DEVIL’S WHISPER Review

“I hear voices in my head, they council me, they understand. They talk to me.”

 

 

Alex sudah hampir pasti menjadi pastor sejati, jikasaja dia tidak mendengar bisik-bisik itu. Suara setan yang disebutkan sebagai judul film ini, menariknya, enggak mesti benar-benar berasal dari makhluk mengerikan.

“Kamu yakin kamu mau jadi Pastor?”  sobat cewek – yang kemudian menjadi love interest – menggoda iman Alex saat mereka lagi berduaan. Bahkan seorang Romo yang menjadi semacam mentor dan tempat Pengakuan bagi Alex di gereja pun, terang-terangan meminta cowok lima-belas tahun tersebut untuk menikmati ‘dunia’ dahulu selagi bisa, sebelum dia resmi berkiprah di jalan agama. Di waktu yang bersamaan, Alex menemukan kotak aneh dari dalam lemari peninggalan nenek. Alex dan ayahnya yang penasaran akan sesuatu yang ‘glutak-glutuk’ di dalamnya, membuka paksa kotak tersebut. Oke, mereka kudu menghancurkan kotak. Namun bukan hanya salib milik mendiang kakek yang terbebas ketika kotak terbuka. Ada sesuatu yang mengerikan yang nempel di salib, yang terus merundung Alex yang menjadi sangat terikat oleh salib tersebut. Memberondong pikiran remaja polos ini dengan bisikan dan pikiran negatif. Membuatnya melihat penampakan yang tidak terlihat oleh orang lain. Mengubah Alex menjadi seorang yang sama sekali berbeda. Dan ultimately, korban berjatuhan tanpa bisa ditahan oleh Alex.

Kalo kata iklan deterjen di tivi, “Berani kotor itu baik”

 

Kita hidup di masyarakat yang lebih mudah menyukai seorang pendosa yang insaf ketimbang seorang alim seumur-umur. Devil’s Whisper mengangkat perspektif yang menarik yang mungkin belum pernah ada yang berani mengeksplorasinya, apalagi hari gini. Seorang anak muda yang pengen jadi pemuka agama. Topik orang yang taat beragama cenderung dihindari, konotasinya adalah berpandangan sempit, kaku, dan sama sekali enggak fun. Film ini enggak peduli. Dia enggak takut untuk menunjukkan agama masih mampu untuk melawan kejahatan. Film pun enggak membuat tokohnya sebagai orang yang, katakanlah, cupu dan terkucilkan. Alex punya teman-teman dekat, dia cukup populer untuk punya pacar. Alex adalah anak baik, yang oleh sosialnya dikhawatirkan ‘terlalu’ baik. Tokoh Alex ini  disandingkan dengan tokoh Romo Cutler, yang berperan layaknya pembimbing. Cutler sudah melihat cukup banyak, dia tahu mana yang baik dan buruk, dan dia percaya kepada Alex, so much, sehingga dia pada dasarnya menyuruh Alex untuk melakukan apa yang ia tahu mestinya Alex lakukan sebagai remaja.

Kita harus pernah melakukan kesalahan, karena tanpa pernah  berbuat salah kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya menghargai kebenaran.

 

Devil’s Whisper fitrahnya adalah sebuah horor yang MENGEDEPANKAN KETAKUTAN PSIKOLOGIS, makanya horor film ini terasa bekerja lebih baik ketika kita melihat Alex berdiam, pikirannya berlomba, dan kemudian meledak. I’m a sucker for this genre, dan aku memang menemukan ada lapisan ketakutan personal yang menguar kuat dari tokoh utama. Narasi juga punya lapisan subtil menyangkut masa lalu yang menjadi mengakar menjadi trauma bagi Alex. Film tidak pernah menjelaskan dengan terlalu gamblang soal ini, namun membiarkan kita menerawang atas apakah ada hubungan langsung antara perubahan pribadi Alex dengan bertepatannya timing dia dilantik dengan dia memungut salib bekas kakeknya. Kalung salib tersebut jelas adalah pemantik trauma yang tak bisa (atau menurut psikiater Luna Maya, tak mau) diingat oleh Alex. Aku lebih suka jika film tetap pada jalur psikologis, seperti pada adegan pesta di kolam, Alex yang enggak ikutan berenang bersama teman-temannya terbakar api cemburu demi ngeliat teman-temannya saling bersentuhan, bermain di kolam. Di mata Alex, dia ditertawakan, dan kita melihat Alex dengan marah nyebur ke kolam. Menurutku, film dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mengerikan dan dalem jika kita melihat Alex melawan setan yakni dirinya sendiri alih-alih dia seperti dirasuki oleh makhluk halus.

Sesungguhnya horor seperti ini enggak butuh potongan anggota tubuh, atau mayat sekalipun. Kematian sadis tidak menjadi soal di sini. Hanya ada satu kali penampakan mayat yang benar-benar berarti, yaitu di sebuah sekuen involving Father Cutler dan momok masa lalunya. Devil’s Whisper pada intinya adalah tentang trauma masa lalu yang muncul ke permukaan, yang dijahit bersama perasaan insecure seseorang (untuk sebagian besar adalah anak muda) yang timbul dari pilihan hidupnya. Ketika film mulai membahas ke arah supernatural, cerita yang sudah dibangun menjadi kurang meyakinkan. Aku enggak mengerti kenapa dan apa pentingnya tiga orang teman Alex dibuat mati dengan cara yang ‘kecelakaan yang aneh’ secara bersamaan. I mean, thriller psikologis mestinya bisa lebih kuat tersampaikan jika cerita dibuat mendua; apakah Alex yang membunuh mereka. Penggunaan CGI yang acapkali tampak kasar juga tidak membantu. Sosok goib yang membayangi Alex mestinya bisa tampil lebih meyakinkan dalam wujud efek praktikal, atau malah enggak perlu diliatin wujudnya sama sekali.

adik cewek itu basically memang iblis

 

Tampil dengan iming-iming ‘horor sekelas Hollywood’ tampaknya lebih menjadi beban daripada menguntungkan. Sebab produk akhir horor produksi kolaborasi rumah produksi MD Pictures dengan Vega Baby, perusahaan hiburan asal Amerika, tidak semengesankan yang mereka harapkan. Malahan, secara produksi, film tampak seperti karya amatiran. Bukan hanya CGInya yang seperti tempelan, audio, adegan, dan bahkan penampilan para tokoh juga banyak yang enggak masuk dengan tone penceritaan. Editingnya terlihat kasar dan mentah sehingga kita menjumpai detil adegan seperti noda lemparan lumpur dari teman Alex di jendela yang menghilang tak terjelaskan di adegan berikutnya. Ini adalah salah satu contoh film yang punya visi kamera yang baik namun dimentahkan oleh arahan yang konvensional.

Film terlihat berusaha keras untuk menjadi mainstream. Digunakanlah taktik jumpscare, meski sesungguhnya taktik tersebut tidak benar-benar diperlukan dalam konteks cerita dan genre ini. Turut dipakai pula musik-musik yang sekiranya cocok dengan telinga anak muda kekinian. The problem is, karakter film ini tidak pernah benar-benar menjelma menjadi pribadi yang mudah direlasikan oleh anak muda.  Ketika dia menunjukkan sifat dan tabiat yang ‘normal’ untuk standar remaja, karakternya sudah dibuat begitu messed up, wajahnya pucet, matanya nanar, rambutnya mencuat di sana-sini. Luca Oriel yang jadi Alex sangat piawai beradegan muntah, dan hanya itulah yang bisa aku bilang dari penampilannya di sini. Emosi Alex tidak pernah tampak genuine. Mode anak baiknya adalah ekspresi berbinar dan penampilan seramnya berupa memandang kosong dengan dagu rapat ke leher. Tokoh ini berakting sesuai arahan dan that’s just about it. Dialog-dialog ditulis dengan sama standarnya, kalo gak mau dibilang dangkal

Kita punya peraturan dan agama masing-masing. Kita beriman kepadanya supaya kita merasa aman. Tapi ketika peraturan tersebut mulai terlanggar, kita mulai mempertanyakan kepercayaan kita. Suara-suara yang didengar Alex adalah suara pendosa yang mempertanyakan semua itu. “Tuhan pembohong!” cecar suara itu. Padahal itu sebenarnya adalah suara yang sama dengan yang tadinya memantapkan Alex menjadi pendeta.

 

 

Tontonan horor dengan tema religi yang kental yang terhambat oleh bisikan-bisikan yang menyarankan dirinya tampil mainstream dan enggak benar-benar memilih jalur yang revolusioner. Mencoba untuk menggali horor lewat jalur psikologis, namun tetep masih bertumpu pada jumpscare, sekuens kematian yang terlalu dilebihkan, dan personifikasi hantu dengen efek komputer yang masih kasar. Film ini hampir menjadi benar, hanya saja tak mampu (atau mungkin tak mau) untuk melebihi pakem ataupun trope-tropenya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DEVIL’S WHISPER.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

HAPPY DEATH DAY Review

“The definition of insanity is doing the same thing over and over again, but expecting different results”

 

 

Bagi Tree, hidup adalah film slasher pribadi – sebuah mimpi buruk yang tidak berhenti, akan tetapi senantiasa terus berulang. Kehidupan Tree membentuk lingkaran sempurna saat hari ulang tahunnya menutup menjadi hari kematian. Dan Tree terbangun hanya untuk mengulangi lagi satu hari spesial tersebut. Tentu saja tidak butuh waktu banyak bagi Tree untuk menyadari hal ini; Hanya beberapa hari, dan itu itungannya tetep sehari bagi Tree hehehe. Pagi berikutnya dia terbangun di kamar kos cowok yang sama (as opposed to various), berjalan teler melewati orang-orang yang melakukan hal-hal yang persis seperti yang sudah ia lihat kemaren, dikasih surprise cupcake oleh teman sekamar, disirikin oleh saingan Regina Georgenya, dan malamnya disatroni oleh seorang misterius bertopeng bayi yang ngebet pengen ngebunuhnya, Tree langsung tahu dia harus segera menyibak siapa orang yang berusaha membunuhnya supaya dia bisa mencegah kematian dan hopefully mengembalikan hidupnya ke alur yang normal.

Akan butuh banyak banget kematian yang kejam untuk menyelamatkan satu nyawa.

 

Menjalani hidup yang itu-itu saja mungkin membosankan. Beberapa orang toh merasa nyaman dengan repetisi. Tetapi, melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda, jelas adalah satu kegilaan. Dan adalah suatu kebegoan untuk terus jatuh ke lubang yang sama. Happy Death Day menunjukkan bahwa  yang terbaik dari kita sekalipun kadang harus gila, atau bego dulu, sebelum bisa berkembang dan keluar dari lingkaran penderitaan.

 

Bayangkan film Mean Girls (2004), lalu taroh karakter cewek plastiknya ke dalam situasi yang sama dengan yang menimpa Bill Murray di Groundhog Day (1993), aduk rata, kemudian ditaburin kejutan-kejutan horor slasher whodunit ala Scream (1996). Itulah resep membuat kue tart Happy Death Day.  Dan kue tart yang satu ini rasanya sangat meriah. Berbagai macam rasa ‘cerita’ loop yang sudah pernah kita cicipi, bergabung menjadi satu. Belum lama ini Zoey Deutch di film Before I Fall (2017) juga terbangun di hari yang sama, dan terus mengulang kejadian over and over – Happy Death Day basically mengikuti alur cerita yang sama, Tree juga harus belajar menjadi orang yang lebih baik, tapi film ini melapis perjalanan innernya dengan gimmick thriller. Film ini tidak sesendu drama Before I Fall. Dari semuanya, Groundhog Day lah yang berpengaruh paling kuat. Malahan, film ini sadar diri dan mengakui hal tersebut. Ada adegan di mana satu tokoh beneran nyebut tentang film tersebut saat Tree lagi curhat soal apa yang ia alami. Namun alih-alih nostalgia, Happy Death Day adalah film yang kekinian.

Film ini digarap dengan sangat komersil. Sutradara Christopher Landon yang menulis film-film Paranormal Activity sudah barang tentu tak asing dalam mengolah cerita yang mudah disukai oleh banyak kalangan, khususnya remaja. Filmnya tampak sangat cantik, sekuens kejar-kejarannya exciting, aku suka arahan Landon ketika menangani blocking di sekuens aksi film ini. Happy Death Day tidak pernah menjadi terlalu serius. Tone film ini benar-benar mengejutkanku, aku tidak menyangka film ternyata LIGHT-HEARTED, KOCAK, DAN SANGAT ENJOYABLE. Kalo mau dibandingin, menonton Tree di sini membuatku teringat sama Emma Roberts dan perannya sebagai Chanel di serial Scream Queens.

