“Never capture what you can’t control.”
Monster pembunuh dari luar angkasa berkunjung lagi ke Bumi, siap untuk berburu manusia. Mereka hadir dengan kekuatan yang sudah berevolusi; lebih pintar, lebih ganas, lebih gede, dengan senjata dan teknologi yang lebih mematikan pula. Tapi jangan khawatir. Sekumpulan pria macho yang dapat memadamkan rokok dengan lidah sudah siap untuk menghadapi alien tersebut. Mereka akan menunjukkan bahwa makhluk seberbahaya itu tidaklah mengerikan. Melainkan lucu.
The Predator ternyata bukanlah sebuah reboot ataupun prekuel. Ceritanya adalah lanjutan, pengembangan dari semesta Predator (1987) di mana kita melihat salah satu penampilan terbaik dari Arnold Schwarzenegger. Film lanjutannya ini meng-acknowledge kejadian pada film-film sebelumnya, tidak ada yang elemen yang dihapus. Sutradara Shane Black yang actually juga ikutan main pada film yang pertama tahu persis trope-trope yang membuat franchise ini digemari, sebagai sebuah film monster 80an. Sampai di sini, penggemar Predator menghembuskan napas lega, Akan tetapi, ada sesuatu yang dilakukan oleh Shane Black terhadap arahan bercerita, sebagai bagian dari misinya mengembangkan mitos dan dunia Predator. Sesuatu yang mungkin mengecewakan bagi para penggemar. Seperti The Nun (2018) yang lebih mirip sebuah petualangan misteri ketimbang horor mencekam, The Predator digarap oleh Black dengan menjauh dari akar horornya. Hampir tidak ada jejak keseraman yang muncul pada film ini. The Predator tampil sebagai aksi petualangan melawan monster yang penuh oleh lelucon-lelucon. Yang mana paling tidak membuatnya lebih baik dari The Nun yang tampil setengah-setengah.
Satu-satunya adegan paling mengerikan dalam film ini adalah ketika ahli biologi yang diperankan oleh Olivia Munn berusaha melarikan diri dari Predator yang mengamuk di lab. Dia berusaha bersembunyi tetapi pintu ruangan hanya terbuka setelah melewati proses dekontaminasi. Jadi, dia musti buka baju dulu, di-scan segala macem dahulu, sementara si Predator di ruangan kaca di sebelah sudah semakin mendekat. Kita tidak akan menemukan suspens selain pada adegan tersebut. Film benar-benar berkonsentrasi untuk komedi dan adegan-adegan aksi yang berujung dengan tubuh yang terpotong. Shane Black memang sengaja melakukan itu semua; menomor-duakan aspek horor. Sepertinya dia punya ide lain terhadap franchise Predator, sebagimana tokoh di film ini yang punya pendapat berbeda terhadap penyebutan istilah Predator. Ada running jokes tersemat dalam cerita soal selama ini kita salah menyebut para alien tersebut sebagai Predator. Karena Predator tersebut enggak exactly predator. Mereka pemburu. Mereka membunuh bukan untuk hidup, melainkan untuk bersenang-senang. Mereka tidak memangsa manusia. Dalam film ini dijelaskan alasan Predator membunuh yang ternyata lebih sophisticated dari sekedar insting bertahan hidup. Ini sebenarnya mencerminkan visi dan arahan Shane Black untuk ke depannya. Jika kita lihat ending film ini, bukan sekedar asal nembak jika kita sampai berteori manusialah yang akan menjadi predator bagi Predator.
Bukan tanpa alasan jika manusia disebut sebagai predator paling berbahaya. Enggak cukup dengan memakan apa saja yang bisa dimakan untuk bertahan hidup, membuat kita predator segala resipien; jumlah mangsa paling banyak. Kita terkadang suka ‘memangsa’ sesuatu di luar kemampuan kita. Manusia ingin menangkap semuanya, lihat betapa tamaknya teknologi dan alien diperebutkan oleh tokoh-tokoh film ini.
Dimulai dengan pesawat asing crashing down, yang mengingatkan kita kepada Predator pertama, dan tentu saja dengan The Nice Guys (2016); buddy-komedi garapan Black yang kocak abis. Sama seperti film tersebut, The Predator juga punya tokoh anak jenius yang memegang peranan penting. Tapi tidak seperti film tersebut, The Predator punya plot yang sedikit terlalu ribet untuk dirangkai. Narasi film ini lebih terasa seperti rangkaian-rangkaian kejadian alih-alih sebuah kesatuan cerita yang kohesif. Tokoh utama kita adalah Quinn McKenna seorang sniper yang diperankan oleh Boyd Holbrook. Dialah yang pertama kali menemukan pesawat alien yang jatuh saat sedang bertugas di hutan. Pemerintah tentu saja berusaha menutupi kejadian tersebut, Quinn ditangkap dan dikirim ke penjara karena menolak untuk tutup mulut. On the way, Quinn bergabung dengan tentara-tentara ‘sinting’ yang lain, untuk mengalahkan alien yang Quinn tahu bakal datang mencari benda yang ia ambil dari rongsokan pesawat. Yang tak diketahui Quinn adalah benda tersebut justru dikirim pos ke depan pintu rumahnya. Dan jatuh ke tangan Rory, anaknya. See, Jacob Tremblay di sini adalah anak berkebutuhan khusus yang bisa menyusun bidak-bidak catur yang berserakan ke posisi sebelum permainan diganggu. Armor dan benda-benda berkilat itu dimainkan oleh Rory layaknya video game. Bahkan helm alien tersebut ia kenakan sebagai kostum Halloween. Tanpa menyadari bahwa dia baru saja mengirim sinyal memberitahu Predator langsung ke alamat rumahnya.
