Normalnya, bulan Januari-Februari di bioskop itu agak adem ayem, karena biasanya film yang tayang di awal tahun itu ya tipe film yang ga rame enough untuk tayang di musim-musim liburan. Tapi di blog ini, bulan-bulan tersebut biasanya justru yang paling sibuk. Karena waktu tersebut merupakan last chance buat nontonin film-film yang kelewat di tahun sebelumnya, serta ngejar nontonin film-film yang masuk nominasi Oscar. Tahun yang sudah-sudah, blog ini entrynya paling banyak ya di bulan-bulan awal tersebut. Untuk itulah aku bersyukur bikin segmen Mini-Review. Karena sekarang ku punya slot khusus untuk film-film itu, sehingga gak perlu kayak kebakaran jenggot lagi ngejar ngulasnya. Jadi, inilah Mini-Review pertama di 2023, yang di antaranya berisi tiga nominasi Best Picture Oscar yang baru saja ketonton!
AFTERSUN Review
Jika dirancang dengan baik, struktur penceritaan dapat mengangkat feeling yang terkandung di dalam narasi menjadi berkali-kali lipat lebih emosional. Aftersun, debut sutradara Charlotte Wells ini contohnya. Kisah seorang perempuan yang mengenang masa-masa liburan bersama sang ayah saat ia masih kecil, tidak diceritakan Charlotte dengan sedatar pakai flashback. Charlotte benar-benar paham dengan apa yang sedang ia sampaikan, dia punya visi yang kuat, sehingga tindak mengenang-masa tertentu itulah yang ia wujudkan lewat struktur dan gaya bercerita.
Nature dari kenangan yang episodik, dan much more dreamy dari reality itulah yang benar-benar divisualkan oleh film. Dijadikan hook emosional juga tatkala kenangan yang diambil itu dibentrokkan dengan apa yang terjadi di masa sekarang. Di sinilah ketika film sekali lagi berhasil menjelma dengan luar biasa emosional. Sophie yang berumur 11 tahun lagi liburan di Turki bareng ayah, mereka ke pantai, main game, kenalan sama orang baru, berenang – semua yang manis-manis itu ditangkap oleh film lewat estetik, kamera, warna, bahkan suara yang kontras dengan sesuatu yang membayangi. Melalui interaksi mereka, keingintahuan kita tentang ini sebenarnya cerita tentang apa menemukan pegangan pada sesuatu yang lebih naas. Bahwa ini anak yang sedang menelisik ulang, sedang berusaha mengenali lebih dekat siapa sosok ayahnya, lewat kenangan yang bisa jadi satu-satunya yang ia punya tentang sang ayah. Keputusan film untuk tidak ‘meneriakkan’ yang merundung Sophie saat dewasa, lantas menghantarkan kita pada apa yang menurutku membagi dua penonton film ini. Tidak puas karena tidak ada finality yang jelas. Atau tercenung merasakan aftertaste getir yang luar biasa kuat.
Namun di luar itu semua, aku yakin penonton bakal satu suara soal betapa hangat dan manis (tapi tragisnya) hubungan ayah dan anak itu tergambar. Chemistry antara Paul Mescal dan Frankie Corio tak pelak jadi pesona utama yang bikin kita semua peduli dan menyimak sampai habis.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for AFTERSUN
.
ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT Review
Semua film perang basically adalah propaganda anti-perang. Mereka menyampaikan itu dalam berbagai cara, ada yang menelisik propaganda untuk terjun perang itu sendiri, ada yang langsung mengajak penonton mengalami langsung suasana perang, ada yang mengeksplorasi dampak setelah perang, dan lain-lain. Intinya film-film itu akan menunjukkan betapa perang adalah sebuah horor kemanusiaan. Edward Berger dalam film perang adaptasi-novel ini, semacam menggunakan semua cara tersebut. All Quiet on the Western Front sungguh bakal jor-joran membuat kita melihat horornya perang, dan membiarkan kita terhenyak dalam keheningan di ending, saat semua dar-der-dor dan dag-dig-dug dan asap tembakan itu hilang dari layar.