Attitude dan karakter Tree yang membuat film ini begitu menyegarkan untuk ditonton meskipun cerita seperti ini sudah berulang kali kita dapatkan. Jessica Rothe melakukan banyak permainan emosi, juga sangat ekspresif. Memainkan Tree adalah sebuah perjalanan yang fisikal, dengan lapisan psikologis, dan Roth melakukan pekerjaan yang fantastis di sini. Tree mungkin adalah tokoh pertama yang mengemban tugas sebagai tipikal tokoh ‘jalang’ yang bakal mati duluan dan cewek heroin yang selamat berkat kebaikannya sekaligus.

Sebagai cewek populer, Tree berlaku kasar sama semua orang. Ada adegan kocak ketika dia membuat daftar orang-orang yang sekiranya punya motif untuk membunuh dirinya, dan dia kewalahan sendiri begitu sadar bahkan pengemudi uber pun pernah ia kasarin dan berkemungkinan menyimpan dendam kesumat. Di sekitar midpoint, kita ngeliat penggalan-penggalan yang sangat lucu saat Tree menguntit para ‘tersangka’ satu-persatu, hanya untuk menemukan bahwa mereka tidak bersalah dan dia membiarkan dirinya terbunuh oleh si Pembunuh Berwajah Bayi yang muncul menyerangnya dari tempat tak terduga. Lama kelamaan memang adegan pembunuhannya tidak lagi seram, malah berubah menjadi lawak.

Terkadang bukanlah kesempatan yang banyak yang kita perlukan. Pada akhirnya, yang benar-benar diperhitungkan adalah tindakan yang kita pilih untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. Perubahan itu harus kita sendiri yang memulai.

 

Dalam perjalanannya, film ini tidak lagi terasa seperti horor buatku. Tree yang dibunuh terus, kemudian mengulang lagi pencariannya, malah menjadi seperti permainan video game dengan nyawa tak terbatas. Tonenya yang ringan dan cenderung tidak-serius juga turut membantu raibnya faktor-taku tersebut, meskipun film memang menaikkan taruhan dengan menetapkan kondisi Tree semakin melemah setiap kali dia terbangun dari keadaan terbunuh. Jika kalian penggemar horor yang ada jumpscarenya, mungkin kalian bahkan lebih terhibur lagi daripada aku saat menonton ini. Ada banyak taktik jumpscare yang digunakan untuk memancing rasa takut, sayangnya sebagian besar lemah banget untuk membuat kita beneran kaget.

Cerita yang klise tidak memberikan banyak ruang untuk kejutan. Dan bicara soal kejutan, film ini punya dua momen gede sehubungan dengan identitas pelaku. Tentu saja, sebelum pengungkapan terdapat sejumlah red-herring yang ditebar. Film ini banyak banget red herringnya,  setiap dari mereka langsung tereliminasi dengan dibunuh langsung oleh the real culprit. Masalahnya adalah, pengungkapan identitas pelaku tampak begitu berjalan-sesuai-skema. Kita tidak merasa begitu terkejut. Di bagian false resolution, pengungkapannya memang tidak memuaskan. Dan ketika resolusi yang sebenarnya datang, it just doesn’t hold together, tidak terasa benar-benar masuk akal.

Hidup seolah tak ada hari esok, literally

 

 

 

Toh, film ini memang menghibur. Aku tidak menyangka mereka mengolah misteri dengan konsep ‘mengulang hari’ menjadi sajian yang ringan. Ada banyak adegan yang diolah untuk memancing kelucuan alih-alih kengerian. Perjalanan inner Tree tidak ditangani dengan dramatisasi berlebihan. Tapi itu bukan berarti film ini serta merta bagus. Landon paham bagaimana harus mengikuti selera pasar, khususnya remaja-remaja putri. Kekerasan dibuat minimal. Aksi-aksi fisik jatohnya kocak. Film ini menyenangkan untuk dinikmati pada permukaan. Dalam tingkatan yang lebih dalam, however, tidak banyak kejutan yang diberikan. Ceritanya klise. Lebih seperti gabungan plot-plot sejenis, hanya saja digarap dengan visi supaya menjadi menyenangkan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for HAPPY DEATH DAY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

ONE FINE DAY Review

“We lie best when we lie to ourselves.”

 

 

Syuting ke luar negeri, bagi film Indonesia, ekuivalen dengan penggunaan efek komputer yang canggih. Semacam, PH punya duit banyak, namun teknologi yang ada belum memadai, jadi yeah film-film lokal banyak stak dengan cerita berlayer sedikit (malah sering juga satu) dan sebagai gantinya mengandalkan kepada jalan-jalan ke tempat mewah penuh pesona peradaban kayak New York, London, Amsterdam, Paris. Dan kali ini Barcelona. Film-film jenis begini musti mampu menjalin cerita yang benar-benar mengconvey kota yang dijadikan latar, membuat cerita beserta karakter-karakternya punya kepentingan untuk berada di sana. Paling enggak, mereka harus bisa menjelaskan lebih dari sekadar “dunia ini sempit” kenapa pelancong dari Indonesia kerap bertemu ataupun rasanya banyak banget orang Indonesia di negara tersebut. One Fine Day, misalnya (bukan yang film George Clooney dan Michelle Pfeiffer loh ya),  film ini memasukkan elemen pengawal pribadi yang membuat ceritanya memang kudu terjadi di luar negeri.  Elemen musik dengan genre  yang lagi hits juga dibuat film ini sebagai salah satu alasan kenapa ceritanya harus berlokasi di Barcelona.

nyaingin Despacito ni yee

 

Aku sendiri juga sebenarnya enggak punya kepentingan apa-apa pergi nonton film ini. Aku tahu benar drama cinta anak muda kekinian bukanlah genre yang biasa kunikmati. Aku gak ngefans sama pemain-pemainnya. Aku gak pernah mimpi jalan-jalan ke Barcelona. Niatku adalah paling enggak, keluar dari studio aku bisa bikin tulisan yang mengedukasi gimana sih drama yang bagus itu semestinya. Jadi, aku masuk mengharapkan yang terburuk. Dan film ini  ternyataaa….. sepertinya judulnya, IT WAS FINE. Digarap dengan cukup kompeten. Punya skenario yang strukturnya bener. Dari tokoh-tokohnya juga, film ini punya sesuatu yang ingin disampaikan. Ada titik ketika film terasa jadi terlalu dramatis sih, ada bagian-bagian ketika cerita menyerah ke kepentingan untuk bikin baper penonton sebaper-bapernya, dan para aktor benar-benar up for it. Penampilan mereka tepat menghasilkan kesan dan reaksi seperti yang ditargetkan.

Jefri Nichol di sini berperan sebagai Mahesa, seorang yang easy going, sepertinya sedikit slengekan, dia beredar banget di jalanan, dia menyapa orang-orang, terutama cewek. Polisi juga tampak kenal padanya, “hey kamu, jangan lari!” hihihi. Mahesa ini anak band juga, a shirtless band, yang dari main di jalanan bersama dua temannya, sekarang mereka terkenal di youtube.  Dalam rentang sepuluh menit pertama, kita diperlihatkan gimana Mahesa dan kedua temannya itu ngescam cewek cakep yang kaya dan desperate. Itulah yang trio ini lakukan di waktu senggang mereka – yang mana hampir sepanjang waktu – nilep duit cewek dengan memanfaatkan kegantengan Mahesa. Susah untuk peduli pada karakter ini di awal,  apalagi stake cerita ini personal banget bagi Mahesa, dan kita butuh untuk segera di belakang tokoh ini. Namun melakukan itu bahkan lebih susah lagi ketika sedikit demi sedikit pribadinya terbuka. Karena, Mahesa jatuh hati pada Alana’s Michelle Ziudith, dan di sekitar cewek itu Mahesa nunjukin sisi baik, namun kita masih gak yakin apakah baiknya itu beneran dari hati atau muslihat si Don Juan.

KEBOHONGAN DAN KEJUJURAN menjadi tema utama cerita yang muncul berulang dan menjadi benang merah antara tokoh-tokoh yang ada. Bagusnya, benang tersebut enggak tersimpul atau malah putus di akhir. Setiap tokoh diberikan resolusi memuaskan, meskipun beberapa cheesy. Tokoh bodyguard pun mendapat subplot yang sejajar dengan tokoh-tokoh mayor sehingga Surya Saputra yang bermain really contained tidak terlihat seperti tokoh yang out-of-place. Alana, aku sempat cuek juga sama tokoh ini, keinginannya sepertinya cuma punya pacar. You know, kita liat dia duduk sendirian, terus entah kenapa dia punya bodyguard. Tapi kemudian as the story goes, kita mengerti dia sudah punya cowok, dia enggak bahagia dengan relationshipnya, dan bodyguard itu ditugaskan oleh si cowok untuk menjaga Alana ke mana-mana.

Setiap kita pernah gak jujur kepada orang lain, pura-pura, ngeles, atau malah kayak Mahesa – penipu ulung. Namun, kita adalah pembohong yang sangat baik ketika kita berbohong kepada diri sendiri. Pesan inilah yang menggarisbawahi narasi. Sebagian besar poin cerita yang terlihat  lemah di awal; Aku mencibir ketika Mahesa bilang ke Alana “Saya yang bisa jaga kamu” dan Alana percaya, sebab aku masih ingat Alana pertama kali ketemu Mahesa; Dia ngeliat sendiri Mahesa lagi ngedate sama cewek bule, kemudian dia dihajar oleh penagih hutang, di meja kafe. Meski dari sisi Mahesa itu hanya skenario, tapi kalo jadi Alana, aku akan takut pacaran sama orang ini, apa jaminannya dia enggak berantem lagi. Juga poin cerita yang belum-terjelaskan; karena selalu dikawal, Alana ingin bersama orang yang membuat ia merasa bebas, walau mungkin kebebasan tersebut ada harganya. Kemudian datang adegan yang kontras dengan itu, ketika Mahesa nyuruh Alana untuk diam di tempat, dan Alana benar-benar enggak bergerak. Tidak bisakah ia melihat Mahesa gak begitu berbeda dengan cowoknya? Poin-poin cerita tersebut, juga hubungan yang rasanya terjalin terlalu cepat antara Mahesa dan Alana, ternyata bekerja dengan baik dalam konteks pesan ‘kita penipu ulung diri sendiri’

Setiap karakter film ini berbohong kepada diri mereka. Danu, pacar Alana, tahu bahwa Alana gak cinta kepadanya, jadi dia memakai pengawal untuk menjaga agar Alana tidak diambil orang. Danu bohong kepada dirinya sendiri, dia bertindak seolah Alana ada di dekatnya karena cinta, karena nyaman. Tapi enggak. Begitu jua dengan Alana; dia tahu rasa cintanya kepada Danu sudah tergantikan oleh Mahesa, tapi dia tetap balik ke Danu ketika dia mendengar di balik apa yang selama ini dilakukan Mahesa. Cuma Mahesa yang enggak bohong ke diri sendiri, dia hanya bohong kepada orang lain. Mahesa dengerin kata hati, dan ultimately dia belajar untuk tidak bohong sama sekali.

Kita bohong kepada hati. Kita cenderung suka mengabaikan kata hati sendiri hanya demi nyenengin orang lain. Hanya demi memuaskan kebutuhan yang enggak benar-benar kita perlukan. Hanya demi secuil rasa security.