Film ini adalah rangkaian kejar dan kabur-kaburan yang melibatkan banyak talenta, dialog dan momen kocak, serta sosok Predator yang kostumnya keren. Keputusan memakai orang alih-alih komputer memang jarang sekali menjadi keputusan yang jelek untuk film monster seperti ini. Enggak semua yang kita lihat adalah CGI, walaupun memang efek menjadi penyedap utama buat film ini. Shot, cara mati, pertempurannya, seru untuk diikuti. Pemandangan Predator yang tak-terlihat terguyur oleh darah membuatku bertepuk tangan. Selera komedi film ini sangat klasik, nuansa monster 80annya sangat kuat. Ada satu tokoh yang bilang “I will be back” yang langsung disamber ama temennya “No, you won’t”. Dan ini lucunya meta banget. Hanya saja, di luar segala referensi dan one-liner itu, enggak banyak yang bikin kita ter-attach sama tokoh-tokohnya. Sangat susah buat kita bersimpati pada apa yang mereka hadapi, lantaran mereka sendiri tidak pernah tampak ketakutan. Mereka bercanda saja sepanjang waktu. Malah ada satu tokoh yang karakternya literally disebutin suicidal. Dan dia menyebut itu dengan tampang bangga. Jadi ketika dia benar-benar memilih untuk mati, kita enggak ada sedih-sedihnya.
Sepertinya film berusaha melakukan apa yang dilakukan oleh Taika Waititi pada franchise Thor. Taika melihat potensi komedi pada Thor, dan menggadangkan aspek tersebut, tapi Taika tidak mengecilkan porsi yang lain. Thor dan para karakter tetap dibuat emosional, dan actually tema ceritanya adalah bahwa dewa juga manusia. The Predator mencoba untuk berevolusi, Black melihat potensi komedi pada franchisenya, dan benar-benar banting setir ke arah sana. Sisi kemanusiaan karakter lupa diperhatikan. Jangankan horor, emosi yang lain pun tidak dapat kita rasakan. Ada satu tokoh yang belum pernah menyakiti orang seumur hidupnya. At one point of the story, terbunuhlah orang olehnya. Tapi film tidak membawa kita untuk menyelami perasaannya; tidak ada penyesalan, sedih, tidak ada rasa bersalah, atau malah tidak ada rasa senang ataupun mungkin lega. Film ini berpindah begitu cepat seolah kejadian-kejadian yang mereka lewati sudah tidak penting lagi karena, hey, itu Predator yang harus mereka kalahkan sudah muncul kembali.
Ada perbincangan soal menjadi ‘alien’ di planet sendiri. Predator normal dan Quinn sebenarnya berbagi perjalanan yang serupa, bahwa mereka adalah orang asing. Mereka adalah pelarian. Karena mereka tidak setuju ataupun bertentangan dengan pemerintah, dengan sebuah kesepakatan. Jadi mereka memilih cara mereka sendiri, dengan harapan mengubah hal menjadi lebih baik karena mereka tahu that they know better. Makanya pertempuran terakhir dengan Super Predator yang pada dasarnya adalah ‘polisi’ para predator menjadi sangat personal bagi Quinn. Aspek ini terlihat digunakan sebagai alasan kenapa Black membawa The Predator menjadi full action dan less-horor. Karena dia ingin berevolusi. Bahwa dia tak segan untuk menjadi berbeda di dunianya sendiri. Babak ketiga film ini memang seperti sebuah tindakan yang berkelit dari potensi horor, terasa sekali gimana film yang sadis ini enggak mau tampil menyeramkan. Drawback dari keputusan kreatif ini adalah film tidak bisa bercerita dengan baik, narasinya tidak terasa berkembang dengan alami.
Alih-alih berevolusi, apa yang dilakukan oleh Shane Black terhadap film ini malah lebih seperti ilmuwan gila yang sedang menjahit makhluk Frankeinstein. Ya, film ini makhluk tersebut; penuh jahitan.
Dengan semua materi dan talenta yang ia punya, Shane Black menyuguhkan kepada kita petualangan aksi yang kocak dan sadis dengan sosok monster, tapi tidak pernah diniatkan untuk terasa menyeramkan. Keputusan yang aneh, memang. Tapi aku tidak bisa bilang aku kecewa, karena aku sebagai penonton yang tumbuh dengan monster-monster cheesy 80-90an, sangat menikmati lelucon film ini. Tapinya lagi, kesenangan pribadi kita terhadap suatu film tidak lantas menyematkan predikat bagus terhadap film tersebut. Ada banyak aspek yang lemah pada film ini, narasinya yang tidak padu, plot yang tipis, karakter yang tampak tidak tahu emosi lain selain ngelucu. Untuk menyederhakannya; film ini terasa artifisial. Dia seperti memakai banyak armor secara serabutan. Yang menunjukkan betapa lemah ia sesungguhnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE PREDATOR.
That’s all we have for now.
Apa sih kekuatan dari franchise Predator menurut kalian? Apa film Predator favoritmu?Apakah dengan membuatnya jadi kehilangan unsur seram dan total komedi Shane Black sudah membunuh franchise ini?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017