Momen yang buatku paling nohok adalah saat film actually memperlihatkan gimana para anak muda yang bersemangat jadi tentara itu sebenarnya gak tahu apa-apa, gak nyadar bahwa medan perang ternyata begitu mengerikan. Kontras antara yang mereka rasakan sebelum berangkat, dengan saat sudah berlarian diberondong peluru itulah yang buatku terasa baru di film ini. Sebagian besar dari karakter film ini ketakutan setengah mati! Kemudian emosi itu semakin menjadi-jadi tatkala kita melihat mereka sebenarnya tahu bahwa pihak lawan juga sama takut, sama tak berdaya, dan mungkin sama menyesalnya, tapi mereka tetap harus saling bunuh. Itulah yang buatku paling spesial dari film ini.
Sehingga bagian-bagian yang over-the-top kayak potongan tubuh di atas pohon, mayat-mayat dan sebagainya, teriakan dan desain musik yang agak trying too hard biar seram, terasa tidak lagi benar-benar diperlukan. Film ini sudah berhasil di momen-momen kecil yang menguarkan perasaan para pemuda di medan perang. Gimana mereka menikmati makan angsa colongan, untuk kemudian dikontraskan dengan kejadian di medan perang. Untuk film yang punya kata Quiet pada judul, narasinya sendiri agak terlalu banyak nge-generate noise yang menurutku bisa lebih diefektifkan lagi. But still, film ini tepat menembak sasarannya. Perang itu mengerikan!
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ALL QUIET ON WESTERN FRONT
BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER Review
Kepergian Chadwick Boseman certainly ninggalin lubang menganga di hati para penggemar dan kolega-koleganya, dan ini juga tercermin pada franchise superhero yang ia tinggalkan. Lubang menganga dari kepergian karakter T’Challa sebagai protagonis di Black Panther terasa begitu susah untuk ditutup, membuat sekuel yang digarap oleh Ryan Coogler secara naratif terasa berantakan. Rewrite yang mereka lakukan buat karakter-karakter yang ditinggalkan terasa banget membekas, jadi rajutan kasar pada overall sajian filmnya.
Wakanda Forever bekerja terbaik ketika mendalami soal kematian T’Challa. Gimana dampaknya bagi Ramonda yang jadi naik tahta lagi. Bagi Shuri yang merasakan grief sekaligus menyalahkan diri sendiri atas kematian sang abang. Dan pada rakyat Wakanda lainnya. Aku pikir harusnya film menahan diri dan berkutat dulu pada masalah ini. Bikin Wakanda Forever sebagai complete tribute, bagi sang karakter, sekaligus aktornya. Tapi mungkin karena agak segan cashin’ in cerita dari real tragedi, atau mungkin karena film ini bagaimana pun juga adalah roda-gigi dari proyek yang gak bisa segampang itu diubah rancangannya, maka Wakanda juga langsung mentackle sekuel sebagai aksi superhero. Hasilnya mungkin kedua kepentingan itu masih bisa terikat, tapi menghasilkan bentukan yang weird dan terutama agak maksa bagi karakter pengganti superhero utama, si Shuri.
Durasi lebih dari dua jam setengah nyatanya gak cukup untuk bikin naskah superpadet ini rapi. Kita masih akan sering berpindah dari Shuri, ke karakter lain, membuat development Shuri jadi tidak terasa benar-benar earned. Ada aspek dari dirinya yang jadi kayak dilupakan, makanya relasi Shuri dengan Namor tidak pernah benar-benar terasa genuine. Namor pun terasa kayak penjahat random yang aksinya gak benar-benar fit in ke dalam narasi keseluruhan, rencananya terlihat aneh. There’s so much going on. Makanya aku lebih suka Quantumania yang lebih contained dan terarah.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER
ELVIS Review
Yang unik dari biografi karya Baz Luhrman ini – selain karakter titularnya yang punya aksi nyentrik di panggung – adalah perspektif cerita. Kita tidak melihat cerita ini dari si Elvis himself, melainkan dari seorang Colonel Tom Parker. Manager sang Raja Rock ‘n Roll. Dan meskipun itu jadi modal film ini untuk bisa langsung netapin motivasi karakter itu sebagai penggerak cerita, dalam perkembangannya perspektif itu tidak pernah benar-benar jadi utama melainkan hanya terasa jadi excuse supaya cerita bisa ‘melayang’ dari satu titik di kehidupan dan karir Elvis ke titik lainnya, tanpa benar-benar mendalami kehidupan itu sendiri.
