MINI REVIEW VOLUME 10 (WAKTU MAGHRIB, THE PASSENGER, HOME FOR RENT, BIRD BOX: BARCELONA, ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD, RUBY GILLMAN TEENAGE KRAKEN, COBWEB, THEY CLONED TYRONE)

 

 

Edisi kesepuluh Mini-Review ini isinya udah kayak pesta di musim panas. Mulai dari zombie hiu ke cewek laba-laba, dari mermaid jahat ke kloningan korporat, dari orang kesurupan ke psikopat hingga ke sekte-sekte sesat. Meriah! I’ve had fun nontoninnya, dan sekarang saatnya mengulas merekaa!!

 

 

BIRD BOX: BARCELONA Review

Bird Box: Barcelona adalah sekuel, yang tidak banyak memberikan jawaban baru atas fenomena khusus yang ia angkat sebagai cerita. Dunia masih tetap ‘kiamat’ oleh keberadaan sesuatu yang membuat setiap orang bunuh diri jika mata mereka melihat cahaya di luar. Sehingga film ini memang bisa bikin penonton yang ingin tahu kelanjutan atau penyelesaian masalah itu jadi kecewa.

Aku pun pastinya bakal menutup mata juga loh kalo saja sutradara Alex dan David Pastor benar-benar tidak punya tawaran baru. But they did have one. Enggak gede, memang, namun buatku sudah cukup untuk membuka sesuatu yang baru dalam experiencing dunia cerita mereka. Hal yang beda kali ini itu adalah perspektif. Kali ini bukan tentang seorang ibu yang memegang teguh harapan dan kepercayaan untuk membawa anak-anaknya ke tempat keselamatan. Melainkan tentang seorang ayah yang ingin melihat keluarganya lagi. Protagonis kali ini bukan orang baek-baek yang pengen survive. Melainkan salah satu anggota cult yang percaya tugas mereka adalah membimbing sebanyak mungkin orang untuk melihat ‘keindahan’ mematikan. Journey protagonis dalam menyadari kesalahannya yang bikin film ini menarik. Gimana nanti dia berinteraksi dan belajar dari calon korbannya.

Mungkin lebih tepat kalo kita menganggap film ini bukan sebagai sekuel, tapi sebagai companion saja dari film pertamanya. Elemen-elemennya memang berulang dan gak banyak development baru. Tapi kalo dibandingkan dengan film pertamanya, journey protagonis kali ini lebih menarik dan menantang.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BIRD BOX: BARCELONA

.

 

 

COBWEB Review

Horor ‘makhluk yang tinggal di dalam dinding rumah’ selalu punya pesona tersendiri. I think it’s because kita semua setidaknya pernah sekali seumur hidup kebayang yang enggak-enggak ketika mendengar bunyi derit rumah. Perfect banget buat jadi elemen cerita horor. Melihat ke belakang, film kayak Housebound (2014) atau The Boy (2016), cerita tentang seseorang di balik dinding ini bisa sukses karena faktor surprise di dalam ceritanya, tapi sekaligus juga punya kendala yang sama; bagaimana memasukakalkan orang bisa hidup sekian lama di balik tembok. Mari kita lihat cara sutradara Samuel Bodin menghandle soal itu dalam Cobweb

Again, film ini punya langkah awal yang bagus dari perspektif utama. Anak kecil yang mendengar suara di balik dinding rumah, tapi orangtuanya gak percaya. Dari sini drama horornya berjalan. Enggak dibuat ambigu dan menantang, tapi horornya dirancang untuk hiburan mainstream yang efektif, dari sikap orangtua yang mencurigakan. Membangun ke arah pengungkapan siapa di balik dinding, untuk kemudian diubah film menjadi sajian horor kedua, yakni horor creature. Yang di sinilah buatku film jadi kayak kesangkut sendiri pada jaring horor yang mereka buat.

Walau memang paruh akhirnya jauh lebih seru, tapi bagian itu juga lebih generik. Aku gak tahu apakah karena itu film jadi berusaha membuat si makhkluk jadi bombastis, atau mereka cuma pengen beda, tapi hasilnya film ini jadi konyol dan mungkin lebih tepat kalo dibuat sebagai horor komedi. Film seperti tidak bisa memilih makhuk horornya, apakah manusia atau hantu. Jadi mereka membuatnya basically kayak gabungan keduanya. Perspektif karakternya pun jadi tidak terpakai lagi, padahal diceritakan makhluk itu adalah saudara dari si karakter utama. Maka endingnya pun terasa jadi flat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for COBWEB

 

 

 

HOME FOR RENT Review

Tiga tahun belakangan aku gak terkesan sama horor Thailand. Dua yang tayang, dengan hype besar dan populer itu, actually melempem dari segi cerita karena hanya dibuat sebagai wahana jumpscare. Ekspektasiku buat horor Thailand lagi agak rendah, makanya karya Sophon Sakdaphisit menarik telak buatku!

