“Withered before bloom”
“Kamu mau jadi apa?” adalah pertanyaan tersulit yang bisa ditanyakan atau pernah hinggap ke benak remaja enam-belas tahun. Lulus sekolah saja belum, tapi dianggap sudah harus bisa menentukan jalan hidup sendiri. Di umur segitu aku bahkan bingung mau masuk IPA atau IPS. Kuliah di mana nanti pun aku gak ada bayangan sama sekali. Di situlah aku relate dengan yang dialami Yuni. Dan aku sadar, permasalahan yang kualami dulu sebagai cowok remaja itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Yuni di film ini. Pertanyaan “Kamu mau jadi apa?” tersebut beribu kali lebih mendesak ditodongkan ke pikiran Yuni. Bagi cewek-cewek remaja seperti dirinya, yang tinggal di kampung/pinggiran, dengan sosial yang masih erat tradisi patriarki, ditanyain pertanyaan tadi itu saja sebenarnya sudah luar biasa. Sebab pertanyaan itu sebenarnya cuma basa-basi. Semua orang di sana tahu: cewek itu ya urusannya di sumur, dapur, ama kasur. Ngapain sekolah tinggi-tinggi. Kalo udah dilamar, ya tunggu apalagi. Pamali menolak rejeki.
Pamali.
Satu kata itu bakal menghantui Yuni sepanjang durasi. Setiap pilihan Yuni akan selalu dikaitkan dengan pamali. Oh aku inginnya begini, tapi nanti pamali. Semua orang di sekitar Yuni percaya pada pamali. Haruskah Yuni percaya juga. Atau haruskah Yuni memperjuangkan pilihannya sendiri, dengan konsekuensi dia benar-benar sendiri. Jika Lady Di dalam Spencer (2021) dipenjara dalam sangkar emas; istana dengan segala tata dan aturannya, maka Yuni dalam film yang terinspirasi dari puisi Hujan Bulan Juni ini terkekang dalam norma masyarakat patriarki atas nama ekonomi, yang semua orang tahu itu tidak indah, tapi mereka bertindak seolah tidak ada pilihan.
Padahal Yuni (kenalin, Arawinda Kirana bintang masa depan!) di tahun terakhir SMA-nya itu, mau fokus untuk masuk ke perguruan tinggi. Dia mengincar sebuah program beasiswa. Syaratnya; pertama nilai harus bagus. Itu gampang, dia tinggal nyelesaikan tugas ulasan puisi dari guru idolanya, Pak Damar (Dimas Aditya jadi pengajar yang cerdas dan simpatik). Kedua, tidak menikah. Syarat keduanya inilah yang susah-susah gampang. Yuni sendiri sebenarnya kepikiran pacaran aja enggak. Ada sih yang naksir, Yoga (pesona Kevin Ardilova keluar sebagai cowok pemalu), tapi Yuni lebih milih makan cilok. Yuni memang masih seperti anak remaja umumnya. Suka ngumpul-ngumpul bercanda sama teman segeng. Ngoleksi benda-benda berwarna ungu. Tapi kemudian seorang pria yang barely ia kenal, datang melamar. Yuni lantas jadi perbincangan di desa karena menolak lamaran itu. Membuat Yuni meragukan keputusannya. Apalagi kemudian lamaran-lamaran lain – dengan calon yang semakin gak ideal secara umur – terus berdatangan. Salah satunya terang-terangan membeli keperawanan Yuni.
Sutradara Kamila Andini menyiapkan film Yuni dalam dua versi berbeda. Versi untuk tayang di festival dan versi untuk tayang di bioskop. Secara esensi kedua versi ini masih sama. Tadi aku sempat menyebut Spencer, dan ya, sebagai cerita yang sama-sama tentang perempuan yang terkukung, dua versi Yuni punya esensi yang lebih baik ketimbang Spencer. Yuni yang memang anak remaja tidak pernah ditampilkan cengeng, atau merengek, atau sebatas pengen melakukan yang ia mau. Penggalian Yuni terhadap kungkungannya dilakukan dengan pendekatan yang lebih dewasa. Pamali dan patriariki itu mengurung tidak pernah diantagoniskan. Bahkan para lelaki yang jadi personifikasi patriarki tidak mutlak digambarkan sebagai lawan, atau sebagai pelaku. Yang tampak jahat saja, ternyata sendirinya adalah korban dari ekspresi feminis yang ditekan. Yuni terlihat mencoba memahami pamali dan patriarki, mencoba menelisik apa yang terjadi kalo dia ‘menentangnya’, sementara dia juga terus melihat sekitar; ke orang-orang yang lebih dulu terjerat. Sehingga cerita Yuni jadi lebih tragis dan membekas.
Untuk menambah layer karakter Yuni yang diceritakan mandiri, pintar, dan lebih berani dari teman-temannya, film memberinya hobi. Yang kerap kelewat aneh. Yaitu suka dengan segala hal berwarna ungu. Semua yang ungu dikoleksi sama dia. Aneh, karena Yuni gak segan nyolong benda ungu milik orang lain (dan lantas berkelahi kalo ketahuan) Detil kecil seperti inilah yang membuat film menjadi semakin hidup. Bukan exactly soal warna ungunya, tapi hobi Yuni mengoleksi benda ungu itu seperti mencerminkan keinginan besar Yuni untuk stay true ke identitasnya, ke dirinya sendiri. Bahwa dia tak ragu untuk melakukan apapun untuk membuat dirinya komplit. Kita melihat ini terwujud ketika Yuni datang ke klub, ataupun datang sendiri ke rumah bapak yang melamarnya, dan menolak lamaran tersebut, setelah sebelumnya melakukan sesuatu yang membuat dirinya punya alasan untuk menolak. Barulah nanti ketika diledek warna janda, Yuni ngamuk. Karena itu seperti mengonfirmasi ketakutannya telah menolak lamaran.
