THE POWER OF THE DOG Review

“One of the greatest tragedies in life is to lose your own sense of self…”

 

Cerita Benedict Cumberbatch yang ‘terguncang’ oleh kedatangan pemuda bernama Peter ke dalam rumahnya, ke dalam dunianya, kali ini bukanlah tentang kekuatan laba-laba. Melainkan, tentang power dari seekor – atau katakanlah seorang – the dog. Dog yang seperti apa? Karya Jane Campion terbaru ini memang sangat berlapis sehingga bisa dilihat sebagai cerita tentang seorang alpha-dog yang menunjukkan dominasi, ataupun sebagai perlawanan seorang under-dog . Namun tak peduli dari sisi manapun kita melihatnya, film ini tetaplah merupakan sebuah tragedi karakter. Film, dengan karakter dan narasi yang kompleks terkait maskulinitas, yang akan membuat kita terpaku di depan layar. Merasakan setiap gigitan yang hadir pada adegan terakhir yang memang berjalan jauh sekali dari yang biasa kita dapatkan dari cerita yang berpusat pada hubungan dua orang seperti ini.

Setting jaman koboi (Campion menyulap New Zealand menjadi Montana tahun 1920an) hanya menambah lapisan yang jadi bobot pada narasi bertema maskulinitas. Kita semua tahu koboi kerjaannya macho banget. Berpanas-panas di luar, mengembala sapi-sapi. Harus punya ketangguhan, punya ketangkasan melebihi kuda yang ditunggangi, serta jago dengan pisau dan tali laso. Karakter yang dimainkan Cumberbatch dengan begitu menakjubkan dia udah beda banget ama yang sudah terbiasa kita lihat; Phil, adalah koboi yang paling koboi di antara para koboi. Dia jadi semacam mentor bagi para koboi lain yang bekerja di peternakan yang ia kelola bersama adiknya, George (Jesse Plemons jadi penyeimbang buat karakter saudaranya). Sikap Phil yang cenderung kasar dan haus untuk membuktikan dominasi dirinya hampir setiap waktu itu pada awalnya tampak seperti karena ia pengen menyejajarkan diri dengan sosok seorang yang telah melatih dan mengajari mereka dahulu. Seiring durasi kita akan mulai melihat ada sesuatu yang lebih personal di balik motivasi Phil tersebut. Bahwa ada alasan yang sangat pribadi di balik sikap keras yang ia tonjolkan.

dog253af6f9-e444-437a-b85f-05148ee9a662
Ngebiri sapi aja dia ogah pakai sarung tangan, saking mau nunjukin “gue cowok banget!”

 

Sepuluh menit pertama film ini efektif sekali dalam melandaskan karakter Phil, serta karakter-karakter kunci lainnya. Menunjukkan pergolakan batin yang sedang tembak-tembakan di dalam dirinya. Phil memimpin George dan beberapa orang koboi lain masuk ke tempat makan. Di meja dia melihat kerajinan bunga dari kertas. Hanya Phil yang bereaksi terhadap bunga itu. Kita bisa melihat dia tertarik, tapi si koboi jagoan ini menutupi ketertarikan tersebut dengan low-key meledek bunga itu. “Cewek mana ini yang bikin?” Begitu kira-kira celetuknya. Tatkala mengetahui bahwa bunga itu dibuat oleh anak pemilik tempat makan tersebut; seorang pemuda kurus tinggi bernama Peter (Kodi Smit-McPhee menghidup karakter ini luar-dalam), makin menjadi-jadilah ledekan Phil. Peter ampe kabur dari sana (sepertinya nangis), meninggalkan ibunya (Rose, diperankan oleh Kirsten Dunst dengan tak kalah kompleksnya) bekerja sendirian malam itu.