Ini sudah bukan lagi soal ekspektasiku. Home for Rent memang punya cerita yang kuat di balik sajian horor tentang sekte misterius. Cerita orangtua yang berkubang duka begitu dalam, sehingga rela melakukan sesuatu di luar nalar dan bahkan membahayakan keluarganya. Berkisah tentang film ini actually agak susah, karena satu lagi ‘fitur’ yang dipunya oleh film ini adalah mencacah ceritanya ke dalam beberapa sudut pandang. Kita akan berpindah melihat satu kejadian yang sama, dari sudut karakter yang berbeda. Fitur storytelling yang beresiko, tapi juga punya kelebihan yakni membuat pengungkapan misteri jadi berbobot karena ditambatkan kepada perspektif karakter.

Home for Rent terbukti menggunakan cara bercerita seperti itu tidak untuk menutupi dangkalnya bahasan. Melainkan ya ketajaman naluri sutradara untuk membuat cerita dramatis, sekaligus memperkaya cerita dan misteri lewat lapisan sudut pandang. Perpindahan sudut pandang itu juga tak membuat siapa karakter utama jadi tidak jelas. Naskah tetap tegas, Development dan journey dramatis tetap pada Ning, si ibu, sebagai karakter utama.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for HOME FOR RENT

 

 

 

RUBY GILLMAN, TEENAGE KRAKEN Review

Jika kraken adalah makhluk laut dengan lengan atau tentakel banyak, maka Ruby Gillman, Teenage Kraken adalah film dengan banyak sekali cabang-cabang yang mengingatkan kita kepada film lain. Yang bikin aku sedikit kecewa adalah kisah tentang makhluk mitos yang menyamar jadi manusia, hidup seperti manusia, ini harusnya kisah yang benar-benar original. Namun sutradara Kirk DeMicco dan Faryn Pearl seperti tidak bisa memutuskan.

Beberapa dari kalian mungkin akan menyebut ini kayak Turning Red (2022). Mungkin ada juga yang memiripkan ini seperti Luca, atau malah Harry Potter. Mungkin film ini memang mengincar kemiripan itu. Karena to be honest, Ruby Gillman bekerja paling kocak saat menjadi parodi. You know, gimana mereka membalikkan status jadi kraken baik dan mermaid jahat. Gimana mereka menggambarkan sosok si jahat itu. Desainnya yang playful dan ngasih komedi tersendiri. Kekecewaanku memang akhirnya terobati dari gimana film ini membentuk para karakternya. Mereka semua terasa mencuat di balik cerita yang not really interesting dan berjuang untuk mengapung sebagai sesuatu yang berbeda. Sebagai tontonan untuk keluarga, tentu saja film ini merupakan alternatif yang baik. Dengan segala pesan ibu-anak perempuan dan persahabatannya. Selain itu, film ini juga punya elemen action yang bikin penonton cilik semakin betah menanti akhir kisahnya

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for RUBY GILLMAN, TEENAGE KRAKEN

 




THE PASSENGER Review

Terlalu sering kita mendengar nasehat untuk tidak melihat siapa orangnya, tapi lihatlah apa yang dikatakan olehnya. Nasehat yang jelas agak ganjil karena bayangkan kalo kita dilarang menyerobot antrean oleh seorang koruptor, misalnya. Nonton The Passenger karya Carter Smith akan terasa ganjil seperti begitu karena di film ini kita akan melihat protagonis yang sedang dibantu untuk membereskan masalah personal di dalam hidupnya, oleh seorang ‘teman’ yang baru saja membunuhi orang-orang di diner tempat mereka bekerja.

The Passenger adalah road trip intens, bukan oleh aksi-aksi, melainkan oleh dinamika karakternya. Seorang pria muda yang begitu helpless dan terguncang oleh yang ia perbuat di masa lalu sampai-sampai seseorang yang berbahaya, meledak-ledak, tergerak untuk membantunya. Tahun lalu, ada film Piggy (2022) yang mirip seperti ini, cewek korban bully dan body shaming, dikasihani oleh pembunuh psikopat. Tapi film tersebut berkembang jadi thriller bunuh-bunuhan generik. The Passenger mengembangkan ceritanya dengan lebih berfokus kepada drama. Dua karakter sentral dimainkan dengan sangat meyakinkan, emosi mereka terasa raw, rough, tapi memang itulah yang dibutuhkan oleh cerita. Film ini berhasil membuatku bercakap-cakap dengan layar, berusaha ngobrol dengan para karakter. Di satu sisi, kita ingin Bradley melarikan diri dan selamat, tapi di sisi lain kita juga ingin dia menemukan keberanian untuk mengkonfrontasi masa lalunya, dan satu-satunya cara ya lewat Benson yang tak pernah jauh dari pistolnya.