Sepertinya memang remaja dituntut terlalu banyak. Mereka yang sedang dalam masa perkembangan, diharapkan untuk tumbuh, tapi seringkali tidak diberikan ruang tumbuh atau, katakanlah pupuk, yang sesuai. Yuni dan teman-teman misalnya, mereka diharapkan untuk kawin setelah sekolah. Itu saja sudah aneh, tapi bahkan lebih aneh lagi saat mereka itu enggak dikasih tahu apa yang dihadapi saat menikah nanti. Mereka tidak diberikan pendidikan seks, tidak diberikan arahan berumah tangga. Melainkan hanya disuruh patuh sama suami karena yang diajarkan kepada mereka selalu soal perempuan tidak bisa sendirian tanpa laki-laki. Makanya remaja-remaja seperti Yuni tragis seperti layu duluan sebelum berkembang.
Dari sekolah yang mau ngadain tes keperawanan hingga ke nenek yang menasehati dengan “pernikahan itu rezeki”, film ini bercerita dengan sederhana. Nuansa kesehariannya terasa. Yuni luar biasa di sini. Aku malah pernah dengar saat menang di TIFF 2021 lalu, orang luar bengong melihat fenomena anak muslim yang hanya pakai jilbab di sekolah saja; padahal itu sesuatu yang normal tampak di keseharian kita. Jadi itu menunjukkan betapa film ini kuat di karakter. Otentik dengan tampil sederhana.
Tidak melulu karakter-karakter menceritakan dengan nada depresif, melainkan lebih seperti bercerita sehari-hari. Seperti misalnya karakter yang diperankan Asmara Abigail. Dia jadi perias di salon, karakter yang wild, cheerful, “preedom abis” tapi punya masa lalu nikah muda dan dicampakkan suami juga. Ketika bercerita pengalaman traumanya itu, film tidak membuatnya jadi kisah overdramatis. Untuk menguatkan karakter, dan menekankan bahwa kasus seperti ini ‘terpaksa’ terus teroverlook karena dianggap normal, si karakter itu ya bicara dengan nada senormal dirinya bicara. Yuni dan kitalah yang dibiarkan untuk meresapi kejadian tersebut. Di versi festival, adegan berceritanya itu malah lebih dikontraskan lagi, berupa kita hanya mendengar suara si karakter bercerita, tapi gambarnya adalah adegan Yuni dan dirinya lagi foto-foto ceria.
Versi bioskop memang memuat lebih banyak eksplorasi karakter pendukung, sehingga naturally sedikit lebih ‘berwarna’ ketimbang versi festival yang lebih memfokuskan kepada Yuni itu sendiri. Karakter-karakter dalam Yuni serta permasalahan mereka yang masing-masing mewakilkan contoh kasus ‘perempuan terikat patriarki’ akan sangat bisa kita pedulikan, akan sangat mudah beresonansi dengan kita, sehingga wajar versi bioskop akan lebih digemari oleh penonton.
Tapi, kalo memang mau dibandingkan……
Bagiku film Yuni versi festival tampil lebih baik dibandingkan dengan Yuni versi bioskop.
Perbedaannya yang kerasa itu bukan exactly pada ending atau tone yang lebih ringan atau durasi yang lebih panjang. Melainkan bersumber pada strukturnya. Kedua versi film Yuni ini actually sudah banyak perbedaan dari cara suatu adegan ditampilkan (baik dari kamera ataupun editingnya) dan dari urutan adegan-adegannya sendiri. Versi bioskop memperlihatkan Yuni dapat tugas puisi duluan, sebelum dilamar untuk pertama kali. Sementara versi festival Yuni dilamar duluan. Kenapa urutan ini penting, karena membentuk bangunan cerita. Dengan menempatkannya duluan dalam sepuluh menit pertama, versi festival langsung jelas memperlihatkan itu sebagai inciting inciden. Bahwa ini adalah cerita gadis remaja yang pengen kuliah, tapi tiba-tiba dia dilamar. Struktur versi festival lebih fit secara universal sebagai cerita film. Ke belakangnya strukturnya jadi tetap jelas. Lamaran versi bioskop, sebaliknya, ada sebagai plot poin pertama. Setelah sekitar tigapuluh menit. Set upnya yang panjang, yang membahas banyak – hingga adegan Yuni nyanyi segala – membuat versi ini berjalan seperti, katakanlah aimlessly. Yuni yang diberi tugas puisi untuk naikin nilainya enggak benar-benar ngasih hook yang koheren dengan kungkungan yang disetup pada lingkungannya.
Versi bioskop benar-benar menjelaskan runut adegan. Padahal gak semuanya juga signifikan. Yuni kenalan dengan si pelamar pertama aja sebenarnya justru terasa mereduksi adegan lamaran itu sendiri. Karena yang versi festival terasa lebih kuat saat Yuni dilamar seseorang yang kita gak tahu. Menguatkan bagaimana perempuan bisa benar-benar dihadapkan pada hal yang tak bisa mereka kendalikan. Lagipula karakter si pelamar itu toh gak bakal dimunculin lagi, jadi ya buat apa juga dielaborate keberadaannya. Misalnya lagi soal teman sekelas Yuni yang udah punya anak, udah nikah, tapi semacam ditinggal oleh suami yang tak pernah lagi pulang ke rumah. Di versi bioskop di-elaborate hingga ada adegan Yuni dan teman-teman datang ke rumah melihat bayinya. Lalu Yuni melihat ternyata kakak-kakak perempuan si teman juga mengalami nasib serupa. Informasi yang redundan, terlebih karena nanti juga ada adegan Yuni ngobrol dengan si teman itu perihal hal yang bersangkutan. Versi festival hanya punya adegan ngobrol itu, dan dengan bijak meninggalkan adegan ke rumah. Sehingga penceritaan versi festival terasa lebih efisien dan efektif.
Semua kisah perempuan yang dimuat dalam versi bioskop itu penting. Menambah layer. Tapi tidak bisa hanya ditambahkan seperti demikian. Percakapan soal suara haram yang terselip, tanpa ada flow yang bener-bener natural, ya hanya jadi memolorkan strukturnya saja. Versi yang diniatkan untuk merunutkan ini akhirnya malah terasa lebih lompat-lompat dibandingkan dengan versi festival yang karakter-karakternya sering ditampilkan tanpa introduksi yang proper. Percakapan soal LGBT juga. Adegannya padahal bagus banget, tapi karena sedari awal Yuni gak pernah ada concern ke situ, jadi ya kayak tambalan aja. Di festival, musik dan LGBT hanya disinggung sekilas, tapi toh tidak mengurangi esensi yg dirasakan oleh Yuni. Yang pentingnya poinnya dapet, ada karakter LGBT, dan ada banyak kungkungan kepada perempuan.