Bagi kita, hampir clear sebenarnya saat itu Phil malu kalo yang lain sampai nyadar dirinya tertarik sama bunga buatan cowok. Dia meledek, supaya gak ketahuan perasaan yang sebenarnya. Film lantas mendorong kita untuk bertanya lebih lanjut, sejauh apa sebenarnya ketertarikan Phil. Kekompleks-an karakter Phil datang dari sini. Dari bagaimana yang ia tampilkan di luar bukanlah siapa dirinya yang sebenarnya. Maka kehadiran Peter – yang sebenarnya membuatnya tertarik – jadi ancaman untuk siapa Phil di luar tersebut. Jadi ketika George ternyata memutuskan untuk menikahi Rose yang janda, yang effectively membawa serta Peter ke dalam lingkarannya, Phil jadi marah. Kepada Peter, kepada George yang menurutnya berkhianat, dan tentunya juga kepada Rose. Film ini tak berhenti sampai kepada perspektif Phil seorang. Karena Peter juga digali. Film malah dibuka dengan monolog suara Peter berbisik tentang melindungi ibu merupakan tugasnya sebagai seorang pria. Dua kebutuhan untuk membuktikan diri sebagai cowok, yang termanifestasi ke dalam dua wujud berbeda inilah yang menghantarkan kita kepada hubungan yang tragis, yang baru benar-benar digali pada paruh kedua cerita.

The Power of the Dog memang memerlukan waktu lama untuk bisa kita benar-benar mengerti berjalan ke arah mana. Itu bukan semata karena set upnya yang banyak, melainkan juga karena konteks karakternya itu sendiri. Phil gak mau semua orang tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Terlebih dia hidup di masa pandangan soal preferensi seksual masih terbatas, dan di tempat yang menuntutnya untuk benar-benar macho. Dan ‘semua orang’ di situ, adalah termasuk kita. Penontonnya. Kita tahu Phil menutupi perasaan aslinya terhadap bunga – dan mungkin terhadap Peter, kita tahu dia look up kepada sosok mentornya yang sudah tiada, tapi kita tidak pernah tahu apa sebenarnya yang diinginkan Phil sebagai seorang manusia. Tidak hingga pertengahan itulah kita baru mengerti bahwa Phil merindukan koneksi dengan orang lain, sebagaimana koneksi yang ia rasakan dengan sang mentor. Koneksi, yang berupa relationship. Naskah benar-benar mewujudkan tembok itu dengan actually menghalangi kita lebih lanjut melihat Phil. Kita malah sering berpindah ke Peter, yang juga diberikan tembok sama tebalnya. Yang juga tidak bisa kita lihat apa sebenarnya yang dirasakan oleh karakter yang pengen jadi dokter bedah ini, selain motivasi vague soal melindungi ibu.

Insecurity yang mengakar menjadi toxic masculinity adalah tema dalam The Power of the Dog. Pada pengembangannya, tema ini mengambil wujud cerita yang sangat tragis. Keengganan Phil menunjukkan dirinya yang sebenarnya, Phil yang memilih untuk menyembunyikan dirinya atas nama martabat dan kejantanan, akan membawanya menuju akhir yang pahit. Tidak ada yang tahu siapa dirinya yang di dalam sana, semua sia-sia hanya karena tuntutan untuk tampak macho. Dan racun itu juga menjangkiti orang lain seperti yang kita lihat pada tindakan yang diambil Peter.

 

Maafkan kalo terasa sedikit terlalu banyak spoiler. Karena walaupun memang fokus kepada karakterisasi, tapi film ini dibangun dengan konteks karakter yang menutupi siapa dirinya dari orang lain termasuk kita, sehingga untuk membicarakan mereka kita perlu membeberkan aksi yang mereka lakukan. Dan itu berarti terpaksa sebagian besar kejadian filmnya harus disebutkan. Seperti soal Peter tadi. Awalnya sekilas dia memang seperti karakter underdog, yang dikatain lemah, tapi ternyata punya ‘kekuatan’ sendiri. Yang punya cara sendiri dalam membawa diri. Di antara cowok-cowok toxic lain, yang meledek kefeminimannya, gampang melihat karakter ini sebagai “oh mestinya Phil lebih jujur seperti Peter ini”. Tidak ada yang disembunyikan oleh Peter, dia terang-terangan mempersembahkan siapa dirinya apa adanya. Dia main hulahop tanpa masalah, dia bikin bunga, dan sebagainya. Namun melalui aksi final yang ia lakukan kepada Phil, atas nama ‘cowok harus melindungi ibu’ yang ia sebut pada pembukaan film, kita lantas melihat karakter ini juga ngalamin maskulinitas yang enggak sehat. Bahwa ternyata dia juga ada menyimpan rahasia, dia abai sama perasaan asli yang mulai ditunjukkan Phil kepada dirinya. Keberaniannya melakukan hal di akhir tersebut, malah membuat kita mempertanyakan kembali motivasinya. Apakah dia benar-benar murni melindungi ibu, atau ini jadi soal balas dendam dirinya yang pernah disakiti.

