“Gender equality is not a woman’s issue. It is a human issue.”
Meskipun cowok secara fisik banyak yang lebih kuat, cewek kalo udah ngamuk bisa lebih garang. Tidak ada gender yang lebih superior. Begitupun tidak ada ras, suku, agama, ataupun ideologi yang lebih baik daripada yang lain. Semua golongan punya kelemahan, makanya hal tersebut tidak lantas membuat golongan tertentu jadi inferior. Sebab semuanya akan saling membutuhkan; Wanita adalah satu-satunya gender yang bisa menciptakan kehidupan, namun mereka butuh Pria melaksanakan proses tersebut.
Tapinya lagi, jika memang demikian – pria dan wanita diciptakan sama – kenapa petenis wanita dibayar jauh lebih rendah daripada pria? Kenapa, di tahun 1973 itu, dirinya dan rekan-rekan seprofesi harus mengalah kepada dominasi pria dengan alasan tenis adalah olahraga fisik? Maka Billie Jean King lantas berjuang. Dirinya yang sudah mengantongi banyak gelar juara, membentuk acara tenis tandingan, yang kesemua atllitnya perempuan. Dan kemudian peristiwa penting dalam sejarah olahraga, khususnya tenis, itu terjadi; seorang veteran dan mantan juara, Bobby Riggs, menantang petenis wanita demi membuktikan bahwa pria, bahkan yang sudah gaek seperi dirinya, lebih baik dan pantas untuk dihargai lebih tinggi daripada petenis wanita.
Sisanya memang sudah tertulis dalam buku sejarah, dan film ini tahu untuk enggak bikin kita bosan dengan kisah hidup Billie Jean. Alih-alih membahas tokoh ini sedari kecil, film memfokuskan kita kepada peristiwa-peristiwa yang membuild up pertandingan tenis cowok lawan cewek yang udah mengubah pandangan dunia olahraga terhadap perbedaan gender. Sehubungan dengan itu, kita juga melihat cerita romansa Billie Jean yang sempat dirahasiakan ke publik. Billie Jean yang sudah bersuami, menemukan dirinya menumbuhkan perasaan kepada seorang penata rambut wanita, dan elemen ini actually integral dengan perkembangan karakter Billie Jean. Kita bisa ngerasain konflik internal di dalam dirinya tumbuh karena dia sudah ngedevelop perasaan yang sangat mendalam kepada wanita ini, namun dia juga menyintai suaminya, dan apakah memilih yang satu dibanding yang lain membuatnya juga sama dengan pihak yang ingin dia buktikan sesuatu atau apakah pilihan itu dapat dimaknai sebagai dia memang memegang teguh persamaan dan kesetaraan gender.
Banyak pujian yang dilayangkan kepada film ini sesungguhnya dialamatkan kepada para pemain, terutama dua aktor leadnya. Emma Stone bukan hanya mirip sama Billie Jean King yang asli, namun ketika kita melihatnya berkacamata dan pegang raket itu, kita tidak lagi melihat Emma Stone. Pendekatan yang diambill oleh Stone untuk menghidupkan karakter ini adalah dia mempersembahkan diri sebagai publik figure yang ‘tertutup’. Billie Jean tampak sedikit pemalu. Tetapi jika bahan obrolan sudah menyangkut petenis wanita yang dianggap kurang menjual, dia akan tersulut while maintaining apa yang dia percaya. “Di situlah letak salahnya kalian. Aku bertanding bukan untuk menunjukkan wanita lebih baik. Aku ingin membuktikan bahwa kami sama.” jawabnya saat ditanya wartawan.
Steve Carell juga bermain dengan sama meleburnya sebagai veteran 55 tahun yang melihat pertandingan tenis mereka lebih sebagai sebuah panggung hiburan. Sikap dan aksen Carell sebagai Riggs di sini kadang tampak kayak Gru di Despicable Me banget, tapi ini hanya membuktikan bahwa Carell masih bisa tampil menghibur. Bobby Riggs punya kebiasaan berjudi, dan ini digali oleh film sebagai motivasi dan konflik personalnya. Demi mengembalikan lampu sorot ketenaran itu, Riggs menantang petenis wanita yang lebih muda. Bagi Riggs, ini adalah tindakan gamble yang paling menguntungkan. Karena, menang atau kalah bertanding, dia tetap ‘menang’. Popularitasnya sudah terestore dengan segala publikasi itu, dan orang ini tahu betul bagaimana memainkan ‘peran’nya di dalam pertandingan itu. Bagi Billie Jean, sebaliknya, satu-satunya cara ‘menang’ adalah dengan menang. Jika dia kalah, bukan hanya dipermalukan, dia juga tidak akan bisa lagi hidup tenang lantaran apa yang ia percaya tidak bisa ia capai.
