“Things we lose have a way of coming back to us in the end, if not always in the way we expect”
Arti kehilangan, menurut Umay Shahab, adalah ketika semuanya berhenti di sini. Efeknya memang sungguh devastating ketika kita direnggut dari kebersamaan dengan orang yang kita sayangi. Duka mendalam, rindu yang berat menggelayuti tanpa pelampiasan, atau rasa bersalah karena enggak sempat say good bye dengan proper. Rundungan perasaan yang mendera itu telah countless times diterjemahkan menjadi karya, paling sering sih, jadi cerita horor. Grief, kenangan, rasa bersalah, seringnya dijadikan hantu yang terus menggentayangi. Namun Umay, mengambil penyimbolan yang lebih dekat dan lebih akrab dengan usia mudanya. Dengan dunia modern yang tidak begitu asing bagi dirinya dan kita semua, dan even more advance. Film Ketika Berhenti di Sini memotret perasaan kehilangan dalam lingkup teknologi. Sebuah fiksi ilmiah alih-alih suspens kelam. Bayangan hantu digantinya menjadi pendar visual hologram. Konsep dunia yang lantas mencuat di tengah skena sinema tanah air yang lagi khusyuk dengan cerita horor dan daerah pedalaman dan juga setting waktu yang bernostalgia. Film ini seolah menegaskan bahwa rasa kehilangan itu memang sekekal itu, past, present, future. Selama manusia merasakan cinta, manusia akan merasakan kehilangan, maka hadirlah film ini untuk membantu kita melewati perasaan itu saat tiba waktunya ia berhenti di kita.
Aku melewatkan karya pertama Umay (karena waktu itu aku belum elligible untuk bisa masuk ke bioskop…) dan setelah nonton film keduanya ini, kupikir aku bakal check it out di platform sesegera mungkin. Karena yang ditawarkan Umay ternyata adalah sudut pandang yang menarik. Passionnya pun terasa, Reference Umay bikin film ini pun, kayaknya, gak banyak pembuat film lain yang ‘berani’ ngambil. Saking ribet bahasan, dan konsep sci-fi yang butuh riset ekstra. Ketika Berhenti di Sini bermain dengan tema manusia dealing with kehilangan dengan bantuan A.I. terasa seperti episode serial Black Mirror. Selain itu, juga ada obvious movie reference yang disebut di dalam narasi, yaitu filmnya Jim Carrey tahun 2004, Eternal Sunshine of the Spotless Mind; film yang kompleks membahas dua orang yang ingin saling melupakan, tapi mereka tetap saling ketemu mengulangi siklus jatuh cinta dan putus. Dita, protagonis Ketika Berhenti di Sini, suka sekali Eternal Sunshine. She dressed as Clementine (karakter cewek di film tersebut) saat pesta kostum. Dan yang bakal dialami Dita dalam cerita ini juga gak jauh dari soal gak bisa melupakan.
Mahasiswi jurusan desain grafis ini sedari awal cerita sebenarnya udah struggling dengan kematian ayahnya. Kematian yang belum bisa dia ikhlaskan, dia malah menganggap ayahnya tidak menepati janji selalu ada mendukungnya. Ketika dia kenalan dan jadi deket sama cowok penggemar teka-teki dan teknologi, Ed, keduanya tampak klop dan mereka membicarakan hal-hal ‘deep talk’, topik kematian lantas muncul ke permukaan. Sementara Ed tampak menganggap kematian sama sakralnya dengan kelahiran, Dita memandang sebaliknya. Kita bisa melihat betapa Dita detests death, yang datang tanpa bisa dipersiapkan. Malang bagi Dita, empat tahun setelah menjalin hubungan dengan Ed yang sukses occupied her mind dengan cinta, kematian itu datang lagi. Menjemput Ed, justru di saat Dita lagi punya masalah dengan hubungan mereka. Sama seperti saat kehilangan ayahnya, hidup Dita lantas stop kembali. Dua tahun berlalu, Dita masih belum bisa melepaskan Ed sepenuhnya. Sahabat terdekat Dita, termasuk Ifan yang dari dulu menyukainya, mencoba mengisi hidup Dita. Tapi perempuan itu tampak semakin susah dijangkau, terlebih ketika Dita mendapatkan kacamata khusus yang bisa memproyeksikan A.I. hologram dengan wujud dan suara persis seperti Ed.
Pelajaran mengikhlaskan nomor satu dari film ini adalah mereka yang telah pergi sesungguhnya tidak pernah beneran pergi. Mereka akan kembali kepada kita dalam ‘bentuk’ yang gak akan pernah kita duga. Jadi, apresiasilah yang datang ke hidup kita sebesar kita menghargai yang telah pergi.
Things got really interesting saat membahas Dita dan hologram Ed. Film ini membuat cukup ambigu mengenai apakah si teknologi ini begitu canggih sehingga A.I. Ed bisa muncul dan bersikap sefluid aslinya ataukah Ed yang kita lihat itu sesungguhnya cuma proyeksi dari perasaan Dita yang bergulat dengan proses mengikhlaskan. Karena memang film ini paham betapa pentingnya building up dalam penceritaan. Si hologram Ed awalnya dihadirkan bersikap seperti A.I. pada umumnya. ‘Kaku’ kayak Siri atau Alexa, bedanya ada wujudnya. Film malah memperlihatkan sosok hologram yang lain dulu sebelum menghadirkan wujud Ed. Cuma berdiri. Perlahan, seiring Dita tampak semakin nyaman, hologram Ed mulai bisa duduk, bahkan bisa ikut berlari menemaninya olahraga. Ngomong-ngomong soal build up, relasi antarkarakter juga dibangun dengan seksama. Gimana perasaan Ifan terhadap Dita. Gimana Dita dan Ed kenalan hingga bisa saling suka. Film ngasih waktu banyak untuk membangun relasi-relasi ini, sehingga adegan-adegan saat dunia cerita mulai bergejolak oleh kehadiran hologram Ed (yang tentu saja awalnya dirahasiakan oleh Dita dari sahabat-sahabatnya) terasa lebih punya bobot emosi. Karena kita diperlihatkan para karakter ini sebelum konflik utama itu terjadi. Dalam artian, kita benar-benar mengikuti perkembangan karakter ini dalam span empat, lalu dua tahun kemudian. Kita jadi benar-benar mengerti yang mereka rasakan, pembawaan natural dari para aktornya jadi icing on the cake yang bikin penonton semakin tersedot ke dalam cerita.
Arahan film ini memang tampak percaya diri. Umay mengaduk bahasan kematian, penjelasan rule teknologi di dunia cerita, hingga urusan relationship dan pertemanan, dengan tambatan perspektif yang kuat. Ini dunia anak muda. Yang melek teknologi, Yang melek keterbukaan komunikasi. Arahan Umay tidak membuat film kehilangan suara khas mereka. Sudah cukup banyak kita nonton film-film tentang anak muda, atau remaja, atau yang coba angkat suara kopi-senja, atau bahkan film anak-anak, tapi si film itu sendiri terasa jauh dari subjeknya tersebut. Yang jatohnya film itu jadi kayak try too hard dalam memportray karakternya, let alone dunia mereka yang coba dibangun. Ketika Berhenti di Sini melakukan itu dengan terlihat natural. The way the characters talk, the way they act around others. Dialognya tahu kapan harus pakai kosa kata anak muda, kapan harus pakai bahasa deep talk, kapan harus bersendu dengan perasaan, kapan harus bercengkerama dengan orang tua. Film ini dengan mudah konek kepada penonton muda, karena mereka sudah easily ‘bicara dengan bahasa yang sama’. Momen-momen emosional yang jadi ujung tombak cerita juga jadi terdeliver dengan baik. Banyak loh yang nangis nonton ini di dalam studioku kemaren. Film ini sendiri terasa beneran ‘muda’. But also, punya kekurangan yang sama dengan anak muda. For it could get too cocky, dan beberapa hal harus dipoles lagi.
Naskah film ini masih terasa rough around the edges. Hook-hook dan plot poin cerita bergerak dengan aneh, ada yang kayak atas dasar hura-hura saja. Banyak kejadian film ini terjadi karena sesuatu yang enggak langsung berhubungan dengan konflik karakter utama. Misalnya, kacamata AR tersebut gak bakal ada di tangan Dita (yang artinya cerita film ini gak bakal lanjut) kalo Dita tidak menumpahkan lagi minumannya ke iPad. Jadi, majunya cerita sebenarnya lemah, tapi kebetulan seperti demikian itu masih bisa dimaklumi. Salah satu cara membuat penonton maklum dengan mendesain kebetulan tersebut dengan kejadian yang masih ada sangkut pautnya dengan flaw protagonis. Jika dia orang yang belum bisa move on, berarti adegan kebetulan itu bisa terjadi dari dia yang gak fokus karena mikirin orang yang udah gak ada sehingga menumpahkan minum. Pada film ini, adegan kebetulan itu adalah Dita menumpahkan minum karena saat meeting dengan cameo pemain Mencuri Raden Saleh, wallpaper ipadnya keganti jadi foto dia dengan Ifan. Not even foto Ed. Atau bahkan bukan karena malu ketahuan oleh sahabat-sahabatnya. Ini kan seperti gerakan gegabah khas anak muda, dilakukan oleh film ini. Adegan yang mestinya bisa didesain untuk lebih tight (film ini perlu banget sebenarnya lebih banyak memasukkan interaksi Dita dengan sahabat-sahabatnya) jadi loose karena film ingin masukin hal yang menarik lainnya.