Padahal Austin Butler sudah benar-benar ‘serius’ menjelma jadi Elvis. Gaya bicara, mannerism, bahkan dandanannya terlihat lebih natural dan inviting ketimbang riasan over yang malah seringkali nutupin kecemerlangan akting Tom Hanks. Tapi film lebih memilih untuk merayakan teknis yang artifisial. Permainan montase dan editing terasa terlalu banyak, dan at times lebih glamor daripada gimana subjek (atau di sini jadi objek?) diperlihatkan oleh ceritanya sendiri. Permasalahan di karir seperti di-cancel TV karena aksi panggung yang seloroh, pandangan rasis waktu periode itu, dan lain sebagainya, tidak terasa benar-benar punya penyelesaian yang saklek. Hubungan naik-turun antara Elvis dan Colonel pun – karena ini supposedly cerita dari Colonel – tidak begitu memuaskan meskipun kita sudah berhasil tersedot untuk peduli.
Tapi di balik confused-nya diriku terhadap penceritaan dan fokus film ini, toh tak bisa dipungkiri juga film ini jadi punya energi luar biasa nyetrum. Dan mungkin inilah tujuannya. Membuat suatu presentasi yang seperti punya ruh Elvis itu sendiri. Sehingga ketika penonton menyaksikannya, film ini lebih dari sekadar menuturkan ulang kisah hidup si Bintang. Melainkan live-and-breath his personality.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ELVIS
INFINITY POOL Review
Nama Cronenberg memang tidak akan mengkhianati ekspektasi kita, karena Infinity Pool karya Brandon Cronenberg mungkin memang enggak se-jijik film bokapnya, tapi tetaplah sebuah pengalaman horor yang bikin badan jumpalitan saking aneh dan nekat konsepnya.
Film ini dimulai dengan premis yang sangat menarik. Penulis dan istrinya liburan di resort, mereka kemudian berteman dengan sesama turis, mereka have fun together, lalu uh-oh mobil mereka gak sengaja menabrak orang lokal hingga tewas. Si penulis, yang nyetir, dihukum mati oleh polisi setempat. Nah, hukuman matinya itulah tempat kegilaan konsep Brandon berada. Ada sesuatu soal kelas sosial yang ingin dibicarakan di sini. Daerah turis yang melihat wisatawan sebagai kantong duit, dan turis yang merasa punya duit berarti bebas melakukan apapun; interaksi itulah yang membentuk konsep aneh cerita film ini.
