“You aren’t wealthy until you have something money can’t buy.”
Tidak ada yang menyangka, remaja cowok yang kurus itu, yang rambutnya pirang panjang dan berpakaian aneh itu, yang berkeliaran di pinggir jalan malam hari itu, adalah cucu seorang milyuner ternama di dunia. Tidak ada yang tahu, kecuali penculik yang lantas menyiduknya begitu saja ke dalam mobil van. Permintaan tebusan pun dilayangkan. Tujuh-belas juta dolar para penculik meminta uang kepada ibu si cowok. Tapi ibu yang malang itu enggak punya duit. Mantan mertuanya, kakek si remajalah, yang punya. Dan si ibu tahu lebih banyak soal minta duit kepada si kakek daripada para perampok. Bukan hanya susah, melainkan hampir tidak mungkin! All the Money in the World benar-benar mengejutkanku oleh kepintaran penulisan ceritanya sebagai sebuah thriller. Serius, sampe-sampe aku pikir aku harus meralat jawabanku mengenai film terhebat dari Ridley Scott tahun 2017. Bukan lagi Alien: Covenant (2017) yang bercokol di pikiran.
Lewat film ini, aku jadi tahu kalo orang seperti Gober Bebek beneran pernah ada hidup bernapas di muka bumi. Orang yang punya duit begitu banyak sehingga dia tidak pernah punya keinginan atau malah kesanggupan untuk menghitungnya. Orang yang punya sisi komikal – meskipun dark comic – kalo udah menyangkut uangnya.
Paul Getty ingin membangun dinasti. Dia sudah merupakan salah stau orang terkaya dalam sejarah dunia. Koleksi barang seninya udah semuseum lebih. Sebenarnya bapak tua ini enggak pelit-pelit amat. Ketika putranya yang sudah berkeluarga datang meminta pekerjaan, boom! si anak dijadikan wakil kepala perusahaan minyak gede di Arab. Kepada cucu yang tampak paling ia senangi, Getty berkata “Kita ini spesial. Seorang Getty enggak punya teman.” Jadi, ketika anaknya bercerai, Getty harus merelakan hak asuh sang cucu jatuh ke sang ibu, Getty merasa sudah bukan keluarga. Therefore, mereka bisa jadi adalah musuh. Makanya lagi, begitu si Ibu menelfon menjelaskan situasi penculikan, Getty enggak langsung percaya. All Money in the World dapat saja berakhir dalam sepuluh menit jika Getty bukanlah bisnisman yang punya prinsip. Apa susahnya bagi sang milyuner untuk merogoh kocek dan membayar tebusan, semuanya akan berakhir menyenangkan dengan sekejap. Tapi stake dalam film ini bukan soal enggak ada uang. Melainkan soal insekuriti yang jauh lebih personal.
Dalam film ini, uang sama sekali bukan semata soal uang. Uang merepresentasikan hal yang berbeda-beda bagi setiap orang. I mean, cara kita memandang harga suatu barang bergantung kepada prioritas kita terhadap kebutuhan tersebut. Kepentingan terhadap hal tersebut, terhadap kebutuhan kita tersebutlah yang actually menjadi harga, yang menentukan mutu sesuatu bagi kita secara personal. Makanya kita tidak akan pernah puas, kita tidak akan merasa kaya sampai kebutuhan tersebut terpenuhi. Sesuatu yang acapkali adalah hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Dialog-dialog yang luar biasa cerdas, kuat, akan membuat kita bertahan di ujung tempat duduk masing-masing. Di sana sini akan ada adegan intens, malah ada satu momen yang kejam banget di tengah-tengah. Ngeliatnya bikin aku meringis ngeri. Akan tetapi, sesungguhnya ini bukanlah thriller yang mengedepankan aksi. Ini bukan kayak Kidnap (2017) di mana Hale Berry kebut-kebutan nyelametin anaknya yang disandera. Ini juga bukan bag-big-bug dahsyat ala Liam Neeson di franchise Taken. Film ini berat oleh percakapan yang ditulis dengan teramat baik. Jadi, ya, memang beberapa penonton yang mengharapkan semarak aksi, mungkin bisa dibuat bête saat menontonnya. Tapi sebaiknya memang kurangnya aksi ini jangan kita jadikan perkara, sebab All the Money in the World begitu pintar membangun ketegangan ceritanya. Naskahnya bakal memberikan tantangan buat moral kita, membuat kita bimbang apakah melempar uang kepada sesuatu benar-benar jawaban atas semua. Sebaliknya, apakah orang kaya sudah jadi demikian pelitnya jika menyangkut soal harta. Bagian ini sendiri sudah cukup untuk membuatku tertarik, dan film menawarkan lebih banyak untuk bisa kita nikmati.
