“A moment of hesitation may cause you a lifetime of regrets.”
Cukup satu saja – cukup ada satu orang yang terinfeksi di antara puluhan bahkan ratusan yang sehat – untuk menjangkiti satu kereta, atau satu kapal, atau satu bioskop (bukan mau nakutin loh yaa), bahkan membuat satu negara menjadi republik perserikatan zombie. Memang sebegitu mengerikannyalah kondisi ketika kita memerangi sesuatu yang menular. Dalam dunia Train to Busan (2016), sesuatu itu adalah virus zombie. Menyebar hingga ke film Peninsula ini; yang meskipun bukan sekuel-langsung, tapi merupakan cerita yang bertempat di semesta yang sama. Dalam kurun empat tahun, Korea Selatan sudah completely abandoned, dikarantina oleh dunia, karena gak ada yang mau repot-repot berurusan dengan zombie. Tertular di film ini ya berarti ikutan berubah menjadi zombie. Nasib yang semua orang setujui sebagai lebih buruk dari mati.
Konteks dari film garapan Sang-ho Yeon ini sungguhlah relevan dengan keadaan kita yang sedang mengurung diri sebab wabah Covid-19. Selama enam bulan terakhir kita sudah sukses dibuat was-was. Ada yang bersin di tempat umum, pasti langsung disambut pandangan mendelik. Menjaga jarak sudah jadi keharusan. Jangankan orang lain, idung sendiri tersumbat sedikit aja sudah cukup untuk membuat kita pengen membelah diri, supaya bisa jauh-jauh dari diri sendiri. Apakah ketakutan seperti demikian itu wajar atau hanya karena pengaruh oleh media yang membesar-besarkan; itu lain soal. Yang jelas saking takutnya tertular corona, pemberitaan soal warga yang menolak jenazah pasien dimakamkan di daerahnya marak kita dengar. Bukan hanya pasien, keluarga pasien, bahkan mantan-pasien yang udah mati, dijauhi. Dokter-dokter dan keluarga mereka juga. Jika tidak sedang mengenakan masker atau sekalian pakaian kesehatan resmi, sebagian orang masih memilih untuk menghindari kontak dengan orang lain, meskipun orang lain tersebut membutuhkan pertolongan.
Peninsula agaknya memotret itu ketika memperlihatkan tokoh utama cerita, Kapten Jung Seok, menolak memberhentikan mobil untuk seorang wanita yang meminta tolong. Di awal cerita Peninsula, Jung Seok sedang membawa keluarga adiknya ke kapal yang akan berangkat ke Hong Kong. Meninggalkan negara mereka yang chaos oleh zombie outbreak. Sang wanita ingin Jung Seok membawa serta anak perempuan yang sedang ia gendong. Permohonan wanita tersebut tidak dikabulkan oleh Jung Seok yang ragu untuk menolong. Ragu apakah itu adalah yang benar. Ragu apakah si wanita dan anaknya tidak tertular zombie. Momen awal ini akan menjadi signifikan nantinya di pertengahan film. Keraguan Jung Seok untuk menolong karena khawatir akan keselamatan diri/golongannya sendiri dijadikan cerita sebagai flawed dari karakter, sekaligus jadi tema atau gagasan cerita. Karena bukan sekali ini Jung Seok ragu. Ketika nanti kapal mereka jadi seperti ekivalen kereta pada film pertama, Jung Seok bahkan gagal menyelamatkan adiknya sendiri, karena ia ragu.
‘Flaw’ Jung Seok berubah menjadi ‘wound’ seiring dengan berkembangnya kejadian -dan oh boy, betapa Peninsula dengan cepat menjadi jauh lebih besar dan luas daripada Train to Busan. Arc Jung Seok menarik dan menyentuh hati. Akhir kejadian di kapal – difungsikan tak ubahnya bagai prolog – nyatanya memang sarat akan momen emosional yang berakar dari kemanusiaan. Di situ kita melihat seorang ibu yang rela menemani anaknya yang sedang kesakitan mengalami transformasi menjadi zombie. Jung Seok gagal menyelamatkan nyawa. Hubungannya dengan ipar lantas rusak di sini. Peristiwa ini mengubah Jung Seok. Kali berikutnya kita melihat si kapten, dia menjadi tak lebih dari pria jalanan. Film meloncati periode empat tahun, dan mempersembahkan lingkungan dan tantangan baru buat Jung Seok dan iparnya dan dua lagi penyintas dari Korea. Mereka dibayar untuk kembali ke kota utara Peninsula untuk mencari truk bermuatan uang. I got excited at this point. Kupikir film ini akan jadi mirip dengan salah satu favoritku tahun ini – film Da 5 Bloods yang juga bercerita kurang lebih tentang veteran trauma yang harus kembali ke daerah konflik untuk mencari harta. Hanya saja di Peninsula ini ceritanya berbonus zombie.
