THE BIG SICK Review

“Pleasing your parents is to attain Allah’s pleasure”

 

 

Fun fact: Di Pakistan, ‘Arranged Marriage (Perjodohan)’ disebut ‘Pernikahan’. Tanpa embel=embel.

Kalo di Sumatera Barat, Siti Nurbaya bilang “aku gak mau dijodohin, Ma!”, maka sebagai ekuivalen di Pakistan Siti Nurbaya simpelnya bilang “aku gak mau nikah, Ma!” Yang bikin makin kompleks adalah enggak banyak yang nekat jadi Siti Nurbaya di sana. Keseluruhan tradisi Pakistan adalah soal menghormati kehendak orangtua. Itulah yang dihadapi oleh Siti Nurbaya film komedi romantis ini, tapi dia bukan cewek. Seorang cowok stand up comedian yang juga nyambi jadi pengemudi Uber, namanya Kumail Nanjiani.  Dan ini adalah kisah nyata tentang gimana Kumail (memainkan diri sendiri di debut peran utamanya) bertemu dengan seorang yang sangat spesial bagi dirinya, menyangkut hubungan asmara mereka yang bergelombang oleh perbedaan kultur. Kumail pacaran sama cewek Amerika, yang mana melanggar salah satu peraturan emaknya yakni harus nikah sama cewek Pakistan. Cerita juga membahas gimana Kumail dan Emily (Zoe Kazan punya chemistry luar biasa dengan Kumail) pada akhirnya saling mengapresiasi – baik budaya dan ego mereka sendiri maupun orangtua masing-masing.

ada cewek yang nyaman-nyaman aja ngomongin boker di sekitar kalian? nikahin!

 

 

Aspek agama dan budaya, kompleksnya masalah yang timbul dari perbedaan pandang terhadap keduanya, menjadi tema besar yang diangkat oleh The Big Sick. Ini adalah masalah yang obviously benar-benar terjadi, banyak orang yang mengalami kejadian serupa, sehingga film ini bakal dengan mudah menemukan koneksi dengan penonton. Banyak orang terelasi dengan apa yang dihadapi oleh Kumail. Dan tidak sebatas itu saja pengrelasian kita terhadap tokoh ini. The Big Sick juga adalah tentang kerumitan keinginan anak beradu dengan keinginan orangtua. Seperti keluarga bahagia normal di Pakistan, keluarga Kumail yang tinggal di Amerika adalah keluarga yang taat terhadap peraturan agama dan peraturan sosial. Lewat tokoh Kumail, film ini menggambarkan pemeluk Islam sebagai tidak selalu serius seperti yang sering diduga oleh orang-orang Amerika. The Big Sick enggak ngasih pandangan yang menyudutkan, malahan film ini menangkap perjuangan identitas seorang imigran seperti Kumail dengan menghibur.

Kumail adalah muslim dengan pola pikir barat. Dia tidak mengerti kenapa dia harus sholat lima waktu, dengan diketahui oleh orangtuanya. Dia makan ati setiap kali kerjaannya sebagai stand up komedian disebut-sebut di meja makan mereka. Dia juga struggle untuk enggak langsung kabur balik ke kos setiap kali ibunya mengundang cewek pilihan untuk makan di rumah. Heck, Kumail bahkan disuruh manjangin jenggot kayak adiknya, meski dia udah bilang beberapa kali jenggot membuat wajahnya gatal-gatal. Stake yang tersaji adalah jika orangtua udah gak demen banget sama pilihan Kumail, dia akan ditendang dari silsilah keluarga, tidak akan ada lagi kerabat yang boleh bicara kepadanya.

Banyak dari kita yang dibesarkan oleh orangtua dengan tuntutan sebagai pupuknya. Kita diharapkan untuk menjadi sesuatu, memilih jalan hidup yang bener karena orangtua tahu yang terbaik. Makanya, banyak anak-anak yang tumbuh menjadi orang dewasa dalam keadaan takut-takut mereka mengecewakan orangtua. Susah untuk bikin orangtua bahagia. Susah untuk mendapat restu mereka, namun kita paham itu adalah hal yang penting, terlebih karena dalam agama Islam restu orangtua adalah restu Allah. Dan ini ditangkap dengan elok oleh The Big Sick karena pada akhirnya film ini menyentuh lebih dari sekadar romansa yang sangat lucu.