Memang, yang versi festival bisa tampil sedikit lebih berat. Lebih nyuruh fokus dan mikir. Dan bisa juga terlalu depressing untuk penonton mainstream. Maka versi bioskop memang dirancang untuk soften the blow. Endingnya yang heartbreaking itu, gak boleh sedih-sedih amat, sehingga dibikinlah adegan ending yang sama sekali berbeda. Ending yang ada harapan dan kesan saling menguatkan. Tapi ya secara konteks cerita, aneh sih. Karena di versi bioskop yang banyak memperlihatkan kasus-kasus patriarki, Yuni ini mengerti perempuan-perempuan di sana struggle di hidup mereka masing-masing. Mereka berjuang hingga sekarang. Yuni malah memilih aksi, well, yang ia pilih. Kesannya di akhir itu kenapa dia malah seperti ‘menyerah’ di saat perempuan lain dia tahu masih berjuang. Apalagi setelah ada adegan perbincangan dengan ayahnya. Kalo yang versi festival kan, Yuni tahu bukan hanya dirinya yang terkukung, tapi dia gak tau tepatnya seperti apa. Maka keputusan Yuni dianggap sebagai pembebasan diri.
Maka, untuk pertama kalinya aku akan memberikan dua skor untuk satu film (eventho dengan dua versi editing ini mestinya film ini sudah dianggap dua film berbeda). Secara esensi, film ini memanglah termasuk salah satu yang paling penting yang udah diproduce oleh filmmaker tanah air. Digarap dengan berani, mengangkat bahasan yang mungkin bisa jadi kontroversi, tapi kupikir tidak akan karena film ini kekuatannya adalah di karakter. It won’t offend too much. Terasa sangat otentik sekaligus sangat nyeni. Respek juga sama karakter dan inspirasinya. Tapi kalo aku nonton yang versi bioskop duluan, versi yang lebih ramai dan menggapai lebih banyak lagi, aku akan bilang versi itu cukup overkill, agak redundan, dan perlu untuk ditrim sehingga bisa lebih fokus ke Yuni. Karena pilihan Yunilah atas keadaannyalah yang lebih tragis ketimbang dia mendengarkan cerita tentang karakter lain. Dan actually itulah yang kurasakan pada versi festival. More intimate, more focus, more effective sebagai bangunan film.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for YUNI theatrical version, and 8.5 out of 10 gold stars for YUNI festival version
That’s all we have for now
Sudahkah kalian menonton dua versi Yuni? Versi mana yang lebih kalian suka, kenapa?
Share pendapat kalian in the comments yaa
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
How to see festival version?
Sayangnya sekarang belum bisa lagi. Bisa ditontonnya kemaren tayang di JAFF, dan beberapa bulan lalu waktu online di TIFF. Semoga Yuni festival cepat masuk OTT (apalagi kalo lolos 15 besar Oscar, amin!)
Jadi penasaran sama yang versi festival, krn menurutku yang versi bioskop juga bagus bgt. Ensemble cast yang padu, solid dan meyakinkan. Beberapa scene yang ngena , curhat yuni cs di rumput, dialog potong kuku sama bapaknya, interaksi dia sama teman2 sekolahnya, awkward adik kelasnya, suci, neneknya, semua menyumbangkan dialog2 dan adegan yang terasa biasa tp sebetulnya penting dan masih dianggap tabu untuk dibahas. Mungkin yang versi festival mirip film Kamila yang lain ya The Seen and Unseen yang puitis dan minim adegan. Penasaran.
Dari yang disebut itu, yang gak ada cuma adegan sama bapaknya. Adegan sama Suci ada, tapi beda treatment kayak yang udah aku sebut di ulasan. Yang festival lebih fokus ke Yuni sih. Yang bioskop kayak mau dibentuk seperti slice of life, cuma ya editing atau letakin adegan-adegan tambahannya itu yang aneh. Padahal sepuluh menit pertamanya dibikin kayak festival aja biar langsung to-the-point, setelah itu baru ditambah-tambah.
Selalu penasaran sama Yuni yg versi festival yg versi dirangkum 30 menit lebih pendek dan katanya endingnya beda. Well, kalau targetnya penonton Indonesia awam ya wajar kalau versi bioskop yg lebih komplit dan “keliatan” ini lebih digemari.
Iya, bioskop ini wajar lebih digemari karena lebih banyak momen-momen karakter, dengan permasalahan yang benar-benar orang lagi peduli. Like, orang-orang kan memang suka sama cerita-cerita sedih, lebih banyak lebih baik. Bandingannya dengan versi festival yang lebih personal ke Yuni. Yang lebih lama linger on wajah Yuni merenungi kejadian hehe
Kira-kira bakal review house of gucci gak bang?
Bakal sih, cuma gak tau kapan. Kalo besok itu jadwal tayang bioskopnya banyak (ada yang siang) aku bisa nonton dan review cepet. Tapi kalo jadwalnya dibantai Spiderman semua, aku nunggu tayang di platform aja haha
Wah ternyata ada dua versi. Baru tau, hehehe. Saya gk terllu expect banget sama film ini. Karena meskipun bagus saya gk akan munafik dgn bilang kalau Sekala Niskala adalah film yg bikin saya ngantuk. Jadi saya pasang ekspektasi yg “yaa paling bikin ngantuk lagi”. Prepare dgn tidur siang dulu, but Damn! film ini cukup meriah ternyata. Gk punya keluhan buat eksposisinya yaa meskipun bener agak bertele2 krn beberapa bahasan diualang2. Padahal udah kayak “aduh, film Feminist. Pasti karakter utamanya SJW, pasti semua karakter laki-nya Jahat, pasti ada yg lesbi”, tapi again, film ini mengejutkan saya lagi. jadi pengen nonton lagi yg versi Festival.