Jadi aku menunggu. Nunggin buah apa yang bakal kita petik dari Penulis dan teman-teman kayanya sengaja berbuat onar karena mereka punya duit untuk membayar program clone. Jadi yang dihukum mati adalah clone mereka, sementara mereka sendiri bebas ngelakuin apa saja termasuk kriminal. Tapi ternyata loop yang dimaksud pada judul, memang hanya repetisi. Dengan cepat keseruan tindak mereka jadi datar ketika tidak ada ujung, tidak ada konsekuensi nyata. Film kayak pengen bahas drama dari eksistensi, like, siapa tau si Penulis yang asli justru sudah mati – ketuker ama kloningan. Tapi enggak. Pengen bahas konflik antara Penulis dengan istrinya, juga enggak pernah benar-benar ke arah sana. Pada akhirnya yang kunikmati bahkan bukan gore-nya, namun kegilaan Mia Goth sebagai Gabi yang ternyata jauh lebih sinister dari kelihatannya. Calon adegan favorit tuh, Mia Goth teriak-teriak di babak ketiga hihihi
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for INFINITY POOL
NOKTAH MERAH PERKAWINAN Review
Film yang paling banyak direkues nih, untuk diulas. Tapi aku baru bisa menontonnya saat tayang di Netflix. Dan I’m sorry to say, karya Sabrina Rochelle Kalangie ini might be jadi runner up kalo akhir tahun kemaren aku jadi publish daftar Top-8 Film Paling Overrated 2022
Kita udah bahas gimana Aftersun dan Elvis melakukan sesuatu dengan cara berceritanya sehingga film itu jadi terangkat jadi something else. Aftersun menjadi lebih emosional dan genuine, sedangkan Elvis jadi punya perspektif unik sebagai landasan narasi. Noktah Merah juga berusaha membuat nature datar dari cerita rumah tangga yang sus ada perselingkuhan punya spark, dengan sedikit ‘mengacak’ perspektif. Tapi strukturnya itu tidak berbuah apa-apa selain perspektif yang aneh (kalo gak mau dibilang kacau). Film ini narasinya dibuka oleh karakter ‘pelakor’. Seolah dia karakter utama. Dia curhat kepada karakter lain soal dia cinta sama pria yang beristri, tapi yang kita lihat sebagai ‘cerita’ dari dia itu tidak pernah mewakili perspektifnya. Kita melihat drama biasa, yang actually di luar perspektif sang karakter. Cerita ini lebih cocok kalo membuat sang istri jadi karakter utama, jika perspektif istri yang jadi utama. Karena semua masalah itu sepertinya ada di kepala karakter ini. Walaupun nanti si pelakor dan istri bertemu, tapi perspektif para karakter ini gak pernah melingkar, karena cerita resolve (tau-tau) dari persoalan anak. Naskah film ini jadi benar-benar choppy setelah usaha untuk membuat penceritaannya bergaya.
Momen emosional film pun hanya bersandar pada dialog-dialog banal istri dan suami yang saling meledak. Sementara untuk momen-momen yang ‘diam’, yang diserahkan kepada kita untuk merasakan masalah atau emosi, film ini gak benar-benar punya. Karena dengan perspektif yang gak kuat, momen-momen tuduhan istri atau momen yang bisa jadi-masalah, ya hanya terlihat seperti kekeraskepalaan sang istri, atau suami yang ‘melarikan diri’. Momen-momen yang mestinya genuine feeling itu jadi hanya annoying.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for NOKTAH MERAH PERKAWINAN
THE WHALE Review
The Whale is beautiful. Sedih, sih, memang. Tapi beautiful, Aku jeles. See, aku orangnya masa bodo dan sering dikatain hidup di dunia sendiri, jadi iri adalah satu rasa yang paling gak relate buatku, tapi ya, aku berhasil dibuat Darren Aronofsky merasa iri kepada Charlie, pria yang really let himself go sampai membahayakan dirinya sendiri.
Aku iri karena Charlie masih bisa begitu optimis kepada orang lain, meskipun dirinya telah menyerah kepada dirinya sendiri. Loh? Iya, di situlah kompleksnya cerita film ini. Aku ingin seperti Charlie yang percaya bahwa masih ada cinta dan kepedulian pada semua orang, bahwa people incapable of not caring. Mereka cuma harus jujur kepada diri sendiri. Dan kepercayaan Charlie tersebut benar. Man, aku hampir nangis di ending. The Whale bukanlah cerita tentang orang yang gendut kemudian meratapi nasibnya. Justru sebaliknya, film ini adalah tentang orang yang sudah tahu dirinya tak tertolong, tapi dia percaya cinta itu ada, dan mencoba menolong orang-orang terdekatnya untuk menemukan hati mereka. Makanya karakter Charlie ini begitu kontras. Di kala sendiri kita melihat his destructive behavior terhadap diri sendiri, makan segitu banyak sampai jantungnya berontak. Gak mau ke dokter karena dia nyimpan duit untuk putrinya. Yang grew up membenci dirinya. Ada begitu banyak adegan yang hard to watch, hingga ke perilaku putri Charlie (Sadie Sink sukses jadi anak paling nyakitin sedunia akhirat) Tapi film bersikukuh untuk kita melihat Charlie tanpa belas kasihan, melihat Charlie menyerap itu semua sebagai hukuman diri, dan menumpahkan cintanya di balik itu semua. Tanpa harap kembali. Itulah bentuk dia dealing with grief dan rasa bersalahnya.
