WEST SIDE STORY Review

“Hate cannot drive out hate; only love can do that”

 

 

Belakangan ini kita memang diberkahi banyak banget film musikal yang keren-keren. Annette (2021) yang menekankan kepada sisi absurd seninya. Tick, Tick…Boom! (2021) yang melekat berkat relate personal ceritanya. Ada begitu banyak pilihan musikal yang bagus, yang mampu membuat aku yang gak fans musik jadi jatuh cinta. Tapi dari semua, West Side Story garapan Steven Spielberg-lah yang paling pas untuk mengenakan mahkota. Karena film ini benar-benar goes for the big! Baik itu performance, musical numbers atau adegan musikalnya, produksi, hingga ke pesan, semuanya spektakuler. Spielberg ngedirect film ini dengan kemegahan yang cuma dia yang bisa. Dan itu berarti luar biasa karena film ini sendirinya sebenarnya adalah sebuah remake dari musikal yang enggak ‘kecil’. Spielberg membuat cerita ini lebih besar dan lebih relevan lagi!

Materi aslinya terinspirasi dari kisah Romeo dan Juliet. Namun alih-alih perseteruan keluarga, kisah cinta Tony dan Maria di West Side Story berada di tengah-tengah seteru dua kelompok etnis pemuda yang berbeda. Manhattan 1957 itu tempat tinggal yang jadi rebutan oleh penduduk imigran yang sudah turun temurun tinggal di sana. Di satu sisi ada kelompok Inggris, dengan geng Jet. Dan di sisi lain ada warga Puerto Rico dengan kelompok Shark. Dua kelompok ini terus saja berantem, cari ribut. Persaingan memenuhi kebutuhan hidup yang layak membuat kedua kelompok saling benci. Tapi tidak Tony dan Maria. Bertemu di pesta dansa (sementara geng masing-masing lagi rebutan lantai dansa), Tony yang mantan anggota Jet dan Maria yang adik dari ketua Shark jatuh cinta pada pandangan pertama. Mereka bermaksud hidup bersama, pergi dari kota dan start fresh. Tentu saja, kedekatan mereka berdua dijadikan alasan baru bagi Jet dan Shark untuk ribut. Dan kali ini benar-benar bakal ada nyawa yang jadi korban.

westsideDF_12072_R12_COMP
Rumbling, rumbling~~

 

Namanya juga musikal, semua permasalahan film ini diceritakan lewat lagu. Set drama di kota dilandaskan lewat adegan musikal di opening. Alasan Jet nyari ribut, juga lewat musikal. Bahkan pas sekuen berantem pun juga ada gerakan-gerakan seperti balet (sebelum akhirnya film ini nunjukin berantem yang cukup violent). Dari nonton West Side Story inilah aku jadi mikir, bahwa keberhasilan sebuah film memang gak pernah sesederhana ‘horor yang penting harus bisa bikin takut’, ‘komedi yang penting harus lucu,’ ataupun ‘romansa yang penting harus bisa bikin baper’. Karena dengan begitu berarti ‘musikal berarti harus bisa bikin ikut nyanyi’. Nah dengan logika itu, sampai kapanpun aku gak akan pernah nemuin musikal yang bagus karena aku yang gak suka musik gak akan pernah nyanyi menonton musikal. Dan kalo aku – kalo kita – menilai film dengan subjektivitas sesederhana fungsi tersebut, ya kitalah yang rugi. Kita gak akan tahu film bagus bahkan kalo film itu tayang di depan hidung kita. Dari musikal segrande West Side Story inilah kita bisa sadar bahwa meskipun kita gak konek dengan liriknya, atau dengan musiknya, atau bahkan dengan bahasanya, sebuah film masih akan tetap bagus dan itu dinilai dari objektivitas teknik film itu dibuat, cerita film itu ditulis, seperti apa gagasannya disampaikan. Bagaimana craft film dalam memuat isi kemudian menampilkannya ke dalam genre masing-masing, di situlah sebenarnya penilaian film bagus atau tidak. 