Bukan siapa yang benar-siapa yang salah, siapa yang jahat-siapa yang baik yang ingin dicapai oleh film. Karena dua karakternya itu akan menjadi sesuatu yang lebih dekat dari sahabat tapi juga begitu berjarak seperti musuh paling bebuyutan. Jalinan kuat dan unik yang perlahan terbentuk inilah yang bikin kita betah nonton sampai beres.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE PASSENGER

 

 

 

THEY CLONED TYRONE Review

Nah ini baru unik, seru dan kocak juga! Cara mereka ngambil judul aja udah demikian menarik, jika kita lihat konteks ceritanya. Dari luarnya, They Cloned Tyrone seperti cerita ala Groundhog Day, hanya lebih ‘gila’. Jadi si Fountaine ngerasa hidupnya rada-rada berulang gitu. Tapi bukan karena dia masuk time loop. Fountaine sebenarnya telah tewas, tapi dia terbangun seperti biasa di kamar, dan kembali menjalani rutinitasnya sebagai drug dealer seperti gak ada apa-apa. Aslinya, Fountaine sudah dikloning, dan dia baru tahu akan apa yang sebenarnya terjadi dari interaksinya dengan unlikely allies.

Di dalam, They Cloned Tyrone sebenarnya sebuah komentar sosial. Juel Taylor dalam debut penyutradaannya ini bikin sesuatu yang bisa berdampingan dengan horor-horornya Jordan Peele. Karena sesungguhnya film ini juga punya concern terhadap eksploitasi warga kulit hitam. Bukan cuma Fountaine yang dikloning, hampir semua orang di lingkungan mereka ternyata jadi bahan percobaan perusahaan kulit putih yang punya markas di bawah tanah. Waralaba ayam goreng, produk pengecat rambut, hal-hal yang mereka tonton iklannya di TV ternyata adalah alat untuk ‘mengendalikan’ mereka. Semua itu dibikin oleh film sebagai simbol bagaimana stereotipe yang tersemat pada warga kulit hitam sebenarnya tak lebih dari sebuah eksploitasi

Bibit misteri dan komedi tumbuh dengan asik. Trio sentral (John Boyega, Jamie Foxx, dan Teyonah Parris) bikin cerita makin seru dengan enerji dan personality mereka masing-masing. Film ini bisa sangat menghibur. Problem sedikit ada pada pacing pada cerita yang secara natural punya beberapa pengulangan, juga karena bentukannya yang berupa pemecahan misteri. Film pada beberapa kesempatan masih terlihat struggling untuk menjaga pace, menurutku kalo film bisa lincah dalam tempo dan komedi, tentu penceritaannya lebih nonjok lagi.

The Palace of Wisdom gives 6.5  gold stars out of 10 for THEY CLONED TYRONE

 

 

 

WAKTU MAGHRIB Review

Untuk beberapa waktu, horor karya Sidharta Tata ini jadi film Indonesia paling laris di 2023. Dan setelah ditonton, aku bisa paham kenapa film ini menghasilkan kesan dan pembicaraan yang baik. Waktu Maghrib dengan cerdik menjadikan ceritanya berpusat pada karakter anak, tapi dengan horor yang tetap brutal. Konteks ceritanya pun diambil yang ‘dekat’ dengan penonton, kepercayaan bahwa waktu maghrib adalah waktu tabu untuk keluar rumah.

Saat nonton ini, aku kepikiran Forbidden Siren, game horor tentang warga di sebuah desa yang dilarang keluar rumah saat sirine berbunyi di malam hari, yang tetap nekat ya berubah jadi zombie berdarah-darah. Desain horor film ini mirip dengan itu (I think it would be cool kalo suara sirine diganti suara adzan maghrib). Bahasan tentang orang takut ke mesjid karena setan maghrib tentu bakal menarik jika digali. Tapi Waktu Maghrib ternyata hanya memperlihatkan soal itu sekilas. Naskah dan arahannya seperti bergelut pengen menceritakan apa, dan akhirnya memilih jalan yang generik. Waktu Maghrib tak lagi membahas ketakutan tersebut, melainkan jadi literally sosok setan yang membuat anak-anak bunuh diri. Jadi tebak-tebakan misteri siapa yang sebenarnya jahat.