Lebih baik menyesal melakukan daripada tidak-melakukan. Karena sedetik saja momen keraguan yang lantas membawa kita ke perasaan bersalah, maka perasaan bersalah itu akan kita rasakan seumur hidup. Film Peninsula bisa kita jadikan pengingat untuk mengenyahkan keraguan yang mungkin hadir saat kita ingin menolong orang.
Aku gak tau apa pembuat film ini ragu seperti Jung Seok atau mereka hanya salah kaprah soal mengekspansi film melebihi film-pertamanya, yang jelas ternyata kemudian cerita berubah kembali dari potensi petualangan survival di ranah yang dikuasai zombie menjadi… drum roll.. kehidupan geng penyintas di dunia post-apocalypse ala Mad Max!
Eits, para penggemar Mad Max jangan senang dulu. Meskipun memang ada sensasi menggelinjang yang terasa di pertengahan film saat kita menyadari kemiripan yang boleh jadi adalah terinspirasi dari Mad Max – khususnya The Road Warrior (1981) dan Beyond Thunderdome (1985) – I mean, zombies certainly great addition to the Mad Max story, tapi ketika film ini mencoba untuk meniru aksi kejar-kejaran di jalanan dengan mobil-mobil kustom itu, Peninsula ini tak lebih gede dari satu sekrup di mobil Furiosa di Fury Road (2015). Karena Peninsula begitu bergantung kepada CGI. Aksinya gak pernah terasa menegangkan karena semua hal di sana – apalagi zombie-zombienya – selalu mengingatkan kita bahwa yang kita lihat adalah efek yang tak meyakinkan. Peduli apa kita sama zombie-zombie itu, gimana bisa takut, jika film memposisikan mereka sebagai bagian dari latar belakang yang dari wujudnya saja sudah tidak mencengkeram, karena keliatan banget palsu. Namun begitu, mengatakan film ini memang memusatkan kepada tokoh manusia – dengan kilahan ingin menunjukkan bahwa manusia lebih seram daripada zombie – juga tidak bisa mengangkat film ini. Karena selain tokoh utama, tokoh manusia di film ini juga pengkarakterannya sensasional sekali. Tidak ada kedalaman yang menarik pada tokoh-tokoh pendukung. Babak dua film ini praktisnya habis oleh eksposisi (bagian Jung Seok ketemu keluarga survivor) yang diselingi oleh bagian Thunderdome zombie (sesuatu yang sudah pernah kita lihat, dan dilakukan dengan tak lebih baik daripada itu).
Sutradara Sang-ho Yeon sepertinya salah menafsirkan atau katakanlah, tidak memahami, apa yang membuat Train to Busan begitu populer. It was the depth of that various characters; mulai dari si bapak yang istrinya hamil hingga ke antagonisnya yang ngeselin itu. Dalam Train to Busan semua kematian itu terasa memiliki arti, setiap pengorbanan punya ‘cerita’ dan benar-benar terasa. Belum lagi hubungan ayah dan anak yang menjadi duo protagonis utama. Peninsula punya karakter-karakter yang kita bisa melihat terjalin oleh garis hubungan yang menarik, tapi film lebih fokus kepada aksi dan para zombie. Kita gak mau lebih banyak zombie jika keberadaan mereka tidak benar-benar membawa arti kepada perjuangan tokoh manusia. Kelemahan Train to Busan yang aku lihat adalah bagian aksinya yang sedikit terlalu sering meminta kita untuk nge-suspend our disbelief. Sayangnya, pada film kedua yang berskala lebih gede dan lebih jor-joran aksi, kelemahan tersebut ikut tercuatkan. Kematian dan pengorbanan pada film ini tak berarti apa-apa karena karakternya tak pernah ‘menggigit’ kita dengan dalam.