Dan West Side Story benar-benar dibuat dengan epik. Setiap adegannya, mau itu musikal ataupun pas ngobrol biasa, berwarna oleh detil, penempatan kamera, dan bahkan bloking orang-orangnya saja seperti bermakna. Adegannya tu gak pernah sekadar nari-nari rame-rame di tengah jalan. Saking banyaknya adegan bagus yang benar-benar nonjolin craft dan visi dari si filmmaker, aku bisa bikin listicle khusus di dalam tubuh ulasan ini. ‘Dua-puluh Adegan Terepik dalam West Side Story, Nomor Lima Bakal Bikin Kamu Ikutan Joget!’ Ya, bukan lima, bukan delapan. Dua puluh itu aja kayaknya belum semua deh yang keitung. Kamera dan perhatian Spielberg lewat bercerita visual mengangkat setiap adegan musikal menjadi momen-momen ajaib yang kita rugi kalo sampai ngedip and miss it. Adegan nyanyi di gang gelap, lalu Tony loncat ke kubangan, kamera lantas menyorot dari atas; memperlihatkan pantulan berpuluh-puluh lampu dari jendela lewat riak-riak kubangan tersebut, maaan siapa sih yang bisa kepikiran membuat adegan seperti itu. Shot-shot film ini memang sangat imajinatif, gak ada yang standar. Dua geng saling bertemu di dalam gudang yang gelap; Spielberg mempesona kita dengan menggambar dari bayangan kedua kubu. Lalu ada juga sekuen panjang saat adegan masuk ke ruang dansa. Kameranya kayak melayang gitu aja, nempel di tubuh lalat kali hahaha. Buatku, film seperti beginilah yang menantang – sekaligus menginspirasi. Film, yang saat menontonnya kita langsung penasaran mereka ngerekamnya seperti gimana, kameranya gimana. Kok bisa? 

Akhirnya ya kita yang nonton jadi merasa dapat lebih banyak daripada sekadar lirik atau irama yang catchy. Kita ujung-ujungnya jadi mengapreasiasi musikal itu secara keseluruhan. Aku paling suka adegan nyanyi Amerika, dan adegan nyanyi di dalam ruangan kantor polisi. Selain itu, dengan pengadeganan dan penampilan menawan seperti itu, perhatian kita juga jadi terpusat pada cerita. Hampir seperti kita gak butuh lagi sama dialog. Mungkin ini jugalah yang dimengerti oleh film, sehingga Spielberg tidak menampilkan subtitle untuk dialog-dialog dalam bahasa Spanyol. Spielberg melalukan ini demi respek terhadap karakter dan bahasa itu sendiri, tapi dia toh juga tidak mempersulit atau meminta terlalu banyak kepada penonton. Perhatikan saja adegan-adegan berbahasa Spanyol itu. Selalu hanya keluar dalam adegan yang konteksnya sudah terlandaskan dengan baik. Selalu punya weight ke dalam karakterisasi dan plot itu sendiri. Ketiadaan subtitle ini justru jadi penanda utama bahwa film ini telah demikian baik bercerita lewat visual dan penampilan atau juga musiknya.

Colorfulnya pengadeganan didesain kontras dengan kelamnya cerita. Aku nonton film ini duluan daripada film aslinya, aku gak tau sebelumnya ini ceritanya bakal seperti apa. Dan aku surprise juga saat menyaksikan ujung cerita film ini. Aku gak expect kalo film yang udah dibuat untuk penonton modern ini berani membuat sekelam itu. Mungkin inilah kenapa West Side Story kurang laku (selain karena musikal memang kurang perform untuk penonton kita). Modern audience kan gak bisa dikasih ending yang conflicted. Pengennya yang jelas. Happy, atau sedih. Kalo bisa sih yang happy aja. Gak boleh di antara keduanya. West Side Story berakhir tragis dengan cinta yang terpisah oleh kematian, tapi punya undertone yang optimis ke arah kehidupan yang lebih baik untuk semua orang di kota. This ending will hit alot.  Dan aku senang karena film ini mengambil resiko dengan ending seperti itu. Film ini telah melakukan cukup banyak penyesuaian – ada hal-hal yang dibikin berbeda dengan versi aslinya – tapi untungnya tidak diubah sesuai kesukaan penonton modern. Malah kalo dipikir-pikir, ending versi ini memang lebih menohok.

westside-side-story-trailer-
Si Maria mirip-mirip Susan Sameh gak sih?

 

Seperti pesaingnya di Best Picture Oscar, Coda (2021), film West Side Story juga melakukan remake yang melakukan perubahan positif dalam hal representasi. Spielberg tak lagi menggunakan aktor kulit putih yang dimake-up coklat, melainkan benar-benar menggunakan aktor latin untuk karakter-karakter Puerto Rico. Feels film ini jadi semakin otentik, selain juga respek sama ras yang diangkat. Soal casting ini memang benar-benar dimanfaatkan sebagai isi karakter. Ariana DeBose yang berkulit lebih gelap misalnya, diset untuk memerankan Anita yang nanti terlibat dialog soal kulit itu dengan sesama Puerto Rico, terkait konteks bagaimana prioritas Amerika kepada warganya. Terus, ada karakter yang benar-benar merepresentasikan trans-people, sementara film aslinya tahun 60an belum berani banget menampilkan. Lalu ada juga aktor yang gak sekadar jadi cameo dari film original, tapi diberikan peran yang dramatis terkait dia memerankan peran terdahulu dengan peran sekarang. Tapi yang paling penting soal cast ini adalah, Spielberg benar-benar ngedirect mereka untuk menghasilkan performa yang sama luar biasanya.