dogBenedict-Cumberbatch-The-Power-of-the-Dog-film-netflix
Gak heran kalo koboi sering dijadiin model iklan rokok, supaya cowok pada beli

 

Itulah mengapa The Power of the Dog kusebut sebagai salah satu film paling kompleks yang bisa kita tonton tahun ini. Dan juga salah satu yang paling tragis. Kedua karakter sentral itu sama-sama jatoh menyedihkan. Karena sama-sama salah menakar apa itu kejantanan atau maskulinitas. Cuma memang cerita film ini pada paruh pertama agak menuntut kesabaran untuk diikuti. Kita diperlihatkan dua perspektif, yang sama-sama tidak bisa kita tembus. Kita hanya mantengin para karakter, mengarungi berbagai kejadian, dengan pace yang cukup lambat. Film ini actually dibagi menjadi lima bagian; Transisi yang menunjukkan visual angka romawi 1 sampai 5 berlatar hitam muncul setiap kali film loncat ke periode cerita yang lain. Bagian ini di paruh awal bertindak hampir seperti episode, karena membahas kejadian yang berbeda. Dan ini membuat film semakin melebar karena isinya juga membahas tentang George dan istrinya, Rose yang merasa canggung harus tinggal di dekat-dekat Phil yang sangat kasar kepadanya. Dengan kata lain, paruh awal ini memang membahas banyak sudut. Banyak dialog yang memaparkan backstory. Itu semua karena film tidak mau kita lekat kepada Phil.

Yang juga membuat semakin susah dari konteks karakternya itu adalah film jadi tidak bisa menyerahkan karakter utama yang jelas. Kita tidak tahu harus peduli kepada siapa. The easy guess tentu saja adalah Peter, apalagi suara dialah yang membuka cerita, tapi begitu Phil sudah ‘melunak’ garis itu kembali menjadi kabur. Setelah midpoint, cerita mulai lebih enak untuk diikuti. Elemen romansa mulai mencuat. Sementara di belakang mereka, kita mendengar komposisi musik yang dominan biola juga terasa semakin intens. Film ini mendekati klimaks dengan menguarkan perasaan uneasy dari kontras musik dengan adegan yang kita lihat. Untuk kemudian benar-benar menjadi tragis di ending.

 

 

 

 

Aku sama sekali gak menyangka itu semua. Aku pikir ini semacam drama koboi ala western flick yang setidaknya lebih berat daripada yang biasa. Turns out, film ini punya kekuatan penceritaan sendiri yang membuatnya berbeda, dengan bahasan yang berdaya pula. Dalam kisah lain, konteks yang membuat karakter utama berjarak dengan penonton, tidak akan berhasil menjadi tontonan yang efektif. Namun pada kisah ini, konteks tersebut walaupun menyulitkan penonton, tapi benar-benar sesuai dan actually menambah bobot pada karakter dan ceritanya itu sendiri. Paruh pertama memang agak lambat dan berpotensi bikin bosan. Namun semua itu hanyalah set up untuk paruh berikutnya yang benar-benar tragis. Dan membuat gagasan film jadi menggaung lama.  
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE POWER OF THE DOG.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now

Sebelum ini kita udah menyaksikan pria yang hobi ngajakin orang berantem demi membuktikan kejantanannya dalam film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021). Menurut kalian apakah persamaan dan perbedaan soal toxic masculinity yang diperlihatkan film tersebut dan pada film The Power of the Dog ini?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. jebe says:

    akhirnya di ulas juga 🙂
    tapi kok kayak tensinya dari pertengahan sampe akhir stuck di tempat ya jadi greget waktu nonton, kalo menurut sy trailer pertamanya lebi menegangkan dari filmnya hahaha

    • arya says:

      Kalo jadi greget berarti udah gak stuck dong hahaha… justru yang awal ke tengah yang gak ngerasain apa-apa selain cuma nebak-nebak ini arahnya ke mana xD
      Itulah makanya aku gak pernah nonton trailer, suka gak sesuai dengan filmnya. Apalagi di film barat, yang ngedit trailer biasanya beda divisi ama film benerannya, alias memang diedit untuk marketing

