ARMY OF THE DEAD Review

“What happens in Vegas, stays in Vegas”

 

Gak heran kalo Las Vegas disebut sebagai Sin City (Kota Dosa). Di tempat itu dari nyaris dari pintu ke pintu adalah kasino. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru mengunjungi tempat hiburan khusus dewasa tersebut, berpesta foya-foya dengan berjudi dan segala turunannya yang sah, mulai dari ngobat sampai prostitusi. Las Vegas dalam dunia sinema Zack Snyder ini, kedatangan satu ‘dosa’ lagi. Satu abomination, yang lantas merebak menjadi ribuan lainnya. Wabah zombie menggerayangi seisi kota! Beruntung Las Vegas punya slogan “Apa yang terjadi di Vegas, tetap tinggal di Vegas”. Zombie-zombie dikarantina di dalam kota yang ditutup rapat-rapat. Terputus dari dunia luar.

Ketika Scott Ward dan kelompoknya mendapat misi untuk mengambil dua ratus juta dolar uang yang tersimpan di dalam brankas salah satu kasino, mau tak mau mereka harus melintasi kota undead tersebut. Dan saat itulah geng orang-orang jalanan ini mengetahui bahwa musuh yang mereka hadapi di sana bukanlah sesepele mayat hidup tak-berotak. Yang tinggal di dalam sana ternyata bukanlah kawanan zombie biasa. Melainkan kelompok zombie-zombie pintar, yang dipimpin oleh raja dan ratu zombie yang bisa berpikir sendiri. Mereka menduduki kota. Las Vegas telah berubah menjadi kerajaan zombie!

Di Las Vegas semuanya kasino. Gak ada yang dono ataupun indro.

 

Para zombie itu memang jadi hal paling menarik yang ditawarkan oleh film. Basically ada tiga jenis zombie yang dimunculkan di sini. Ada zombie pelan dan dungu, seperti yang sudah umum kita lihat. Lalu ada zombie alpha; zombie yang gerakannya sangat cepat dan cukup cerdas untuk mengelak dari peluru. Dan terakhir, zombie pemimpin mereka, The Original, tak-kurang seperti makhluk berkecerdasan dan kekuatan super. Dia mengendalikan zombie-zombie yang lain seperti bos memerintah anak buah. Hierarki zombie ini menciptakan lapisan intensitas pada cerita. Karena selain difungsikan sebagai tantangan untuk para karakter manusia, zombie-zombie ini juga jadi sarana bagi sutradara Zack Snyder mencuatkan kreativitas khasnya. Tidak setiap hari kita melihat zombie berjubah dan berhelm menunggangi kuda zombie – niruin dewa Zeus, kan. Dan ya, zombie harimau membuat film ini berada dalam level kekerenan yang baru!

Snyder bener-bener pol-polan mengarahkan cerita untuk mengajak kita bersenang-senang dengan tembak-menembak zombie. Setiap headshot ke kepala berotak busuk tersebut dipastikannya terekam dengan penuh gaya. Kita bisa duduk santai menikmati setiap adegan laga yang disuguhkan. Pertemuan geng manusia dengan kawanan zombie dibuat berbeda setiap kalinya. Ada yang berupa mereka harus berjalan pelan-pelan supaya tidak membangunkan zombie yang sedang hibernasi. Di lain waktu, mereka benar-benar harus tunggang langgang sambil berlari menembaki zombie. Bahkan ada adegan ketika para manusia memanipulasi zombie untuk berjalan menyusuri jebakan tersembunyi. I love those kind of interactions. Rasanya nonton ini seperti kembali nonton film-film zombie jaman dulu yang pure seru-seruan, gak ada agenda. 

Jikapun kerajaan zombie itu dimaksudkan sebagai cerminan society masa kini, Snyder tidak pernah mencuatkan hal tersebut. Karena cerita film ini dibuat sangat sederhana sekali. Ceritanya malah cukup mirip dengan Peninsula (sekuel Train to Busan yang tayang 2020 lalu). Alih-alih tentang outbreak, film ini melompat dan mengambil masa ketika Las Vegas sudah jadi kota mati, dan sekelompok orang ditugaskan untuk mengambil ‘harta karun’ di dalam kota tersebut. This is lowkey a heist movie, with zombies. Zombie pintar di film ini adalah pengganti kelompok ala Mad Max di Peninsula. Protagonisnya juga mirip. Peninsula punya protagonis yang merasa bersalah telah membiarkan kerabatnya dimakan zombie, maka Army of the Dead ini punya protagonis yang dihantui oleh tindakannya yang terpaksa membunuh istri sendiri sebelum ibu dari putrinya tersebut berubah menjadi mayat haus darah.

