THE MENU Review

 

“…the only thing more pretentious than pretentious art is the people who love it”

 

 

Sebagai jemaat warteg, aku ternyata lupa kalo kuliner alias makanan bisa begitu.. fancy. Mewah. Dalam lingkup yang bukan sekadar estetik untuk dipajang di Instagram, melainkan mewah sedari konsep penyajian, pembuatan, dan cara menikmatinya. Kalo diliat-liat, seperti film ya, ada yang artsy-nya. Malahan saat nonton The Menu karya Mark Mylod, aku sempat kepikiran bahwa mestinya seorang sutradara film haruslah seperti si Chef di film ini. Apapun yang mereka sajikan haruslah punya konsep dan makna yang jelas dan terarah. Jika menu-menu masakan bisa dirangkai menjadi satu pesan storytelling, tentunya film juga bisa – dan harus – dibegitukan. Tapi ternyata bukan soal harus fancy begitu saja yang diingetin oleh film The Menu. Film ini mengulik dengan lebih dalam sehingga pada akhirnya memunculkan pertanyaan ultimate: apakah menjaga kemurnian kultur kuliner (dan mungkin, sinema) memang harus lewat seni yang fancy seperti itu? Tidakkah itu membuatnya pretentious? Apakah tidak cukup dengan sekadar menikmatinya saja? Bagaimana dengan kita, apakah kita benar-benar seorang penikmat seni, atau hanya menikmati ide bahwa ia harus mewah dan ide bagaimana kita adalah termasuk dalam kelompok elit yang mengerti kemewahannya?

Makanan dalam medium film sering dijadikan simbol, kadang dikaitkan sebagai imaji seksual, dan sering juga dimunculkan sebagai ungkapan-visual dalam cerita-cerita horor. Sepertinya itu karena makanan memang yang paling dekat dengan kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia. Sesuatu yang kita butuhkan untuk survive, sesuatu yang mengingatkan bahwa manusia punya urge. Dalam The Menu yang dikemas dalam horor bernada dark-comedy, makanan yang ditampilkan adalah suatu kemewahan. Karakter-karakternya adalah orang-orang kelas atas yang klaim mengerti dan merasa berhak mendapatkan kemewahan dalam makanan tersebut. Kritikus makanan, seorang foodie, bintang film, karyawan perusahaan besar, konglomerat: duabelas orang diundang untuk jamuan makan malam oleh resto resort Hawthorne di sebuah pulau. Chef Slowik (Ralph Fiennes dapet banget mainin juru masak yang tampak kaku tapi brilian dan benar-benar perhatian terhadap yang ia lakukan) bukan saja telah mempersiapkan berbagai course menu sebagai sajian untuk malam itu, melainkan juga disertai oleh konsep storytelling mengerikan yang terselubung.  Sajian demi sajian sebenarnya didesain untuk ‘menghukum’ para tamu. Namun kesempurnaan rencana yang dimasak olehnya terancam cacat. Karena di sana duduk Margot (Anya Taylor-Joy dengan mata bulat besarnya seolah menantang masakan dan maksud sang Chef), perempuan yang sebenarnya tak masuk ke dalam daftar undangan. Margot hadir karena menggantikan pacar dari teman yang mengajaknya. The show must go on, Margot dituntut harus menentukan sikap dan pilihan, yang tentu saja baginya berarti hidup atau ikut mati.

Enggak lagi-lagi deh nyuruh Voldemort ngurusin konsumsi

 

Horor ruang sempit The Menu bukan datang dari siapa pelaku sebenarnya. Cerita dengan cepat mengestablish ‘penjahatnya’ dari sikap Chef yang udah kayak pemimpin cult itu.  Intensi dan maksud si Chef di balik makanan-makanan dan aksi teatrikal penyajiannyalah yang dijadikan sebagai umpan horor. Kalo course-nya dibahas satu persatu, makanannya apa, maksudnya apa, maknanya apa bagi karakter yang sedang ‘dihukum’ tentulah akan jadi sangat spoiler. I won’t do that karena bakal sama aja dengan membeberkan semua isi filmnya. The Menu memang ‘rapuh’ seperti demikian, namun kerapuhannya itu hanyalah remahan kecil dari kelemahannya sebagai film. Yang mau aku fokuskan di sini adalah, bahwa sebenarnya The Menu memang berpotensi menjadi film yang sendirinya pretentious, dengan naskah yang disokong oleh karakter utama yang lemah, jika diracik oleh tangan-tangan yang salah. Untungnya, sutradara Mark Mylod beserta dua penulis naskah Seth Reiss dan Will Tracy paham pada kelemahan yang cerita mereka punya. Sehingga mereka work around it. Dan kalo ada satu kata yang harus kugunakan untuk mendeskripsikan taste nonton ini, maka kata itu bukan “maknyoss”, tapi “lincah!”