Drama di satu tempat tertutup, with nothing but dialog dan raw emotions. Ini adalah cerita seorang pria yang nothing to lose, melainkan punya banyak untuk dibagi kepada dunia yang bahkan terlalu jijik untuk memandangnya. Brendan Fraser juara banget di sini, kalo bukan karena persona dan pemahamannya terhadap Charlie, karakter dan film ini gak bakalan worked seindah – dan semenyedihkan – ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for THE WHALE
WOMEN TALKING Review
Sebagai nominasi Best Picture Oscar, Women Talking karya Sarah Polley memang benar bicara tentang hal yang relevan, dengan cara yang menggugah pikiran dan hati kita sekaligus. Mengenai perjuangan perempuan, yang masih saja terus seperti berada di posisi jahiliyah di mata kuasa lelaki. Untuk itu saja, film ini mampu bikin kita tetap melek, pasang telinga, menyimak apa yang mereka permasalahkan. Untuk ikut mencari apa yang sebaiknya dilakukan. Untuk ikut peduli sama masalah ini, lebih dari soal feminis tapi jadi soal kemanusiaan pada dasarnya.
Perempuan-perempuan dalam film ini berembuk setelah sekali lagi, salah satu dari mereka terbangun dalam keadaan sudah tak-perawan. Dibius pake obat bius sapi. Diperkosa oleh laki-laki, sekampung sendiri. Para perempuan itu mendiskusikan apakah mereka akan tetap tinggal di koloni, dan berontak melawan. Atau pergi dari sana. Sebagian besar durasi film yang warna dan settingnya juga dibikin kayak kisah jadul ini membahas tentang debat para perempuan, mikirin pro dan con dari dua pilihan tersebut. Dan demi Tuhan – oh aku bakal dirujak ngatain ini – film ini jadi boring karenanya. Debat mereka repetitif, dan terasa seperti percakapan yang mengawang-awang ketimbang solving problem.
If anything, aku teringat dan jadi membandingkan ini sama 12 Angry Men (1957). Yang kayaknya kukasih 8 atau bahkan 9 kalo mau direview. Percakapan pada film itu terasa benar-benar lock dan punya weight dan pada gilirannya emosional untuk disimak, karena ironisnya punya dasar logika yang kuat. Orang bilang cowok naturally lebih pakai logika ketimbang perasaan, but no, justru masalah di cerita itu muncul ketika para juri pria itu mendakwa tersangka dengan perasaan. Prasangka. Dengan judgmental. Mereka, para cowok, juga harus belajar melihat dengan logika. Dan di situlah letak mengawang-awangnya Women Talking. Argumen-argumen mereka terasa seperti perbincangan logis yang diputar-putar oleh perasaan. Sehingga masalah itu enggak selesai-selesai. Mungkin memang itu tujuannya. Memperlihatkan bahwa bagi wanita, semuanya susah, apa-apa pasti dijudge, bahkan di antara mereka sendiri. Di sini protagonisnya karakter optimis juga kayak Charlie di The Whale, dia dihamili tapi masih percaya pada potensi dia akan memaafkan sang pelaku, siapapun itu. Sehingga keputusan yang mereka ambil dari sikap-sikap kayak gini jadi terasa emosional dan penting.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for WOMEN TALKING
That’s all we have for now
Dengan ini semua film nominasi Best Picture Oscar sudah kureview, silakan follow akun twitterku di @aryaapepe karena biasanya menjelang Oscar aku suka bikin prediksi di sana hehehe
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Aku cuma nonton Black Panther sama Noktah Merah mas. Oh jelek nilai Noktah Merah nih? Yang kuingat ga ada kemajuan sama sekali alurnya dari masalah miskomunikasi dan suaminya yang lari terus. Kecuali bagian terakhir pas sidang baru suaminya berani dan terus damai. Btw kalau ini runner up overrated, juaranya siapa mas? Hehehe.
