“You decide… who you want to become.”
Nyanyian, petualangan di alam terbuka, dan banyak teman-teman untuk bermain sekaligus berkompetisi, bisa jadi adalah bahan-bahan utama untuk ‘memasak’ film anak-anak yang menarik. Sebagaimana sudah dibuktikan oleh Koki-Koki Cilik (2018) yang angka raihan jumlah penontonnya tidak bisa disebut mengecewakan. Ditulis oleh orang yang sama – Vera Varidia – dengan yang menulis film sebelumnya, ‘resep’ Koki-Koki Cilik 2 kembali berusaha menempatkan bahan-bahan tersebut setepat guna mungkin sehingga sekali lagi dapat membawa kita berhaha-hihi-huhu mengikuti perjalanan anak-anak yang hobi memasak, yang actually punya bobot emosi lantaran berakar kepada permasalahan keluarga yang dijamin lekat sama target penontonnya. Tapi bahkan dengan bahan yang sama dan resep yang familiar pun, rasa masakan bisa berbeda karena sejatinya cita rasa tergantung dari sang koki, dalam kasus film; sutradaranya. Koki-Koki Cilik 2 yang kali ini diaduk oleh Viva Westi, buatku memang meninggalkan kesan dan pengalaman menonton yang secara drastis berbeda dengan film pertamanya.
Bima dan teman-teman geng Kolik (Koki Cilik) bermaksud menghabiskan masa libur dengan pergi reunian ke Cooking Camp, tempat pertemuan dan awal persahabatan mereka. Tapi tidak ada cooking camp musim panas ini. Yang dua tahun lalu perbukitan hijau yang terawat, kini hutan dan rerumputan yang mulai menggersang. Kandang kambing pun ikut-ikutan kosong tak terawat. Bima cs menemukan Chef galak yang dulu jadi mentor mereka, Chef Grant, dalam keadaan awut-awutan. Beliau kehilangan semangat untuk memasak, sama seperti anak-anak calon pengunjung camp yang tak lagi berniat untuk mendaftarkan diri. Cooking camp mereka sudah di’bury’ oleh pernyataan salah satu chef restoran top di televisi. Masa kemah masak tapi yang ngajarinnya entah-siapa yang gak punya restoran sendiri? Tapi Bima dan teman-teman tetap semangat. Dengan menyalurkan energi, mereka mendorong Grant untuk membuka sendiri cooking camp. Mereka jualan pake food truck untuk menggalang dana. Semangat mereka pun semakin menyala dengan bergabungnya Adit yang jago banget masak sandwich. Tapi Adit yang datang bersama tantenya yang cakep punya masalah sendiri yang membuatnya jadi terlalu fragile dalam urusan masak-memasak. Keutuhan tim mereka pun senantiasa terancam.
Film sekuel ini selain menyiapkan sejumlah tokoh baru, juga actually menyiapkan daging yang lebih tebal untuk diolah. Ada lebih banyak hal yang dilakukan geng Kolik dalam film kali ini. Mereka membangun kembali Camp yang hampir nyatu lagi ama hutan di sekitar. Kita melihat anak-anak itu belajar cara jualan. Menghadapi sepi-pelanggan, dan ketika lagi rame harus belajar caranya bekerja dengan efisien sehingga tidak kelimpungan. Juga sedikit ada bahasan mengenai menanggapi kritikan. Dan sebaliknya – bagaimana ternyata perkataan yang kita lontarkan terhadap seseorang atau sesuatu dapat berdampak lebih besar dari yang kita niatkan. Di atas semua itu, ada pelajaran berharga soal membuat bangga dan menyenangkan hati orangtua sekaligus tetap melakukan pekerjaan yang kita sukai.