 

Dari nonton film ini, sepertinya aku jadi bisa ngerti kenapa drama cinta Indonesia itu kebanyakan kayak dibuat-buat, gak genuine. One Fine Day adalah cerita yang mature by nature, konfliknya dewasa. Bicara soal kejujuran, soal passion, pilihan hati. Aku paham film ingin membahas sesuatu yang serius dalam tone yang lighthearted, namun tetep terasa ada batasan-batasan adegan yang tidak bisa dilakukan. Tokoh dalam film ini mestinya sudah dewasa, tapi gak benar-benar meyakinkan karena acapkali mereka terasa seperti anak baru gede. Di sinilah letak masalahnya. Tokoh-tokoh tidak meyakinkan, mereka tidak terasa nyata karena tidak bertindak dalam bingkai-usia yang benar. Dialognya sering revert back ke kutipan-kutipan yang cheesy. Film ini juga catering ke pasar terlalu banyak dari yang semestinya mereka lakukan. Penggarapan filmnya, arahan, cara pengadeganan diolah untuk menyampaikan pesan masih mengandalkan trope dan pancingan dramatis yang over. Dalam film ini kita akan melihat montase pacaran, lengkap dengan musik yang ngehip. Soal musik, ya eksesif sekali, maksudku, mereka memasang di adegan sedih seolah akting nangis Ziudith belum cukup untuk menyampaikan rasa. Narasi juga terasa convenient. Ada banyak kebetulan yang terjadi, seperti kebetulan sekali cewek-cewek yang ditipu oleh Mahesa dan teman-teman tidak pernah nonton video youtube mereka atau melihat mereka nampil. But mainly, kebetulan-kebetulan digunakan oleh film untuk memancing tawa ataupun sepercik drama tambahan.

ini cuma aku sih, tapi aku cukup kecele oleh judul, kirain ini film real-time satu hari

 

 

Pada akhirnya semua plot keiket. Yang jahat kena batunya. Yang baik muncul ke permukaan dengan bahagia. Menari dan menyanyi. Berpelukan. It’s a fine day for everyone. Dan aku enggak akan bohong, ini adalah film yang oke. Punya cerita untuk disampaikan, dan tau cara menceritakannya. Kalian bisa ngajak seseorang yang spesial untuk nonton bersama, dan belajar soal kepercayaan. Kejujuran dan kebohongan. Tapi hanya itu. This movie doesn’t break any ground, or taking risk, atau menjadi lebih menantang – atau bahkan lebih dewasa, or anything else di luar jangkauan target pasarnya. If anything, justru malah bisa jadi lebih baik lagi jika tidak terlalu terpaku kepada trope-trope drama.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ONE FINE DAY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

WIND RIVER Review

“Nothing burns like the cold.”

 

 

Kuda dan hewan ternak di pegunungan bersalju kawasan reservasi pribumi Amerika pada tewas dimangsa oleh hewan-hewan liar. Serigala. Oke, masih mending. Singa gunung. Well, now there’s a problem. Orang-orang pada umumnya gak mau berurusan dengan singa, Cory Lambert malah memburu kucing gede itu dengan motor salju dan senapan. Sebab itulah pekerjaan mantan pemburu tersebut, dia mengurusin masalah hewan liar yang mengganggu kedamaian ternak di sana. Saat melacak jejak singa di padang salju, Cory menemukan jejak lain yang mengawalnya ke mayat cewek Indian remaja. Tempat dan kondisi yang sangat mengenaskan untuk beristirahat selamanya; paru-paru meledak, telapak kakinya yang tanpa sepatu biru membeku.

Jelas bagi Cory, ada predator lain yang lebih berbahaya yang harus ia buru.

 

Sebuah misteri pembunuhan, akan tetapi sesungguhnya Wind River adalah cerita yang sangat manusiawi yang punya bobot dan hook lebih dari sekadar siapa sih pelakunya. Sedari bait-bait puisi yang menjadi narasi mulai bisa kita dengar, setiap dimensi cerita yang dimiliki oleh film ini penuh oleh simbolisme. Wind River melengkapi trilogi bertema pria yang berada di dua sisi hukum buah tangan penulis skenario Taylor Sheridan. Dan kali ini, tidak seperti Sicario (2015), dan Hell or High Water (2016), Sheridan mengomandoi sendiri skenario yang ia tulis. Nulis dan jadi sutradara itu beda banget, enggak banyak yang bisa cakap pada kedua bidang sekaligus. Untungnya bagi Taylor Sheridan, dia sudah berpikir layaknya sutradara dalam setiap skenario yang ia buat. Dia punya pandangan luas tentang keadaan masyarakat, apa-apa yang menjadi salah dalam pandangan khalayak, dan hal tersebutlah yang diekspresikan olehnya. Dan hal tersebut bukan sekadar justifikasi tindakan moral yang lantang ketimbang menohok, Sheridan membuat cerita yang ditulis (dan kali ini digarapnya) menghantui layaknya puisi.

Dialog-dialog mengalir dengan brutal. Sementara di belakangnya, visual dan lingkungan tergambarkan persis seperti salju putih itu; DINGIN DAN SUNYI. Para aktor penampil mendapat arahan yang sangat baik, semua orang di sini tampak berada di puncak penampilan aktingnya masing-masing. Jeremy Renner menghilang ke dalam perannya sebagai Cory. Dia berurusan dengan masa lalu yang pahit – dia juga kehilangan anak perempuan – dan hal tersebut menjadi jembatan baginya untuk terkoneksi dengan warga-warga lokal di daerah tersebut. Terutama kepada ayah mayat cewek yang ia temukan, yang diperankan dengan sama fantastisnya oleh Gil Birmingham. Martin akan bikin kita terenyuh, ini adalah karakter yang penuh bukan saja oleh duka nestapa, melainkan juga oleh amarah, lantaran perlakuan yang didapat oleh keluarga dari pemerintah. Dan ultimately oleh dunia. Konflik yang dihadapi oleh Martin dan Cory sangat paralel, setiap adegan yang melibatkan mereka berdua saling curhat dan menghibur – dengan cara dingin film ini – adalah adegan yang kuat dan sangat menyentuh.

aku punya perasaan tak terjelaskan bahwa nama Indian si Cory ini adalah Hawkeye.

 

Wind River adalah salah satu dari sedikit film yang berhasil menjadikan lokasi sebagai karakter tersendiri. Kota yang diambil dari kota beneran, lengkap dengan masalah beneran di Amerika, punya peran yang penting di dalam cerita. Kota tersebut mempengaruhi penduduk yang tinggal di sana. Ada kegelapan, hypothetically, yang timbul dari kota yang dirasakan oleh penduduknya. Film benar-benar menangkap hal tersebut. Cory dan penduduk Indian lain stak di sini, di kota yang hanya ada salju dan tak banyak yang bisa dilakukan, dan mereka juga nyaris tidak dipedulikan oleh pemerintah. Ada banyak poin yang nunjukin susyenya birokrasi penyelidikan kasus, yang menunjukkan betapa tak-adil perlakuan yang penduduk kota ini dapatkan. Teks di akhir film literally bikin aku speechless, fakta dan kebenaran itu memang menyeramkan.

Apa persamaan antara salju, duka, dan menjadi Indian di tanah reservasi Wyoming? Sama-sama dingin dan sunyi. Itulah yang dirasakan oleh Cory dan penduduk Wind River. Mereka terpaksa tinggal di tempat yang dicuekin oleh pemerintah, oleh dunia, dan mereka tak bisa melakukan apa-apa selain menerimanya saja. Seperti menelan duka kehilangan. Kita terus mengingat orang yang telah meninggalkan kita, walau pahit, hanya karena kita enggak mau kehilangan kenangan dan hal-hal bahagia bersamanya. Dalam perkembangan diri, demi survival, Cory tahu Wind River adalah tempat yang memohon ada kejadian terjadi kepadanya, meski buruk, thus Cory will hunt them. Sebab tak ada lain yang bisa dilakukan Cory sebagai pemburu, dan batasan buruk bagi dirinya terpampang di kalimat “Singa harus berburu, tapi tidak pada ternak.”

 

Untuk mewakili penonton, film memasang tokoh Jane, si FBI cewek, yang dikirim untuk menangani kasus. Tokoh yang diperankan Elizabeth Olsen ini adalah orang dari luar kota. Saat datang pertama kali, Jane malah ‘salah kostum’. Pakaian yang ia bawa tidak ada yang mampu membuatnya bertahan hidup di cuaca sedingin Wind River. Bersama Jane kita akan belajar banyak atas apa yang terjadi pada kota dan bagaimana kota tersebut mempengaruhi penduduk. Biasanya, karakter kayak gini digambarkan oleh film-film sebagai tokoh yang lemah, dia mendapat banyak bantuan. Tak nutup kemungkinan juga tokoh yang annoying, dia akan banyak nanya-nanya dan dalam keadaan tak mengerti yang konstan. Jane, memang, banyak bertanya dan dia jujur-jujur bilang butuh bantuan kepada Cory. Kemampuan melacak Cory superior daripada yang ia punya. Tetapi Jane bukanlah karakter yang lemah. Dia tidak perlu diselamatkan setiap sepuluh menit sekali. In fact, dia membuat banyak pilihan. Dan, oh boy, dia benar-benar mengambil tindakan.

Untuk begitu lama, film ini mempersembahkan diri sebagai drama. Karena memang ini bukan film aksi. Namun, menjelang akhir, orang-orang berguguran, kejadian menjadi menegangkan. Kelanjutannya bahkan lebih brutal dan intens lagi. Porsi aksinya dibangun dengan cara yang sangat keren, sekitar sepuluh orang bersenjata berdiri siap menembak, stand-off tersebut tergambar dengan cara yang keren dan bikin kita gigit jari sambil melempar pandangan mata ke kanan dan ke kiri. Kita enggak yakin kelompok mana yang lebih terintimidasi, kita harap-harap cemas mana yang salah langkah duluan, yang menarik pelatuk duluan. Semua yang terlibat sama-sama takut, dan di momen krusial tersebut Jane mengambil tindakan. Adegan yang sangat memuaskan yang hanya bisa ditandingi oleh kejadian di babak terakhir di puncak gunung. Aku gak mau spoiler tentang adegan ini, karena perasaan cathartic yang kualami saat melihatnya sungguh-sungguh melegakan, super tegang namun puas secara emosi.

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.  Wind River begitu sadis menangkap bagaimana sebuah tempat, lokasi yang dipaksakan untuk lama ditinggali oleh kita, dapat mendikte pandangan kita terhadap keseluruhan dunia. Membuat kita terkurung, mencegah kita berkembang ataupun melakukan hal-hal yang lebih selain bertahan hidup.

 

 

 

Tak pelak, film yang mengangkat masalah dunia nyata ini penting untuk ditonton. Taylor Sheridan menangkap sesuatu yang lebih putus asa, yang lebih gede dari kriminal biasa, dan itu adalah tentang keserampangan hidup manusia yang disebabkan oleh keadaan emosional yang mengurung. Duka adalah tempat paling sepi untuk tinggal, namun terkadang kita harus tetap tinggal di sana. Seperti orang-orang di reservasi Indian yang tak bisa pindah. Dalam film ini disebutkan teori forensik tentang seberapa cepat dingin dapat membunuh orang, well, dalam lapisan terdalamnya film berkata tentang seberapa cepat dinginnya perlakuan dapat membuat orang melakukan hal-hal yang di bawah derajat moral.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for WIND RIVER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

BLADE RUNNER 2049 Review

“Our memories are not always our own”

 

 

Di masa depan, waktu di mana mobil bisa melayang, kota-kota menjulang, hologram dan teknologi sudah pesat berkembang, tetapi lingkungannya sangat suram. Tidak adakah manusia yang menjaganya? Masa depan adalah waktu di mana manusia telah tersesat, sementara robot-robot android yang mereka bangun mengetahui persis apa yang jadi keinginan hidupnya; ingin menjadi manusia. Ironi itulah yang menjadi tema utama di balik beragam dimensi cerita Blade Runner 2049.

Satu lagi cerita pinokio, pencarian jawaban terhadap eksistensi, hanya saja digarap dengan nuansa filosofis kental menghiasi penceritaan yang sangat kuat. Memancing emosi dan pikiran. Meskipun eksterior film suram dan dingin banget, kota-kota gelap, San Diego udah beneran kayak kota sampah di salah satu adegan, ada hati yang hangat berdenyut di dalam cerita. Statusnya sebagai film sekuel tidak menjadi beban, sebab sukur Alhamdulillah, Denis Villeneuve mengerti apa yang harus dia lakukan ketika menangani sekuel dari karya flawed-masterpiece seperti Blade Runner (1982). Kenapa aku bilang flawed, well Blade Runner original udah bikin pembuatnya bingung. Ridley Scott mengeluarkan tiga versi film, masing-masing dengan editing cerita yang berbeda, sebab tampaknya Scott masih belum puas. Film tersebut punya pengaruh besar bagi sci-fi scene, tema filosofisnya mengundang banget untuk kita menontonnya lagi dan lagi. Dengan begitu, alih-alih ngotot ngereboot atau menjadikan sekuel ini set up dari franchise baru, Villeneuve merekonstruksi cerita tiga babak yang sangat kuat. Plotnya punya awal-tengah-akhir, Blade Runner 2049 adalah film yang benar-benar punya cerita, yang kokoh berdiri sendiri, it’s a very contained, dan aku harus bilang ini adalah salah satu film terbaik yang bisa kita saksikan di tahun 2017.