Menumpukan cerita pada keunggulan dialog dan penulisan tokoh, film ini memang bergantung kepada kepiawaian permainan peran para aktor yang sebagai penghidup sosok-sosok sejarah itu. Michelle Williams bermain sebagai Gail Harris, ibu dari remaja yang diculik, and it was a very real world-class act. Tak banyak aktris hebat seperti Williams yang bisa demikian brilian, sepanjang cerita secara konstan dia berada dalam keadaan penuh stress. Dia berusaha keras meyakinkan pria tua mertuanya supaya berkenan membayarkan tebusan, sebab keselamatan anaknya dipertaruhkan. Dengan kematian anak di dalam benaknya, tokoh yang diperankan Williams mengalami banyak naik dan turun emosi, dan aktris ini memainkannya dengan sangat meyakinkan. Eventually dia harus berhubungan dengan Chase, pria mantan agen rahasia yang dipekerjakan oleh Getty untuk memastikan deal yang enggak membuat Getty rugi. Karakter si Chase ini semacam dealmaker yang memberesin banyak masalah pelik, dia membantu orang-orang mendapatkan kebutuhan mereka, kadang dia menjual atau memberi dari orang-orang tertentu yang ia kenal. Basically, Chase adalah orang yang kita tuju jika kita hendak melakukan sesuatu tanpa melibatkan pihak yang berwenang secara legal. Mark Wahlberg diserahkan tugas yang enggak sepele dalam membuat tokoh ini menuai simpati, karena in a way tokoh ini bisa kita sebut semacam tokoh penengah. Dia juga mendapat resiko yang enggak sepele, tak jarang dia harus menyampaikan informasi yang gak enak kepada tokoh Michelle Williams. Luar biasa exciting setiap kali menyaksikan interaksi dua tokoh tersebut.
Aku enggak tahu apakah kalian memperhatikannya juga atau tidak, tapi aku melihat badan Mark Wahlberg dalam film ini agak-agak labil. Maksudku, di beberapa adegan badannya kelihatan agak kecil dibanding beberapa adegan yang lain. Seringkali ketika di adegan bersama Getty, Chase tampak kayak pria biasa, sedangkan ketika berbagi layar dengan tokoh Michelle Williams, Wahlberg kelihatan lebih tegap. Aku gak yakin apakah ini ada maksud simbolisnya, like, Chase tampak lebih dominan saat dirinya bersama siapa, atau cuma efek kamera. Atau mungkin juga, memang film mengalami banyak pengulangan syuting.
Tak bisa dipungkiri, nama All the Money in the World sendiri terangkat lebih deras ke publik lantaran mengalami pergantian tokoh. Aku gak bakal bahas detail soal itu di sini sebab aku gak mau apa yang semestinya murni ulasan film berubah menjadi kolom gosip. Aku hanya mau nyebutin bahwa Christopher Plummer tadinya bukanlah pilihan pertama untuk memainkan J. Paul Getty. Aktor gaek ini dipilih menggantikan Kevin Spacey di menit-menit akhir proses syuting berlangsung. Kita gak bisa bilang Plummer bermain lebih baik atau apa, yang jelas, keputusan memilih Plummer sebagai pengganti adalah sebuah langkah yang benar-benar membuahkan hasil yang manis. His take on Getty’s attitude, personality, and mannerism membuat tokoh ini sangat menarik untuk dianalisa. Membuat kita ingin tahu apa yang ada di balik pikirannya, apa yang melatar belakangi ‘kekikiran’nya. Film pun cukup bijak untuk memberikan kesempatan kita melihat lebih banyak soal karakter ini as dia diberikan cukup banyak screentime.
Yang mana membawaku ke satu-satunya ‘masalah’ yang kurasakan ketika menonton film ini. Dua jam lebih film ini kadang-kadang terasa berat juga lantaran ada poin-poin di mana aku mempertanyakan ke diri sendiri ‘kenapa sih aku ingin anak itu selamat?’ Film ini enggak sebego itu bikin tokoh-tokoh yang satu dimensi, termasuk tokoh penculik diberikan layer yang memperdalam karakternya, hanya saja aku merasa film kurang mengeksplorasi tokoh Paul Getty III, si remaja yang diculik. Mestinya bisa diberikan emosi yang lebih banyak lagi. Film enggak benar-benar memberikan kita alasan konkrit untuk peduli di luar kisah penculikan ini adalah kisah nyata dan anak itu benar-benar diculik jadi kita harus berempati dan berdoa supaya enggak ada kejadian serupa yang terjadi.
Sesuai dengan yang disebutkan oleh teks di penghujung film, ada banyak dramatisasi yang diambil sebagai langkah untuk membuat kisah nyata riveting menjadi narasi yang menarik Ada alasannya kenapa Ridley Scott adalah legenda dalam bidangnya, begitupun dengan Christopher Plummer. Selain beberapa yang kelihatan di mata – kadang kelihatan jelas tokoh sedang beradu akting dengan ‘stuntman’ – sesungguhnya tone dan editing film tampak berjalan dengan mulus. Ada beberapa reshoot yang dilakukan dan film tetap terasa klop mengarungi naskahnya. Produk akhirnya tetap tampak seperti cerita yang berkelas, sebuah thriller cerdas yang penuh dengan penampilan akting yang fantastis. Jelas, ini adalah salah satu karya terbaik Ridley Scott dalam beberapa tahun terakhir.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for ALL THE MONEY IN THE WORLD.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Comments