Semua pelajaran hidup yang tak dapat ditemukan di sekolah tersebut – menjadikan film ini cocok sekali sebagai tontonan bermanfaat di kala liburan – dikemas dengan tidak berat. Tapi tetap tidak kehilangan hatinya. Salah satu adegan paling menyentuh dan menghangatkan dalam film ini adalah ketika tante Adit berusaha menenangakn Adit yang emosi karena masakan yang buat Adit sangat personal dikatain enggak enak. Koki-Koki Cilik 2 sangat respek dan catering kepada penonton cilik. Permasalahan keluarga, adegan-adegan emosional selalu diimbangi dengan keriangan. Misalnya; sebelum Adit dipaksa pulang dari camp, anak-anak itu sedang bercanda-canda ngejodohin Grant sama tante Adel. Atau Adit yang pendiam diberikan ‘kekuatan’ kocak yakni mampu meramal hujan lewat bersin. Kita melihat anak-anak tersebut dihadapkan kepada persoalan dewasa, dan film membiarkan mereka menjadi anak-anak yang berusaha menyingkapi dan memberikan solusi terhadap masalah tersebut. Sikap riang dan tingkah lucu para tokohnya menjadikan film ini seringan popcorn yang kita makan sembari menonton.
Untuk penonton dewasa, on the other hand, film ini dapat terasa terlalu menyuapi lantaran terlalu berusaha melayani penonton anak-anak. Ada beberapa dialog yang ditulis terlalu gamblang sehingga film jadi banyak cakap-cakap eksposisi. Buatku, film terasa agak kurang percaya sama pemahaman anak-anak. I mean, film-film kayak Toy Story 4 (2019) juga dibuat untuk anak-anak tapi tidak tampil terlalu literal. Dialog Koki-Koki Cilik 2 seharusnya juga tidak perlu terlalu menyuapi. Karena sering juga hal tersebut membuat pemeran anak-anaknya jadi terlihat kaku dan enggak lepas – mereka jadi ada ‘beban’ untuk menjelaskan alih-alih berakting sesuai imajinasi mereka. Perpindahan tone cerita dari yang riang menjadi lebih serius tersebut juga kadang terlalu cepat sehingga emosi yang diniatkan tidak mampu benar-benar tersampaikan. Dengan bahasan sebanyak yang film ini miliki, seharusnya diberikan alokasi waktu yang lebih panjang supaya emosi terbangun dengan lebih baik, supaya kita bisa lebih terinvest ke dalamnya. Tapi malahan editing pun tampak terburu-buru. Sering kita melihat adegan yang berakhir dengan mulut satu tokoh terbuka seolah hendak bicara, namun langsung dicut oleh pindah adegan. Adit di kala sendirinya suka berbicara dengan kalung; kebiasaan tersebut mustinya diperlihatkan cukup sering, tidak hanya dalam satu atau dua adegan. Begitu pula dengan pertunjukan boneka bayangan dari tantenya. Aku merasa seharusnya kita dapat adegan anak-anak menonton yang beneran dulu sebelum datang adegan boneka bayangan yang sebenarnya berfungsi untuk paparan informasi mengenai backstory Adit. Jadi elemen shadow puppet itu tak sekadar tampil sebagai aksesoris.
Kalian mungkin memperhatikan kenapa malah lebih banyak pembahasan tentang Adit (diperankan dengan susah payah oleh M. Adhiyat) yang anak baru dalam geng Bima. Itu karena memang sebenarnya menu utama dalam film ini adalah tentang persoalan Adit dengan ayahnya. Faras Fatik yang memainkan Bima, yang di film pertama jadi tokoh utama harus rela dikurangi perannya. Bima actually jadi ‘bergabung’ dengan teman-teman yang lain; tokoh utama film ini adalah geng Koki Cilik yang bergerak sebagai satu unit bareng-bareng
Di sini kelemahan pengembangan cerita dapat terlihat. Dengan membuat para geng pemain lama tetap sebagai sorotan utama – besar kemungkinan karena mereka-mereka inilah yang membuat penonton jatuh hati, jadi film ingin seketika mempertemukan penonton dengan mereka – cerita menjadi berantakan dan terlihat gak fokus. Tokoh utama yang satu geng itu tampak ‘lemah’. Maksudku ini kayak cerita tentang anak-anak koki cilik yang pengen cooking camp kembali ada, tapi untuk mencapai itu mereka harus membantu membereskan persoalan Adit. Hanya saja mereka tidak melakukan, atau membantu, banyak untuk hal tersebut. Adit dan tokoh yang diperankan oleh Christian Sugiono seperti meresolve sendiri masalah mereka; mereka berdua yang setuju untuk cook off, mereka yang saling berkonfrontasi baek-baek.