Tanpa kenangan, kita bakal nyasar. Akan tetapi,Blade Runner 2049 mengungkapkan bahwa beberapa kenangan yang paling berharga bagi kita bisa jadi bukan milik kita.

 

Ketika para robot android tidur, mereka bermimpi menjadi manusia. Mereka ingin merasakan ‘keajaiban’ hidup yang hanya bisa dirasakan oleh manusia. Agen KD6-3.7 tahu persis dirinya adalah Replicant – sebutan untuk android yang dibuat demi membantu pekerjaan manusia. K bekerja sebagai Blade Runner, polisi yang melacak Replicant-Replicant liar untuk kemudian ‘memensiunkan’ mereka. Mungkin karena itu, dia juga membayangkan dirinya sebagai sosok yang lebih mulia daripada replicant-replicant yang lain; bahwa dialah yang paling mendekati apa yang disebut dengan manusia. Ryan Gosling – keliatan sedikit berotot dibanding penampilannya di La La Land (2016) – bermain dengan teramat baik di sini. Selagi dia bepergian ke tempat-tempat, mencari petunjuk dalam investigasinya mengenai sebuah misteri kasus masa lalu, Gosling’s K harus berurusan dengan berbagai macam emosi, terutama ketika setiap misteri yang ia buka membuatnya belajar hal baru yang menimbulkan gejolak pada dirinya. Susah baginya untuk bagaimana menanggapi hal yang ia sibak, penampilan Gosling di sini sangat menarik untuk kita simak. K harus mencari Deckard (tokoh utama Blade Runner original), sebab Deckard-lah yang bisa membantunya. Harrison Ford bermain sangat menakjubkan, di usianya dia masih mampu melakukan banyak aksi fisik. Di sini dia sangat terguncang oleh kejadian masa lampau, dan kita akan belajar kenapa dia melakukan apa yang ia lakukan, kalian akan bisa memahami tokoh ini walaupun belum nonton film yang pertama. Blade Runner 2049 bekerja dengan sangat baik menjelaskan tanpa pernah menjadi terlalu eksposisi dan tidak sekalipun emosi terlupa untuk digaungkan.

kirain ingatan masa kecilnya adalah waktu jadi Mousekeeter di Mickey Mouse Club hhihi

 

Untuk kali ini, aku gak akan beberin banyak plot poinnya, kalian harus saksikan sendiri sebab film ini worth banget untuk ditonton. Serius, cari deh yang layarnya paling gede dan suara paling kenceng sekalian. Bagi para penggemar berat Blade Runner yang menanti jawaban – mungkin lengkap dengan catatan teori sendiri – salah satu pertanyaan sinematik terpenting sepanjang masa “Apakah Deckard manusia, ataukah dia Replicant?”, maka rasa penasaran dan teori kalian mungkin akan bertambah. Film ini menawarkan jawaban tanpa pernah benar-benar tegas akan hal tersebut. Banyak kejutan yang bakal bikin kalian menggelinjang, aku sempat di”sssst!”in sama penonton di sebelah lantaran kelepasan ngomong “Ohmygod What!!?” kenceng banget di salah satu adegan Jared Letto mereveal sesuatu di bagian akhir.

Kalo itu belum mampu untuk mendorong kalian bangkit dari depan laptop dan segera ke bioskop, mari aku beri sedikit ilustrasi pribadi; Aku gemar nonton film bisa dikatakan rada telat, karena aku tumbuh di kota yang gak ada bioskop. Dan lagi kata mentorku, aku lahir di tahun yang salah. Aku tidak pernah menyaksikan klasik seperti Psycho, The Shining, bahkan Jurassic Park di bioskop. Tapi kemudian aku menyaksikan film-film kayak Enemy (2014), Sicario (2015), Arrival (2016), dan Blade Runner baru ini, yang membuatku berpikir “Maaan, seperti inilah rasanya menonton filmmaking kelas Master di bioskop” Jadi poinku; sukurilah Denis Villenueve selagi kita masih bisa nyaksiin karyanya yang udah kayak Hitchcock atau Spielberg modern secara langsung. Di bioskop!

Ingatan tentang kejadian baik lebih tidak bisa dipercaya dibandingkan dengan ingatan buruk. Kita bisa sampai pada kesimpulan ini demi melihat gimana proses ingatan masa kecil dipasangkan kepada para replicant. Dan episode Total Rickall serial Rick and Morty akan menguatkan teori ini. Ingatan kita tidak bisa dipercaya sebab kita mengingat dengan perasaan. Kita cenderung suka tampered with good things, yang kita ingat sebenarnya bukan kejadiannya, melainkan apa yang kita rasakan saat itu. Dan ketika merelive lagi, perasaan tersebut akan dibesar-besarkan. Kenangan yang terlalu detil, seperti kenangan anak ulangtahun yang dilihat K sedang dalam proses pembuatan adalah kenangan sintetis, sedangkan memorinya tentang dibully, meskipun tampak aneh dan kurang detil, justru adalah yang otentik dan benar terjadi.

 

 

Aku mengerti kenapa banyak yang was-was ngeliat durasinya yang memang panjang banget, nyaris tiga jam. Film memang banyak menghabiskan waktu dalam bercerita, ada banyak yang disampaikan sehingga bikin bingung. Beberapa orang di studio juga kedengaran bilang bosan pas keluar, bahkan di tengah film ada suara orang menguap. Nah, kalo urusan bosan ini aku kurang mengerti gimana bisa seseorang merasa bosan padahal sepanjang film matanya terus disuapi pemandangan-PEMANDANGAN BERGIZI? Visual film ini marvelous banget, kandidat kuat sekali untuk sinematografi terbaik Piala Oscar. Aku sampai lupa ngunyah permen karet saking takjubnya ngeliat layar. Tampak begitu hidup seolah kita bisa menjangkau ke dalam layar, dan masuk ke dunia tahun 2049 tersebut. Agenda filosofis film ini juga semakin lancar tersampaikan berkat iringan musik yang eerienya menyentuh banget. Blade Runner 2049 akan ngingetin kita semua kenapa kita suka nonton film. Craftmanship dan treatment adegannya luar biasa. Aku jadi teringat masa ketika aku nonton Mulholland Drive dan seketika tergerak pengen nulis cerita dan ngerekam, punya mimpi bikin film sendiri.

atau malah bikin hopeless kita gak akan pernah bisa bikin karya semasterpiece ini

 

Film ini sendirinya adalah sebuah mesin yang indah sekali untuk ditonton. Untuk diselami. Untuk dinikmati. Penokohan karakternya paralel. Aku senang Batista dapat peran yang cukup signifikan sehingga dia bisa bermain di luar karakter Drak, and he plays it good. Romansa antara K dengan hologram yang ia pasang di rumahnya sangat membantu pengembangan karakter, kita bisa simak K belajar banyak dari Joi soal keinginan untuk menjadi manusia. In fact, setiap karakter yang dijumpai K adalah pembelajaran. Dari elemen ini, aku melihat satu (dan hanya satu) kekurangan pada film. Mungkin menyadari ceritanya yang panjang dengan banyak informasi yang harus disusun oleh penonton, film memberikan sedikit kemudahan berupa pengulangan dialog via voice-over yang bergaung di dalam kepala K. Ada banyak adegan ketika tokoh kita diam, suara karakter dari adegan sebelumnya diperdengarkan kembali, kemudian K pasang tampang dia berhasil menyimpulkan sesuatu. Menurutku, di sini film agak meremehkan penonton. Karena bagi penonton yang benar-benar memperhatikan, dialog-dialog untuk mengingatkan itu sama sekali tidak perlu. Kita sebagai penonton mestinya bisa memilah mana informasi penting, mengingat, dan menyambungkannya sendiri.

 

 

 

Ini adalah jenis tontonan yang begitu menakjubkan, visual mewahnya secara konstan menyuapi mata, sehingga mampu menginspirasi banyak orang. Meskipun bercerita tentang makhluk buatan, tidak ada yang terasa seperti replika. Emosinya genuine. Perasaan yang disampaikan tokoh-tokohnya begitu manusiawi. Lewat plot yang kuat, pembangunan dunia yang masuk akal, dan rentetan pertanyaan filosofis yang mengalir mulus sebagai dimensi cerita, film ini sukses berat menjadi bukan saja salah satu sekuel terbaik – dia bisa berdiri sendiri, enggak tergantung kepada film lain – namun juga film terbaik yang pernah ada.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for BLADE RUNNER 2049

 

 

 

That’s all we have for now.
Buat yang mau nonton Blade Runner (1982) bareng sambil diskusi, dateng aja ke markas My Dirt Sheet di kafe es krim Warung Darurat, Jalan Teuku Umar 6A, Dipati Ukur, Bandung. Kami muterin film by request!

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

MERAH PUTIH MEMANGGIL Review

You either die a hero or live long enough to see yourself become the villain”

 

 

Sesungguhnya mati sebagai pahlawan atau hidup cukup lama kemudian menjadi penjahat itu bukan pilihan. Karena kita enggak bisa memilih untuk menjadi pahlawan. Untuk menjadi pahlawan dibutuhkan pengorbanan, keberanian. Enggak sekedar mejeng di uang kertas atau nampang jadi nama jalan. Kita enggak bisa mutusin untuk nolong orang lalu mati supaya bisa minta “ntar patung gue dilapis emas ya”. Meski ikhlas kerjaan mereka gak pernah enak, tentara-tentara dalam Merah Putih Memanggil jelas tidak akan ngarep sukur-sukur mereka gugur di medan perang. Mereka punya keluarga yang menanti di rumah. Bahkan pada detik-detik peluru menghujani tubuh mereka, mereka tidak tahu mereka adalah pahlawan.  Dan itulah poin gede kalimat yang diucapkan Batman di atas;

Kita belum menjadi sebenar-benarnya pahlawan selama kita masih menyadari kita memilih melakukan sesuatu yang heroik. Pahlawan adalah penghargaan terbesar yang bisa diberikan orang lain atas tindak pengorbanan dan kemanusiaan yang kita lakukan.

 

Sekelompok teroris menyandera tujuh orang penumpang kapal pesiar di dalam pulau persembunyian mereka. Which is just outside of Indonesia’s jurisdiction. Demi keselamatan warga negara yang merupakan salah satu dari sandera, angkatan militer Indonesia bermaksud melakukan penyusupan. Masuk ke pulau, keluar dengan membawa para sandera. Tentara gabungan Indonesia hanya diberikan waktu 48 jam untuk melaksanakan operasi Simpel. Namun  bukan tanpa bahaya. Dalam pulau yang tak ramah tersebut, segala rencana yang disusun bisa berantakan oleh pertanyaan moral. Ini berubah menjadi misi hidup atau mati yang mengerikan. Para tentara harus mengawal sandera-sandera ke titik penyelamatan, secepat dan seaman-amannya, menyusuri hutan yang dipenuhi oleh pasukan teroris. Mereka literally dikejar peluru, satu persatu gugur berjatuhan.

“sekarang kita istirahat, silahkan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kenalan dan pengembangan karakter”

 

Belum lama ini kita sudah menyaksikan gimana Christopher Nolan menembus batasan film perang lewat Dunkirk (2017), ada begitu banyak terobosan yang dibuatnya dari segi filmmaking, dan juga bercerita. Nolan dengan berani menaruh kita so in-the-moment of war, sehingga kita tidak perlu mengenal para tokoh untuk menjadi peduli. Makanya, begitu menonton Merah Putih Memanggil, ada perasaan sedikit aneh. It’s just like, we revert back to that time. Mungkin perbandingannya memang terlalu jauh, namun T.B. Silalahi tidak melakukan inovasi dalam cerita garapannya ini. Tidak ada pilihan-pilihan baru yang diambil. Trope-trope seperti prajurit yang ninggalin istrinya yang sedang hamil kembali kita temukan sebagai langkah mudah dalam usaha memancing sisi dramatis. Film ini diniatkan sebagai epos tentang KEPAHLAWANAN DAN KEPERKASAAN KEKUATAN MILITER INDONESIA, dan mereka melakukannya dengan triumphant, mengusahakan terbaik yang mereka bisa. Tetapi  sesungguhnya ada begitu banyak yang bisa dilakukan untuk mengimprove ataupun membuat film ini menjadi lebih menantang dan menyenangkan lagi untuk kita tonton.

