DESPICABLE ME 3 Review

“The love of a family is life’s greatest blessing”

 

 

Gru kini fokus sebagai pria yang punya keluarga. Dia punya istri yang juga merupakan partnernya dalam organisasi rahasia super keren yang khusus menangkap penjahat-penjahat. Dia tentu saja juga harus merawat tiga gadis cilik; Margo, Edith, dan Agnes yang sudah diadopsinya sejak film pertama.. cekiitttt-rem dikit, yes, ini adalah film ketiga dari seri animasi sukses buatan Illumination Pictures. Aku suka dua film terdahulunya, terutama yang pertama. I actually really enjoyed that movie. Para Minions juga sangat lucu-lucu, meski aku lebih suka mereka sebagai sidekick komedi dibandingkan saat mereka menjadi film sendiri. Kisah Gru  sebagai penjahat kelas kakap yang berubah menjadi baik oleh kehadiran tiga anak sepertinya sudah comes full-circle. Tapi tampaknya studio tidak memandangnya seperti itu dan mereka membuat film ketiga ini. Yang lantas membuat kita bertanya-tanya, apakah memang perlu ada film Despicable Me lagi?

Banyak anak, banyak rezeki. Jika kita sudah berkeluarga, akan lebih banyak pintu rejeki yang terbuka. Orang Indonesia percaya banget ama petuah tersebut.

 

 

Makanya banyak orangtua kita yang suka nanya-nanyain kapan kita hendak berkeluarga. Dan biasanya yang ditanya bakal menjawab sambil cengengesan “tunggu mapan dulu.” Jawaban yang biasanya langsung diuber dengan “hee jangan lama-lama, anak ama istri itu ada rejekinyaaa!!” Gru clearly tidak melihat kenyataan seperti ini pada awal cerita dimulai. Dia malah ditinggalkan oleh anak-anak buah yang setia padanya karena enggak mau ngelakuin aksi jahat lagi. Kerjaan pun kandas lantaran Gru dan Lucy kembali gagal menangkap pencuri nyentrik berambut model mullet yang bernama Balthazar Bratt. Gru struggling untuk mengenyahkan perasaan sebagai orang gagal, hard baginya melihat Agnes harus menjual boneka unicorn kesayangan. Tapi keluarga Gru bukan sebatas itu. Adik kembarnya muncul; berambut pirang nan halus, kaya, dan tentu saja seperti Gru, Dru juga punya sisi jahat. Bersama mereka bertualang, termasuk – demi membuktikan kemampuan Gru –  menangkap pencuri super yang demen kelahi sambil breakdance dan menembak orang dengan permen karet.

that gum you like is going to come back in sta-il!

 

Wajar jika film animasi modern telrihat menawan, namun kejernihan visual dan gambar film ini enggak boleh dipandang sebelah mata. Keren banget. Liat deh aksi final dengan robot besar menyerang kota itu. Nyaris seperti foto. Badan papoy nya terlihat kayak pisang yang mulus banget. Ketika Agnes dan pemilik bar setuju unicorn “so fluffy I’m gonna die”, kita bisa mengaplikasikan kalimat tersebut untuk betapa cerah dan halusnya animasi film ini. Dari dua lelucon kentut yang muncul di opening credit saja kita bisa tau film ini ditargetkan terutama buat anak-anak. Dan benar, ada banyak lelucon di dalam cerita yang mengalir dengan pace yang senantiasa cepet. Membuat film ini fun untuk ditonton. Suprisingly enough, beberapa LELUCON YANG HADIR LUMAYAN DEWASA untuk anak-anak. Ada waktu ketika hanya beberapa orang gede yang tertawa saat aku menonton di bioskop tadi. Malah ada juga joke yang sedikit too much, kayak ketika minion mengomentari sebuah patung wanita mirip dengan Gru yang punya “boobs!”. Mungkin memang bukan masalah besar sih, karena anak-anak toh belum mengerti. Sama halnya seperti referensi pop-culture, film, dan musik 80an yang turut mewarnai cerita, yang tentu saja hanya konek dengan penonton yang lebih dewasa.