Seharusnya sedari awal, Adit lebih ditonjolkan sebagai tokoh utama. Karena dia yang punya stake; anak-anak Kolik pada awalnya tidak punya stake apa-apa – sekiranya mereka gagal dalam membangkitkan kembali Cooking Camp, tidak ada yang ‘terluka’. Stake mulai muncul ketika kita sudah mengerti apa yang terjadi seputar karakter Adit. Dan itu munculnya cukup terlambat. Karena film memperlakukannya sebagai ‘rahasia’ yang berangsur terungkap. For a while, kejadian di film ini lempeng saja, tidak ada intensitas. Padahal jika dari awal langsung fokus sudah di Adit, kita akan lebih cepat ter-hook kepada cerita. Bayangkan jika film dibuka dengan langsung memberikan informasi keluarga Adit, siapa ayahnya, kenapa ia tinggal sama tantenya. Jika kita tahu Adit pengen masuk cooking camp tapi dilarang oleh ayahnya. Maka ia diam-diam ke sana ama tantenya. Sampai di camp, dia mengetahui bahwa tidak ada camp lagi karena ulah ayahnya sendiri. Ini memberikan konflik dramatis yang menarik, lantaran Adit justru pengen masuk camp karena ingin membuat bangga ayahnya. Adit memilih berusaha menghidupkan lagi cooking camp bersama Chef Grant. Para pemain lama bisa masuk setelah ini; Adit dan tante dan Grant butuh kru. Dari sini cerita bisa berlanjut sebagaimana yang film tampilkan; mereka bikin food truck, Adit ketahuan ayahnya, dan seterusnya. Efek yang sama akan tercapai, tapi dengan narasi yang lebih tight dan tokoh utama yang jadi lebih jelas dan kuat jika diarahkan seperti demikian.
Kadang ketika mengejar impian, kita lupa kenapa kita menginginkannya in the first place. Ayah Adit tidak lagi ingat kenapa dia pengen jadi chef. Tercemar oleh faktor orang lain, ia melupakan cintanya dan hanya mengingat pembuktian diri. Makanya dia yang udah sukses tak pernah memasak lagi. Adit lebih menyedihkan lagi; dia tak lagi peduli sama kesukaannya terhadap memasak karena yang ia pedulikan adalah bagaimana caranya dia bisa merasakan cinta sang ayah. Sesungguhnya semua itu memang tergantung Adit ataupun Ayahnya.
To cook or not cook. Lewat hubungan emosional antara anak-ayah, film menyugestikan bahwa tidak salah jika kita ingin berubah atau terpacu karena orang lain hanya saja harus ingat bahwa semua itu adalah keputusan kita. Dan untuk memutuskan suatu putusan kita perlu mengingat kembali segala yang kita cintai darinya.
Ketika mereview film pertamanya aku bilang Bima mengingatkanku kepada Deku di anime My Hero Academia karena kedua tokoh ini sama-sama perwujudan dari skenario cerita underdog yang baik. Di film kedua ini, aku pun masih teringat sama My Hero Academia lantaran Adit terlihat mirip sama tokoh yang bernama Todoroki. Mereka berdua sama-sama pendiam dan sok cool. Adit dan Todoroki sama-sama kehilangan ibu yang sangat mereka cintai, dan ayah menjadi motivasi terbesar buat mereka. Adit dan Todoroki sama-sama punya orangtua yang jago dalam pekerjaan mereka, yang kemudian diikuti jejaknya oleh sang anak. Adit dan Todoroki sama-sama mewarisi ‘kekuatan’ kedua orangtuanya – perbedaan mereka terletak di sini; Jika Todoroki lebih suka sama kekuatan ibu – dia membenci kekuatannya yang mirip sama kekuatan ayah dan sebisa mungkin tidak menggunakannya kecuali kepepet, maka si Adit justru menjadikan resep ayah sebagai masakan signaturenya, dan tidak menggunakan resep ibu hingga klimaks di akhir cerita. Dan menariknya lagi, nama Ibu Adit adalah Levi – nama tokoh dari anime lain; Attack on the Titan. Aku tahu ini kemungkinan besar hanyalah long reach, yang gak ngaruh juga di penilaian film, tapi aku gemar sama dua anime tersebut maka seneng aja ketika ada persamaan yang ternotice haha. Dan mungkin, pembuat film ini beneran juga penggemar anime.
