“Live each day like it’s your last, ’cause one day you gonna be right”
Kematian adalah sesuatu yang pasti, sekaligus merupakan sebuah misteri. Karena tidak ada satupun manusia yang tahu pasti kapan dirinya akan mati. Semua itu didesain untuk membentuk manusia itu sendiri. Orang yang pintar nan bijaksana akan berpikir bahwa setiap saat dirinya bisa mati, maka mereka mengisi waktu hidupnya dengan amal-amal dan kegiatan yang berguna. Memastikan tidak ada waktu mereka yang sia-sia. Namun tentu saja, sama hipotetikalnya untuk menjadi manusia sesempurna itu. Bagi kebanyakan orang, menghadapi kematian akan terasa sama seperti yang dirasakan oleh Amy dan tokoh-tokoh di film She Dies Tomorrow. Menakutkan dan penuh kecemasan.
Malam itu Amy (Kate Lyn Sheil mengalunkan emosi tanpa banyak berkata-kata) tersentak dengan keyakinan absolut bahwa esok dirinya akan meninggal. Pada poin awal cerita, kita belum tahu darimana pengetahuan atau keyakinan wanita itu berasal, tetapi kita toh melihat hal-hal ganjil yang ia lihat. Yang ia rasakan. Amy melihat cahaya merah-biru-hijau berpendar di rumahnya. Dia merasakan depresi begitu kuat sehingga ia lebih memilih untuk baring di lantai. Sembari mencakar ubinnya. Amy berjalan linglung kayak orang mabok. Dan akhirnya dia menelpon sahabatnya, yang malam itu datang dan mendengar curhat soal besok Amy tidak lagi ada di dunia. Sang sahabat tentu saja menyanggah, dan menenangkan Amy, lalu pergi pulang. Namun di ruang kerjanya sendiri malam itu, sahabat Amy kepikiran soal kematian, dan akhirnya dia sendiri jadi percaya dirinya juga akan mati esok hari. Diapun mencari pertolongan ke kerabat. Hanya untuk membuat lebih banyak lagi orang-orang yang depresi dan bertingkah aneh seperti Amy. Semua orang kini percaya besok mereka mati!
Sutradara Amy Seimetz dengan tepat menangkap ketakutan dan kecemasan manusia saat akhir hidup tiba, dan menerjemahkan dua perasaan tersebut ke dalam visual semi-surealis yang membuat bulu kuduk meremang. Jika kita menyebut She Dies Tomorrow ini film horor, maka ia adalah horor yang kuat visual dan perasaan. Tentu, tokoh-tokoh film ini melakukan beragam hal yang aneh dan menyerempet disturbing – ada tokoh yang ‘membunuh’ anggota keluarganya dan meyakininya sebagai tindakan belas kasih terakhir sebelum dirinya sendiri expired – tapi tindakan-tindakan seperti demikian tidak menjadi sumber dari ketegangan yang kita rasakan saat menonton. Tindakan itu adalah produk; reaksi dari aksi penyadaran. Penyadaran inilah horor yang sebenarnya. Bagaimana perubahan sikap mereka yang tadinya mengolok tokoh yang bilang besok ia pergi; mereka lantas menjadi sama ‘kosong’ dan hopeless dalam sekejap setelah mereka mengucapkan “bagaimana kalo besok kita beneran mati?”
The sudden silence, close up wajah-wajah yang mengucurkan air mata, gambar seseorang menangis tanpa suara, nyatanya akan balik menghantui kita tatkala pertanyaan terbesar dan terus berulang film itu kita tanyakan balik kepada diri kita. Elemen psikologikal thriller dari film ini bekerja dengan kuat berkat permainan akting yang seragam meyakinkan. Ini adalah bukti dari arahan film sangat fokus dan punya visi. Bukan tidak mungkin pula film ini sangat personal bagi sutradara. Nama tokoh yang dibuat serupa dengan nama dirinya mungkin untuk menunjukkan sang sutradara punya pengalaman langsung dengan dua perasaan utama yang jadi kunci pada film ini.
Mengetahui kapan pastinya kita pergi, enggak benar-benar membuat hidup kita lebih baik, bahagia, dan terhindar dari rasa penyesalan serta kecemasan. Karena sebenarnya mengetahui kita pasti akan pergi saja sudah cukup. Kita mestinya senantiasa ingat bahwa setiap hari bisa saja menjadi hari terakhir, maka isilah waktu supaya nanti tidak ada penyesalan. Usahakanlah supaya tidak ada penyesalan.
