“Reality is broken, game designers can fix it.”
Kita berkomunikasi dengan studio film, dengan Hollywood, melalui dompet kita. Mereka mendengarkan kita dari apa yang terjadi kepada Wreck-it-Ralph, Deadpool, It, Stranger Things. Dan Scott Pilgrim, yea, film ini meminjam cukup banyak dari penyelesaian dan aspek pada Scott Pilgrim. Tayangan yang populer selalu adalah tayangan yang berakar kuat pada rerefensi dan nostalgia. Tidak ada yang bisa mengalahkan sensasi kesenangan melihat hal-hal yang kita sukai dihidupkan kembali. Dan tanpa pake loading keraguan lagi, Ready Player One adalah salah satu film paling nerd yang pernah dibuat. Dalam hatiku teriak-teriak senang sepanjang film ini demi ngeliat referensi demi referensi berseliweran. Video game, anime, kartun, film, segala pop-culture terutama dari tahun 1980an senantiasa menghiasi layar setiap framenya, sehingga aku jadi capek sendiri.
Mengambil tempat di kota Columbus di masa depan, Ready Player One melandaskan dunia yang sudah demikian canggih teknologi gamenya sehingga orang-orang, bukan hanya remaja kayak Wade Watts, lebih suka untuk log in dan menjalani kehidupan mereka di dalam Oasis, sebuah semesta virtual reality di mana kita bisa menjadi siapapun, berkekuatan apapun yang kita mau. Oasis diciptakan oleh seorang gamer yang sangat jenius, namun begitu eksentrik sehingga menjadi misterius (bayangkan perpaduan antara Steve Jobs dengan Willy Wonka). Sebelum meninggal dunia, si pembuat ini merancang permainan terakhir di dunia Oasis, di mana dia menyembunyikan tiga kunci entah di mana di dalam jaringan game-game tersebut. Tiga kunci yang jika ditemukan akan menghantarkan pemain mendapatkan telur emas, berupa kontrak yang akan membuat si pemenang sebagai satu-satunya orang yang mendapat kontrol penuh atas Oasis. Tak terhitung jumlahnya gamer yang mencoba memenangkan tantangan ini. Wade, sejumlah temannya, wanita misterius beruser name Art3mys, dan petinggi perusahaan virtual reality yang culas adalah beberapa dari yang menginginkan Oasis untuk kepentingan mereka.
Tentu saja Ready Player One akan sangat luar biasa dari segi visual. Sekuen aksi-aksinya dazzling gilak! Sepertinya tidak ada yang bisa mengalahkan Steven Spielberg dalam memfilmkan suatu adegan sehingga perspektifnya terasa begitu menganggumkan. Bagian balap-balap di sekitar awal film itu adalah bukti yang bisa kita lihat dengan mata kepala langsung. Apa yang mau ia tampilkan kelihatan semua tanpa membuat kita keluar dari konteks sudut pandang tokoh utama, scene blocking yang luar biasa. Dan betapa cepatnya semua itu terjadi, beberapa shot tampak mulus melebus menjadi satu. Belum lagi penggunaan musik dan efek suara yang bertindak lebih dari sekadar latar belakang. Segala teknik filmmaking master itu bisa kita saksikan sepanjang film ini bergulir. Spielberg juga paham dia tidak harus terlalu mengikuti buku ketika mengadaptasi jadi film, lihat saja Jurassic Park nya. Spielberg tahu dia harus melakukan penyesuaian, dan itu pula yang ia lakukan pada film ini. Pembaca bukunya akan menemukan beberapa adegan tambahan yang tidak ada pada source asli dan itu hanya membuat pengalaman menonton menjadi semakin mengasyikkan. Memang, film ini tetap terlalu panjang, babak tiga terasa sedikit diulur-ulur, tapi menurutku masalahnya terletak kepada penokohan yang memang tidak semenakjubkan teknis dan pengalaman sinematis yang disuguhkan filmnya.
Reperkusi dari banjir referensi pop-culture yang kita temukan sepanjang film adalah, filmnya sendiri akan terasa bergantung oleh hal tersebut. Kita akan gampang terbiaskan demi melihat Batman, Ryu, The Shining, motor Akira, Iron Giant, dan banyak lagi, bergantian muncul di layar. Aku gak akan bohong aku terkekeh-kekeh menyaksikan mereka semua. Namun aku juga gak akan bohong, referensi-referensi itu pada akhirnya terasa hambar. Mereka sekilas lewat saja. Sementara yang sebenarnya kita butuhkan adalah koneksi emosional yang bertahan lama, yang membuat kita memikirkan para tokoh cerita.