      • jebe says:

        kalo gitu shout outlah buat yg ngedit trailernya deh hahaha
        jesse plemon ni underatted banget ya bang , ad rekomendasi filmnya yang bagus bang selain thinking of ending things ( ini favorite sy)setelah liat bang arya post langsung gercep nntn hahaha

        • arya says:

          Ini aku baru beres nonton Antlers, horor, dan ternyata ada Jesse Plemons juga. Dia bisa bikin peran generik sekalipun tetep terasa hidup ya haha..
          Filmnya yang bagus tu ada Other People, kalo mau yang dia over-the-top tapi totally fun bisa coba Jungle Cruise kemaren yang tayang tengah tahun ini

      • abdi_khaliq says:

        Numpang komen ya! Pertama kali tahu Jesse Plemon di salah satu episode antologi series Black Mirror “Uss Callister” dan sumpah peran dia disitu kompleks banget sih menurutku, satu sisi aku iba sama karakter dia, tapi disatu sisi rasanya pengen nampar wajahnya pake sendal jepit, bikin emosi darah tinggi. Keren lah pokoknya.

  2. Iman says:

    toxic masculinity di kedua film: seperti dendam dan si anjing sama2 dibangun oleh lingkunga dimana laki2 dituntut utk jadi “laki2”
    bedanya di si anjing, lebih fokus bagaimana menjadi laki2 itu utk fit dgn lingkungan, harus macho, masa koboy suka seni dan suka sesuatu yg gak maskulin? jadi laki2 itu harus bisa lindungi ibunya, no matter it takes
    sementara di seperti dendam, lebih bagaimana seharusnya jadi cowo dalam memperlakukan perempuan, laki2 punya kontrol penuh pada perempuan, si polisi bisa sangat semena2 pada rona merah, pak tono bisa sangat manipulatif sama iteung, begitu pula budi baik yg gak ada hormatnya sama perempuan. itu semua karena lingkungan sudah terbiasa akan hal itu. saya gak melihat ajo ingin membuktikan diri sebagai laki2 dengan harus ngaceng, tp lebih karena ingin membahagiakan iteung (eh ini toxic gak?) teman2 laki2nya yg menertawakan ajo yg toxic krn dinilainya ajo bukan laki2 karena gak bisa ngaceng, karena laki2 yang gak bisa ngaceng gak punya martabat dihadapan perempuan
    IMO

  3. arya says:

    Haha iyaaa, kirain bakal berperan gimana gitu.. ternyata cuma jadi pengurus bantu-bantu. Kayaknya ini sutingnya sebelum dia main di Soho kali ya?
    Tapi seneng sih, ada adegan dia ngasih makan kelinci, bikin throwback ke dia main di Jojo RABBIT xD

  4. Yoyo_Land says:

    Hola Bang.. bagii clue-nya dong.. jadi ceritanya mau nonton ini.. tapi hint soal karakter Benedict yang Bang Arya tulis “tertarik” ke karakter Cody Smith ini ke arah mana ya tertariknya hehe.. apakah ke romantis arahnya? Soalnya bukan gak open minded, tapi lebih ke bersiap-siap aja, hehe. Udah berkali-kali dahiku berkerut menangkap kata2 tertariknya ini.

    • arya says:

      Bener, ke arah romantis. Di antara semua koboi yang duduk di meja itu, cuma Benedict yang notice dan punya perhatian sama bunga kertas, implikasinya adalah dia punya ketertarikan, punya sisi flamboyan atau kefeminisan yang sama. Seiring film nanti isinya dia berusaha menjalin relationship khusus dengan Peter, lebih dari sekadar mentor dengan murid.