Iya kan, versi bioskop lebih ngalor ngidul lagi malah. Untungnya ya itu, karakternya menarik, jadi banyak yang bisa diikuti. Yang festival masih lebih enak sih, feministnya gak dicuatin, at least cuma , wah si sofi temennya cewek rambut cepak yang dikira laki-laki sama yuni, bisa jadi dia lesbi. Kalo versi bioskop, lebih dipastiin ke penonton lagi.
Bang ada jawaban gk knp settingnya musti di Banten. Apakah karena Bahasanya, dimana disana org2nya menggunakan dua bahasa daerah tapi bisa saling ngerti?
Bahasa atau dialek yang khas itu bisa jadi alasan utama, soalnya Kamila Andini memang suka bikin film yang bahasanya lokal kan. Sepertinya dia memang mau mengangkat ragam bahasa itu. Lalu diambil mungkin karena setting daerah pinggiran banyak pabrik dsb yang sesuai dengan yang mau diceritakan
Saya yg org Sunda jujur aja baru tau kalo Banten menggunakan bahasa Sunda “kasar” (tepok jidat denger Neneng yg org Garut ngomong “sia aing”) dan bahasa Jawa dialek yg asing menurut saya yg lumayan mengerti juga bahasa Jawa. Dan luar biasanya mereka bisa saling mengerti. Hebat sih jadi buka wawasan juga.
Hahaha iya, sebagai outsider aku nonton ini juga denger kayak ni bahasa baru yang kayak familiar, tapi baru xD
Lumayan tantangan pemainnya mainin dialek ini berarti ya
Bang, udah nonton Penyalin Cahaya belum? Saya kyknya cuma bisa nonton di Netflix sejak kabarnya tuh film gk bakal tayang di Bioskop. Padahal pengen banget bandingin. Secara FFI kemaren Its all about Yuni dan Penyalin Cahaya
Udaaah, reviewku versi non-spoiler sudah ada di website cinecrib https://cinecrib.com/2021/12/09/review-penyalin-cahaya-shame-on-us/
Ntar bakal review di sini juga kok, versi yang seperti biasa, pas udah tayang di Netflix taun depan 😀
Wah sayang banget kalau nggak tayang di bioskop.
Kalau misal Yuni versi festival yang didaftarin di FFI kemarin, apakah yang keluar sebagai pemenang bakal beda ? he..he…
Wah sulit juga mastiinnya hahaha.. Soalnya Penyalin Cahaya itu momennya pas banget sama kasus Permendikbud kemaren itu, di lingkungan kampus/pendidikan pula. Kalo para juri memang mengincar relevansi momen itu, Cahaya dan Yuni boleh jadi bakal tetap pada jatah masing-masing yang telah juri dan komite tentukan xD
Akhirnya bisa nonton Yuni versi festival (Nemu di situs streaming bajakan hihihi) dan kaget ternyata durasinya jadi sependek itu. While Yuni versi festival sangat fokus pada Yuni, versi bioskop ternyata sangat detail di beberapa hal seperti screen time karakter Suci, karakter2 yg impactful yg diperankan Ayu Lakshmi, Sekar Sari, dan Mian Tiara hingga pesan yg lebih luas menjadikan Yuni versi Bioskop favorit saya sih meskipun judul “Yuni” mungkin sudah tidak cocok lagi karena fokus film jadi terpecah dan tidak lagi lugas seperti versi Festival. Saya cukup akrab dgn Karya2 Kamila Andini. Karena saya menonton yg versi bioskop dulu saya sempat kaget, “kok bisa Kamila Andini bikin film semeriah ini, gk kayak biasanya.” Ternyata benar, ada dua versi. Dan memang yg versi festival itu Kamila Andini banget.
Wah, kira-kira itu yang bajak orang indo atau orang luar ya? agak ‘bangga’ juga sih kalo orang luar, berarti Yuni memang cukup bergaung, kan jarang-jarang film indonesia ada yang mau bajak.
Salut sih sama Kamila, bersedia filmnya dibikin dua versi gitu, kayaknya seru kan kalo setiap film festival /art punya versi bioskop masing-masing. Jadi filmnya bisa nyentuh lebih banyak lapisan
Yup bener banget. Saya pribadi jujur masih kerap merasa “bosan” tatkala menonton film2 prestisius atau awards type, apalagi yg slow Pace, but I keep watch it anyway karena tingkat kepentingannya. Jadi Ide Kamila ini brilian banget dan mungkin bisa ditiru sineas2 “idealis” lain supaya film mereka bisa menjangkau penonton yg lebih luas. Karena film Yuni versi bioskop bisa membuat saya terjaga hingga abis kreditnya malah, karena penyampaian yg lebih meriah ketimbang versi festivalnya.
Kebetulan Nemu, lupa situsnya. Tapi film Yuni di mention lho sama Cinefix-nya IGN di video mereka tentang top 10 movies of 2021
Bener, filmmaker juga harus sadar, sebagaimana mereka yang sulit atau bahkan gakmau mengubah preferensi karya, penonton juga gak segampang itu membengkokkan selera. Jadi mungkin jalan tengahnya kayak yang dilakukan Yuni, tak lupa peran PH juga kayaknya cukup gede untuk bisa seperti ini. PH juga harus punya faith kalo cerita idealis masih bisa dijual, tinggal ‘kompromi’nya saja
Wah keren memang Yuni
Tadi siang akhirnya selesai juga nonton Yuni. Nggak tau kenapa ya, aku kok berasa lama banget nonton film ini…he..he… Yup, mungkin maksudnya baik, berusaha tampil lengkap, biar lebih mudah dipahami kali ya. Cuma gitu, jadinya kemana2. Terus bagian ending, aku kok merasa lebih sreg, kalau diakhiri cuma sampek pas Yuni memilih pergi pakek baju pengantin ungu. Selesai. Dan ditutup pakek lagu Anggun. Segitu aja buat aku uda nyampek kok pesannya. Jadi nggak perlu ada adegan nyanyi2.
Bahkan aku sempet mikir, endingnya bakal mau dibikin kayak adegan dipertengahan, yang waktu Yuni melepas bajunya dan duduk seorang diri di pinggir laut.
Berasa bebas sih lihatnya.