Despicable Me (2010) dan Despicable Me 2 (2013) tampak mengerti di mana titik temunya antara hiburan bagi orangtua dan anak-anak. Kedua film tersebut tampil kocak dengan suguhan emosi yang memberikan bobot lebih, although film yang kedua semacam runtuh sendiri setelah pertengahan. Film yang ketiga ini, however, lebih terasa SEPERTI FILM KARTUN KETIMBANG ANIMASI LAYAR LEBAR. Despicable Me 3 sepertinya berpikir bahwa orangtua akan terhibur menonton lelucon dewasa yang dihadirkan, dan anak-anak akan betah melihat animasi yang spektakuler. Poinku adalah, film ini hanya mengarah kepada lelucon untuk membuat orang tertawa. Dia tidak pernah benar-benar mengeksplorasi emosi. Sesuatu langkah yang mengecewakan karena narasi film ini sarat oleh lelucon dan tema-tema dewasa dan berbobot.

Ketika punya subplot seperti Lucy yang berusaha menjadi ibu yang baik, Gru dan Dru yang pengen bonding sebagai saudara, Agnes yang mau mencari unicorn, bahkan motivasi Evil Bratt sebagai mantan aktor cilik yang dibuang oleh Hollywood lantaran udah ketuaan, Pixar mungkin akan menggarapnya menjadi berisi seperti Inside Out. Namun Despicable Me 3 hanya melihat semua itu sebagai pengisi humor. Yang sukses juga menghasilkan beberapa tawa di sana-sini. Tapi enggak cukup konsisten untuk menjadi benar-benar lucu. Pisahnya Gru dengan Minions adalah elemen cerita yang bagus dan fresh sebab kupikir kita akan melihat mereka bekerja ‘sendiri’ dan nantinya akan regroup lagi setelah melewati journey yang selaras. Tapi ternyata enggak. Sekali lagi, film JUST PLAY IT FOR LAUGHS. Soal Gru dan Dru, mereka terpisah sejak lahir. Orangtua mereka bercerai dan masing-masing membawa satu anak. Ada adegan ketika ibu Gru menjelaskan hal ini dan menyinggung kalo mereka sebenarnya salah membawa anak yang mereka sukai, jadi baik Gru dan Dru mendapat orangtua yang membesarkan mereka dalam kekecewaan. Ada kedalaman di sini. Seharusnya cerita bisa punya bobot emosi yang gut-wrenching. Tetapi film tidak pernah mengejar emosi.

Mending dijadiin sinetron “Anak Jahat yang Tertukar”

 

Terpaksa menunjukkan kegagalan, ketidakmampuan, adalah hal terberat yang harus dialami oleh orangtua terhadap anak-anaknya.

 

Dulu banget di twitter aku pernah bilang seandainya Santino Marella yang nyuarain Gru pasti bakal lebih lucu. Tapi aksen Steve Carrel sebagai Gru has really grow on me. Di film ini, dia ngetackle dua peran, dan keduanya terasa hidup. Dan kocak. Ditambah lagi, Gru adalah karakter yang hebat. Progresnya menarik. Di film pertama dan kedua kita udah melihatnya, makanya tadi di atas aku menuliskan, ke mana lagi karakter Gru ini bisa berkembang? Untuk inilah aku datang ke bioskop siang tadi. Dalam film-film sebelumnya, Gru punya sesuatu yang harus dia ‘urus’ yang enggak ia sangka-sangka sebelumnya dan dibahas dari segi emosi. Dalam film ini, ya, dia memang kaget ternyata dia punya saudara kembar, namun sekali lagi, emosi tidak pernah dikejar, film hanya memainkannya untuk humor. Karakter Gru di sini tidak punya arc. Tujuan karakter ini sudah tercapai. Journeynya benar-benar sudah mentok, he didn’t have anywhere to go in this movie di luar adegan-adegan lucu dengan saudara kembarnya.

Sementara itu, penjahat utama film ini, Balthazar Bratt yang disulih suara oleh Trey Parker punya aspek yang menurutku bisa sangat kocak dan menarik. Mestinya di sini bisa menarik mendengar Parker keluar dari zona nyamannya, yakni humor yang dipasarkan untuk anak yang lebih kecil. Dia enggak bisa move on dari peran Hollywoodnya. Dia mengoleksi mainan dirinya, dia sangat terobsesi dengan acara TV dan perannya tersebut. Kita bahkan dikasih liat potongan acara yang ia bintangi. Build up yang bagus dan sangat lucu, namun cerita terus saja mengulang-ngulang humor yang sama dari karakter ini sehingga terasa mereka enggak tahu harus membawa tokoh ini ke mana lagi. Adegan berantem dengan ‘jurus’ breakdance itu juga semakin berkurang kepentingannya sebab kita sudah pernah melihat hal yang sama dalam film Zoolander (2001). Dihandle dengan lebih baik, pula.