Gimana tidak lincah. Begini, salah satu flaw dari desain cerita The Menu adalah protagonisnya. Si Margot, yang merupakan outsider. Literally orang luar. Dia tidak berkenaan dengan masalah di dalam cerita. Dia bukan penggemar makanan. Dia tidak diundang di sana. Dia tidak ada sangkut pautnya dengan konflik yang dijadikan motivasi oleh Chef Slowik. Gimana coba membuat seorang outsider ini menjadi tokoh utama yang akhirnya jadi penggerak alur cerita? See, di sinilah kecerdikan naskah. Kelincahan The Menu. Penulis yang cuek ama skenario dan cuma mau ngasih kejutan dan melempar pesan-pesan kemanusiaan gak akan peduli dan akan menghasilkan horor yang sama sekali kosong. Sebaliknya, penulis The Menu berjuang untuk mengukuhkan posisi Margot. Memberikannya alasan untuk ada di sana. Kayaknya aku belum pernah menyaksikan yang seperti ini. The way film menemukan cara supaya kejadian di pulau itu jadi personal bagi Margot. Cara film memberikan pilihan yang harus diputuskan oleh Margot, lewat Chef yang langsung ‘menunjuknya’ Misteri satu lagi yang dipunya film adalah siapa sebenarnya Margot, dan revealing yang dilakukan film terhadap karakter utamanya ini bukan membuat kita semakin jauh darinya, melainkan justru semakin dekat. Margot perlahan menjadi semakin grounded dan relatable. Penulisannya ini kalo mau pakek istilah makanan lagi; bener-bener *chef’s kiss!

Gagasan yang diusung cerita pun lantas masuk lewat sini. Lewat persamaan Margot dengan si Chef. Lewat perbedaan Margot dengan karakter-karakter lain, termasuk dengan Tyler – cowok yang actually mengundang dia ke sana in the first place. Untuk gampangnya, kita ibaratkan saja si Margot dan mereka semua sebagai penonton di sebuah pemutaran film. Namun Margot cuma penonton casual. Dia bukan sinefil, bukan kritikus, bukan seniman. Margot gak peduli sama color grading, ratio, sinematografi, bahkan tema filmnya. Sementara yang lain sok ‘mengerti’ film dengan ber-fafifuwasweswos akan segala hal kecuali cerita film itu sendiri, Margot merasa tidak dapat  menikmati film ini. Cuma Margot yang tidak menikmati hidangan yang disuguhkan Chef, karena ibarat kita yang ke bioskop untuk nonton film, Margot ada di sana untuk memenuhi ajakan temennya makan-makan. Sedangkan si Chef, menyuguhkan sesuatu yang lebih kompleks karena tuntutan kelas atas yang ingin menikmati – bukan actual masakannya, tetapi menikmati mereka ada di sana untuk sesuatu yang spesial. Menonton si kritikus makanan yang tampak lebih enjoy mengkritik dan mencari kata-kata untuk menulis ulasan alih-alih makanan itu sendiri, aku merasa tersentil juga. Apakah aku juga telah jadi seperti itu saat menonton film – asik berkutat nyari ide ulasan saja ketimbang menikmati si film di momen itu. Semoga tidak. Menyaksikan para konglomerat dan kelas jet set di film ini lebih peduli sama gambar yang menampilkan kelakukan mereka di atas roti ketimbang menikmati roti itu, membuatku teringat sama pejabat-pejabat di pemutaran atau festival film yang lebih heboh sama citra dan waktu mereka tampil di kata sambutan daripada peduli sama film yang diputar. Yang paling amit-amit ya jangan sampai kita jadi sinefil yang seperti foodie di film ini. Dalam salah satu course disajikan ke hadapan mereka roti, tapi tanpa roti (cuma piring kosong dan toping), dan si foodie dengan soknya mengatakan itu sajian paling lucu dan paling keren. Cuma Margot yang tampak tersinggung disajikan makanan yang gak ada makanannya.

Itulah, jangan sampai kita, atas nama menjaga kemurnian makanan, sinema, atau apapun, menjadi pretentious seperti karakter-karakter di film ini. Yang telah menodai bisnis kuliner dengan kepentingan untuk memuaskan ego, merasa paling elit, merasa paling jago, paling nyeni sehingga saat dikasih makanan padahal gak ada yang mau dimakan pun, kita senang-senang aja. Film ini menunjukkan bahwa seni ternyata bisa menjadi pretentious karena dinikmati oleh orang-orang yang pretentious.