Pembuatnya seperti menyangka karakter anak-lah yang membuat Train to Busan populer. Sehingga yang kita dapatkan di sini adalah bukan satu, melainkan dua tokoh anak. Yang dua-duanya keren. Jagoan kebut-kebutan mobil. Dan yang satunya lagi jago main mobil remote, dia mendistraksi rombongan zombie yang buta itu dengan mainan remote control berlampu. It would be real cool kalo memang kedua anak itu diposisikan sebagai tokoh utama cerita – mungkin for some reason franchise Busan ini diarahkan ke anak-anak dan zombie – hanya saja di dunia cerita ini kedua anak itu ujung-ujungnya menjadi ‘damsel in distress’. Ini masih dunia dewasa, dan mereka hanyalah device ‘sesuatu-yang-harus-diselamatkan’ oleh tokoh utama. Paling tidak seharusnya interaksi atau hubungan antara Jung Seok dengan anak-anak ini dibuat lebih banyak, akan tetapi dengan pesan atau gagasan yang diniatkan oleh film ini, memang tidak ada tempat untuk elemen tersebut benar-benar berkembang. Cerita pun jadi berkurang keseruannya karena gak bisa mengambil resiko. Sebab film butuh untuk memperlihatkan Jung Seok kini tidak ragu lagi untuk menyelamatkan seseorang yang berada dalam kondisi nyaris-mustahil untuk diselamatkan.
It’s now more action than horror, masalah klasik saat sebuah film ingin menjadi lebih besar, lebih luas, dan lebih seru dari film pertamanya, dapat kita lihat dalam film ini. Being bigger enggak lantas membuatnya menjadi better. Menjadi berbeda dan menaikkan ‘taruhan’ di sekuel adalah tantangan yang harus dijawab, namun melakukannya tidak lantas membuat film jadi bagus. Meskipun masih punya konflik karakter dan masalah kemanusiaan yang emosional, kesalahan terbesar film ini terletak dalam hal menangkap apa yang membuat film pertamanya konek dan diterima oleh banyak penonton. Film ini justru memperbanyak aksi-aksi gak masuk akal, yang dieksekusi lewat efek-efek yang keliatan bo’ongnya pula! Dia tak bisa tampil seunik pendahulunya, karena banyak meniru aspek dari film-film lain. Kalo pengen lanjut sebagai franchise, maka film ini harus bisa segera kembali ke relnya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for PENINSULA.
Dalam kurun empat tahun saja, Korea Selatan di film ini berubah menjadi seperti dunia post-apocalyptic yang dikendalikan oleh geng jahat. Setelah enam bulan hidup new-normal bersama Corona dan menyaksikan seliweran berita dan keributan sehubungan dengannya, mungkinkah dalam empat tahun kita berubah seperti dunia Peninsula? Menurut kalian seberapa lama waktu yang diperlukan untuk sebuah lingkungan sosial berubah menjadi seperti lingkungan geng seperti Peninsula ataupun Mad Max?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Dan aku masih bingung setengah mati knp film se ngaco ini bisa masuk official selection film festival sekelas Cannes!!??
Pasti ada duit yg terlibat disana, haha, demi kepentingan promosi film ini mungkin
hahaha pasti duit promonya kenceng sih, lagian pemerintah sono itu dukung banget industri hiburan mereka, gak kayak di sini xD
Aku bener2 kecewa sama filmnya, film digarap oleh sutradara yang sama dan budget lebih besar kenapa bisa jadi sesampah ini. 4 tahun menanti-nanti film yang menjadi sekuel film zombie korea terbaik ekspetasiku hancur dengan kemunculan 2 bocil kebut-kebutan bawa mobil yang sama sekali gak masuk akal dengan akting santainya yang bikin kelihatan semakin jijik untuk dilihat, CGI yang keliatan banget boongnya dan akting akting cringe yang bikin bulu merinding. Mungkin terkesan lebay, tapi gimana lagi udah terlanjur kecewa
For me action 7/10, story 3/10, horror 2/10
Si bocil latihan mobilnya di mana ya? apa gak kedengeran ama zombie-zombie haha
Action 7, Story 3, Horor 2, kalo dijumlah 12 lalu dirata2in (dibagi 3) jadinya 4. Samalah berarti nilai kita XD