 

 

 

Perfectly enjoyable, pas untuk ditonton bareng keluarga. It’s a light-hearted. Gambarnya spektakuler. Menyenangkan, seringkali lucu. Akan tetapi, demi menjawab pertanyaan di awal ulasan ini, film ini toh terasa enggak penting-penting amat. Hanya bermain untuk humor tanpa mengeksplorasi kedalaman yang timbul dari jalan ceritanya. Butuh lebih banyak pukulan emosi untuk membuat seri ketiga ini menjadi tontonan yang berarti. Lebih seperti kartun adalah cara terbaik untuk menggambarkan ini. Anak-anak akan suka, orangtua akan punya beberapa hal untuk ditertawakan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for DESPICABLE ME 3.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

SWEET 20 Review

“Beautiful people experience life differently.”

 

 

Pernah gak sih penasaran pengen tau gimana tampang nenek atau orangtuamu kala mereka masih muda dulu? Apa mereka bandel-bandel juga kayak kita? Seperti apa mimpi-mimpi mereka, apa mereka berhasil mencapainya? Wah, kalo belum, coba tanyain segera deh. Kali aja nenek kamu dulunya mantan gadis sampul majalah. Buka lemari kayu reot itu, ambil album-album foto yang tersimpan di dalam laci. Tiup debu di sampulnya, buka, dan apalin satu persatu wajah nyengir yang nampang di sana. You might be surprised. Segera. Sebelum nenek-nenek kita pada berbondong-bondong ke studio foto Forever Young. Dan tanpa sepengetahuan kita, the next cewek kece yang kita taksirin ternyata adalah nenek kita sendiri. Bisa gawat!

Seperti yang dialami oleh Nenek Fatmawati (Niniek L. Karim tampak totally have fun mainin tokoh ini). Begitu beliau mencuri dengar keluarga putranya sedang berembuk soal memasukkan dirinya ke panti jompo, Nek Fatma jadi sedih. Dia enggak pernah pengen direpotin. Dia jadi merindukan masa mudanya yang mandiri. Dengan galau, dia masuk ke studio foto di pinggir jalan yang terlihat oldies banget. Setelah difoto, Nek Fatma menjadi lebih muda tiga-puluh tahun, ajaib! Dengan girang Nek Fatma menjalani identitas barunya, nyamar menjadi cewek muda bernama Mieke (busana-busana classy itu sukses bikin Tatjana Saphira terlihat supercute!) Mieke ingin melakukan hal-hal yang dulu tidak bisa ia lakukan di masa mudanya yang asli – lantaran Fatma was a single mother. Tentu saja segudang masalah datang bersama perubahannya ini, yang dibahas oleh film dalam sinaran yang kocak. Mieke kudu berkutat dengan masalah duit, juga soal keluarga yang mencari dirinya. Mieke harus berpura-pura berjiwa muda, meski dia masih cerewet ngomelin ini itu khas nenek-nenek. Mieke harus ‘menghindar’ sekuat tenaga dari panah cinta cowok-cowok muda di sekitarnya, while berusaha mengejar cinta lamanya.  Apalagi dari cucunya, yang by the way, ngajak Mieke ikutan bergabung sebagai vokalis band.

ternyata enggak segampang itu jadi orang cantik di jaman sekarang.

 

Hidup menjadi lebih mudah jika engkau muda dan berpenampilan menarik. Especially if you are a girl. Ya, pernyataan yang jelek. Tapi itulah kenyataan. Dengan menjadi muda kembali, Fatma mudah untuk diterima oleh orang, termasuk oleh keluarganya sendiri. Menantunya menerima kritik masakan dengan lebih lapang dada ketika kritik tersebut datang dari mulut merah merekah wanita yang lebih muda. Penjual sepatu juga lebih ramah kepadanya dibanding saat dia menawar ketika dalam wujud aslinya yang keriput. Memang, kadang ‘cantik itu luka’ dan kecantikan bukanlah segalanya, tapi kita enggak bisa mungkir bahwa kita hidup di dunia yang sedikit lebih sopan dan lebih berhadap terhadap orang-orang yang atraktif.