Ketika satu anak mati, cerita pindah ke anak lain. Perspektif berpindah-pindah yang dilakukan Waktu Maghrib tidak sebaik yang dilakukan oleh Home for Rent. Karena di Waktu Maghrib, tokoh utamanya gak pernah jelas. Tidak ada karakter yang mengalami development, karena cerita hanya tentang selamat dari hantu. Plotnya hanya tentang ‘oh ternyata’. Motivasi dan mitologinya enggak berkembang dengan baik. Suasana desanya tidak pernah tergambar detil, padahal set upnya sebenarnya menarik. Kita tahu film ini not follow through idenya sendiri, saat film bahkan gak mampu gambarin suasana maghrib itu dengan genuine.

The Palace of Wisdom gives 3 gold star out of 10 for WAKTU MAGHRIB

 

 

 

ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD Review

Yang aku gak suka dari film ini cuma judulnya. Selebihnya, film ini such a blast! Idenya segar banget. I know for a fact, kalo ini dibikin oleh Hollywood, maka judulnya pasti adalah Zombie Shark, atau Zombie Shark Hero.

Sutradara Yusuke Ishida sebenarnya ngambil setting zombie apocalypse cuma untuk perumpamaan. Karyawan yang kerja pagi pulang malam, nurut-nurut saja sama bos yang toxic berlindung di balik istilah keluarga, atau terus ‘ngedoktrin’ mereka bahwa mereka bukan apa-apa tanpa kerjaan ini, dianggap sebagai zombie. Kalo sedang tidak dikejar zombie, maka si Akira Tendo, karakter utama kita itulah yang jadi zombie korporat. Dia justru tampak lebih hidup saat membasmi zombie-zombie beneran, karena cuma di saat itulah dia bisa menjadi dirinya sendiri. Akira sampai bikin list sendiri, kegiatan-kegiatan yang ingin dia lakukan mumpung sempat karena dia bisa gak masuk kerja sebab dunia dilanda wabah zombie. Akira dan listnya jadi kontras yang menarik pada genre zombie yang biasanya karakter utama justru si kikuk yang harus jadi jagoan dan punya list berupa aturan yang gak boleh dilanggar kalo mau selamat di dunia zombie. Akira dan listnya malah hidup bersenang-senang saat ada zombie. Yang paling ngakak ya ketika film ini gambarin siapa lawan Akira sebenarnya. Siapa musuh karyawan-karyawan kecil. Ya, corporate shark. Film menggambarkannya jadi literally hiu zombie, Hiu dengan kaki-kaki zombie. Design makhluk horor yang sungguh jenius hahaha. Vibe over-the-topnya masuk dan gak pernah jadi annoying ataupun bikin film jadi bablas receh

Film ini bekerja terbaik ketika mengumpamakan hal tersebut. Vibe cerianya di saat horor sebenarnya jadi ironi yang lucu. Stake di cerita ini bukan dari nyawa Akira yang bisa menghilang kalo dia kena gigit zombie. Melainkan, kita lebih khawatir kalo Akira kembali jadi budak di kantor. Journey Akira juga dipenuhi oleh karakter-karakter manusia yang bakal membantunya menyadari bahwa dia jadi zombie begitu urusan kerjaan dan bosnya tiba. Bagian serunya buatku ya di babak awal, dan di babak akhir. Babak keduanya sedikit generik, meski memang perlu untuk ngebuild up relasinya dengan karakter lain. Kalo film fokus di perumpaman, cerita tidak dipanjang-panjangin oleh kejadian Akira dan gengnya di luar sana dengan zombie-zombie generik, maka film ini akan lebih enak ditonton.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD

 

 





That’s all we have for now

Kita sudah di paruh akhir 2023, dan aku sudah mulai bisa melihat calon-calon yang bakal masuk Top-8 ku untuk tahun ini. Gimana dengan kalian? Apakah kalian punya rekomendasi film 2023 yang mungkin terlewat olehku, dan kalian merasa film itu pantas dapat skor 8? Silakan share di komen.