Hahaha iya kan, terasa lama/panjang. Karena isinya banyak, tapi strukturnya gak dirancang seperti mereka merancang versi festival.. Ending nyanyi-nyanyi kayak mau supaya gak sedih-sedih amat tapi malah jadi bikin pesannya gak kuat kan ya. Penonton malah sibuk nyari apa artinya, ketimbang meresapi apa yang Yuni lakukan – mau itu interpretasi bunuh diri atau lari dari pesta, pokoknya intinya Yuni membebaskan dirinya aja.
Kalau tentang ending ini, kemarin di Twitter kan ada yg bilang kalau Yuni bunuh diri, aku yg ga nerima ending itu pas di bioskop kan kaget, lalu berniat rewatch lagi tadi siang buat memastikan. Tapi kemarin baru ikutan ngobrolin ttg Yuni di Twitter space, dan bener ending ceritanya cuma sampai Yuni kabur dan batal nikah dan adegan nyanyi di api unggun itu kalau mau ada pun bagusan disimpen bareng sama credit. Setelah dapet kepastian ending itu dari sutradaranya langsung, niat rewatch jadi batal, sebagai gantinya malah rewatch West Side Story yg semoga bisa direview juga di sini.
Iya, cerita Yuni sebenarnya berakhir di Yuni pergi dari kawinannya, ninggalin puisi untuk Damar dan Yoga.
‘Hiasan’ setelah itu yang beda kan, versi festival nunjukin Yuni ngapung di air dengan muka tertutup kain ungu (ini yang bikin orang bilang bunuh diri), versi bioskop nunjukin Yuni gitaran sama semua karakter cewek. Bener sih, mestinya hiasan ini bisa dijadiin visual pas credit aja apa gimana. Tapi ternyata ‘hiasan’ ini memang diniatkan untuk jadi pembeda dua versi, pembeda target penonton. Yang bioskop kayaknya mau ngirim penonton pulang dengan lebih optimis atau positif-lah. Jadi hiasan itu akhirnya dijadikan ending beneran. Dan ternyata memang di naskah asli yang ditulis, gitaran itu akhiran aslinya kan. Yang versi festival berarti sengaja naroh ‘hiasan’ itu di akhir supaya nada filmnya makin tragis.
Sebetulnya apa yang mau kukomen udah ada di review sih, cuma mau kutanya dan kupertegas lagi. Aku nonton film ini berharap cerita inspirasi ya seorang cewek yang berani melawan aturan hidup. Ya aku ga dapat sama sekali sih. Misal aturan pulang malam yang pamali, aku lihat Yuni pulang malam ke bar mabuk2an. Jadi kesanku dengan melanggar aturan itu Yuni jadi lebih buruk. Kubandingin dengan Yoga yang juga ke sana tapi tetap baik2 aja ga mabuk. Atau yang lebih parah Yuni dilamar sekaligus dibeli keperawanannya. Yuni menyelesaikan dengan menghilangkan keperawanannya jadi dia punya alasan nolak. Terakhir dia dilamar gurunya yang homo. Yuni akhirnya kulihat menerima dan siap nikah sebelum akhirnya pergi di hari H.
Kalau kupikir2 juga mungkin aku penonton mainstream ya, mengharapkan konflik. Yuni mabuk2an, kuharap ada konflik bahwa pulang malam memang jelek. Lalu Yuni menolak lamaran karena udah ga perawan bahkan pesan jangan dibocorin. Ya betul2 ga dibocorin, padahal kupikir betapa malunya kalau kakek2 itu terus dendam dan nyebarin. Ancaman terakhir sih dari si guru agak ada ya, karena nilainya kan jadi penentu beasiswa Yuni. Tapi ya seperti Mas Arya tulis juga, di awal pertanyaan Kamu maunya jadi apa, itu kan ga bisa dijawab. Jadi ya kayaknya beasiswa ini ga penting juga buat Yuni. Dan kayaknya ortu Yuni cukup suport apapun yang Yuni pilih, kenapa Yuni tetap nikah tapi akhirnya pergi juga.
Ya akhirnya aku sadar sih dan mengubah tujuanku nonton cari inspirasi. Kalau kubalik gimana kalau terjadi di dunia nyata ya sepertinya semua relate. Mungkin aku juga akan ambil keputusan yang sama. Sampai sekarang juga aku masih bingung kalau ditanya tujuan hidup. Jadi di endingnya aslinya Yuni bunuh diri ya Mas? Sebetulnya malah lebih tragis dan sedih lagi. Betul2 kalah sama aturan hidupnya 🙁
Nah iya adegan Yuni ‘memangkukan’ dirinya ke Yoga itu menurutku kurang banyak dibicarakan penonton sih. Padahal itu kayak desperate act dari dia kan. Dia tahu kakek itu menikahinya karena dia perawan, maka she acts on it. Menurutku malah Yuni di titik itu belum cinta sama Yoga, malah mungkin kasarnya kayak manfaatin cowok itu. How she lured Yoga ke rumah kosong dan semacamnya… Setelah dia curhat, dan Yoga take action barulah Yuni jadi cinta juga. Menurutku ini poin perlawanan yang juga menambah tragisnya kehidupan Yuni sebagai perempuan remaja. Karena setelah itu, dia juga berarti melanggar agama, bahkan sekolah karena sekolah udah rencanain mau tes keperawanan. Dalam artian, untuk membebaskan diri dari lamaran, Yuni malah memposisikan dirinya di masalah yang lain. Apalagi kemudian film membuat adegan ortunya pulang, berbarengan dengan audio perihal berita tes keperawanan gak jadi dilakukan; yang berarti ini fase melegakan bagi Yuni. Dan di versi festival, adegan itu kuat, perannya udah kayak fase false resolution. Yuni – yang selama ini gak ada tempat ngadu – ketemu ibu, tapi ternyata ibunya juga gak bisa bantu. Kalo di versi bioskop, bagian ini kurang karena Yuni sebelumnya udah sering diliatin curhat ke ibu lewat telepon. Elemen Yuni yang sendirian – yatim padahal punya orangtua – gak dapet di versi bioskop.
Keseluruhan film mestinya memang menunjukkan Yuni di posisi begini. “Mau bebasin diri, tapi kok aku ya kayak salah.”