Masalah rasis yang jadi akar konflik film ini digambarkan dengan kompleks, dan jadi masalah yang terstruktur karena begitulah pondasi tempat tinggal daerah mereka. Tapi kalo mau disederhanakan, sebenarnya ini adalah masalah hate. Kebencian. Makanya hubungan cinta antara Tony dengan Maria jadi simbol penyelamat mereka semua. Mereka cuma harus bisa melihatnya. Walau kadang cara untuk sadar itu bisa demikian tragis.

Honestly, pas pertama kali nonton aku mikir film ini – terutama karena endingnya – agak problematis. Like, kenapa kulit putih mati jadi seperti savior. Bukankah, aku sempat mikir, lebih cocok dengan penonton modern kalo dibikin yang jadi ‘penyelamat’ itu adalah karakter cewek. Setelah dipikir-pikir, dikaitkan dengan arc Tony dan Maria, the whole ending ternyata memang harus terjadi seperti yang film ini lakukan. Tidak ada jalan lain yang lebih powerful.

 

Tony yang diperankan oleh Ansel Esgort di versi ini diberikan journey yang lebih dramatis. Backstorynya – mengapa dia keluar dari Jet, kenapa dia bisa punya hubungan baik dengan pemilik toko yang orang latin – benar-benar melandaskan arc penebusan diri. Benar-benar memperlihatkan Tony mencoba menjadi pribadi yang lebih baik, tapi tidak segampang itu berkat kuatnya pengaruh seteru dan hate tadi di kota. Arc si Tony baru akan melingkar sempurna dengan ending film ini, karena itulah penebusan dirinya yang sebenarnya. Bukan dengan pergi menumbuhkan cinta di tempat lain. Kota ini juga harus diresolve masalahnya. See, di sinilah letak kekuatan naskah West Side Story. Kota mereka juga jadi karakter tersendiri. Yang bakal ngalamin pembelajaran, melalui nasib dua karakter sentral. Maria, diperankan oleh Rachel Zegler dengan memukau meski ini adalah film pertamanya, punya arc tentang innocence lost. Maria adalah simbol atau perwujudan dari value positif; polos, penuh mimpi, optimis. Karakter Maria ini jadi makin penting saat ending itu, karena lewat dialah karakter-karakter di kota melihat apa yang telah mereka lakukan terhadap kota yang harusnya adalah tempat penuh harapan dan mimpi.

 

 

 

Ah, film yang indah. Baik itu pesannya, experience menontonnya, serta penampilan akting dan musikalnya (yang btw, bener-bener dinyanyikan oleh pemainnya). Dunianya terasa hidup, setiap adegan pantas banget untuk kita pelototin. Setiap scene terasa epik dan spektakuler. Everything about this movie feels grande. Aku harus menahan diri nulisnya, karena kalo gak, bakal panjang banget. Karena semuanya bisa dibahas mendalam. Semuanya punya makna. I’m okay film ini yang dipilih Oscar untuk mewakili genre musikal dibandingkan film yang lain. Bukan hanya karena nama Steven Spielberg. Pak sutradara berhasil membuktikan nama besanya bukan sekadar legenda. Tapi juga karena film ini terasa urgen meskipun dia adalah remake. Aku senang karena actually di line up Best Picture Oscar tahun ini, ada dua film remake yang tampil demikian kuat melebihi film original mereka.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for WEST SIDE STORY.

 

 

 

That’s all we have for now

Sayang sekali film ini flop di bioskop kita. Menurut kalian kenapa film musikal enggak perform dengan baik bagi penonton Indonesia?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. perkyfinger says:

    Saya termasuk yg ga nonton di bioskop karena agak skeptis apalagi pas Ansel kena kasus pelecehan..Setelah sneak peek review nya Mas Arya jadi semangat pengen nonton filmnya nih 😀

      • perkyfinger says:

        Ansel ngaku, pembelaannya hookup sama cewe2 tsb sih consensual, tapi cewe2 yang dideketin ada yang underage. Star syndrome dgn predatory behaviour, apalagi pas dia tenar2nya sama Divergent + The Fault in Our Stars

  2. newadityaap says:

    Saya taun kemarin nonton ini di bioskop sampai 2x, yg pertama sestudio cuma isi 4 orang, itu pun pada walk out setelah adegan tawuran di gudang garam. Film ini dulu flop, selain karena orang kita belum terlalu minat drama musikal karena juga diapit film2 yg rame penonton. Di kubu film lokal ada trio Losmen Bu Broto – Seperti Dendam – Yuni, di kubu film luar masih ada Venom, minggu depannya pun udah siap2 antisipasi Spiderman. Jadi ibaratnya kalau punya uang/usaha terbatas buat k bioskop ya mending buat nonton Spiderman sekalian, ga usah yg lain2.