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

  1. Farrah says:

    Birdbox Barcelona: setuju, perspektifnya menarik, tapi aku kecewa sama pengembangan ceritanya, karena generik, padahal aku yakin bisa dibikin lebih seru lagi, karena cliffhangernya menarik. Lemah di babak kedua sama babak ketiganya aja menurutku

    Waktu Magrib: film ini dar der dor banget ya, aku berkali-kali kecilin volume pas adegan jumpscare, bikin sakit telinga :’) padahal gak yg gimana gimana banget horornya, modal kenceng suara aja. Setelah nonton ini, aku nonton Hidayah, latar ceritanya sama-sama di desa, tapi Waktu Magrib jadi keliatan fake banget desanya. Udah nonton belum mas, Hidayah? Bagus, ya gak bagus2 banget sih tapi boleh lah. Lumayan mengobati kekecewaanku setelah nonton Waktu Magrib hehe

    Zom 100: jujur kaget scorenya 7.5, kemarin nonton gak sampe abis karena ngantuk hahaha, baru sampe karakter bikin list doang sih. Terus besoknya ngeliat temen info filmnya aneh karena ada hiu zombi, tapi ternyata itu satir ya? Otw lanjut nonton berarti

    Btw, Mission Impossible belum ya??? Aku penasaran banget score mas Arya berapa

    • Arya says:

      Si Waktu Maghrib bikin suasana maghribnya aja cuma mengungukan langit hahaha.. belum nonton Hidayah, sudah ada di platform? Si Mission Impossible juga belum ada ya, ku kelewat di bioskop

      Bird Box Barcelona kayaknya kalo gak ada atau gak nonton film pertamanya, kayaknya bakal fine-fine aja. Tapi ya itu, filmnya cuma segitu. Menarik di ide aja hahaha.. Kalo si Zom 100 pas rewatch juga aku skip bagian mereka survive di kota. Biasa banget. Meski sebenarnya perspektifnya lucu, kan, si Akira malah hepi. Cuma ya kepanjangan dan cerita zombie ya pasti begitulah adegannya hahaha… Di awal-awal setelah zombie outbreak trus ke bagian mereka sampai akuarium lalu ketemu zombie shark aja serunyaaa

      • Farrah says:

        Hidayah udah ada di platform mas, & setelah selesai nonton aku baru sadar yg bikin Monty Tiwa, pantes proper. Mission Impossible juga belummmm, aku pun pengen nonton lagi di platform, seru hahahaha

        Iya bener banget, Zom 100 aku berhenti pas dia keliling2 kota sama temen2 itu di minibus, pas aku liat durasi masih setengah jalan, bingung sendiri ini filmnya mau dibawa kemana lagi? Ternyata gongnya di akhir ya mas

        • Arya says:

          Yang mereka di dalam toko, sama dua pramugari, gak perlu selama itu juga sih sebenarnya adegannya ya, mending di montase aja perjalanan mereka naik minibus, ngeceklis list. Biar cepat sampai di inti filmnya

          Oh udah ada di platform, banyak banget horor sih jadi gak terperhatikan satu-satu hahaha

  2. Abdi khaliq says:

    Dari semua judul yang ketonton cuman 2, The Passanger sama Cobweb, aku suka keduanya, 8/10 dari aku yang awam. Bang coba nntn What Comes Around, yang main antagon-ish di Passanger, ceritanya beneran rumit n bikin greget, tentang dendam n karma hubungan anak di bawah umur, dari 2 sudut pandang berimbang pelaku cewek n cowok. 8/10 dari aku yang awam.

    • Arya says:

      Wah menarik tuh kayaknya ceritanya, sip, ntar kucari deh, gara-gara The Passenger jadi pengen nontonin yang ngobrol dua sudut pandang kayak gitu. Thank you yaa

  3. Albert says:

    Wah waktu magrib dapat 8 nih, mangap tapi 8nya ya. Hahaha. Heran kok dulu bisa laris banget ya. Blue Beetle masih tayang kok mas. Banyak yang puji bagus. Ya superhero keluarga, keluarga latin hehehe.

  4. Abdi khaliq says:

    Baru nyadar dari semua list film di atas cuman 1 film horor lokal yang ratingnya paling jelek di bawah 5. Hihihi
    Siap2 bang setiap minggu bakalan dibombardir horror lokal, aku pribadi paling excited sama horror thriller Laura Basuki yg judulnya Sleep Call, soalnya di Indo horror psikologis tanpa hantu2an itu sangatlah langka. Bang Arya sdh nntn thriller psikologis lokal yang judulnya Fiksi (2008) yg ditulis Jokan??? Setingnya di rusun juga ini kek PS2. Penasaran sama rating bang Arya.

    • Arya says:

      Tadinya itu mau masukin The Meg 2 biar si Waktu Maghrib ada temennya hahaha, tapi langsung kuganti sama Zom 100. Biar hiu yang bagus aja yang masuk xD

      Wah, belum.. aku film Indonesia 2000an dikit banget yang baru ditonton. Maklum, baru mulai ‘kenal’ film indonesia beberapa tahun belakangan ini ahaha

Leave a Reply