Sinopsis resmi film ini mengatakan tujuh sandera adalah orang-orang dari kewarganegaraan yang berbeda. Sayang sekali, tidak banyak dari mereka yang diberikan kesempatan berbicara, apalagi diberikan perspektif yang dalem. Menurutku, film benar-benar melewatkan kesempatan besar di sini. I mean, warga negara A, B, C disandera bareng oleh warga negara D, disekap di pulau negara E, diselamatkan oleh negara C, mereka bisa menciptakan dialog dan konflik kemanusiaan skala global di sini. Tapi enggak, film hanya tertarik memperlihatkan sedikit backstory tokoh-tokoh yang nantinya dibuat tewas supaya kita bisa kasihan sama mereka. Perang menarik karena kita tidak semestinya melihat tragedi tersebut sebagai sesuatu yang hitam putih. And it looks like this film didn’t get that memo. Cerita tidak pernah mengeksplorasi sisi teroris, siapa mereka, kenapa Ariyo Wahab menculik orang-orang berkewarganeraan berbeda, kenapa dia bisa punya seragam dan pasukan sendiri. Apakah dia hidup terlalu lama sebagai tentara sehingga beneran berubah menjadi penjahat?

Di sisi lain, toh film ini juga punya sisi menarik yang muncul ke permukaan saat babak ketiga. Ada keretakan dalam barisan musuh sebab mereka enggak tahu berhadapan dengan siapa. Aku suka dengan plot poin ini, karena di awal film sudah menetapkan bahwa sebelum berangkat, tentara Indonesia menanggalkan semua identitas dan atribut negara. Mereka enggak ingin dikenali sebagai tentara Indonesia oleh musuh, mungkin dengan alasan politis. Ini menciptakan misteri di pihak musuh. Poin ini juga dimainkan dengan baik, di mana di akhir pertempuran, ada satu tentara yang memutuskan untuk mengikat perban berlumuran darah di kepala, memakainya sebagai bandana, dan tindak ini adalah berupa kebanggaannya bertempur atas nama Indonesia. Film mestinya banyak memasukkan hal-hal subtil seperti ini, karena ini feelnya dapet banget.

Plis jangan marahin Lexis, dia bukan tentara. Dia bukan superstar, kaya dan terkenal.

 

Babak satu adalah babak set up standar yang sangat terbebani oleh banyaknya eksposisi. Kita mendengar detil rencana mereka, kita mendengar informasi dengan istilah-istilah militer. Menurutku bagian inilah yang paling membosankan. Aku juga merasa ada tone yang kontras antara babak satu dengan babak tiga. Di tiga puluh menit awal, film seperti bermain aman. Adegan tembak-tembakannya bersih, tidak ada darah berlebihan, kamera juga sering ngecut dengan cepat – beralih dari adegan yang cukup menegangkan, seolah film ini ingin meminimalisir kekerasan supaya bisa dapet rating Remaja. Kupikir, ini adalah keputusan yang aneh. Sebab film perang akan susah sekali meyakinkan jika enggak berani mempertontonkan kekerasan. Dan sepertinya film ini pun setuju, sebab di babak tiga mereka seakan bilang “ah sebodo amat” dan kita dapat adegan orang menggigit putus jarinya sendiri. Bagian aksi pun seketika meningkat di babak ketiga. Quick-cut dan kamera yang goyang berkurang, kita lebih mudah grasp towards the scenes. Karena di bagian sebelumnya, editing bagian aksi tampak chaos sekali, kita enggak bisa tau pasti siapa nembak, siapa yang mati, mereka ada di mana, dan lain-lain.  Adegan penyusupan awal, saat tentara terjun payung masuk ke wilayah teroris, tidak terasa intensitasnya. Build upnya ada namun teroverlook oleh kasar dan abruptnya editing – penyatuan adegan.

Malahan, ada beberapa adegan yang jatohnya kocak dan mengundang tawa penonton. Tentara menembak sarang lebah terus pasukan teroris kabur disengat kayak adegan Tuyul dan Mbak Yul, sukses bikin empat pemuda berbadan kekar yang nonton di barisan di depanku ngakak. Para pasukan sempat-sempatnya ganti riasan kamuflase, mereka ngumpet di semak-semak, lucunya adalah hutan mereka enggak serimbun itu. Akting sedikit kaku dari tokoh tentara bisa dimaafkan sebab mungkin memang begitulah tentara di dunia nyata. Sesungguhnya set dan properti juga terlihat genuine, dan mungkin memang ‘sesederhana’ itu perjalanan misi tentara sesungguhnya. Namun, ketika kita mengolah film, kita harus bisa memancing excitement. Membangun hal menjadi menarik, membumbui dengan drama dan konflik yang meyakinkan. Film ini kurang banget dari sisi plot.

Aku bahkan lebih peduli kepada ular yang mereka makan, itu ular beneran? Apakah film ini ngepull Cannibal Holocaust (1980) dengan adegan makan binatang itu? Karakter-karakter Merah Putih Memanggil seharusnya bisa digali lagi. Atau kalo mau kayak Dunkirk, rekam adegan aksinya dengan meyakinkan dan perlihatkan sesuatu penceritaan yang baru. Dari sekian banyak sandera, hanya satu yang dikasih dialog. Dan itupun hanya sebatas nanyain orangtuanya.  Aku selalu high setiap kali teman-teman Gadis Sampul mendapat peran dalam film, apalagi film yang berani ngambil tema tak biasa seperti ini. Akan tetapi, Mentari De Marelle di sini tidak diberikan karakter yang berarti. Tokohnya di sini cuma cewek blasteran, and she did nothing selain nanya-nanya di mana orangtuanya. Teriak-teriak. Panik, Annoying. Tatapan Prisia Nasution (yang btw di sini tokohnya pendiem banget) ketika si Mentari lagi-lagi merengek bikin aku teriak “shoot her!”  

Jika pipis adalah hal yang dinotice oleh film, kenapa kita tidak pernah lagi melihat ada yang kebelet lagi di sepanjang film? Mungkin ditahan. Mungkin enggak kerasa. Ini mengindikasikan bahwa bahkan saat disandera, kita merasa lebih rileks ketimbang saat berlarian di medan perang. Kita masih bisa kepikiran kencing saat nyawa di bawah belas kasihan orang lain. Namun, ketika kebebasan yang dipertaruhkan, apalah faedahnya sedikit kenyamanan. It’s a long stretch, but I think inilah yang dilakukan oleh pahlawan. Mereka tidak lagi kepikiran apapun di luar tindakan yang mereka ambil atas dasar kemanusiaan. Oh man, aku gak percaya aku baru saja menarik garis antara pipis dan kepahlawanan.

 

 

 

Sebenarnya susah juga mengulas film ini, karena ia punya kepentingan, dan aku ngeri disalahartikan tidak menghargai jasa pahlawan. I mean, aku bahkan enggak tau apakah ini dari kisah nyata atau bukan; di kredit penutup mereka ngasih liat foto-foto jadul para tentara yang aku enggak yakin apa hubungannya dengan cerita. Aku terutama melihat ini dari sisi produk akhirnya sebagai sebuah film. Plotnya simpel. Yang tadinya dalam bahaya, jadi selamat. Yang tadinya tentara, jadi pahlawan. Ada nuansa genuine saat porsi aksi. Hanya saja mereka tidak menggarapnya sehingga menjadi cukup intens. Film ini terlalu standar untuk menjadi tontonan yang patut diperhitungkan dalam genre survival dan perang. Toh, film ini menyampaikan maksudnya; Jika film G30S PKI sukses berat memperlihatkan PKI sebagai antagonis, maka film ini tak pelak membuat kita lebih nyaman percaya kepada kekuatan militer Indonesia.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for MERAH PUTIH MEMANGGIL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE EMOJI MOVIE Review

“You’re tryin’ to be cool, you look like a fool to me”

 

 

Komunikasi adalah aspek yang penting buat kita sebagai makhluk sosial. Bisa dibayangin sendiri apa jadinya kalo perkembangan teknologi berkomunikasi tidak pernah terjadi. Tidak ada buku, tidak ada internet, bahkan mungkin tidak akan ada sejarah yang terekam karena menulis pun manusia belum tentu mampu. Ngomong-ngomong apa sih penemuan paling penting dalam sejarah perkembangan komunikasi umat manusia? Telefon? Pffft plis, telefon apa, Alexander Graham Bell cuma nyiptain telegraf pake suara. Hanya suara. Menurut film ini, bentuk komunikasi terpenting yang pernah ditemukan adalah emoji. Karena dengan wajah-wajah kecil dan gambar-gambar imut tersebut, kita bisa mengekspresikan perasaan, sehingga cowok pemalu seperti Alex bisa mengatakan “I’m awkward and not good enough” dengan cara yang keren.

Dasar ‘kids jaman now’

 

Lihat kan, kini kalian tahu baru beberapa menit aku udah males nonton film ini. Mereka ngepush emoji sebagai bentuk komunikasi terpenting, mereka literally bilang begitu lewat narasi yang dibawakan oleh Gene. Gene adalah emoji ‘meh’ yang hidup di dalam smartphone cowok remaja bernama Alex. Dan currently, Alex lagi naksir cewek, teman sekelasnya. Dia pengen nyapa, ngajak kenalan tapi Alex enggak tahu mesti bilang apa. Katakan lewat emoji, kata-kata udah basi. Begitu saran teman Alex. Jadi, Alex pun berpikir keras harus mengirim emoji apa ke Addie yang manis. Di dalam telepon genggamnya, para emoji sudah siap di dalam kubikal masing-masing. Mereka menunggu untuk kepilih dan nampilin ekspresi mereka. Gene adalah anak baru, dia hanya kelewat bersemangat dalam hari pertamanya tersebut. Sehingga ketika kepilih, Gene malah menampilkan berbagai macam ekspresi, kecuali ‘meh’; ekspresi  yang harusnya ia tampilkan karena setiap emoji harusnya hanya menampilkan satu ekspresi tertentu. Ketika kau adalah ‘meh’ seperti ibu dan ayahmu dan Eeeyore di Winnie the Pooh, maka kau dilarang keras sedih, marah, ketawa, apalagi ngecampur aduk ekspresi-ekspresi itu. Gene dianggap sebagai malfungsi oleh pemimpin emoji.

Gene pun telah mengerti. Dihapus dia lari. Dikejar algojo robot, tapi dia enggak ketemu Mbak Yuli. Gene ketemunya sama Hi-5, si emoji tangan yang udah gak populer lagi, dan Jailbreak, emoji yang hobi ngehack. Mereka kabur keluar Textopolis, berusaha mencari Dropbox sehingga mereka bisa berkelana di internet, mencari programmer yang bisa menghapus semua eskpresi dalam diri Gene, supaya dia bisa menjadi ‘meh’ sejati yang membanggakan orangtuanya.

 

Sebenarnya masih ada pesan positif yang bisa dibawa pulang oleh orang dewasa dan anak-anak yang menontonnya. Terutama yang kekinian banget, yang setiap harinya aktif ngechat sebaris-sebaris, kebanyakan dengan emoji. Gene meriah oleh ekspresi, tetapi dia malah dikucilkan oleh sekitar lantaran dia enggak klop sama yang diharapkan oleh masyarakat, dia kompleks dalam majemuk yang lebih suka kesimpelan.Perjalanan Gene untuk mengecilkan dirinya sendri bisa dijadikan teguran. Begitu juga dengan journey Jailbreak, yang ingin melihat dunia di luar yang society perbolehkan.Bahkan Alex punya plot yang cukup penting, as kita sering dicut back ke bagian ceritanya, bahwa Alex dan Gene adalah pribadi yang mirip, dan di akhir cerita mereka sama-sama embracing personality yang mereka punya.

Gunakan teknologi untuk memfasilitasi hubungan di dunia nyata. Komunikasi langsung manusia ke manusia harus tetap dijaga dan utama lantaran emoji tidak bisa menyampaikan ekspresi dengan efektif, betapapun lucunya. Dan ultimately, film ini juga membisiki kita supaya jangan menjadi apa yang diinginkan orang lain.