 

Kalo suka bilang ke orang, kalo gak suka bilang ke saya

 

Jadi sebenarnya The Menu adalah cerita tentang Chef yang merasa mulai kehilangan passion. Dia memasak tapi bukan lagi supaya masakannya dinikmati orang, melainkan untuk mengenyangkan ego para elitis yang sebenarnya tidak cinta sama kuliner. Hal tersebut memakannya dari dalam, sehingga ia memilih untuk melakukan horor yang ia lakukan. Makanya juga, interaksi Chef dengan Margot berkembang menjadi dalam tingkatan sentimentil. Cara Margot keluar dari sana buatku sangat menyentuh. Karena ternyata begitu sederhana, simpel, semua orang bisa. Tapi gak semua orang mau melakukannya. Sebagai orang yang pernah bekerja di bidang melayani orang kayak mereka (aku pernah buka kafe dan served customers myself), aku jadi ngepick up sesuatu yang ekstra. Bahwa film juga bicara tentang gimana kita bisa kurang menghargai para pembuat atau penyedia jasa, seperti chef atau koki. Perkara sepele seperti tak ucapkan terima kasih, minta bumbu esktra, atau lupa nama makanan, ternyata dapat begitu menyinggung bagi pembuatnya. Dan di film ini aku juga baru tau kalo mau motoin makanan aja sebenarnya perlu ijin atau concent pembuat juga. Semuanya itu kembali ke soal respek terhadap sesama dan kepedulian atas orang lain di atas diri sendiri.

 




Dengan motivasi penggerak berasal dari ‘penjahat’, dengan kejadian dan karakter yang diset untuk memenuhi suatu gagasan – sehingga dark comedy digunakan untuk menutup tingkah gak make sense dari karakternya, seperti yang kubilang tadi, film ini berangkat dari resep yang kemungkinan gagalnya lebih gede. Tapi sebagaimana hasil dari sebuah resep tergantung dari tangan yang bikin, film ini ternyata jadinya bagus. Fresh dan ngasih sesuatu untuk dipikirkan tanpa ikutan menjadi pretentious.  Sepanjang durasi kita akan dibuat terus penasaran mengikuti apa yang sebenarnya terjadi, mengikuti course demi course yang janggal dari Chef. Permainan akting pemerannya pun pada takaran yang pas, sehingga karakter mereka yang gak relate-relate amat jadi tidak over annoying dan kita masih merasakan simpati meski borok dan angkuhnya mereka tercuat ke permukaan. Film ini memang seperti dibuat untuk dinikmati sambil tertawa-tawa renyah, tanpa mengurangi nilai estetik dan kandungan ‘gizi’ yang dimuat oleh ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE MENU

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian cara yang tepat untuk menikmati film itu seperti apa sih?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

  1. arind garonk :) says:

    Penasaran pe, kemarin pengen nonton, tapi tiba2 hilang dari bioskop sini, trus muncul lagi, cuma di bioskop yang kecilan (biasa XXI, tapi belakangan cuma di 21). Kira2 ketonton ga ya ama gw, sanggup ga yah gw… serem ga sih.. wkwkwkw.. you know me laaah..
    tq pe…

    • Arya says:

      Tontonlah Rong, aman kok ini. Matinya paling ketembak doang, gak ada penyiksaan, hantu-hantuan dsbnya. Mumpung masih ada filmnya di bioskop hahaha

  2. Miaw says:

    Beberapa pertanyaan yang menimbulkan SPOILER ALERT!!!

    1. Penasaran si Chef itu ngomong apa ya ke Nicholas Hoult smp dia dengan ikhlasnya gantung diri, mas Arya tau ga?

    2. Trus kok itu semua anak buahnya si Chef pada nurut banget gada rasa takut sama sekali seperti sudah tau akan mati, juga, apakah hasil brainstorming kah termasuk semua pada ikhlas dipanggang gada yg mo ikut lari?

    Ending yang ga kebaca sama sekali dari sebuah trailer (ga kayak film Indo yang seluruh plotnya sdh diceritakan lwt trailer & sinopsis :-‘) ) Pas scene Hunt kirain sejenis Rumah Dara yang bahan makanannya adalah…

    • Arya says:

      Ngeliat dari sikap si Tyler yang sangat mengidolakan – mendewakan – si Chef, kayaknya ya dia udah hampir sama ama anak buah Chef. Mau melakukan apapun. Tyler kan sebenarnya udah tau kalo Diner itu bakalan berakhir dengan mereka semua mati, dia malah kayak bangga ada di sana kan. Jadi mungkin setelah dia gagal, si Chef bisikin something kayak Tyler gak worth it buat mati bareng mereka, jadi mati aja duluan haha..