Bener, kesel nontonnya muter-muter, si istri kesel suaminya ngindar dari masalah, kita juga kesel filmnya gak langsung bahas dan juga manjang2in masalah dengan hal annoying.
Juaranya? Mencuri Raden Saleh ahahaha.. psstt
MRS sih aku masih menikmati walau logikanya ga masuk. Hahaha. Baru nonton The Woman King nih aku, cerita Afrika mirip Black Panther hehehe.
At best, MRS itu ya kayak si Missing. Genre. Pure entertainment. Tapi bisa masuk nominasi terbaik FFI, kan overrated tuh jadinya itungannya hahaha
Gak nyangka Noktah bakal dapat 4, kirain bakal dapat minimal 5. Menurutku filmnya gak annoying sih, enak ditonton tapi kalau dibilang berhasil mencapai titik emosi yang diharapkan menurutku kurang. Film ini sebatas membuatku teringat oh aku pernah ada di posisi ini sebagai anak, terjepit di tengah konflik. Berbeda dengan NNS yang sering menguras emosi, Noktah hanya sebatas menyentil sedikit di babak akhir. Adegan awal terbaik sih menurutku, jarang-jarang dimulai dari orang ketiga, terus scene yang ada Ayu Azhari selalu lebih dapat feel-nya. Yang mengesalkan ya karakter Gilang yang nunggu ditangkap basah Ambar dan Yuli yang kelewat pasif
Kalo berakhir di Sheila Dara ngakuin aja sih, mungkin bisa lima, karena benar-benar mengangkat orang ketiga yang jarang-jarang itu dengan full sebagai perspektif utama. Tapi ini semacam masalah si B, cerita dimulai dari si A, penyelesaiannya ada di C. Jadi terlalu all over the place sih
Setelah kupikir2, mungkin si sutradara, penulis, dan PH ingin mempertahankan ciri khas dan momen yang ada di sinetronnya tapi dengan kemasan yang berbeda. Kalau sepenuhnya bersandar pada perspektif Yuli, mungkin mereka takutnya elemen nostalgia dan adegan tertentu gak bisa diperlihatkan, jadinya ya multitafsir, lebih ke pecah tiga perspektif antara Yuli, Gilang dan Ambar. Lucunya Yuli mau aja jadi keset sama pacarnya
Iya, kemasannya yang harusnya lebih dimatengin. Gimana supaya adegan-adegan ciri khas itu ada, tapi juga enggak jadi gitu-gitu melulu. Gimana mengangkat perspektif Yuli, tapi tidak sampai membuat dia jadi seolah perspektif utama, dll
Wah Pengennya The Whale dibikin Review panjang. Pengen lebih tau kaitannya sama buku sejuta umat Moby Dick, yg di versi teaternya juga sering di mention. Saya nangkep, cuman Belum bisa benar2 paham…
Kalo dari paralel temanya, mungkin Moby Dick dipakai karena sama-sama tentang orang yang mencari meaning sebagai tujuan hidup. Secara simbol, mungkin si Charlie menganggap ia sebagai paus, dan anaknya sebagai Kapten Ahab. Dia melihat anaknya pantas mencari ‘revenge’ terhadapnya, pantas untuk membencinya. Aku suka gimana Moby Dick akhirnya dimasukkan ke dalam narasi sebagai elemen penting, pas diungkap bahwa essay yang selalu dibaca Charlie ternyata ‘review jujur’ yang ditulis oleh Ellie waktu kecil
Oh iya. apalagi pas terakhirnya si Ellie bilang “Daddy Please”. Itu kayak seseorang yg berhasil mencapai tujuannya tapi malah joyless. Epic sih. Epic Comeback
Udah lupa kapan terakhir speechless pas abis nonton film
Bersorak banget pas Ellie akhirnya manggil Charlie dengan ‘Daddy’!