Sementara visual dan penceritaan boleh jadi senjata utama film, sebenarnya bagian paling penting yang secara subtil dipantik oleh film ini adalah pertanyaan ‘mengapa’. As in, mengapa ‘penyakit yakin besok mati’ itu bisa demikian menular. Lagi film ini membawa kita berkontemplasi. Tokoh-tokoh yang tertular itu, adalah orang-orang yang punya penyesalan, yang punya sesuatu yang belum mereka lakukan dalam hidup – entah itu belum sempat atau belum mampu. Orang-orang yang hidupnya perlu banyak pembenahan. Dalam sebuah film yang fokus pada narasi yang kuat, cerita seperti ini akan menampilkan tokoh pendukung yang sama sekali tidak terpengaruh atau tidak tertular oleh anxiety kematian seperti yang dialami Amy. Tokoh yang berfungsi sebagai pembanding. Namun She Dies Tomorrow tidak tertarik akan hal tersebut, demi sebuah keabsahan. Karena menampilkan tokoh yang tak tersentuh tentu akan mengurangi kekuatan ‘kematian’ itu sendiri. Film ini ingin realistis dalam hal tidak ada manusia-sempurna. Tidak ada manusia yang tidak terganggu oleh kepastian dirinya besok tiba-tiba meninggal. Mulai dari dokter hingga ke tukang sewa atraksi mobil semuanya punya unfinished business yang ingin diselesaikan perlahan. Kita semua punya masalah yang kita takuti, mengetahui hari ini adalah kesempatan terakhir untuk bisa menyelesaikannya terang saja bakal menimbulkan reaksi seperti yang ditampilkan oleh film ini.
Meskipun kematian tersebut pasti, dan para tokoh yakin malam itu adalah malam terakhir, namun film mengontraskan itu semua dengan membuat segala aspek tidak-pasti. Yang dibangun oleh film ini adalah sensasi ketakutan atas sesuatu yang samar-samar. Inilah hal yang paling dekat dengan yang disebut ‘plot’ oleh film ini. She Dies Tomorrow tidak punya narasi. Sudut pandangnya berpindah-pindah antara satu tokoh ke yang lain. Belum lagi lompatan-lompatan flashback. Semua tokoh di sini sama lemahnya, tokoh utama cerita boleh saja kita tukar-tukar sendiri dan enggak akan ngaruh ke seluruh cerita. Karena film ini sebenarnya adalah soal suasana. Dan ini membuat film jadi punya jarak dengan penonton. Terkadang dia seperti menggiring ke sesuatu, tapi ternyata tidak. Penonton yang ingin melihat sebuah resolusi, akan kecewa karena tidak ada semua itu di sini. Konsekuensi atas tindakan masing-masing tokoh pada malam itu juga dilewatkan dan dibiarkan mengambang.
Menonton awal-awal film ini, akan gampang bagi penonton kebanyakan untuk menyangka ceritanya adalah tentang sesuatu ‘makhluk’ yang menyebabkan penularan-kematian tersebut. Karena memang film di awal membuat seolah ada sesuatu. Kamera akan mengambil sudut-sudut dari balik pintu, atau dari belakang, seolah ada yang mengincar tokoh. Dan ini kinda mengarahkan penonton ke tempat yang salah. Mengecoh penonton. Karena kemudian kamera yang demikian tidak terjadi lagi. Dengan begitu saja film membuka kenyataan, yang mereka lakukan di sini adalah seperti menuntun anak ke suatu tempat kemudian melepaskan pegangan tangannya begitu saja. Cerita film ini sepertinya bisa saja jadi lebih menarik dengan memberinya bangunan narasi yang normal, yang tanpa flashback, yang runut dan benar-benar menceritakan si Amy itu sendiri. Namun itu tidak akan mengenai target sutradara yang menginginkan horor atau thriller yang lebih menekankan kepada perasaan atau mood. Jadi ini adalah resiko kreatif, yang harus kita apresiasi dan hormati.
Visually intriguing, atmosfernya mellow dan unsettling, dan semua kerasa mencekam dari dalam. Membuat kita ikutan resah dan memikirkan kematian. Ini bukan horor/thriller biasa yang mengandalkan ada sosok yang melambangkan ketakutan, yang ada demon yang harus dikalahkan. Dalam film ini hantunya adalah anxiety, yang berasal dari tokoh masing-masing yang gagal mengisi hidup mereka sehingga banyak penyesalan dan urusan yang mendadak harus diselesaikan. Sebuah entry yang menarik dan menambah rentang film mencekam. Gak semua orang akan nyaman nonton ini, ataupun senang dengannya. Jika besok aku mati, aku gak rela film ini jadi horor terakhir yang aku tonton, karena aku ingin melihat perjalanan yang lebih menakutkan dengan narasi yang lebih terstruktur dan memuaskan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SHE DIES TOMORROW.
Siapkah kalian jika besok waktu kalian sudah habis? Apakah menurut kalian mengetahui kapan pastinya kita mati akan membuat kita lebih baik? Atau lebih baik untuk tidak tahu?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA