menjadi seorang yang lantas marah-marah; galak dan keras kepala.

Pagar makan tanaman
Pagar ngehajar tanaman

 

Kunci film seperti ini selain di writing, juga terletak pada performancenya.  Film ini punya beberapa penampilan terbaik yang bisa kita saksikan di 2016.  Denzel Washington, menyutradai sekaligus memerankan Troy, bermain luar biasa brilian dengan range emosi yang fleksibel dan powerful. Tokoh Troy adalah pribadi yang sangat kompleks. Aku suka karakter yang satu ini terus bicara soal dia mengalahkan Kematian di pintu rumah, karena itu actually adalah momen yang nunjukin betapa vulnerablenya dia sebagai kepala keluarga. Babak pertama film mengestablish dia sebagai pria yang bertanggung jawab, pekerja keras, pria yang bercerita tentang gimana dia melaksanakan kewajiban dan menuntut haknya. Troy adalah good old fashioned man yang mencoba untuk provide to his family need, menyediakan atap bagi mereka, memastikan makanan tersaji di atas meja. Kita merelasikan diri kepadanya easily. Namun sepanjang film, kita akan mendapat informasi tersirat bahwa Troy punya banyak cela. That he’s not that great of a person. Dia terus saja menjatuhkan anak-anaknya (even sahabatnya sendiri) dengan batasan yang menegasi keputusan mereka. Kita perlahan belajar siapa diri Troy lewat backstory yang diceritakan dengan subtle; apa yang ia hadapi, how he was raised, dan kemudian masalah mulai menimpa keluarganya. Semua itu, semua pemahaman yang kita dapatkan terhadap karakter Troy akan terasa sangat menyayat hati.

Penampillan akting dalam film ini sungguh kuat, membuat pengalaman nonton kita menjadi berlipat lebih dahsyat, secara emosi. Aku suka gimana film ini, dengan kodratnya sebagai sebuah sandiwara teater, memberikan banyak ruang bagi setiap karakter untuk bertumbuh. Viola Davis sebagai Rose tentu saja pantes banget-banget untuk dinominasikan ke Oscar. In fact, Denzel Washington dan Viola Davis teramat loud dan explosive. Namun begitu, mereka tetap terasa genuine karena kalo kita bawa ke dunia nyata, memang seperti yang mereka portray jugalah reaksi pasangan yang dealing masalah mereka. That there’s gonna big dramatic moments. Tanpa bisa dielakkan. Ada banyak momen di dalam film ini di mana aku sempat lupa sedang menonton sebuah film. And that feeling is so rare dibandingkan film sekarang yang kebanyakan dramanya terasa orchestrated dengan really memancing rasa kasihan kita.

cue “Aaaauuuummmm” in one, two,…
cue “Aaaauuuummmm” in one, two,…

 

Fences juga menyinggung tentang gimana lingkungan sekitar kita turut membentuk pribadi kita. Ini tercermin dari sikap Troy dan sikap anaknya, Cory. Kedua orang ini sama-sama tumbuh menjadi atlet baseball, only dalam jaman yang berbeda. Dan itu actually membuat perbedaan yang sangat besar. Sebagai manusia, naturally, kita mewariskan apa yang sudah membentuk kita. Inilah menjadi problem, karena orangtua will eventually ‘mewariskan’ apa yang sudah ia alami kepada anak-anak. Entah berusaha mendoktrin agar tidak seperti orangtuamereka, ataupun to pass the ‘legacy’. Begitu juga saat anak-anak tersebut dewasa, mereka pada akhirnya akan melanjutkan hal yang sama turun-menurun.

 

Turunan kesalahan menjadi tema berulang yang kerap muncul dalam elemen cerita. Kesalahan orangua seringkali menjadi sumber dari masalah, atau katakanlah derita, yang dialami oleh anak-anak. Ada satu kalimat dari Rose yang menyatakan di sisi mana film ini berdiri, “You can’t visit the sins of the father upon a child.” Film ini percaya bahwa dosa generasi yang satu tidak mesti dibawa turun ke generasi berikutnya. Bahwa sebuah generasi bisa tumbuh lebih baik dari sebelumnya, tidak perlu menjadi seperti mereka. In that way, Rose tidak ingin ada pagar, dan ini memberikan konflik dengan outer journey di mana dia yang ingin membangun pagar. It is also make an ever greater konflik, karena apapun yang Rose pilih, pagar atau tanpa pagar, selalu bertentangan dengan prinsip Troy.

Tidak banyak suara kita dengar membahas kiprah Denzel Washington sebagai seorang sutradara. Film ini, however, membuktikan bahwa Denzel adalah director yang lebih dari sekadar mumpuni. Dia baru punya tiga dalam gudang film panjang karyanya, dan Fences actually adalah film terbaik yang ia hasilkan sejauh ini. Arahan Denzel benar-benar berhasil memancarkan hati dan emosi dengan ledakan yang tak terasa over heboh. Fences adalah film tentang keluarga, setiap adegannya adalah adegan ngobrol sambil duduk-duduk di halaman belakang, di teras rumah, ataupun di meja makan. Tapi film ini managed tidak sekalipun kita melihat adegan mereka ngobrol over sarapan atau dinner atau lunch. I mean, bandingkan deh dengan film Indonesia di mana sepertinya adegan ngobrol dengan occasion duduk ngeliling sambil makan menjadi sebuah pakem film. Kalo enggak ada makan-makannya, gak rame!

Meski begitu, ada satu momen dalam film ini yang mengkhianati segala rasa compelling dan aura realitanya. Momen tesebut datang di adegan penutup. Kita lihat keluarga Maxson menengadah langit, diiringi terompet rusak, mereka memandang awan yang, ah lihat sendiri deh. Alih-alih mendatangkan rasa hangat di hati, malah membuat film menjadi cheesy dan jadi terkesan fake.

 

 

Selain masalah di ending tersebut, ini tidak lain dan tidak bukan adalah film yang excellent. Mengajarkan tanggungjawab dan sejauh mana batasan tanggungjawab itu sendiri sebaiknya kita apply. Film ini menyuguhkan penampilan luar biasa dari setiap aktornya. Apa yang paling aku suka adalah, sama seperti teater, ada banyak ruang luas tak-berpagar yang disediakan naskah untuk pengembangan dan penampilan para tokoh. Drama keluarga yang sangat memilukan dan indah karena tersaji dengan perasaan yang nyata.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 for FENCES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

Comments

Leave a Reply