Cerita jarang sekali maju karena pilihan Dita si tokoh utama. Most of the time Dita hanya bereaksi atas keadaan di sekitarnya. Gak sengaja menumpahkan air. Mendengar kabar Ed kecelakaan. Pilihan signifikan pertama untuk majunya plot yang dibuat oleh Dita adalah saat memutuskan untuk terus memakai kacamata AR. Dan itu baru terjadi menjelang mid point. Tadinya kupikir bakal jadi penghantar masuk babak kedua loh. So it’s nice film ini ngebuild up hubungan karakter terlebih dahulu – tiga puluh menit awal benar-benar digunakan untuk ini – tapi harusnya itu bisa dilakukan dengan tetap memberikan pilihan kepada karakter utama. Tetap membuatnya beraksi jadi penggerak cerita. Looking back setelah nonton aku bahkan gak yakin Dita punya motivasi personal sebelum kenalan dengan Ed. Dan soal kenalan itu, film juga gak circled back lagi, gak ngasih alasan kenapa si Ed ini seorang complete stranger yang follow sosmed Dita. Kenapa gak teman kampus, atau semacamnya. Apakah biar dia jadi manic pixie dream boy, kayak Clementine di Eternal Sunshine (tapi bahkan Clementine ternyata berkembang jadi lebih dari sekadar manic pixie dream girl) Kenapa Ed follow Dita. Tadinya kupikir Dita semacam seleb sosmed, karena ada adegan sosmednya direply oleh banyak orang. Tapi perihal itu juga tidak divisit lagi, presence sosmed Dita kayak cuma buat lihatin bahwa mereka ini anak muda yang interaksinya ya banyakan di dunia maya.
Bagian terbaik film memang ketika Dita mulai punya kacamata putih itu. Dia mulai membuat pilihan-pilihan, yang seharusnya memang membuat hidupnya jadi makin rumit. Membuat relasinya dengan Ifan, dengan sahabat, dengan sekitarnya renggang, dan semacamnya. Satu lagi kekurangan pada naskah adalah seperti kehabisan waktu (atau ide? ah, masa sih ide..?) saat menggali bagian ini. Si Dita ini kurang di’punish’. Drama itu kan main naik turun, titik teratas ke titik terendah karakter. Nah, film ini tu kayak belum ngasih Dita ke titik terendah hidupnya. Stakenya gak terasa, karena Dita gak terkesan beneran merasa ada kegagalan saat dia menghabiskan waktunya ngobrol dan menjalin hubungan sama hologram alih-alih manusia nyata. Bahkan sampai akhir aku merasa sukar percaya Dita genuinely appreciate Ifan, karena, ada surat dan segala macem (malah Ifan yang mau mencoba mengerti Dita kembali). Di akhir naskah kembali ragu untuk meletakkan semuanya di tangan Dita. Keputusan dia mendelete hologram juga berkurang efeknya karena dia tidak belajar dari kesalahan sendiri.
Padahal sebenarnya film ini memang unik. Premis ‘seseorang yang ingin lanjutin hidup tapi tidak mau mengikhlaskan orang-orang yang telah meninggalkannya’ itu udah kayak si karakter ini kemauan dan rintangannya adalah hal yang sama. Karena dengan gak ikhlaskain orang yang udah pergi, ya sama aja dengan gak pengen lanjutin hidup. This is just a second movie dari Umay, dan dia udah berani bikin yang sekompleks ini. Ceritanya berevolusi dari tentang pure romance, ke yang lebih psychologically challenging dengan fiksi ilmiah sebagai panggung, ke hubungan ayah dan anak. Sejujurnya ini udah masuk ke kriteria yang layak di posisi nilai sembilan buatku. Tapi naskah adalah sandungan utama. Walau dialog-dialognya tersusun (dan terlontar) dengan genuine, teknis dan strukturnya masih loose. Masih banyak gegabah. Karakter utamanya juga tidak banyak menggerakkan cerita dengan pilihan. Jika pun ada, posisi dan timing adegannya aneh. Terus juga ada adegan yang hooknya gak benar-benar nyambung ke konflik. Kayak, posisi cameo aja seolah lebih didahulukan ketimbang menggali persahabatan karakter sentral. Meski begitu, memang, dengan passion dan kreasi semenyegarkan ini, aku harap kiprah penyutradaan Umay tidak berhenti di sini.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for KETIKA BERHENTI DI SINI
That’s all we have for now.
Kalo kacamata itu beneran ada, apakah kalian akan menggunakannya untuk menyapa kembali orang yang telah pergi?
Share pendapat kalian di comments yaa
Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Mas sorry oot, kmrn sempet sounding soal Jendela Seribu Sungai, aku jadi penasaran & cb cari-cari di bioskop jabodetabek kok ga ada ya, udah turun layar kah?
Iya udah turun layar, aku di Bandung juga gak kebagian nontonnya, pas hype barbenheimer sih tayangnya. Semoga nanti ada yang bawa filmnya ke platform streaming
This is the worst Indoneisan movie I have ever watch
Hahaha why? karena storynya kah, atau akting, atau hal lain?