Kayak yang mas bilang, dia mau coba bebas pulang malam, tapi akhirnya dia jatoh ke posisi masalah yang lain. Dan Yuni sadar itu. Dia sadar kelakuannya berdampak buruk. Yang bikin dia stress salah satunya kan ternyata pamali itu kayak bener. Dia nolak lamaran si mandor, eh berikutnya yang datang malah lamaran aki-aki. Bisa jadi dia gak nikah sama sekali (makanya pas temen sekelas bilang ungu warna janda, Yuni langsung meledak). Makanya juga, Yuni milih nikah sama Pak Damar. Dia takut gak nikah, takut pamali kejadian. Tapi kemudian dia pergi, ya karena dia gak mau jadi istri. Pelik sih.
Akhirannya sebenarnya ya dia pergi dari semuanya itu. Cuma editan dan ending festival (Yuni ngapung di air dengan muka tertutup kain ungu) yang niatnya menguatkan perasaan tragis membuat Yuni terlihat seperti bunuh diri.
Enggak rela sih endingnya. Pengen happy ending, kasihan Yuni. Gregetan juga. Kalau aku jadi neneknya, langsung kutolak itu lamaran si aki2 yang beli keperawanan. Pak Damar juga ihhh. Dari awal diidolain terakhirnya jadi antagonis. Udah homo malah berbalik menekan Yuni suruh kawin. Pas di tengah nonton sih kukira Yoga yang jadi pelamar ketiga 🙂
Tau tuh.. padahal dia guru, tahu situasi muridnya itu. Okelah buat bungkam Yuni, tapi gak harus langsung nikah toh. Lamaran aja dulu, beresin beasiswa dulu, baru kawinin. Padahal bisa jadi jalan keluar suka-sama suka kan. Yuni gak bakal diapa-apain sama Damar yang gak doyan cewek. Dia aman, gak bakal ada lagi yang lamar begitu orang-orang lain tahu udah ‘di-book’ sama Damar.
Pas pertama datang memang lamar dulu lho katanya nanti lulus baru nikah. Malah mau dibantu biar lulus katanya. Tapi iya ya kok terakhirnya nikah ga ada adegan lulusnya. Oh kalau di festival Pak Damar lamar duluan di adegan awal ya? Jadi langsung antagonis?
Enggak, si mandor itu yang pertama.
Berarti cuma omongan akal bulusnya aja memang ya hahaha
Untuk adegan lulus mungkin bisa diwakili oleh adegan pas pengumuman juara umum, dan menurut ku untuk ending sepertinya yuni bunuh diri, diperkuat dengan yoga membaca surat terakhir sambil bereaksi penuh penyesalan , IMO
Yup, endingnya memang paling klop dimaklumin sebagai bunuh diri. Tapi ‘bunuh diri’ yang triumphant, karena Yuni akhirnya memegang kendali atas hidupnya sendiri
Bukan orang yang pertama lamar mas. Maksudku pas ketahuan banci besoknya dia datang ke rumah yuni. Gertak yuni sebentar pas yuni bilamg ga akan cerita. Terus dia masuk melamar. Katanya dia paham waktunya ga tepat tapi dia akan nunggu sampai lulus dulu gitu.
Ooo, sama sih, Damar datang ke Yuni, trus bilang gak ada apa-apa kemaren, trus ternyata dia datang untuk melamar.
Lebih bagus Yuni atau Penyalin Cahaya, mas? Yang Penyalin Cahaya happy ending ga? Hehehe.
Penyalin Cahaya juga gak happy, tapi menguarkan optimisme.
Kalo mana yang lebih bagus… biar makin penasaran, aku cuma akan bilang, Cahaya ini mirip Parasite; ngepop gitu, tapi serius dalam menyampaikan pesan / menggambarkan keadaan relevan yang dikandungnya.
Buat ukuran mydirtsheet jauh juga ya perbandingan rating 6.5ama 8.5 itu. Aku sendiri baru nonton versi festival nya dan gak se cinta org2 sih wkwk. Tapi ngeliat temen2 di letterboxd ama twittet yg udh nntn dua versi, rata2 pada lebih suka yg bioskop. Ini pertama liat ada yg lebih suka yg versi estival dgn perbandingan yg jauh pula. Hmm
Haha iya, bisa dibaca di ulasan, dan di komen-komenku di sini kenapa menurutku versi festival lebih powerful, dan tepat dari sisi struktur bercerita. Versi bioskop lebih banyak karakter dan cerita sedih yang bisa kita pedulikan, maka lebih disukai, representasi masalahnya pun lebih banyak. Lebih banyak adegan menohok. Nilai/ratingnya bisa beda begitu karena aku menilai film dari bagaimana itu semua dimuat, bukan dari ‘seberapa banyaknya’ – atau malah ‘apa’ – yang dimuat.
Kotak nilai 6 memang biasanya aku kasih untuk film-film yang ‘bisa lebih baik lagi’. Dan kalo nonton Yuni di bioskop duluan, aku pasti akan ngerasa juga agak kepanjangan, agak kurang efektif, ada adegan yang bisa dipangkas dan gak begitu ngaruh ke journey Yuni. Sukurnya, sudah ada film Yuni seperti yang kubilang tadi, yakni versi yang festival. Yang lebih efektif, dan actually ngetrim adegan yang gak langsung koheren dengan journey. Maka jadilah, 6.5 dan versi lebih baiknya 8.5 (0.5 di ratingku cuma penanda bahwa aku suka sama filmnya)
haruskah aku menonton kedua versinya..??
atau sudah ahajar aja langsung versi festival.. kan merujuk penilaianmu yg festival dinilai lebih oke..
Gimana tuh pe??
Keduanyaaa… tapi coba dibalik, nonton yang bioskop dulu baru festival. Mana tau jadi beda sama aku hahaha
belum nonton Yuni whwhw…. malah udah mau turun layar diganti sama teka teki tika
Huwaaa ayo buruan nontoonn
Siap bang
Saya baru nonton beberapa jam yang lalu ketika pesan ini dikirim, dan zuzurly rasanya ada yang aneh di pertengahan menjelang akhir cerita yang kesannya kayak enggak fokus arahnya kemana (mirip Seperti Dendam yang kubilang kemarin bahkan) sehingga pas ending yang serba brief serta ditutup juga dengan lagunya Anggun, aku mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya, yakin ini menang di TIFF?