  5. soearadiri says:

    Sebagai cowok yg selalu dianggap terlalu Feminine karena lebih suka hal2 berbau feminine, bersikap sentimentil, dan milih berksenian ketimbang olahraga misalnya, film ini really hits me hard secara personal sih. Like, sampai dulu sok2an nonton bola ke stadion sama temen2 cowok, ngomong suara di berat2in, jalan di tegap2in, penampilan di berantak2in. Demi nggak dibilang banci, homo, dst. Makanya sering banget dapat ‘pujian’ kayak; “Nah, gitu dong cowok tuh kayak gini ngelakuin ini bukannya ngelakuin itu”. Kalo skrg dipikir lagi, buat apa saya ngelakuin itu? Skrg sih saya berpendapat bahwa maskulinitas atau menjadi pria sejati itu bukan tentang kegemaran atau attitude tapi lebih ke tindakan dan sikap kita dalam menghadapi suatu hal. Jadi thanks banget buat kata2 abang yg bilang bahwa menutupi identitas kita yg sebenarnya itu merupakan tragedi karakter. Yg jelas jangan sampai kita berakhir tanpa orang lain mengetahui diri kita yg sebenarnya, seperti Phil

    • arya says:

      Wah bener sih, jantan itu bukan ditunjukkan lewat suka bola atau ngerokok atau kasar-kasaran ya, tapi lebih ke kitanya seperti apa. I’m sorry that ever happened to you. Tapi walau lingkungan gak kayak gitu, takut sama judging seperti itu tetep bakal ada sih ya. Aku dulu pas kuliah (apalagi kampusku bisa dibilang cowok semua) beli majalah Gadis sembunyi-sembunyi. Malu ketahuan. Aku sembunyiin kalo aku suka ngoleksi majalah itu. Baru berani “come out” beli terang-terangan pas udah jadi senior banget, merasa secure gak ada yang berani ngeledekin hahaha.. kayak orang bego, timbang beli majalah aja takut malu sendiri.
      Berterimakasihlah kepada Phil yang berkorban demi kalimat tersebut bisa keluar ahahaha

      • soearadiri says:

        Stigma emang paling nyeremin sih. Karena banyak ngeliat org2 disekitar dibully dan dikucilin. Jadi ya, we did everything to survive, right?
        Bukunya menjadi salah satu yg nyadarin saya sih. Pertama kali baca tahun 2013. Pas liat teasernya, lalu tau yg pegang Jane Campion, castnya Benedict, udah seneng banget tuh. Dan seperti dugaan sangat memuaskan, melebihi ekspektasi malah

        • arya says:

          Dan sayangnya kita gak selalu tahu cara yang tepat untuk survive…
          Aku belum baca novelnya sih, tapi kayaknya adaptasinya bagus ya, gak dengar ada yang komplain soalnya haha

      • soearadiri says:

        Ada perbedaan yg cukup Major sih terutama di paruh awal film. Dimana di bukunya tuh diawali pas Ayah si Peter masih hidup. Nggk pas udah bunuh diri. Dan dia juga kenal cukup akrab dengan Phil. Phil juga sedikit banyak menyumbang beban pada depresi yg membuat Ayah Peter menjadi alkoholik hingga bunuh diri. Jadi kalo di buku ketakutan Rose akan Phil lebih beralasan dan niat Peter untuk membunuh Phil selain untuk membela Ibunya juga menjadi semacam balas dendam atas nama ayahnya. Si Peter di buku juga agak psycho, like dia tuh kayak punya obsesi yg aneh sama ibunya. Duh, jadi spoiler deh hehehe

        • arya says:

          Ooh soal bapaknya pegang peran gede ternyata untuk cerita di novel ya. Memang udah rencana balas dendam jadinya ya.
          Kayak si Norman Bates dong berarti si Peter ini

  6. arya says:

    Nonton paruh awal ini tuh aku habis berapa bungkus snack ya, harus ngunyah terus kalo gak ya ngantuk dan clueless sih nontonnya.
    Pas lewat tengah, baru drastis seru dan emosional ya filmnya. Kandidat terkuat Best Picture Oscar nih kayaknya

    • Farrah says:

      Iya setuju, walaupun personally aku lebih suka Coda, tapi kl mau realistis emg ini kandidat terkuat sih, karena dapet nominasi di scoring sama sinematografi, best director juga.
      Dan yg aku kagum film ini juga ceritanya ga kemana2 ya, i mean karakternya sedikit tapi mateng semua gitu.

      • arya says:

        Period piece (jaman koboi), karakter beraksen, tema maskulin, tema lgbt.. banyak banget checklist Oscar kena sama film ini hahaha. Netflix pun kayaknya push film ini jor-joran.
        Padahal aku pengennya sih yang menang Don’t Look Up aja sekalian xD

Leave a Reply to ImanCancel reply