Sekuel ini berhasil menyajikan diri sebagai tontonan anak-anak dengan permasalahan personal antara anak dengan orangtua yang lumayan kompleks – tidak sekadar mengantagoniskan satu pihak – sembari tetap menghibur dan terasa ringan. Sangat pantas untuk ditonton oleh anak-anak. Dan anak-anak tentu saja tidak akan peduli dengan kritikan atau kelemahan yang dipunya oleh film. They would love this movie more than us. Jadi aman untukku mengatakan bahwa film ini kalah rapi dibandingkan film pertamanya. Pengembangan-pengembangan pada cerita jatohnya malah seperti tempelan. Pacing ceritanya agak keteteran karena film enggak mau menjadi terlalu lambat demi anak-anak. Padahal sesungguhnya emosi yang dihadirkan bisa saja jadi lebih kuat disampaikan. Film ini bisa jadi lebih baik jika ‘dimasak’ lebih lama lagi, dan benar-benar menonjolkan main coursenya. Tapi anehnya, film ini kadang lebih milih yang instan – kayak jenggot Chef Grant yang keliatan banget kurang maksimalnya.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for KOKI-KOKI CILIK 2
That’s all we have for now.
Siapakah yang menunjukkan gambaran ayah yang baik di film ini; Chef Grant atau papanya Adit? Menurut kalian apa sih resep menjadi orangtua yang baik?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
Film ini benar-benar sekuel yg memanfaatkan kesuksesan film sebelumnya. Bedanya, di film ini lebih banyak drama orang dewasanya dan gak bikin kenyang mata. Lomba masak yg di akhir pun makanannya gak bikin amazed “wah hebat banget anak kecil bisa bikin yang kaya gitu” seperti di film pertama. Jadi kalau nonton film ini karena pengaruh bagusnya si film pertama, bakal banyak kecewa.
Turunnya jauh juga ya dari film pertama ke film kedua. Pas lomba masak itu kita gak lagi penasaran sama ‘apa sih yang bisa dibikin anak-anak itu’, karena ceritanya bukan soal proses belajar kayak film pertama, Adit kan dibuild jago masak banget, sedang ayahnya cuma ‘disebut’ jago masak. Menurutku, bangunan narasinya sebenarnya bukan lomba masak – siapa yang masaknya lebih baik. Pertanyaan yang diangkat naskah kan sebenarnya apakah Adit bisa diterima oleh ayahnya. Makanya, cerita mengarah jadi lomba masak itu keputusan yang aneh, karena gak klop aja gitu sama kehendak naskah. Dan kita tonton pun rasanya kurang ngena kan
Tentang Adit yg diperanin Adhiyat ini, film cukup gampang bikin kita inget bahwa si Adhiyat ini sebelumnya main di Pengabdi Setan. Dan waktu di tengah film, langsung ngide bikin caption “Ketika anak pengabdi setan memasak untuk putri Kuntilanak” buat review film ini.
Anyway, coba review Parasite deh, penasaran dikasih skor berapa.
“Viral! Anak pengabdi setan berantem ama putri kuntilanak!!” bisa diusulin tuh ke marketing film ini, kali aja bisa nambah-nambah jumlah penonton hihihi
Aduh kayaknya aku gak jadi bisa nonton Parasite deh besok, banyak pe-er dari acara Forum Film Bandung. Senin depan baru ke bioskop lagi sepertinya, barengan Spidey. Semoga filmnya masih ada.