Secara singkat, beberapa adegan menunjukkan kepada kita kehidupan rumah Wade (Tye Sheridan cocok sekali sebagai nerd yang penyendiri). Dia tinggal bareng bibi dan pacar bibinya yang abusif. Dari momen-momen ringkas itu kita tahu bahwa Wade tidak bahagia hidup bersama mereka, rumahtangga mereka penuh kekerasan dan ancaman, sehingga tentu saja kehidupan di dalam dunia video game menjadi alternative menyenangkan buat Wade. Dia lebih betah sebagai Parzival di Oasis. Nah, karakternya di dalam sinilah yang hampir sama aja dengan gak ada. Parzival enggak mau bikin klan, tapi toh dia punya beberapa orang teman yang rela membantunya menyelesaikan misi di game. Parzival pun bertemu Art3mys (Olivia Cooke main keren banget di sini), dan seketika ia jatuh cinta. Terasa sangat diburu-buru, namun aku bisa mengerti kenapa harus dibuat seperti itu. Wade sangat butuh kasih sayang. Dia dengan cepat ‘jatuh cinta’ kepada gadis pertama yang memberikan perhatian lebih kepadanya, meski mereka belum pernah bertemu, karena sebenarnya itu adalah jeritan minta tolong dari Wade atas betapa mengerikan hidupnya yang asli.
Wade, dan orang-orang yang tinggal di Oasis menggunakan sosok avatar untuk reach out dan mendapatkan teman, sebagai simbol dari kepercayaan diri. Sesuatu yang tidak mereka dapatkan di dunia nyata. Film ini mengeksplorasi kenyataan yang lebih dekat dari yang kita duga; di mana sekarang pun, sosial media dan internet memberikan kesempatan penggunanya – yang kebanyakan adalah anak muda yang masih begitu insecure – untuk mengekspresikan emosi terdalam mereka dalam penyamaran identitas avatar. Tentu saja ini bisa berarti bagus, karena kepercayaan diri yang mereka develop di dunia virtual itu bisa saja terbawa ke diri mereka di dunia nyata. Namun, seseorang harus menyadari bahwa untuk melakukan hal tersebut sesekali dia harus terjun ke dunia nyata, log out dari sosial media, untuk berinteraksi dan sosialisasi beneran. Karena sungguh sebuah hal yang menyedihkan jika kita hanya hidup dan penting di dunia maya.
Dunia yang begini besar tentu akan membutuhkan penjelasan. Dialog-dialog eksposisi memang tidak terhindarkan dalam film ini, karena akan selalu ada peraturan yang harus dijelaskan, ada sistem yang kudu dilandaskan. Namun kupikir semestinya film bisa menggarapnya dengan lebih baik lagi. Lima belas menit awal yang kita dapatkan di sini sungguh berat oleh narasi yang memaparkan alih-alih memperlihatkan. Wade akan menjelaskan Oasis kepada kita, padahal toh dia melakukan itu sambil berjalan di sepanjang daerah tempat tinggalnya. Di mana kita melihat orang-orang sedang log in ke dalam virtual reality tersebut. Kita melihat bocah kecil jadi petinju, seorang ibu rumah tangga jadi penari, pesan yang ingin disampaikan cukup jelas – bahwa dalam Oasis semua orang bisa menjadi apapun yang mereka mau, tetapi tetap saja kita mendengar penjelasan itu dari mulut Wade. Seringkali, dialog-dialog penjelasan seperti ini dihadirkan seolah film menganggap penontonnya bego dan tidak mengerti jika tidak dijelaskan benar-benar.