Barulah aku teringat bahwa ada versi festival yang katanya lebih menyiratkan beratnya kehidupan perempuan, dengan struktur cerita dan -yang penting- endingnya beda. More or less, apa yang ingin kukomentari sudah ada di review sih, cuma dari penjelasan tentang perbandingannya, kalo ga salah di versi bioskop ada adegan singkat Yuni terapung di air tapi kainnya ga menutupi wajah, cuma itu rasanya agak jauh sebelum ending, apakah adegan akhir versi festival adalah yang itu? Karena salah satu still foto film Yuni, ada satu foto yang dia melihat ke belakang sambil menggunakan gaun ungu, dan kalo ga salah badannya juga setengah terendam air.
Satu hal tentang Pak Damar adalah, keputusan Yuni untuk menerima lamarannya somehow ada kesan Yuni ingin “menyelamatkan” dia dari kondisinya yang sekarang, sehingga kalo Yuni beneran bunuh diri seperti yang tersirat di versi festival, Pak Damar pun akan memiliki alasan untuk tidak menikah lagi. Apakah ada kesan seperti itu di versi festival?
Intinya aku mendapatkan kesan kurang puas, sama seperti ketika selesai nonton Seperti Dendam, cuma Yuni lebih membumi dan lebih bisa diresapi karena potret realistisnya.
Haha bener, aku juga ngerasanya gitu pas nonton yang bioskop, makanya nilainya pun kukasih sama seperti Seperti Dendam. Kayak nambah-nambahin tapi gak ada ritme/strukturnya. Beda sekali dengan versi festival. Flownya tegas, fokusnya di Yuni sebagai perempuan, sebagai remaja, bener-bener tragis sehingga penonton menganggapnya sebagai bunuh diri. Film, walaupun editingnya sengaja naruh adegan Yuni berenang (di versi bioskop adegannya itu sebenarnya di tengah, seperti yang Mas bilang) sebagai closing, sebenarnya gak ngasih pasti bunuh diri atau tidak. Tapi kita semua sepakat ada yang ‘mati’ pada perempuan seperti Yuni oleh lingkungan/sosialnya.
Ending Anggun kan, kayak pengen tragis tapi gak boleh tragis banget. Kayak, jangan sampai penonton pulang dengan ‘bad ending’ gitu. Aneh lah, gak nyampe jadinya feelnya.
Kalo kita menangkapnya bunuh diri sih, sepertinya soal Pak Damar memang bisa menimbulkan kesan seperti itu. Tapi intensi filmnya sendiri di bagian Damar itu kurang jelas sih, karena ya itu tadi film gak definite bunuh diri. Yuni menghilang aja. Kalo misalnya dia cuma kabur, berarti Yuni tidak ‘menyelamatkan’ ya di sini?
Nah iya, filmnya tidak ada intensi ke sana, jadi komentarku jatuhnya seperti interpretasi sendiri yang buat orang lain juga belum tentu begitu.
Aku rasa begitu, kalo dia kabur dia cuma… apa ya, lari dari kenyataan? Intensinya masih susah dijelaskan dari apa yang mau disampaikan. Mungkin jatuhnya kayak bagaimana kita menginterpretasi puisi Hujan Bulan Juni saja jadinya. Dan aku juga baru sadar kalo nama Yuni mungkin diambil dari Juni-nya puisi tersebut.
Haha iya, makanya banyak yang interpretasinya bunuh diri. Karena selain lebih ‘gampang’, juga lebih tragis
Apa sih maksud ending dari film Yuni, jujur aku kurang paham, kenapa Yuni gk lari aja sama seseorang yang dia cintai?
Mau lari ke mana? Kupikir itulah pertanyaannya. Ke mana Yuni bisa pergi, di mana ada tempat remaja perempuan seperti Yuni bisa tumbuh menjadi diri sendiri tanpa tuntutan atau aturan yang menjudge. Enggak ada tempat seperti itu di sini. Yuni melihat semua perempuan yang ia kenal pada akhirnya harus ‘stay’ pada norma, aturan, demi hidup yang dianggap lebih baik. Makanya endingnya kan, Yuni menghilang gitu aja. Yuni pergi membebaskan diri, hanya dia dan Tuhan yang tahu ke mana. Dalam ending versi bioskop, Yuni ternyata ke api unggun pinggir pantai, bernyanyi bersama sahabat-sahabat dan perempuan-perempuan lain yang sama ‘terkurung’nya. Api unggun ini menurutku semacam tempat khayal gitu, perlambangan tempat ideal bagi pembebasan diri perempuan. Tapi toh tidak ada tempat seperti itu di dunia.
Jadi kayaknya maksud endingnya bukan ke arah Yuni bersama ‘SIAPA’ yang ia cintai, tapi lebih ke ‘DI MANA’ ada tempat untuk Yuni bisa hidup bersama orang yang ia pilih untuk ia cintai.
Ending film versi bioskop maknanya lebih ke women support women ga, sih?
Sebenarnya aku suka sama cerita filmnya secara general. Terlepas dari bagian dia mutusin nikah sama Pak Damar yang beneran berasa zonk. Tapi dari awal aku dibuat nggak nyaman dengan adegan Yuni diperlihatkan cuma pakai baju dalam lalu pakai seragam dan… pakai jilbab. Fungsinya apaan coba adegan kayak gitu?
Also bagian soal dia beneran ngilangin keperawanannya. Kenapa sampai sejauh itu? Dia bohong kalau udah nggak perawan juga Mang Dodi gak bakalan tahu kebenarannya, kan? Lalu adegan dia masturbasi yang disorot nyaris close-up. Dan adegan dia ganti pembalut itu. Apa fungsi semua itu? Film ini ngomongin masalah perempuan tapi malah menjadikan perempuan sebagai objek yang “dimakan” oleh pandangan para penonton.
Jujur aku miris sama film Indo yang mulai suka melukai pesan-pesan dalam ceritanya dengan adegan-adegan vulgar. Kiblatnya makin ke film luar yang serbabebas, ya.