 

Akan jadi sangat ambisius film ini jikalau dia memang memilih untuk tampil engaging, seperti gabungan dari pembangunan dunia Wreck-It Ralph (2012) dengan karakterisasi Inside Out (2015). Beberapa dari kita mungkin akan memberinya sedikit kesempatan, seperti yang kita berikan kepada The Lego Movie (2014). I know I did. Masalahnya, The Emoji Movie seperti tidak tertarik untuk semua itu. Kesan yang ada adalah film ini hanyalah fasilitas untuk menjual produk. Kalian tahu, like, “Gunakan smartphone setiap hari, karena komunikasi dengan orang itu penting. Kalopun dicuekin, tetaplah gaul dengan berbagai aplikasi yang fun!” Film ini tidak melakukan apa-apa dengan elemen cerita yang dimiliki oleh tokoh seperti Jailbreak. Bahkan ketika mereka mengintegralkan aplikasi gadget dengan narasi, aplikasi tersebut tidak benar-benar dieksplorasi menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Petualangan Gene membawanya mengarungi berbagai aplikasi seperti Facebook, Spotify, Gene dan temang-temannya terjatuh ke dunia Candy Crush dan harus mainin satu level puzzle yang ngehits itu. Mereka juga harus bermain Just Dance untuk menyeberang ke tempat berikutnya. Ada penampakan burung biru logo twitter juga (meski nama twitter sendiri enggak disebut, untuk alasan yang mungkin kita sudah sama-sama tahu kenapa). Semua aplikasi itu punya peran yang penting dalam plot poin, tujuan akhir mereka adalah Dropbox. Aku enggak percaya aku nulis ini dua kali. Bahkan film ini mendedikasikan subplot tentang kedua orangtua Gene yang diambang perpisahan, hanya untuk menampilkan Instagram. Pengalaman menonton film ini tidak bertambah menyenangkan ketika mereka nunjukin dunia Youtube dan kita diperlihatkan satu video yang sempat viral.

Hal terbaik yang dipunya film ini adalah kita dapat Patrick Stewart yang classy bermain sebagai Poop

 

Tak pelak, Sony sudah membuat salah satu film paling tak penting yang bisa kita tonton di bioskop. Menonton ini di bioskop praktisnya sama saja dengan bayar tiket untuk NONTONIN IKLAN PRODUK-PRODUK APLIKASI UNTUK SMARTPHONE. Ceritanya punya potensi tapi tidak mendapat perhatian serius sebagai sebuah film, sehingga terasa kering. Lelucon yang dipunya pun ala kadarnya. Standar humor yang biasa dipakai di film animasi untuk anak-anak seperti ini. Mungkin ada dari kalian yang ketawa, tapi niscaya itu adalah tawa hampa karena memang leluconnya – kebanyakan adalah pun basi – tidak punya weight apa-apa. “You’re so soft, Poop” diharapkan membuat kita tergelak berurai air mata. “What if you get sent out on the phone, and make the wrong face?!” diniatkan supaya kita bisa merasakan stake cerita terbangun. Bagian resolusi cerita, itu loh ketika semua subplot terjalin menjadi satu, gimana film ini berakhir, amat sangat gak make sense. Dan aku yakin kalian sudah bisa menebak apa adegan penutup untuk film yang digarap sejadinya ini. Yup, nari bareng!

 

 

 

That’s what this movie is. Iklan produk. Sejauh mata memandang animasinya yang imut. Tidak alasan lain yang bisa kita temukan untuk keberadaan film ini selain Sony ingin memasarkan aplikasi dan services – Dropbox adalah Hogswart dunia siber soal keamanan data yang disimpan di dalamnya – lewat sebuah film, yang digarap dengan seadanya. Dan itulah yang membuat film ini just plain bad. Katakanlah jika ia mengejar ambisi di luar produk placement, punya perspektif baru dalam narasinya yang benar-benar dieksplorasi dalem, film ini bisa paling tidak menjadi lebih dari sekadar ‘meh’.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for THE EMOJI MOVIE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

GERALD’S GAME Review

“The cost of repressing a memory is that the mind does not know the abuse ended.”

 

 

Dari sekian banyak cerita horor yang sudah ditelurkan oleh Stephen King, Gerald’s Game adalah buku yang paling terakhir difavoritkan untuk diadaptasi menjadi film. Bukan karena jelek, serius, kalo ada yang gak bisa ditulis oleh Stephen King, maka itu adalah menulis cerita horor yang jelek. Namun, Gerald’s Game certainly adalah salah satu pilihan yang buruk buat pembuat film yang mau menyadur cerita horor darinya lantaran akan susah banget menjual cerita yang sebagian besar adegannya adalah adegan seorang tokoh basically ngobrol dengan kepalanya sendiri.

Bagi sutradara Mike Flanagan, yang sebelumnya udah sukses menangani horor tentang cermin dan horor tentang papan jailangkung (respectively Oculus dan Ouija: Origin of Evil) menjadi sangat menarik dan menyeramkan, bagaimanapun juga jelas ini adalah tantangan. Sebelumnya, untuk Netflix, Flanagan juga pernah menggarap thriller kucing-kucingan pikiran antara seorang yang bisu dengan perampok psycho yang ingin masuk ke rumahnya (Hush, tayang 2016). Jadi yah, thriller ruang sempit, horor dari keadaan seadanya, adalah taman bermain buat Flanagan. Dan di tangannya, Gerald’s Game menjadi sebuah projek passion yang setiap babaknya sangat haunting, dia mengolah adaptasi dari sumber yang membatasi apa yang bisa dilakukan terhadap karakternya, and he got it right. So right it’s disturbing.

 

Kehidupan romantika rumah tangga Jess dan suaminya yang berusia lebih tua, Gerald, dalam keadaan kritis. Demi menyalakan kembali api-api cinta yang kian redup itu, mereka pergi liburan; menginap beberapa hari di sebuah pondok mewah yang terpencil. Tempat tersebut dibikin privat dengan harapan mereka bisa menemukan gairah tanpa gangguan. Jadi, Jess dan Gerald sudah siap memainkan sesuatu skenario yang kinky banget di ranjang. Kedua tangan Jess diborgol ke tempat tidur. Tetapi, belum sempat ngapa-ngapain, Jess mendadak merasa amat tak nyaman melakoni fantasi role-play ini, dan tau-tau Gerald terkena serangan jantung. Gerald meninggal sebelum sempat membuka kembali borgol tangan Jess.  Mengetahui para pengurus pondok baru datang paling cepat setidaknya tiga-empat hari lagi, Jess berteriak minta tolong. Suara Jess didengar oleh seekor anjing yang masuk ke rumah, dan memutuskan untuk tinggal di sana. Sebab dia menemukan stok daging yang masih hangat di lantai kamar, dan satu porsi gede daging lagi yang masih begitu fresh, terikat menggiurkan di atas tempat tidur.

Mike Flanagan mempercayakan tampuk tokoh utama kepada Carla Gugino. Sebagai Jess, Gugino dihadapkan kepada tugas yang mustahil untuk diatasi. Dia harus diborgol pada sebagian besar penampilannya dalam film ini sembari harus menyampaikan banyak emosi serius. Terutama, Gugino harus benar-benar total dalam keadaan panik. Aku pernah ngeliat orang syuting sehingga aku jadi punya sedikit bayangan bahwa memang susah sekali bagi seorang aktor untuk menampilkan emosi yang konstan dalam setiap take demi take. Carla Gugino fantastis banget, penampilan aktingnya di sini adalah kerja keras yang akan sayang sekali kalo enggak dilirik, sukur-sukur diganjar, penghargaan.

Jess sebenarnya sudah diborgol jauh sebelum Gerald membawanya ke pondok terpencil tersebut. Selama ini, dia sudah dibelenggu oleh masalah lu. Eh sori, maksudnya masa lalu. Ada trauma masa kecil yang terjadi kepada wanita ini pada saat dia masih berusia dua-belas tahun, menonton gerhana bersama ayahnya. Secara esensi, ini jauh lebih besar daripada cerita orang yang ingin bebasin dari kuncian rantai metal. Journey sebenarnya adalah soal Jess melepaskan diri dari ikatan mentalnya sendiri, di mana kebenaran tertutup oleh bayangan ketakutan dan penolakan. Seperti bulan menutup matahari. Gerald’s Game adalah CERITA MENYERAMKAN TENTANG PENEMUAN DIRI yang diceritakan lewat tutur yang elok. Pada intinya tentang wanita dengan masa lalu yang sangat mengerikan yang selama ini selalu ia tutupi karena menyangka bahwa dirinya turut bersalah atas kejadian tersebut. Terborgol di kasur dengan maut siap menjemput, menyediakan banyak waktu buat Jess berefleksi. Mengunjungi kembali masa-masa traumatis tersebut sehingga akhirnya dia sendiri menyadari kenapa dia menjadi seorang dirinya sekarang.

Karenanya Jess, after all that times, belum lagi bebas. Repressing memory hanya berdampak kepada pikiran kita tidak akan pernah menganggap semuanya berakhir.

 

Bukan berarti penampilan yang lain bisa dilengoskan begitu saja. Seperti halnya Carla Gugino, pemeran Gerald; Bruce Greenwood, juga mesti mempersembahkan dua karakter dalam satu tokoh yang sama. Setelah terborgsol beberapa jam dan mulai dehidrasi, Jess mulai berhalusinasi. Dia melihat versi hantu dari sang suami yang terus bicara kepadanya. Mengompori pikiran-pikiran buruk Jess. Sebagai mekanisme pertahanan dari ini, Jess mempersonifikasikan sisi optimis dan kebaikkan di dalam dirinya menjadi sosok dirinya sendiri yang bebas, dan lebih kuat. Percakapan tiga orang ini yang akan bikin kita mantengin layar, mempelajari backstory, berusaha mengenal siapa sebenarnya Jess. Dan untuk itu, Gugino dengan meyakinkannya memainkan dua tokoh yang berlawanan, dan begitu juga Greenwood yang tampak menacing sebagai hantu Gerald yang to the point mengungkit kenangan terburuk Jess. Pribadi yang sangat berbeda dengan Gerald yang asli.

dan tadinya kupikir Chiara Aurelia beneran baru berusia 12 tahun

 

Ketika menggarap adaptasi sebuah novel, kita kudu memfokuskan kepada tujuan bahwa produk akhirnya akan seakurat dan setaat mungkin dengan sumber aslinya. Penyesuaian dan perubahan  kreatif tentu saja harus dilakukan, karena film enggak sama dengan buku. Kuncinya adalah perubahan tersebut adalah untuk peningkatan yang kurang bekerja, dan tidak mengubah apa-apa yang enggak salah pada sumber asli. Mike Flanagan paham betul ini. Sama seperti dia juga paham bahwa horor yang sebenar-benar horor adalah bukan menakut-nakuti penonton semata, ataupun soal gila-gilaan twist belaka. Horor sejati adalah soal mempersembahkan karakter ke dalam situasi mengerikan yang bisa direlasikan oleh penonton, enggak peduli seberapa supernatural ataupun realistisnya situasi tersebut. Karakter dalam situasi, di mana karakternya akan beraksi baik fisikal dan psikologis berusaha keluar dan mengalahkan situasi horor yang menjangkiti dan siap menelan.