    • arya says:

      Hmm bener juga ya, pas tayang kemaren saingannya banyak – segmen penontonnya kebagi semua itu di 3 film indonesia. Tapi aneh juga tuh yang walk out, kok pas udah sampai bagian serunya baru out, pas udah mulai kelihatan konfliknya naik.

  3. Farrah says:

    Bbrp menit pertama nonton aku mikir film ini kayak ‘terlalu musikal’ & takut bosen, tapi makin diterusin malah jadi kagum bgt sm shot by shotnya (adegan kubangan Tony itu gokil sih, aku geleng2 sendiri), scoringnya juga bikin eargasm. Agak kaget juga endingnya kenapa tragis begini, pdhl di awal kan kayanya cheerful ya

    • arya says:

      Pengen stop pengen stop tapi adegannya makin unik aja.. aku nyangkanya endingnya bakal dibikin lebih happy apa gimana gitu, makanya diremake, eh taunya malah lebih tragis lagi rasanya hahaha

  4. soearadiri says:

    2021 beneran the year of musical movies! Bahkan Animasi terbaik taun ini, Disney kembali ke genre musical. Saya padahal expect-nya In the Height yg bakal jadi kontender, barengan sama Tic tic boom, fix gk ada yg lebih bagus, setelah dibikin mau muntah sama Dear Evan Hensen, ada film ini yg Gilak bagus banget. Metodenya macam Avatar. Plot simple, rapi, teknikal juara

    • Arya says:

      Hahaha iya kaaan.. aku yakin kalo aktornya gak berkasus, pasti Oscar menangin Sutradara (atau bahkan mungkin bisa menang lebih banyak lagi). Udah techinal masterpiece banget.
      Dear Evan Hensen film apa tuh, aku baru tau.. musikal juga?

      • soearadiri says:

        Kalo sutradara masih Jane Campion sih (sorry). Harusnya sih bisa 50/50 sama Dune dibagian teknikal, eh Dune malah borong semua. Kalo soal skandal kayaknya Oscar mah gk terllu mikirin. Pas si Casey Affleck menang aja dia lagi berkasus. Dear Evan Hansen adaptasi dari stage musikal dibikin film pemain, yg direct Stephen Chbosky-Perks being Wallflower makanya excited

        • Arya says:

          Dune ini salah satu yang aneh sih. Dengan teknikal wins sebanyak itu (yang major pula, bukan departemen terpisah kayak costume atau make up), jadi janggal sutradaranya bahkan gak dapat nominasi best director.

          Haha gapapa, buatku, Campion overrated di Oscar ini. Like, cuma dia yang kemenangannya kayak agenda (sutradara cewek prevails!) Bahkan winning speechnya juga not impressive to me. Pemenang lain umumnya bicara tentang karyanya. Setidaknya apa yang mereka bawa di dalam film itu. Campion speechnya cuma bacain ucapan terima kasih, kirain catatannya itu berisi banyak hal personal terkait kemenangan dan insight ke creative mind-nya. Would rather have Dennis di Dune sebagai nomine sutradara instead.

          Iya sih, kayaknya kalo gak langsung bersinggungan ama mereka kayak Si Will Smith yang ditindak, Oscar gak begitu peduli

          • soearadiri says:

            Oya, epik juga sih kalo Dennis yg menang atau dapet nom. Secara proyek Dune ini tuh impian doi banget dan dia udah ngelobby film ini ke Warner Bros. dari lama. Dan hasilnya cukup memuaskan. Kalo alesan ttp milih Jane Campion lebih ke nama dan person-nya dia. Actually siapapun yg menang tahun ini yaa rela2 aja sih. Yg jelas Jane Campion lebih pantes menang tahun ini ketimbang Chloe Zhao yg keliatan banget propo-nya. Meskipun gk adil bilang gini, cuma kalo Spielberg menang itu kayak Meryl Streep menang Best Actress lagi gk sih. Jadi sosok kayak gitu tuh kalo mau menang harus bikin karya yg lebih bagus dari karya terbaik mereka. Dan meskipun bagus banget, harus diakui West Side story’ bukan karya terbaik Spielberg. Dan saya pikir Spielberg tau itu, dan doi gk terlalu berharap menang juga

          • Arya says:

            Dan aku baru nyadar kalo West Side itu musical pertama Spielberg. At this point, he’s done it all. Udah gak mikirin award lagi pastinya kalo gitu mah ya

            Zhao kasian, awal tahun disodorin oscar, akhir tahun langsung kebanting setelah bikin eternals hahaha

          • Arya says:

            Jaws! hahaha..
            Ada satu dream team yang belum kesampaian sih: Spielberg ngedirect adaptasi novel Stephen King. How come mereka belum pernah kolab?

Leave a Reply