 

Meskipun ini adalah ADAPTASI RESMI DARI FILM KOREA, aku tidak merasa asing saat menontonnya. Sutradara Ody C. Harahap menempeli naskah dengan warna-warna khas Indonesia. Kita melihat para tokoh berlebaran, nonton sinetron, dan mendengar mereka menyanyikan lagu-lagu klasik Indonesia. I have soft spot di film-film yang masukin elemen lagu, dan film ini berhasil membuat, bukan hanya aku, tapi nyaris seisi studio ikutan menyanyikan lagu yang dinyanyikan oleh Tatjana. Aransemennya asik punya. Film ini cerah banget, production designnya top, enak enak sekali untuk dipandang. Bahkan ketika tone cerita mulai serius, ada saja yang bikin penonton tertawa. Tatjana really nailed it sebagai jiwa tua yang bersemayam di raga yang muda. Dia terlihat girang, while also nunjukin concern dan ‘cerewet’nya nenek-nenek. Para pemain lain juga menghandle tokoh mereka dengan sama enggak jaimnya, namun beberapa terasa tertahan oleh kurungan naskah yang membuat tokoh mereka satu dimensi; hanya ditujukan untuk bagian tertentu. Sepertinya Lukman Sardi yang hanya di sana untuk bagian dramatis dari narasi.

Sebenarnya enggak heran juga kenapa adegan sisipan yang poke fun soal sinetron Indonesia mengundang tawa lebih heboh dan lebih membekas dari keseluruhan film. Karena dengan banyak elemen yang berusaha ditackle oleh narasi, not to mention gabungan cerita asli dengan bagian-bagian lokal, memang Sweet 20 terasa seperti gabungan momen-momen lucu yang tidak pernah benar-benar terflesh out. Misalnya, ketika Mieke latihan band pertama kali dan dia gak setuju ama lagu rock, ngusulin pake lagu “Hey Hey Siapa Dia”, kita tidak diperlihatkan gimana lagu ini bisa diapprove oleh anggota band – ultimately changing the genre of the band. Atau ketika tiba-tiba saja Mieke dan cucunya sudah duduk makan di café, padahal akan lucu kalo diliatin gimana caranya mereka bisa jalan berdua. Film ini juga memutuskan untuk menggeber kelucuan dari dua nenek yang sirik-sirikan ketimbang mengeksplorasi momen-momen kecil seperti adegan di pasar soal komentar tentang bayi dan ibu modern; menjadikan film ini terlalu ringan. Dan to be honest, aku enggak bisa peduli betul sama tokohnya. Aku gak mengerti keinginan dan kebutuhan Fatma sebagai tokoh utama. Karena film tidak menceritakannya dengan clear, due to banyaknya kejadian. At one point Fatma mengejar cinta, point berikutnya dia ingin memenangkan kontes band.

Nona Nyonya

 

Film tidak pernah fokus untuk membahas relationship antara Fatma Muda dengan keluarga dan orang terdekatnya, meski mereka terus bertemu. Ini bukan cerita Fatma yang berusaha untuk diterima oleh keluarganya, ini juga bukan cerita tentang Fatma yang ingin mandiri – sebab dia enggak pergi jauh, di sekitar keluarganya doang. Aku enggak yakin ini cerita apa. Di akhir cerita, karakter Fatma tidak berubah; dia tetap nenek yang ngurusin orang lain, hanya saja kini keluarga lebih apresiatif kepadanya. Lucunya, malah cucu-cucunya yang menjadi pribadi yang berbeda di penghabisan film, padahal mereka tidak benar-benar punya arc, terutama cucu yang cewek.

Fatmawati sebagai tokoh utama terasa pasif karena justru keluarganya lah yang belajar untuk menerima dia. Itupun dipicu oleh peristiwa yang bisa digolongkan ‘kebetulan’, karena datang tanpa penjelasan. Aku gak mau spoiler terlalu terang, tapi menjelang akhir itu, ada tokoh yang terlambat entah karena apa, dia lantas kecelakaan dan butuh transfusi darah yang hanya dipunya oleh Fatma. Redemption Fatma datang dari konfliknya di mana dia sekali lagi harus memilih untuk ngorbanin masa mudanya demi orang lain, I get that, tapi semua itu terasa effortless. Coba deh, bandingkan dengan perjalanan tokoh Peter Parker di Spiderman: Homecoming (2017) yang kerasa banget up-downnya.