Setiap lapisan cerita pada Gerald’s Game dibangun dengan cermat. Editing film ini sangat mulus menggabungkan adegan masa kini dengan adegan masa lalu. Flashback tidak bisa dihindari di sini, dan Flanagan mengolah flashback menjadi sebuah device development penting untuk karakter Jess. Yang ultimately merangkai narasi dengan kohesif. Ada banyak visual yang sangat unsettling dan benar-benar surreal saat matahari terbenam. Pertemuan Jess dengan sesosok raksasa pucat yang menyandang tas berisi tulang-tulang akan membuat kita bertanya mana yang nyata, mana yang hanya di dalam kepala. Aku masih merinding setiap kali layar bergelora oleh cahaya merah, menandakan keadaan jiwa Jess dalam kondisi yang paling rapuh. Namun, merah itu bukan sekadar metafora. Di lapisan terluar, film could get really bloody. Sehingga kita tidak punya zona aman ketika menonton film ini. Setiap babaknya mengandung sesuatu yang menakutkan nan disturbing.

repressed memoriku soal gajadi milih jurusan psikologi keluar lagi saat nonton ini -,-

 

Jikalau kita hendak ngenitpick film ini, maka yang bisa aku katakan adalah aspek cara melepaskan diri dari borgol dan aspek ending yang menyangkut si Moonlight Man enggak benar-benar plausible sebab dunia film ini terestablish sebagai dunia normal. Kedua aspek ini semacam mengakibatkan tone cerita yang enggak mash up dengan baik. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa ini adalah cerita Stephen King. Dan setiap cerita dari beliau semestinya berlandaskan kepada universe yang sama, Stephen King Universe. Dunia balas dendam personal adalah dunia di mana Stephen King adalah tuhannya. Dengan menanamkan ini di kepala, kita jadi bisa mengerti bahwa penting bagu Jess untuk bebas dengan berdarah-darah. Juga penting bagi dirinya untuk bertemu dengan Moonlight Man di akhir cerita, berkonfrontasi. Karena, seperti yang kita pelajari dari kata-kata si Moonlight Man sendiri di gedung pengadilan itu. Moonlight Man dan Jess, walaupun berbingkai kemenangan moral Jess, sesungguhnya mengalami perjalanan yang sama. Mereka sama-sama menderita, sama-sama punya sesuatu yang menutupi kebenaran personal. Tidak ada penjahat dalam cerita ini. Tidak hantu Gerald, tidak Moonlight Man. Bahkan tidak pula si anjing kelaparan yang hanyalah seekor simbol tentang seseorang yang tahu dia memiliki sesuatu namun masih mencari di tempat lain.

Kebenaran itu pedih. Menerimanya bisa menimbulkan borok mental dan fisik. Terutama kalo kebenaran tersebut ada sangkut pautnya dengan trauma dan keburukan yang menimpa diri sendiri.

 

 

 

Bukan exactly traumanya, melainkan proses yang kita lakukan terhadap trauma itulah yang membentuk siapa diri kita. Lewat penceritaannya yang tiap babak menawarkan ketakutan dan hal disturbing, film ini memberikan hembusan semangat kepada kita. Setiap kenangan yang direpress adalah belenggu yang membatasi. Pilihannya adalah terikat atau terbebas. Walau perih. Walau perih. Sori malah jadi lagu Vierra, padahal kan film ini adalah salah satu adaptasi terbaik dari novel Stephen King. Mike Flanagan sekali lagi membuktikan bahwa dia masih termasuk dalam golongan sutradara horor terbaik yang bekerja dewasa ini. Sureal dan psikologis sekali, film ini ditangani olehnya.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for GERALD’S GAME.

 

 

 

That’s all we have for now.
Film ini sudah bisa disaksikan di Netflix. Kalo ada yang mau nonton bareng dan diskusi, langsung aja datang ke markas My Dirt Sheet di kafe eskrim Warung Darurat, jalan Teuku Umar 6A, Dipati Ukur, Bandung. Nanti filmnya kami putarkan untuk kalian.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

WISH UPON Review

“You can’t lose something you never had”

 

 

Permintaan paling pintar yang bisa kita pikirkan jika diberkahi Tiga Permintaan oleh jin tentu saja adalah meminta lebih banyak permintaan, like, sejumlah tak-terhingga! Manusia itu hakikatnya pada serakah, jika diturui, keinginan kita tak akan ada habisnya. Bagai jurang tak-berdasar. Kita tahu apa yang kita mau (“Always Coca-cola~!”), tapi jarang sekali kita menyadari apa yang kita butuhkan. Ketika permintaan kita terpenuhi, kita masih gak puas. Selalu ada yang salah. Selalu saja ada yang kurang. Yang enggak sesuai dengan kemauan kita. Konundrum permintaan ini banyak telah terbahas di dongeng-dongeng, cerita jaman dahulu. Wish Upon meremajakan topik ini kembali, di mana reperkusi dari permintaan yang tidak bener-bener dibutuhkan itu, adalah hal mengerikan yang berujung kepada menghilangnya nyawa orang-orang.

Claire mendapat hadiah dari ayahnya. Sebuah kotak musik unik, penuh oleh tulisan Cina kuno pada permukaannya. Claire enggak mengerti cara memainkannya, dia pun cuma mengerti frase ‘tujuh permintaan’ dari tulisan-tulisan yang nampang di kotak tersebut. Satu-satunya waktu Claire dapat mendengar musik darinya adalah ketika kotak tersebut membuka dengan sendirinya, setelah Claire mengucapkan satu permintaan. Pertama, Claire enggak langsung percaya bahwa permintaannya dikabulkan. Kedua, Claire menjadi ketakutan ketika menyadari setiap kali dia girang, satu orang yang dikenalnya meninggal dunia. Kotak tersebut meminta tumbal darah atas setiap permintaan yang dikabulkan. Ketiga, Claire malahan enggak tahu harus berbuat apa, dia tidak bisa begitu saja menyinggirkan kotak mengerikan yang sudah mengubah nasibnya menjadi cewek paling populer di sekolah.

I wish aku gak pernah baca Goosebumps #12 sebelum nonton ini

 

This film wishes to become a TRENDY MARKETABLE HORROR. Dipasangnya Joey King yang punya ratusan ribu follower anak muda, digunakannya musik elektronik, dipakainya banyak adegan jumpscares, dibuatnya setiap adegan kematian tetap sadis meski minim darah untuk menghindari rating yang terlalu dewasa. Permintaan film tersebut mungkin saja terkabul, aku gak benar-benar ngikutin perolehan box office, tapi setahuku di negaranya, Wish Upon rilisnya saingan ama War for the Planet of the Apes (2017), so yea good luck with that. Yang bisa aku katakana adalah, dari banyaknya usaha untuk menarik minat pasar, nyaris enggak ada di antaranya yang bekerja dengan baik.

Salah satu aspek lumayan baik film ini adalah penulisan tokoh utamanya. Memang pada awal, Claire hanya diberikan satu trauma masa lalu yang enggak klop sama sikapnya yang malu ketahuan punya ayah seorang scavenger barang bekas. But that’s just her teen attitude kicks in. Ketika narasi mencapai babak ketiga, ada elemen obsesi yang merasuki. Dari remaja yang dibully, di depan mata kita Claire berkembang menjadi orang yang lebih mementingkan permintaannya ketimbang nyawa orang lain. Claire begitu kesulitan untuk mengenyahkan kotak musik. Bukan saja lantaran kotaknya enggak mempan dipukul dan dihancurkan, Claire enggak bisa membuangnya begitu saja sebab jika dibuang, segala permintaannya akan turut menghilang. Joey King could really deliver this state of mental, ada adegan di mana dia menjadi emosional sekaligus kebingungan yang terasa genuine. She was like, “aku bisa tetap punya, gak harus ngucapin permintaan kan” bicara kepada diri sendiri. Joey masih bisa tampil meyakinkan, meskipun poin per poin naskahnya tidak benar-benar dibangun dengan baik. Perubahan sikap Claire terhadap kotak tersebut terasa abrupt, antara dia ingin menghancurkan ke ia ingin tetap memilikinya seperti terjadi, melompat, begitu saja.

 

Kita tentu takut kehilangan apa yang kita miliki. Akan tetapi, kita sebagai manusia bisa menjadi begitu tamaknya sehingga kita takut kehilangan sesuatu yang tidak atau belum kita miliki.

Banyak orang stress, takut kehilangan masa depan. Bayangkan seseorang yang sudah punya rencana hidup yang matang, kemudian dia jatuh sakit. They will instantly think penyakitnya parah, dan kepikiran soal rencana hidup – kerja berpangkat gede, punya pasangan kece – dan gimana dengan sakitnya keinginan tersebut enggak bakal terwujud. Pikiran yang semakin memperparah sakitnya. Apa-apa yang didapatkan oleh Claire, buah permintaannya kepada kotak musik, tidak benar-benar pernah ia miliki. Kayak mimpi yang jadi nyata aja, but not really. Tapi bagi orang-orang seperti Claire, berpegang kepada mimpi itu adalah hal yang sangat penting. Dan sehubungan ini, kita bisa memetik pelajaran yang sejatinya bisa menjadi pengingat.

Bukankah semua yang kita punya di dunia ini tidak benar-benar kita miliki?

 

Berhati-hatilah terhadap yang kita inginkan, sebab kita tidak bisa mengatur dalam cara yang bagaimana permintaan tersebut akan dikabulkan. Sayangnya, ini adalah elemen seram yang dieksplorasi oleh buku Goosebumps karangan R.L. Stine yang berjudul Be Careful What You Wish For. Film Wish Upon juga sempat menyinggung sedikit tentang ini, namun pada perkembangannya film memilih mengeksplorasi jalur yang tidak seram sama sekali. Ditambah pula, tidak memancing kita untuk berpikir lebih dalam. Permintaan-permintaan Claire akan bikin bosan penonton yang lebih matang. I mean, pada dasarnya film ini lebih tepat disebut sebagai cerita remaja dengan elemen jumpscare ketimbang film horor utuh. Kita hanya dihadapkan kepada masalah anak muda yang pengen punya pacar cakep, pengen paling terkenal di sekolah, pengen punya banyak teman, pengen punya orangtua yang gak malu-maluin. Saat awal-awal, ketika Claire masih bereksperimen dengan kekuatan kotaknya, mungkin masih oke. Kita paham Claire masih remaja, dan dia ingin menyelematkan dunia untuk dirinya sendiri. Namun kemudian, dia sadar bahwa permintaan selfishnya mengundang petaka. Logisnya adalah it’s time untuk mengucapkan permintaan yang lebih serius dan berguna.  Claire, however, tetap menggunakan jatah permintaannya untuk hal-hal sepele. Sampai ke poin menyebalkan. Satu karakter dalam film ini malah sempat literally mengejeknya “Kenapa lo gak minta Perdamaian Dunia aja, sih?”

Atau paling enggak, minta supaya tidak ada kejadian buruk menimpa

 

Adegan mati yang menyertai setiap permintaan juga tidak ditangani sehingga bisa bikin kita ketakutan. Cuma sekuens kematian yang mereka punya supaya film ini bisa jadi seram, dan mereka malah menggarapnya dengan terlalu sok-menegangkan. Adegan mati di film ini persis kayak adegan di Final Destination. Situasi yang dipanjang-panjangin, kayak ketika seseorang mencuci piring, tangannya nyangkut di wastafel, badannya nyaris-nyaris nyentuh saklar penggiling, kompor di belakang nyaris kepanasan, dan kita enggak tahu mana yang akan membunuhnya. Namun hasilnya malah tidak semua adegan kematian tersebut terlihat menyeramkan. Malahan jadi konyol. Kayak ketika ada kakek-kakek yang mati di bak mandi; dia kepleset, begitu bangun kepalanya kepentok keran, kerannya ngucurin air panas, dan matilah dia oleh keran maut. I mean, mereka bisa mengurangi penderitaan si kakek dengan membuatnya kepleset, kepalanya kepentok, dan mati. Udah. Gak perlu banget macem-macem seolah keran yang menahannya bangun. Film sempat ngetease soal makhluk penunggu kotak, hanya saja tak pernah dibahas lagi hingga akhir.

 

Dalam usahnya tampil setrendi dan semainstream mungkin, Wish Upon enggak repot-repot mikirin gimana tampil orisinil.  Desain suara toh bisa nyomot dari stock sample sound. Shot-shot pemandangan pun bisa disulam dari gambar-gambar video. Serius, ada satu shot pemandangan kota yang keliatan gak serasi banget, burem, dan tampak dimasukin gitu aja. Mereka gak ngesyutnya langsung. Dengan beraninya, film juga menggunakan app yang dicontek langsung dari Pokemon Go sebagai salah satu plot device. Kreativitas yang dilakukan film ini adalah memainkan tone warna sesuai dengan keadaan hati Claire. Saat Claire sedih, bingung, takut, layar akan didominasi oleh tone biru. Ketika Claire gembira, warna menjadi cerah. Selain trik sinematografi itu, memang tidak ada lagi yang dipunya Wish Upon untuk tampil menarik buat penonton di luar demographic pasarnya. Bahkan untuk ukuran anak muda, elemen perundungan yang dipakai oleh film ini – cewek paling cantik di sekolah yang jutek dan jahat tanpa alasan sama tokoh utama, numpahin air dan like “oops, sorry” – terasa ketinggalan jaman banget.