Tapi jatohnya jadi devastating GK sih buat Ellie. Like, dia melakukan hal2 dan mengucapkan kata2 yg menyakitkan itu karena pengen Charlie menderita. Dan dia berhasil, tapi dia GK dapetin kepuasan yg diinginkan alih2 dia jadi Sayang sama Charlie
Sama kayak si perawat/temennya itu sih. Dia ada di sana buat Charlie gimana supaya bisa sembuh, ternyata kan Charlie-nya gak mau sembuh. Devastating bagi dia yang perawat untuk membiarkan ‘pasiennya’ memburuk – dia terus beliin makan. Yang bisa berarti dia sudah respek sama keputusan Charlie.
Kupikir Ellie di akhir itu juga jadi belajar respek sama keputusan Charlie. Circled back ke awalnya dia membenci Charlie setengah mati karena gak ngerti sama keputusan ayahnya untuk pergi.
Mas, rilis top 8 film overratednya dong, penasaran nih hahahaha
Wahahaha, based on ramenya di timeline yang bilang bagus, waktu itu yang masuk ke draft di antaranya Noktah, Raden Saleh, Perfect Strangers, Glass Onion, Big 4, Ivanna, Smile, Fresh, tadinya mau masukin KKN juga tapi kayaknya semua orang juga tau itu film jelek (tapi tetep ditonton anyway) XD
Wah iya Glass Onion, aku cukup berekspektasi tinggi setelah liat score rotten sampe >90%, tapi pas ditonton kok cenderung b aja, masih mencoba positif thinking di pertengahan, eh tau tau abis ceritanya
Sampai masuk nom writing Oscar juga, gila, apa kekurangan pool materi adaptasi ya mereka sampai-sampai film ini dimasukin. Padahal kalo mau dibandingan bentuk/kreasi ke genre whodunit, See How They Run lebih bagus mencincang-cincang genre itu.
Jailangkung Sandekala apa gak masuk list overrated juga Mas?
Lolos dia dari list. Karena film-film jelangkung modern sebelumnya parah semua, jadi yang kali ini dianggap sebagai ‘ada peningkatan’ dibanding yang sudah-sudah hahaha
Dipikir2 lebih overrated Ivanna sih, Jailangkung Sandekala kurang di eksplorasi cerita sama makhluknya. Qorin karya terbaik Lele Laila berarti ya Mas? Ngaruh juga ya peran produser & PH ke naskah
kadang agak kecewa, Film bagus di review singkat, tapi Film jelek di Review Lengkap
Honestly, setelah bikin volume 7 akhir tahun lalu, persoalan itu juga jadi concernku. Apalagi pas beberapa filmnya juga masuk Oscar. Langsung sedih juga, berarti ini kali pertama nominasi Best Picture ‘gagal’ kureview panjang. Some of them yang menurutku memang pantasnya direview panjang (karena bener-bener relate dan kena secara subjektif buatku) ada Fabelmans, Banshees, Tar, dan sekarang The Whale, Aftersun. Tapi ya masalahnya itu sih; keteteran waktu. By the time, film-film itu kutonton, di bioskop udah ada film baru, yang lebih urgen direview duluan biar blog terupdate.
Tapi semoga ini cuma karena pas lagi di musim award aja yaa
Bang maaf oot biasanya kalau mau download poster film yang HD dan bening tuh di situs apa sih bang. Suka heran dari dlu kenapa situs2 review selalu bisa dapet poster yg kualitasnya bagus. Apa daya aku yg download di google buat dijadiin walpapaer malah dapetnya yang pecah2. Haha
bang, apa udah review A Man Called Otto?
Beluum, aku nonton yang digitalnya aja nanti kayaknya, kemaren ketinggalan di bioskop
Bang maaf oot mau tanya biasanya kalo download poster film yang HD dan bening bgt biar di zoom ga pecah tuh dimana sih. Suka heran deh kenapa di web review posternya selalu bening pake banget haha. Mau buat walpaper laptop tpi cuman download di google yg kualitasnya nano nano!!!
Biasanya aku kalo gak screen cap di IMDB, nyarinya di impawards.com. Ketik ‘judul impawards’ di google, trus pilih tab gambar