What happens in Vegas stays in Vegas. What happens in the past stays in the past. Karena pada akhirnya, apapun yang telah terjadi, apapun yang telah dilakukan – entah itu keberhasilan atau kegagalan – tidak akan ada orang yang akan benar-benar mengerti kecuali diri sendiri. Kita sendirilah yang harus deal with it. Seberapa jauhpun kita lari, bagian diri kita yang ada di situ akan tetap di situ, sampai kita menyelesaikannya.

 

Personally, aku lebih suka cerita outbreak zombie ketimbang action heist yang zombienya seringkali hanya diposisikan sebagai obstacle. Film Army of the Dead ini menceritakan kejadian awal Las Vegas terkena wabah zombie lewat montase sebagai opening credit. And it was a blast! Montase tersebut melimpah ruah oleh gaya Snyder – aksi dan musik dan kamera work yang lain dari yang lain – dan benar-benar sukses memperlihatkan zombie outbreak mengerikan. Bahkan ada cerita-mini tentang ibu yang harus berjuang menyelamatkan anaknya tapi gagal dan mereka berdua mati bersama zombie-zombie di sela-sela memperkenalkan tiga tokoh sentral sebenarnya dari cerita film ini. Opening kreditnya itu bisa banget dijadiin satu episode film-panjang sendiri. And I must say, aku merasa jauh lebih peduli dan tertarik sama cerita ibu pejuang di situ dibandingkan dengan karakter-karakter yang ada pada kelompok Scott sebagai main story film ini.

Bukannya apa-apa, tapi karakter manusia di film ini tipis sekali. Yang paling mendingan memang si Scott. Dia bilang dia mau nerima misi karena duit, tapi sebenarnya dia juga pengen banget ketemu lagi sama putrinya yang jadi relawan di sekitar perbatasan kota Las Vegas. Dave Bautista menggunakan perannya di sini sebagai pintu kesempatan untuk memperluas range aktingnya. Kita bisa lihat dia berusaha untuk hit adegan-adegan percakapan yang emosional. Tapi dengan stake yang diberikan kepada karakternya ini, kita tidak benar-benar bisa merasa peduli kepadanya. Yang grounded dan emosional terletak pada hubungannya dengan putrinya, yang sayangnya Kate, putri semata wayangnya itu ditulis sebagai karakter annoying karena begitu keras kepala. Selebihnya, kelompok mereka terdiri dari orang-orang yang hanya mau duit juga. Ada youtuber yang diajak ikut karena video dirinya menembak jitu zombie-zombie viral. Ada pembuka brankas yang cupu, tapi dibikin sok melawak oleh naskah sehingga malah jadi creepy. Ada juga beberapa relationship yang tau-tau muncul, dan disetop begitu saja. Film sepertinya hanya menggali mereka sesaat sebelum mereka dibuat mati, as a cheap shot untuk memancing perasaan sedih kita. Padahal sebenarnya ya memang orang-orang ini ada di sana untuk jadi makanan zombie. The more the merrier.

Walaupun di tengah-tengah, film berusaha menaikkan suspens dengan mengeset batas waktu yang semakin ngepress bagi para karakter – jika mereka telat, mereka mati, hancur bersama Las Vegas – tetapi tetap saja susah bagi kita untuk merasakan simpati. Kita tentunya sukar untuk benar-benar ingin mereka sukses jika kegagalan mereka hanya berarti mereka gak dapat duit jutaan yang sebenarnya tidak mereka perlukan (they already have a job). Satu-satunya yang punya stake yang bisa kita pedulikan adalah seorang perempuan beranak dua yang disandera zombie. Namun, karakter teman putri Scott ini ya hanya sebagai sandera, kepentingan dirinya dan keluarganya tidak benar-benar dibangun.

Ditembak termometer jadi elemen horor yang relevan

 

Tentu, film zombie boleh saja hanya have fun dengan karakter yang tipis. Mereka bisa berbicara lewat aksi saja jika memang budget atau waktu yang dimiliki terbatas. Inilah yang disayangkan. Army of the Dead terlihat jelas punya dana yang enggak pas-pasan. Durasinya pun lebih panjang dari yang sebenarnya dibutuhkan oleh cerita. See, there lies the problem. Ketika Snyder merilis Justice League versi dirinya, kita bisa maklum durasi film tersebut mencapai empat jam. Karena kita paham ceritanya butuh ruang yang banyak supaya masing-masing karakter superhero dapat termuat dengan memadai. Kita malah sudah melihat bagaimana cerita tersebut tidak bisa bekerja jika hanya sekitar dua jam. Di film Army of the Dead ini kasusnya beda. Durasi nyaris dua setengah jam itu tidak terasa benar-benar diperlukan. Snyder toh tidak berniat mengembangkan karakter-karakter yang dimiliki. Begitupun soal aksi, yang ternyata tidak selalu terjadi di layar. Snyder di sini tampak memakai durasi bercerita yang panjang, bukan karena dia butuh, tapi hanya karena dia bisa.