 

 

Di sinilah keindahan penulisan naskah menunjukkan perannya. The Big Sick tidak pernah mempersembahkan diri sebagai tontonan yang super serius. Dia tidak pretentious, enggak bermaksud totally ngajarin penontonnya. Komedi yang dihadirkan sangat real. Interaksi para tokoh tertangkap dengan mulus dan natural, bahkan terkadang film ini terlihat seperti semi dokumenter. Kita seperti menyimak percakapan beneran. Makanya film ini jadinya lucu banget, bukan semata karena diangkat dari kisah nyata, melainkan juga DIBANGUN TANPA PRETENSI. Beberapa adegan tampak seperti dimprovisasi gitu aja. Dengan chemistry luar biasa, tidak pernah terasa aktor-aktor tersebut overdoing akting mereka, hanya untuk jadi dramatis ataupun supaya lucu. Namun bahkan ketika aspek cerita yang lebih kelam dan sedikit lebih kuat hadir, mereka masih menemukan cara untuk memancing bibir kita tertarik membentuk garis senyuman.

Temanya sungguh real dan relevan dan relatable, kita sudah banyak mendapatkan film tentang hubungan cinta beda-budaya seperti ini. Film klasik Guess Who’s Coming to Dinner (1967) bisa dijadikan pioneer, atau kalo mau lebih deket lagi ada Ernest Prakasa dengan Ngenest (2015) yang menilik perbedaan sebagai momok yang walaupun kita berusaha cool about it, tetapi tetep ada dampaknya secara emosional. Awal tahun kita mantengin Get Out (2017) yang dengan kocaknya mengamplify ketakutan terhadap clash of culture dan ironisnya masalah rasisme. Dalam The Big Sick kita melihat Kumail yang menghadapi masalah seperti saat dia tampil ngestand-up, ada penonton yang merujuk ke stereotype teroris. The Big Sick  juga memiliki elemen yang membuat film ini berbeda dari film-film bertema serupa. Romantis dalam film ini bukan sekedar datang dari adegan dua sejoli tokoh kita saling cuddle di tempat tidur, mereka pacaran, kemudian berantem, terus balikan. Kejadian di babak kedua membuat film ini menjadi orisinal karena membuat Kumail harus menghabiskan banyak waktu dengan keluarga Emily yang sangat, sangat kocak. Secara personal, Kumail menjadi deket banget sama kedua orangtua ini, dia belajar banyak tentang masalalu Emily, hubungannya dengan kedua orangtua, serta Kumail mengerti apa yang terjadi di antara kedua orangtua Emily itu. Dan itu menjadi bahan pembelajaran yang lebih berharga lagi buat dirinya dalam kaitannya dengan menyintai orangtuanya sendiri.

kalo mau jadian ama cewek, deketin dulu orangtuanya hihi

 

Masalah yang bisa kutemukan buat film ini adalah pada durasinya. Menjelang babak ketiga bakal terasa panjaaaaaaang banget, sebab ada banyak sekuens yang tampak hendak menuju ke suatu titik, seperti ngetease akan terjadi sesuatu, tapi ternyata enggak. Sebenarnya ini lebih kepada masalah kodrat film ini sebagai kisah nyata. Susahnya mengulas dan mengritik film-film dari kisah nyata adalah akan tiba masanya bagi kita, saat menonton, untuk mempertanyakan sejauh mana porsi bagian nyata yang ditampilkan oleh film. Ketika ada suatu adegan yang lucu, misalnya, kita jadi ingin tahu apa memang benar di kejadian nyata seperti ini, mereka simply nunjukin dengan detil, atau mereka menambahkan bumbu-bumbu penyedap. Saat menjelang dan pada babak ketiga, banyak adegan yang membuatku bertanya seperti demikian, sehingga cerita rasanya sedikit terseok.

 

 

 

Amazing performances dari Kumail Nanjiani, Zoe Kazan, Ray Romano, Holly Hunter menghidupkan film dari kisah nyata ini menjadi benar-benar menggelora, karena kalo ada nilai kuat maka itu adalah komedi romansa ini sama sekali tidak prententious. Ini juga sangat lucu. Percakapannya terasa real. Akan ada banyak adegan ketika praduga dan konflik yang timbul dari perbedaan budaya dan agama, mereka harus work out their differences, namun sama sekali tidak pernah ditangani dengan klise. Dia juga tidak jatuh dalam jurang menghakimi ketika memperlihatkan struggle Kumail sebagai ‘alien di Amerika’. Tidak ada momen mereka meledak penuh emosi. Film ini sangat light-hearted meskipun tetap punya bobot emosional yang sangat kuat. Dan babak keduanya berhasil membuat film menjadi stand out. Itulah yang membuatnya menjadi menarik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE BIG SICK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

Leave a Reply