Bohong lebih gampang, dan relatif ‘safe’ ya. Tapi kalo film ya gabakal seru kalo solusi itu di tengah-tengah, kalo di awal mungkin oke – tapi itu akan mengubah seluruh tone dan mood filmnya. Yang bisa dipastikan, bukan tone dan mood yang diincar oleh film ini. Kalo Yuni tinggal bohong soal keperawanan – di tengah film kayak gini – gak bakal keluar sebagai statement yang kuat/dramatis soal perempuan ingin mengambil kendali atas hidup – tubuh dan keputusannya – dengan konflik; apapun yang mereka lakukan untuk itu akan membuatnya dipandang bersalah oleh sekitar. Dan juga, di titik ini, hal lebih kompleks bekerja secara inner Yuni. Karena persoalan yang diestablish film salah satunya juga melibatkan soal Yuni masih dalam usia yang penasaran akan seksualitasnya sendiri.
Kalo soal adegan pembalut, aku gak ngerti juga, tapi saat nonton itu ya, pikiranku cuma ke film ingin memperlihatkan Yuni sudah dalam masa ‘aktif’ sebagai perempuan. Ke layer yang kompleks tadi, Yuni as a person juga adalah soal horman dan sebagainya. Yang terpenting sebenarnya adalah tone film saat memperlihatkan adegan-adegan ‘vulgar’ itu. Adegan masturbasinya tidak terasa kayak seseorang yang eksplorasi diri for fun. Karena film membuildnya dari Yuni bertanya di circle akrab dia (sesama perempuan) tapi dishoot down juga, dianggap pamali. Sekolah tidak ngajarin apa-apa. Yuni cuma ‘belajar’ sendiri dari google untuk tahu itu, di lingkungan private dia. Tone dan mood yang terasa nonton film ini secara konstan low, miris-kasian-powerless – at least di festival, konstannya terasa. Makanya aku lebih suka versi festival, bener-bener gak ngasih napas lega buat Yuni.
Adegan pembuka ganti baju itu kupikir bekerja sebagai pembangun mood tersebut. Bahwa kita akan melihat Yuni dengan perasaan “maan, she’s just a kid”
Ya kalau mau dibikin seru bisa aja akan berita soal dia nggak perawan tersebar. Menurutku enggak perlu adegan vulgar juga, sih.
Kalau kehilangan keperawanan karena melakukan ML di luar nikah dijunjung sebagai hak wanita untuk mengambil kendali atas hidup dan tubuhnya, wah… rusak, nih. Yah pilihan kan ada dua, pilihan buruk dan pilihan baik. Kenapa justru menjunjung pilihan yang buruk gitu?
Kalau sekadar adegan dialog “apa itu masturbasi?” aku masih bisa nerima. Karena cuma sekadar obrolan dan itu udah menggambarkan betapa kurangnya seks edukasi di masyarakat kita. Agak lucu juga, ya kalau dipikir. Para gadis ini didorong untuk segera nikah, tapi nggak dibekali dengan pengetahuan yang memadai.
Tapi pas adegannya itu loh. Risih.
Soal adegan buka baju, ada banyak cara untuk memperlihatkan dia masih kecil, misalnya dari pemikirannya. Reaksi dia yang imut-imut gemes pas naksir Pak Damar menunjukkan itu. Juga perkataan dia yang “mending makan cilok” ketika ngobrolin soal pacaran.
Aku ngeri membayangkan bagaimana Arawinda melakukan adegan awal itu di depan seluruh para kru. Dia jelas bukan anak kecil. Apa tubuh anak SMA masih bisa dianggap anak kecil? And what’s all that for? For the sake of art? Duh, aku enggak sepakat dengan sineas yang membuat adegan itu untuk diperankan Arawinda.
Itulah poin filmnya. Segala pilihan buruk Yuni, salah satunya karena anak-anak seumur dia, anak-anak di daerah, gak ada edukasi. Ngomongin itu dianggap tabu. Masyarakat meminta mereka segera menikah, padahal masih kecil. Jelas, secara fisik dia bukan anak kecil. Itulah yang dilihat si bapak, si ridwan, warga di sana, dan penonton saat opening. Tapi kemudian kita sebagai penonton dikasih posisi yang lebih dekat ke Yuni supaya bisa ‘lihat’ beyond fisik, dia masih ‘sekecil’ itu. Dia masih pelajar. Masih polos, pacaran aja gak tau. Itu yang dibuild up oleh film, itu yang berusaha dikontraskan oleh film.
“Agak lucu”nya ini yang dijadikan warna dramatis oleh film. Risih-risih memang diniatkan, justru itulah power film ini sebagai seni. Untuk disturb kita. Disturb kenyataan di masyarakat yang masih ada praktek nikah setelah sekolah. Film memperlihatkan Yuni mengambil pilihan buruk, bukan berarti film mendukung pilihan tersebut, melainkan memperlihatkan mirisnya ada siswi yang harus mengambil apa yang dia ambil. Film Yuni ini sebenarnya bukan film yang mau ngasih jawaban gimana supaya tidak ada anak yang seperti Yuni. Solusi itu adanya setelah cerita berakhir. Solusi itu diembankan kepada penonton, yang setelah menonton Yuni melihat gambaran mirisnya anak perempuan di daerah/di masyarakat tradisional seperti demikian. Film Yuni ‘cuma’ jendela untuk melihat itu. Nah, fungsi jendelanya itu buatku ya paling tepat di penceritaan versi festival. Kalo versi bioskop, messagenya ‘women saling support’nya nyampur gitu aja, sehingga seolah film ini jadi sebuah aksi solusi. Padahal bukan.
Kalo vulgar sih, mungkin lebih ke soal persepsi. Atau apa ya, susah juga bilangnya. Maksudku, kayaknya gak semua yang ketelanjangan, atau act yang menjurus itu termasuk vulgar. Tapi tergantung dari gimana si media menampilkannya. Like, adegan nonton bokep diam-diam di Like & Share, atau adegan di rumah kosong – adegan masturbasi di film ini, sebagai cowok aku tidak melihat itu sebagai sesuatu yang arousing, karena sudah ada konteks kuat yang mendahului adegan ini. Film pun tidak merekamnya dengan gestur kamera yang gimana, gitu. Justru aku merasakannya sebagai adegan yang sedih.