      Iya, udah semacam dibrainstorming lah mereka, udah kayak pengikut sesat. Bedanya ini seni masak haha, pasti pada bangga banget mati sebagai bagian dari seni

      Hahaha iya sih, trailer film-film luar itu soalnya divisi produksinya beda ama film utuhnya. Makanya kadang yang diliat di trailer bisa beda banget ama film aslinya. Tujuannya ya memang supaya gak ngespoil banget filmnya. Kalo film kita kayaknya trailer dibuat untuk merangkum film biar pada ngerti dan mau nonton filmnya

  3. Irfan says:

    Long time no see Mas Arya, kayanya abis review Terrifier 2 sempet lama ga posting apa2 hehe

    Aku sangat menikmati The Menu secara keseluruhan. Merasa agak relate (bukan karena pernah kerja di industri f&b) tapi karena suka nonton acara chef macem Hell’s Kitchen atau Masterchef dan jadi suka lebih peduli dg rasa masakan (dan mengomentarinya), meskipun belum di level Tyler wkwk

    Terasa sekali dilema seorang chef atau kreator apapun di luar sana. Membuat dengan sepenuh hati juga belum tentu mendapatkan apresiasi yg diharapkan. Waktu bikin cheese burger, even kita penonton cuma lihat, kaya enak banget ya mas, mungkin krn dibuat pake hati juga sm chefnya. Aku rasa kalo chef kaya Gordon Ramsay kehilangan sedikit kewarasan, bisa aja bakal jadi kaya film ini haha

    • Arya says:

      Iya nih, November cuma posting 4 kali (lowest since tahun awal-awal bikin blog) hahaha… Soalnya setelah akhir bulan Oktober kemaren, ku sibuk ikut nyiapin Festival Film Bandung.

      Bener-bener dibikin menggugah selera burgernya. Kalo ini film indonesia, mungkin dia masaknya mi goreng kali ya. Gimana pun juga makanan mewah pasti selalu kalah sama makanan merakyat.. Si Chef juga keliatan free banget masaknya, gak pake mikir-mikir segala.
      Wah kalo Gordon Ramsay, mungkin bisa lebih seru lagi, kan jadi ada faktor untuk rating tv dan segala macem. Cocok tuh jadi sekuel xD

      • Irfan says:

        Oiya mas ada suatu hal yang cukup menarik setelah aku diskusi sama temenku soal The Menu ini.

        Di adegan terakhir waktu Margo makan burger di kapal, persis sebelum credit scene, ekspresi Margo kaya terkejut sekejap dan setelah itu tetap lanjut makan. Apakah ada hubungannya sama waktu Elsa jelasin ke tamu bahwa daging di sana diolah pada hari ke 152 untuk mendapatkan kelezatan maksimum dan jika diolah pada hari 153 bakal mematikan. Apa mungkin Margo inget soal itu dan bakal mati juga ya?

        • Arya says:

          Hahaha iya juga ya.
          Wah aku gak ingat sekuen endingnya itu gimana persisnya.
          Kalo ada penanda waktu yang nunjukin malam itu udah hari yang baru, mungkin benar dia bakal mati sebagai shocking ending xD

  4. Iduy says:

    Dari banyak review ini salah satu yg paling bagus ya menurut gw. Intinya nikmatin, baik buruknya sesuatu yang tersaji tergantung sudut pandang kita dan cara kita memberi apresiasi terhadap yang sudah membuat dan menyajikannya buat kita. Cukup bilang terima kasih atas usahamu, sudah bisa membuat orang lain bahagia. Gw suka liat sulap, tapi g perlu cari tahu dan sok tahu soal trik yang terjadi. Enjoy aja… Terima Kasih atas Reviewnya, dan terus maju.

    • Arya says:

      Nah bener, terkadang kita merasa perlu tahu sampai ke rahasia ‘dapur’ yang ditonton dan lantas menyimpulkan suka atau tidak dari apa yang terjadi di ‘dapur’ tersebut. Bukan lagi menikmati dan menilai yang dihidangkan. Nonton film memang menurutku harusnya ya kayak kita nonton sulap. Paling enak kalo ditonton saat sama sekali belum tau ‘trik’2 atau malah apapun tentangnya. Lucunya, pembuat-film sekarang malah ada juga yang ngasih info trik-trik dapur ini buat promosiin film, segala clue atau reference yang ia tanam dibeberin di sosmed untuk ngundang penonton nonton dan menemukan/membuktikan semua. Padahal jadinya nyuapin dan menghilangkan magic dari film itu sendiri.

      Terima kasih kembali, sudah mampir baca di siniii

Leave a Reply to IrfanCancel reply