Padahal kita bisa rasakan sendiri saat menonton, betapa tidak efektifnya tempo dan ritme adegan per adegan yang kita saksikan. Banyak bagian yang tampak tidak penting-penting, yang jika dibuang pun tidak mengganggu cerita. Misalnya soal teman salah satu anggota kelompok yang diajak tapi kemudian pulang lagi karena takut sama zombie. Apa pentingnya adegan tersebut sampai harus masuk, kan. Karakter yang pulang tadi itu bahkan tidak benar-benar dijumpai lagi hingga akhir cerita. Actually, sepanjang durasi film akan banyak melakukan hal seperti demikian. Seolah ngebuild up sesuatu dari interaksi karakter, tapi ternyata tidak ada pay off sama sekali. Semua berjalan sesuai dengan blueprint mengenai tipikal karakter manusia film zombie yang sudah kita hapal di luar kepala.

Hal terakhir yang juga menggangguku adalah soal treatment gambar yang dilakukan oleh kamera Snyder. Ini lebih ke soal selera sih kayaknya, karena mungkin diniatkan untuk estetik. Snyder merekam gambar yang dengan sengaja digeser dari fokusnya. I mean, hampir seluruh frame itu gambarnya hanya fokus di sekitar tengah layar, sementara sekitarannya buram. Menonton film ini aku sambil mengerjap-ngerjap. Kupikir minus mataku sudah nambah dan kacamataku sudah gak cocok lagi. Karena mirip seperti gambar film inilah penglihatanku kalo gak pake kacamata. I would squint my eyes so hard sehingga nanti bagian tengah yang sedang kupandang jadi jelas. Beberapa penonton enggak akan masalah sama ini, karena hey, it’s Snyder. Gaya-gaya seperti itu cocok dengan konteks siapa dirinya dan bagaimana ciri khas karya-karyanya. Lagipula mungkin memang benar kata Hideo Kojima bahwa Snyder sedang mengubah kepala kita menjadi zombie, dan itu dimulai Snyder dari penglihatan kita.

 

 

Enggak setiap hari kita dapat film zombie yang sangat stylish. Penuh aksi kejar-kejaran dan tembak-tembakan yang seru. Walaupun dari segi cerita film ini enggak menawarkan apa-apa (yang baru), tapi dari segi konsep dan world-building, film ini sukses bikin kita tertarik dengan experience baru yakni zombie yang superkuat dan bisa berpikir seperti manusia. Malahan memang film ini tampak sekalian ngebangun sekuel dan ngetease kita dengan dunia dan lore yang lebih luas lagi untuk ke depannya. Aku enjoy sekali nonton ini, terutama di kredit pembukanya. Dan aku tetap enjoy sampai akhir padahal ada banyak elemen yang dimiliki film yang membuatku enggak sreg. Semua yang terlalu standar di sini membuat kita teralihkan dari thrill yang ditawarkan film ini. Film ini sendirinya persis seperti kota Las Vegas. Penuh dosa, tapi aku enggak akan mikir dua kali untuk mengunjunginya kembali.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for ARMY OF THE DEAD.

 

 

That’s all we have for now.

Kalian yang sudah sering nonton zombie pasti kenal sama tipe-tipe karakter yang sering muncul. Menurut kalian kenapa film-film zombie selalu berisi karakter-karakter tipikal semacam itu? Jika kalian ada di dunia film zombie, kira-kira kalian masuk tipe karakter yang mana?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Comments

  1. arya says:

    Tampangnya kurang cupu soalnya hahaha, malah kayak pura-pura bego si brankas itu
    Ooo yang pas si atta halilintar kesruduk zombie ampe duitnya berhamburan yaaa… Batista lari-lari di atas meja kasino sambil nembakin zombie udah kayak main video game wkwkwk

  2. arya says:

    Yea, they are both somekind of fans service movies that sacrifices greater goods haha.. Army untuk penggemar Snyder (and zombie), Tersanjung untuk penggemar sinetron tersanjung xD

Leave a Reply to AnnaCancel reply