#ALIVE Review

“I’m definitely the lazy one in the family”
 
 

 
 
Kita semua menduga video game membantu kita mempersiapkan diri menghadapi zombie apocalypse. Karena video game secara efektif mengajarkan kita cara survive, berpikir cepat dan tangkas dalam melawan musuh. Well, Oh Joon-woo kini tahu bahwa dugaan tersebut tidak terbukti benar. Seumur-umur yang diketahui Joon-woo adalah bermain video game. Kamarnya disulap jadi studio game online tempat dia ngestream petualangannya menembaki musuh-musuh virtual. Tapi ketika hari itu memaksanya untuk menggunakan skill-skill survive yang ia kira sudah ia kuasai, Joon-woo hanya bisa terdiam. Di luar apartemennya, di dunia nyata, virus zombie melanda kota. Mengubah penduduk menjadi mayat hidup kanibal yang ganas. Joon-woo menyaksikan semua, helpless. Mendadak dia sangat rindu dengan orangtua dan saudara-saudaranya, yang tentu saja sudah pergi ke aktivitas masing-masing pada saat dia masih melanjutkan ngorok. Dan ketika persediaan makanan menipis, air mati, hingga satu-dua kali ada zombie namu ke rumahnya, Joon-woo semakin hopeless.
Harus berdiam, mengisolasi diri, di rumah. Enggak boleh keluar rumah, harus jaga jarak – enggak boleh ketemu sama orang karena virus zombienya menular dengan cepat melalui kontak – meaning: you will get eaten alive and turn into ones. Menonton film ini, well, mungkin kita memang harus menyamakan Covid-19 dengan zombie apocalypse. Karena lihat betapa efektifnya peraturan-peraturan yang ia dengar dari televisi tersebut membuat Joon-woo patuh dan takut kemana-mana. Orang-orang jadi beneran bisa memahami sakitnya keadaan dan rela menempuh hidup yang sulit supaya penyebaran virus tidak menjadi bertambah parah. Konflik menarik yang diperlihatkan oleh film #Alive ini justru datang bukan dari zombie-zombie ganas itu. Melainkan ketika tokoh-tokoh manusianya merenung sendiri di dalam isolasi mereka. Ketika para tokoh mulai menyesali hal-hal yang tidak lagi dapat mereka lakukan setelah outbreak. Sutradara Il Cho seperti ingin memberitahu kepada kita, yang menonton film ini sambil ‘terkurung’ di rumah masing-masing, bahwa kita tidak sendirian. Lewat kisah Joon-woo, ia mengajak kita untuk terus berjuang dan tidak berhenti berharap.

Mungkin kita rindu kepada keluarga di luar sana. Atau bahkan mungkin kita sudah benar-benar dipisahkan dari mereka. Namun yang paling penting adalah kita jangan kehilangan kemanusiaan; karena itulah pembeda antara virus zombie dengan virus yang kita hadapi. Zombie lebih mengerikan karena mengubah manusia menjadi monster yang taunya cuma makan, tak peduli lagi pada orang lain atau apapun. Kita harus memastikan kepada diri sendiri, bahwa Covid-19 tidak mengubah kita menjadi ‘monster’ seperti demikian.

 
Buatku, 35-30 menit pertama film ini bukan hanya menarik, tapi juga benar-benar mengena. Kita bisa merasakan kecamuk personal Joon-woo yang kini harus tinggal sendirian. Mengurusi keperluannya sendiri – sesuatu yang tak pernah ia lakukan karena selama ini ia bersandar cuek kepada keluarganya. Joon-woo dulunya adalah ‘zombie di rumahnya sendiri’. Ketika yang lainnya bekerja, dia taunya cuma tidur, makan, main game. Meskipun tokohnya memang jadi sedikit annoying, tapi tak bisa dipungkiri Joon-woo ada sedikit-banyak kemiripan dengan kita waktu masih muda. Yang membuat dia relatable untuk banyak penonton. Bagaimana kita tidak benar-benar appreciate family dan segala kenyamanan di rumah, dan baru kangen ketika sudah jauh dari mereka. Momen-momen ketika Joon-woo merindukan semua itu, easily adalah momen paling emosional yang dipunya oleh film ini. Khususnya, aku suka dengan adegan saat dia minum ampe mabuk – karena gak ada air, dia terpaksa minum alkohol koleksi bokapnya – dan berhalusinasi yang menggedor pintu adalah keluarganya yang pulang dengan selamat, dan ibu yang memeluknya. Momen itu cukup kuat, dan seharusnya bisa lebih kuat lagi jika film ini benar-benar mengset up hubungan Joon-woo dengan orangtuanya di awal film. Jika kita diperlihatkan bagaimana interaksi rumah tangga mereka. Namun #Alive memilih untuk memulai dari Joon-woo sudah sendirian, sehingga efek kesendirian Joon-woo tidak maksimal terasa.

“Good Bye Papa please pray for me, I was the zombie of the family”

 
 
Padahal film ini lumayan bijak dalam memainkan tempo. Bagian-bagian yang lebih lambat – saat kita closely melihat keadaan mental Joon-woo yang semakin nelangsa – selalu diselingi dengan aksi-aksi pengejaran zombie yang hadir dari kejadian-kejadian yang disaksikan Joon-woo dari balkon rumah susunnya. Zombie di film ini mampu berlari, jadi setiap kejar-kejar tersebut dijamin seru dan menghibur. Tone cerita juga gak pernah terlampau sedih atau depresi. Tingkah dan kesembronoan Joon-woo terkadang mampu memancing kikikan geli penonton. Dari perspektif penulisan, memang cerita seperti #Alive ini agak-agak tricky. Sebab kita harus menaikkan tantangan bagi tokoh – yang bagi Joon-woo itu berarti men-stripnya dari fasilitas dan kemudahan, tapi pada saat bersamaan kita harus menemukan cara untuk terus memberinya sesuatu untuk dilakukan, untuk diperjuangkan. After a while, ‘bermain’ dengan drone akan menjadi membosankan, sehingga film ini butuh untuk memasukkan faktor yang baru dalam cerita.
Maka dihadirkanlah tokoh tetangga di apartemen seberang. Cewek yang sama-sama terjebak di rumah. Yang udah menolong Joon-woo dengan menghentikannya melakukan sesuatu yang bodoh. Kehadiran tokoh Kim Yu-bin membuat kejadian menjadi lebih berkembang; membuat film punya sesuatu yang baru untuk dimainkan. Mulai dari cara Joon-woo dan Yu-bin berkomunikasi, hingga ke cara mereka saling mengirimkan makanan – yang kemudian jadi sarana untuk memunculkan zombie sebagai threat dengan approach yang berbeda dari sebelumnya. Hanya saja, bagian masuknya Yon-bin dalam cerita ini seperti throw-away saja, tidak benar-benar berhubungan langsung dengan Joon-woo dan keluarga. Melainkan ya cuma seperti film ingin ngasih ‘stage’ baru untuk Joon-woo, supaya penonton enggak bosan dengan masalah/konflik personalnya. Dan yang membuatnya terasa semakin gak penting adalah penokohan Yu-bin yang seadanya. Dia cuma cewek yang lebih mandiri dan tangguh daripada Joon-woo, yang sama-sama terjebak, dan somewhat jadi love interest. She’s kinda a manic pixie trope, karena dia tidak diberikan backstory apa-apa. And she was kinda dumb, meskipun film ingin ‘menjual’ tokoh ini sebagai karakter yang keren.
Setelah menyelamatkan Joon-woo dan ngatain dia bego (bantering yang digolongkan ‘cute’ dalam standar romansa remaja Asia), kita akan melongok ke dalam rumah Yu-bin untuk melihat cara dia survive, yang supposedly beda 180 derajat dengan Joon-woo. Cewek ini lebih siaga, dengan persediaan makanan ataupun barang yang lebih lengkap. Jadi malam hari, cewek ini haus dan dia mau minum tapi airnya tinggal sedikit, dia keingetan tanamannya di pot. Dan dia malah menyiram tanaman itu saja, enggak jadi minum. Yang membuat cara survive dia ini ‘pintar’ adalah karena tanaman yang ia siram itu bukan tanaman hias kayak mawar atau apalah yang butuh air. Melainkan tanaman Lidah Mertua! Kalian tahu, tanaman hijau yang panjang dan keras itu, kayak pedang-pedangan. Tanaman yang bisa menyimpan air sama seperti kaktus, yang enggak masalah hidup di lingkungan lembap atau malah di lingkungan yang kering. In short; tanaman yang gak urgen untuk disiram! Apa dia bermaksud menabung air di tumbuhan tersebut, supaya nanti kalo air habis, dia tinggal minum dari daun tanaman itu? Cara yang praktis dan aneh kalo begitu. Sehingga aku penasaran, jangan-jangan tanaman ini bakal punya peran dalam plot nanti. Beberapa menit google search kemudian, aku jadi tahu tanaman yang bernama latin Sansevieria trifasciata ini berkhasiat menangkal polutan, paling cocok ditempatkan di ruangan yang ‘tidak sehat’, makanya sering dipasang orang di kamar mandi, atau di ruang tunggu publik biar udaran tetap segar. So yea, mungkin di film ini tanaman tersebut bakal jadi kunci. Nyatanya? Nihil. Tanaman tersebut tidak pernah punya peran apa-apa. Yang membuat tindakan nahan haus Yu-bin bukan cuma tindakan bego untuk survive, sekaligus juga membuat gak believable lagi tokoh itu adalah tokoh keren yang mampu bertahan hidup sejauh ini.
Kenapa pula aku ngomongin tanaman di film zombie, emangnya ini Plant vs. Zombie?!