Dan dalam menggali seteru tersebutlah Battle of the Sexes tidak pernah benar-benar menjadi sebuah smash yang memuaskan.
Antagonis adalah orang yang menjadi rintangan, orang yang menghalangi protagonis mencapai tujuan personalnya. Antagonis ini enggak selalu mesti selalu jahat, sebagaimana protagonist juga bukan selamanya baik. Film yang menarik adalah film yang bisa mengaburkan jahat-baik itu. Battle of the Sexes terlalu ringan dalam menggali elemen cewek melawan cowoknya. Bahkan terasa lebih komikal dari pada Barden Bella melawan Treblemaker di film Pitch Perfect (2012). Pihak Riggs, dan produser, dan cowok-cowok oposisi dibuat sangat close-minded sehingga terasa dibuat-buat, hampir seperti bergerak dalam konteks mereka sengaja melakukannya. Ada upaya untuk memanusiawikan si Riggs, memperlihatkan hubungan dia dengan istri dan anaknya; ada masalah di dalam keluarga Riggs sehubungan dengan kebiasaannya berjudi, hanya saja anehnya terasa dibuat-buat – apalagi jika kita membandingkannya dengan motivasi personal Billie Jean.
Perasaan disingenuous yang dikuarkan film ini sampai pada titik aku tidak lagi menganggap pertandingan itu kontes beneran. Beberapa waktu, aku merasa Riggs tidak tampak pengen menang, dia tampak hanya ingin memancing ‘heat’ supaya pertandingan mereka jadi lebih appealing buat banyak orang. Hampir seperti gimmick. Dan mungkin memang seperti itu; bahwa mungkin tadinya Riggs sengaja berakting sugar daddy dan segala macam supaya penonton semakin tertarik, dan di tengah-tengah game – demi melihat kesungguhan Billie Jean, naluri olahragawannya kepincut, dan dia serius berusaha untuk menang, tapi ini hanya membuat stake perjuangan Billie Jean mengendur. Perjuangannya seperti diatur oleh sekelompok orang dan dia enggak sadar akan hal itu.
Dan lebih kepada pria melawan wanita, pertandingan mereka malah terasa seperti pertandingan antarumur. Ketika film memperlihatkan Billie Jean berlatih dengan determinasi, Riggs ditunjukkan sedang berpesta. Untuk persiapan, Riggs tidak latihan dan hanya menelan berbagai vitamin. It works dalam konteks dia sesumbar, dia menyepelekan wanita. Tapi tentu saja, ada faktor umur dan kesehatan yang mengambil tempat karenanya. Poinku adalah, pertandingan penting tersebut, tidak lagi benar-benar tampak penting karena outcomenya bisa dipengaruhi oelh banyak hal. Film tidak berhasil membuat equality, ataupun simpelnya, pertarungan gender mencuat di sini. Dan secara struktur, ini disebabkan oleh film hanya mengembangkan personal goal. Sedangkan story goalnya, satu tujuan yang secara paralel ingin dicapai oleh seluruh tokoh, kurang mendapat pengembangan atau kurang diperhitungkan – spektrum goalnya bisa menjadi terlalu luas.
Dalam pertandingan tenis, skor nol disebut dengan ‘love’. Penjelasan yang ada adalah kata tersebut berasal dari bahasa Perancis yang berarti telur. Namun jika dikaitkan dengan konteks cerita film ini, love itu benar-benar literally berarti cinta. Karena dalam tenis, kadang hanya cinta yang kita punya; hanya cinta yang membuat orang-orang seperti Billie Jean King dan Bobby Riggs berjuang.
Penampilan akting yang kuat, perseteruan yang menarik – hampir-hampir seperti build up feud di WWE minus kekerasan dan talk trash – film ini akan menarik buat banyak penonton. Ini jauh dari film yang buruk. Cerita dengan pesan yang mudah dicerna. Dia juga punya kepentingan, karena maslaah yang dihadapi Billie Jean di tahun 1973 tersebut masih belum hilang dan tuntas hingga sekarang, Karenanya aku menyayangkan penggalian kurang berdaging. Seolah tokoh Bobby Riggs yang menulis film ini.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BATTLE OF THE SEXES.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017.