Video game sejatinya dibuat untuk dimainkan bersama-sama. Menjadikannya sebuah pelarian, sebagai media untuk menyendiri, supaya menang sendiri, jelas sebenarnya adalah sebuah penyalahgunaan. Film ini pada puncaknya berusaha menyampaikan pesan bahwa bergerak bersama, sebagai sebuah tim, sebagai sebuah kesatuan dari lingkaran sosial, adalah kemampuan yang semestinya kita pelajari. Sebuah skill yang mestinya diasah. Sebuah klasik Spielberg yang sangat menyenangkan, meriah oleh referensi pop culture dari 80an, yang semestinya bisa bekerja dalam level yang lebih dalam lagi jika para tokohnya dieksplorasi dengan sama menakjubkannya dengan unsur-unsur teknis yang dimiliki oleh penceritaannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for READY PLAYER ONE.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Dengan segala kekurangan film ini ku tetap suka filmnya, especially adegan fight daito sama sorrento di akhir film, anak2 abg dibawah kursiku semua pada teriak2 seru pas adegan itu, btw love your blog and i always check for new update 🙂
aku juga suka banget sama film ini, gila nontonnya udah kayak anak kecil di toko permen.. Gundam lawean Mechagodzilla itu memang paling pecah, di studioku sampe bapak-bapak juga ikutan teriak seru xD
Dari awal film aja musik yang dipakai udah catchy banget, btw film apa nih dari stephen spielberg yang paling favoritt 😀
hmm apa ya, banyak sih ini, Jaws paling mantap.. Jurassic Park wah sekali… Schindler’s List, A.I., juga aku suka
My Nerd Sense Telah Dipuaskan Oleh Film Ini
Spielberg Lumayan Bisa Merealiasikan Karakter Wade Watts Yang Saya Impikan Sejak Baca Novel Nya Ditahun 2013
Visual Dan Fightnya,Damn
Apalagi Waktu Referensi Film Horror “Itu” Keluar,Arghhhhhhhh
Another Karya Nya Spielberg Yang Berhasil Buat Saya Kagum
ni kalo bukan Spielberg yang bikin rasa-rasanya bakal jadi just another emoji movie hahaha… tepat banget keputusan ngasih ke Spielberg, filmnya jadi wah banget
Sebuah tontonan yang amat menyenangkan ditengah indistri hollywood yang mulai kehabisan cara memghadirkan entertaint kepada penonton, tontonan seperti inilah yang dicari penonton saat pergi ke bioskop, dan ya menurut saya semua udah pas kok mas, karakternya juga justru nnti bisa merasa bosan klo terlalu di fokuskan, segala referensi yang hadir juga bukan cuma tempelan tetapi banyak dari referensi yang menggambarkan motif ato kepribadian tokoh jdi ga terasa hambar, jadi lupa kalo film ini dibuat oleh seseorang yang sudah berumur 71 tahun, what a great job Mr. Spielberg
Salah satu concern terbesar terhadap film-film yang banyak referensi pop culture kayak Ready Player One ini adalah apakah pada akhirnya film terasa bergantung kepada referensi-referensi tersebut, apakah jika distrip down darinya film masih punya sesuatu yang spesial. Dan buatku yang nerd to the core, memang sudah misahin yang bias-bias. Memang tidak semuanya, tapi sebagian referensi di RPO terasa hampa (selain joy dan eforia) karena koneksi emosi dengan karakternya gak benar-benar ada, beberapa karakterisasi mestinya digali lebih dalam.. Lagu disko, motor Akira, misalnya, Gundam dan Mechagodzilla juga, Iron Giant, they are cool tapi relevansi penggunaan mereka oleh para tokoh mestinya bisa digarap, bukan semata dsia orang jepang yang noble – but why nya.. Film-film yang terbaik adalah selalu tentang karakter di atas segalanya, satu lagi yang mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik oleh film ini – di samping penggunaan eksposisi, spesifically di elemen mereka bertemu langsung dengan teman-teman di dunia maya, Wade ketemu Sam, ketemu Aech, i think it should be more than a throwback moment
Film ringan dan sangat menghibur, jadi seperti anak kecil yg senyum tertawa teriak seperti ikut bermain dengan adrenalin yg mencurah, 2 jam lebih berasa cepet nontonnya, pengen nonton lagi :). Ya walau kurang dlm penggalian karakter, but i’m ok with that, sangat menyenangkan 2 jam semalam di bioskop
kapan lagi kita ngerasain langsung buah tangan Spielberg di film yang diniatkan untuk bikin takjub yaa
Chucky really out of nowhere ahahaha, you should try playing ones, at least the old school ones, modern video games way too commercial to have fun tho xD
I think I like watching movies about video games and not playing video games…that Mario Kart looks fun though 🙂
Hey, do you think that the little 11 year old ninja kid was a shout out to Short Round from the Indian Jones and Temple of Doom movie?
hey yea nice observation, it very highly could be!, that kid surely reminded us to Short Round
aku aslinya geek, nerd, dan segala macam yang kerjaannya ansos waktu sekolah ahahaha..
makasih mas, penjabarannya, supaya yang lain bisa lebih paham soal kekosongan referensi-referensi di film ini
semoga tahun depan Olivia Cooke makin banyak main film yaa hhihi