 
 
Alih-alih munculin tokoh baru di tengah, harusnya film ini banyakin saja adegan Joon-woo berusaha survive sendiri. Banyakin dia masuk ke rumah orang-orang demi mencari makanan, dan bikin dia menemukan berbagai hal (alias pelajaran) di setiap ruangan yang ia masuki. He could learn so much about other families, yang menjadi masukan untuk inner journey-nya terhadap hubungan dengan keluarga. Narasi film akan lebih berbobot dan intact dengan begitu. Aku lebih memilih cerita yang repetitif ketimbang cerita yang detour dari topiknya hanya supaya tetap menarik atensi penonton. Keberadaan elemen Yu-bin membuat penonton teralihkan dari ‘keluarga’. Membuat seolah konfrontasi Joon-woo dengan seorang manusia penghuni apartemen lain di babak tiga itu yang kayak tempelan. Padahal konfrontasi final itu circled back dengan kejadian yang dilihat Joon-woo di awal-awal zombie outbreak; yaitu saat dia melihat anak sekolah memeluk ibunya di tengah kekacauan, sebelum akhirnya berubah menjadi zombie. Anak – orangtua – zombie; inilah tiga kata kunci, film harusnya bermain memutari ini saja, enggak perlu ada elemen lain yang ditonjolkan dan merebut perhatian dari sana.
 
 
 
Enggak ada yang spesial, tapi paling tidak film ini baik-baik saja di empat-puluh menitan yang pertama. Menggambarkan perasaan kecilnya terisolasi, terpisah dari keluarga sementara kita berada dalam keadaan yang membutuhkan kita untuk punya support. Namun kemudian film seperti kehabisan bahan, maka ia menambahkan elemen untuk membuat film nge-spark lagi, dan ultimately menjadi ‘meledak’. Sure, aksinya seru, kita masih bisa menikmati meski gak nampak benar-benar plausible. Tapi semua di paruh akhir itu jadi terasa seperti momen throw-away saja; momen tambahan yang enggak mengena. Yang paling lucu adalah; film ini membuat survive berhadapan langsung dengan zombie tampak lebih mudah dan asik daripada berusaha survive dengan berdiam diri di rumah. Uh-oh, semoga bukan sikap ini yang lantas jadi panutan penonton di era pandemi.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for #ALIVE.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apa kiatmu survive hari demi hari kala pandemi? Menurut kalian apa yang paling berat dari keadaan pandemi virus seperti sekarang?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. Iksan says:

    Lempeng banget nih film…menurutku sih semua karakternya tanpa backstory, kesedihhannya Joon woo pun visualisasi narasi di otaknya. Zombienya jg drmana asalnya. Ga jelas. Mungkin jg sih fisimpan buat sekuelnya. Yaaa kyk TRAIN TO BUSAN gitu

    • arya says:

      Si cowok itu lumayan sih, dari pesan ibunya, dari foto keluarga yang di situ ‘wujud’nya masih biasa, ada karakter dan ceritanya dia. Tokoh2 yang lain baru gajelas haha, apalagi cewek itu. Tau-tau ada aja. Mending cerita abis di pas dia bunuh diri, terus zoom out ternyata di luar militer sedang bagi-bagi obat/vaksin penyembuh zombie ahahaha, biarin jadi kayak ending The Mist xD

  2. arya says:

    Iya euy, panjang-panjang soalnya film India, kalo di bioskop aku susah ngatur jadwal nontonnya, kalo di laptop udah capek karena aku juga nonton smekdon dan itu bisa enam jam-an hahaha

Leave a Reply to aryaCancel reply