 

 

 

Ditujukan buat penonton muda yang pergi ke bioskop untuk menghibur diri dengan terkejut bareng selama beberapa menit, film ini punya determinasi tapi tidak berhasil menyampaikan banyak. Rasa takut juga tidak. Film ini justru lebih seperti komedi romantis yang ada adegan kejut-kejutan, dengan tidak ada elemen yang benar-benar bekerja dengan baik. Joey King is good tho, dia bisa terjun dalam meski naskha tidak memberikannya kedalaman yang berarti.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for WISH UPON.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

PENGABDI SETAN Review

“One man’s cult is another man’s religion.”

 

 

Orang yang hidup sebenarnya lebih berbahaya dari orang yang sudah mati. Terutama orang hidup yang enggak beriman kepada Tuhan. Dalam bahasa film ini; yang enggak sholat. Orang hidup dapat actually mencelakai kita. Dan pas mereka mati, orang-orang kayak gini akan bangun lagi, dan jadi hantu. Lagi-lagi menganggumu.

 

Pengabdi Setan (1980) hakikatnya adalah cerita kemenangan iman atas keingkaran. Tentang sebuah keluarga yang begitu gampangnya disusupi kekuatan hitam, diganggu, dan pada akhirnya dicelakai lantaran mereka memilih untuk berlindung kepada yang salah. Versi remakenya ini, however, masih mengeksplorasi aspek yang sama. Hanya saja kali ini digarap menggunakan teknik bercerita yang relevan dengan mainstream appeal jaman sekarang. Dan film ini sukses melakukan itu. Narasinya semakin diperluas, stake dan misterinya juga ditingkatkan.

Keluarga yang kita ikuti kali ini adalah keluarga dengan empat orang anak. Mereka ‘mengungsi’ ke rumah nenek karena rumah mereka digadai. It’s 1980s dan karir nyanyi Ibu mereka sudah meredup. Ibu sudah tiga tahun sakit parah sebelum akhirnya meninggal dengan misterius. Pasca kematian Ibu, Bapak berangkat ke kota untuk mencari penghasilan. Meninggalkan Rini, Tony, Bondi, dan Ian di rumah Nenek. Namun apa yang seharusnya anak-anak menunggu Bapak pulang, berubah menjadi mengerikan. Tanpa ada yang nunggu, Ibu mereka yang tadi baru dikubur mendadak pulang. Menebar ketakutan di tengah Rini dan adik-adiknya. Salah satu dari mereka akan diajak ke alam baka, dan Rini harus figure out siapa, kenapa, dan apa yang sebenarnya terjadi yang berkaitan dengan masa lalu orangtua mereka.

Atmosfer mencekam sedari awal sudah terestablish. Di babak awal, kita diperlihatkan kehidupan keluarga ini ketika Ibu masih hidup seadanya. Hanya bisa berbaring di tempat tidur. Ini adalah elemen yang tidak kita temukan di film orisinalnya. Kita tidak tahu seperti apa hubungan para tokoh dengan Ibu yang mayatnya sedang dikuburkan begitu film dimulai. Pengabdi Setan modern, memberi kita kesempatan untuk melihat seperti apa Ibu di mata masing-masing anaknya. At least, seperti apa Ibu saat sakit keras. And it was very interesting, kita ngeliat mereka takut kepada Ibu kandung mereka sendiri. Mereka sayang, peduli, dan ingin Ibu sembuh, namun di saat yang sama mereka tampak enggan untuk berlama-lama di kamar dengan Ibu berdua saja. Sakit Ibu yang misterius membuat sosoknya menjadi semakin menyeramkan. Bahkan Bondi terang-terangan mengungkapkan ketakutannya. Misteri ini juga langsung berpengaruh kepada kita, ada apa sebenarnya dengan si Ibu yang lagu hitsnya punya lirik bikin merinding itu.

I’m gonna make sure malam ini tidak akan sunyi

 

The whole deal soal menjadi abdi setan mendapat eksplorasi yang lebih dalam. Motivasi akan dibeberkan kepada kita, but just enough. Film ini masih menyisakan misteri yang membuat kita berpikir ke mana arah cerita dibawa. Ada beberapa referensi ke film orisinalnya – tokoh maupun pengadeganan – yang diberikan dengan subtil, yang menurutku ada beberapa yang work, ada yang enggak. Dan film ini begitu pede dengan materi yang ia punya, sehingga berani mengambil resiko berupa benturan tone cerita demi mendelivery beberapa referensi ataupun jokes.

Untuk sebuah cerita tentang sekte, film ini termasuk pengikut lantaran dia banyak memakai trope-trope cerita horor yang sudah pakem. Meninggalkan kita dengan rasa yang enggak benar-benar fresh. Rumah di area terpencil, over reliance sama jumpscare – hanya sedikit sekali adegan-adegan subtil seperti hantu nongol di cermin, elemen komunikasi dengan lonceng, sumur, elemen anak kecil yang sulit bicara. Penggemar horor jangan kuatir, penampakan hantu; kostum mayat hidup, pocong, efek dan darah dan sebagainya jelas mengalami peningkatan. Kalo Pengabdi Setan jadul masih bisa bikin kalian ketakutan, maka versi baru ini jelas akan BIKIN KALIAN JEJERITAN.

Desain produksi film ini nomor satu banget. Build up adegan-adegan seram menjadi efektif olehnya. Sinematografinya juga all-out, teknik-teknik kayak wide shot dengan kamera melengok ke kanan dan kiri, Dutch Angle untuk memperkuat kebingungan dan kengerian secara psikis, close up shot, bahkan quick cut ala Edgar Wright juga digunakan untuk mengantarkan kepada kita pengalaman visual yang bikin kita penasaran-tapi-gak-berani-melototin-layar-berlama-lama. Musik dan suara dirancang untuk benar-benar menggelitik saraf takut. Most of them are loud, jadi buat yang demen dikagetin bakalan have a scary good time nonton ini.

Personally, meskipun digunakan dengan efektif, jumpscare dalam film ini terlalu keseringan. Ngikutin kesan beberapa teknik yang digunakan hanya karena bisa, maka karena aku bisa, aku akan menarik perbandingan antara horor dengan bercinta. Saat kita nonton horor, kita gak ingin cepat-cepat teriak “aaaaaaaaaaahhh!”. Kita ingin ada build up menuju adegan menyeramkan, membangun teriak ketakutan  layaknya fore play. Dan jumpscare berujung ke premature orgasm, hanya akan membuat kita terlepas dari kengerian yang udah kebangun. Untuk kasus film ini, jumpscarenya malah sama dengan fake orgasm. Setiap kali ada setan muncul, penonton di studio ketawa sambil teriak ketakutan, lebih tepatnya ditakut-takutin. It’s annoying. Kesan yang ada adalah mereka teriak setiap kali ada hantu, untuk lucu-lucuan, atau hanya supaya dibilang berpartisipasi – kebawa reaksi video penonton premier Pengabdi Setan yang sempat rame di social media menjelang film ini rilis untuk umum.

what’s more of a sign than sign language?

 

Manusia adalah makhluk yang vulnerable. Selalu butuh untuk mencari tempat perlindungan. Kita cenderung ingin menyandarkan insecurity kepada sesuatu yang lebih gede dari kita, yang bisa kita percaya. Anak akan bersandar kepada orangtua. Orangtua yang beriman akan meneruskan cari perlindungan ke Tuhan. Dan tak sedikit yang terjerumus kepada hal-hal ghoib. Ini menjadi polemik, sebab sekte menurut satu orang adalah agama bagi orang lain.

 

Keluarga Rini tidak dekat dengan Tuhan, sebab Ibu yang menjadi pusat semesta mereka sudah lebih dahulu diam-diam menyandarkan bahu, meminta kepada setan. Journey Rini semestinya sudah jelas. Dia harus memegang kendali membawa keluarganya ke jalan yang benar. Akan tetapi, tidak seperti Pengabdi Setan dahulu yang less-ambitious – film tersebut dibikin hanya untuk menyampaikan baik melawan jahat, Pengabdi Setan versi baru ini terkesan ingin membuktikan bahwa dia bisa melakukan yang lebih baik, makanya dia banyak memakai teknik dan trope-trope film lain. Tak pelak, ini jadi bumerang.  Dalam film ini, not even Ustadz dapat mengalahkan kekuatan setan. Dan ini menihilkan keseluruhan journey dan pembelajaran. Narasi film tidak terasa full-circle. Semakin mendekati akhir, revealing atas apa yang mereka lakukan terdengar semakin konyol. Like, “Tadinya gini, eh ternyata ada diralat.” Terasa seperti film ini bernapsu untuk mengupstage plot poin mereka sendiri dengan twist dan turn yang kelamaan makin gak make sense.

At its worst, film lupa untuk mengikat banyak hal, memberi banyak celah untuk kita nitpick. Editing di bagian kejar-kejar akhir agak off, eye tracingnya membuat kita bingung persepsi dan arah bangunan rumah. Beberapa poin cerita juga tersambung dengan aneh dan goyah banget. Sepanjang bagian tengah dihabiskan Bondi tampil kayak kesurupan; berdiri diam, dia bahkan ngambil pisau, dan tau-tau di akhir, dia menjadi baik saja. Sebelum Bapak pergi ke kota, anak-anaknya mencemaskan gimana kalo nanti ada apa-apa, Bapak bilang apa sih yang bisa terjadi? Beberapa hari kemudian, nenek bunuh diri, dan kita enggak melihat usaha dari Rini ataupun Tony untuk menghubungi ayah mereka. I mean, ibu dari ayah mereka baru saja tiada, alasan apa lagi sih yang ditunggu buat nyari Bapak? Ada adegan ketika mereka nunggu jam duabelas malam, Bapak menyuruh Rini dan Tony tidur duluan pukul setengah sebelas, dia bilang dia masih kuat nungguin bareng Pak Ustadz. Adegan berikutnya yang menampilkan Bapak, jam duabelas teng ketika all hell broke loose, kita melihat beliau bobok di ranjang. Tokoh ini tidak ada determinasi sama sekali. Well, yea, semua tokoh Pengabdi Setan memang ditulis seadanya. Selain Rini, enggak banyak karakter yang dapat development, selain beberapa di antara mereka ternyata punya pengetahuan tentang Ibu, dan beralih fungsi menjadi easy eksposisi.

Karakter terbaik dalam film ini adalah si bungsu Ian (M.Adhiyat mampu menafsirkan arahan dengan baik). Tingkahnya beneran seperti anak-anak, and he was so likeable. Ketika nyawanya terancam di bagian akhir, kita beneran peduli. Tokoh ini juga satu-satunya yang punya plot. Bahkan Rini, tokoh utama, enggak berkembang banyak. Karakternya cuma sebagai si Kakak Tertua. Tara Basro dan kebanyakan pemain sudah cukup kelimpungan oleh penggunaan aksen jadul seperti pemakaian kata ‘kau’, sehingga mungkin memang penulisan karakternya sengaja tipis-tipis saja. Tony adalah anak yang paling deket dengan Ibu, setiap malam dia nyisirin Ibu. Sementara Bondi, well, anak macam apa sih yang nyebut kuburan lengkap banget dengan “areal pekuburan”? I mean, bahkan Lisa Simpson aja enggak sekaku itu ketika dia mengadu ketakutan melihat kuburan dari jendela kamarnya dalam salah satu episode The Simpsons. Bondi adalah anak paling boring sedunia, he only good at screaming like a girl. Dan Hendra, oh boy, anak Pak Ustadz ini has the worst flirting tactic ever. Dia plainly bilang ke Rini dia ngestalk kuburan dan rumah mereka di malam hari, namun dia malah melihat hantu Ibu, dan ujung-ujungnya dia ngajak Rini nginap di rumahnya.

 

 

 

Remake dari horor cult classic Indonesia ini adalah contoh penerapan yang sangat baik dari template horor mainstream James Wan. Bahkan dengan twistnya – yang merupakan upaya untuk menutupi kegaklogisan plot-plot poin – film ini pun tidak pernah terasa benar-benar fresh. Tapi ini adalah horor yang sangat fun dan enjoyable. Design dan teknik produksi kelas atas. Beberapa adegannya akan mudah sekali membuat kita menjerit kaget. Merasa kita ketakutan. Terutama jika kita nonton ini bareng-bareng dan termakan sama strategi viral video reaksi penonton premier.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PENGABDI SETAN.

 



That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.