Setiap film, mau action, komedi, romance, punya naskah yang tersusun atas babak-babak cerita. Setiap babak ada sekuens yang merupakan naik-turunnya perjalanan karakter utama, dan menjelang akhir babak kedua seharusnya adalah sekuens down di mana tokoh utama kehilangan semua dan harus berjuang sebagai diri sendiri. Dalam film romantis, biasanya ini adalah ketika tokoh utama berantem trus putus dengan pacarnya. Dalam cerita undercover, biasanya ini ketika penyamaran tokoh utama terbongkar dan dia dianggap pembohong oleh semua orang. Dalam Homecoming, kita lihat Peter dirampas dari kostumnya, dia belajar menjadi pahlawan sebagai dirinya sendiri. Tidak ada sekuens ini di dalam narasi Sweet 20. Kita tidak melihat Fatma ‘berjuang’ sebagai nenek, makanya tadi aku bilang effortless. Dia diterima begitu saja, bahkan orang-orang enggak ada yang mempermasalahkan kenapa dia yang tua bisa jadi dua-puluh tahun lagi.

 

 

Punya bumbu komedi yang semakin cerah oleh warna-warna lokal, membuat film ini enak dan relatable untuk ditonton. Musiknya oke, pemainnya pun kece. Premis ceritanya yang unik diturunkan kepentingannya oleh fakta bahwa ini adalah cerita adaptasi dari film lain. Dan semakin terbebani lagi oleh elemen-elemen cerita yang masuknya dijejelin, tanpa pernah terflesh out dengan baik. Indeed, film ini terasa kayak ringkasan dari film yang lebih panjang. Alih-alih fokus ke pengembangan relationship ke tokoh-tokoh, film ini hanya menunjukkan momen-momen di mana candaan bisa ditampilkan tanpa ada pijakan yang kuat. Tapi walaupun ini kayak kita nulis resume, tetap aja film terasa going on forever. How’s that possible, you asked? Coba tanyak sendiri ke Nenek Fatmawati kalo berani.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SWEET 20.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

SPIDERMAN: HOMECOMING Review

“You don’t get what you deserve, you get what you earn.”

 

 

Gimana kalo Spiderman kudu ngejar penjahat ke daerah perumahan yang enggak ada gedung-gedung bertingkat? Gimana jika Spiderman terpaksa harus ngelayap melintasi tanah lapang? Di mana dia bisa nyantolin jaringnya untuk berayun, coba? Masa iya dia mesti lari – enggak keren amat. Dan kalo sudah berayun, gimana kalo tiba-tiba jaringnya putus? Pertanyaan-pertanyaan konyol tersebut benar-benar dialamatkan oleh reboot Spiderman terbaru atas nama Marvel Cinematic Universe ini. Mempersembahkan kepada kita perspektif yang sama sekali segar dari sang superhero laba-laba. Gimana ‘pabila Peter Parker yang masih sangat belia harus memilih antara nyelidikin transaksi senjata alien atau datang ke pesta demi pamer buat cewek yang ia taksir?

Arahan dari Jon Watts mengayunkan cerita keluar dari fokus penceritaan yang sudah-sudah. Sukur Alhamdulillah film ini paham mengenai karakter-karakter yang ia adaptasi. Sekaligus juga mengerti bahwa dirinya harus menjelma menjadi sesuatu yang berbeda. Bukan sekedar rehash dari apa yang sudah kita lihat sebelumnya. Ini adalah film Spiderman keenam sejak 2002, dan Homecoming ini adalah FILM SPIDERMAN TERBAIK YANG KITA LIHAT SETELAH TIGA-BELAS TAHUN, semenjak Spiderman 1 dan 2 garapan Sam Raimi. Kita toh tidak perlu lagi melihat versi lain dari cerita origin yang membahas gimana Peter Parker digigit oleh laba-laba radioaktif, ataupun soal Peter Parker yang dealt with kematian Paman Ben. Film kali ini adalah tentang cerita gimana Peter Parker menjalani hidup sebagai manusia laba-laba; Kita akan diperkenalkan kepada Peter Parker yang masih SMA, dia anak sekolahan biasa – lengkap dengan permasalahan abege. Dia harus ke sekolah tepat waktu, dia harus mikirin cewek mana yang diajak ke pesta dansa homecoming di sekolah, dia ikut lomba sekolah sembari bolak-balik mengamankan lingkungan. Singkat kata, film ini adalah tentang Peter Parker belajar menjadi pahlawan yang bertanggung jawab, dia bertumbuh dari Spiderboy menjadi Spiderman.

sepertinya karena belum akil baligh, makanya spider sense Peter belum tumbuh

 

Meskipun kebanyakan orang (terutama orang yang berambut merah dan bernama Ron Weasley) sangat takut sama laba-laba, tetapi dari sekian banyak pahlawan super di komik, Spiderman adalah tokoh yang paling gampang untuk direlasikan oleh para pembaca (dan tentu saja, penonton). Publik relates to Spiderman so much karena Spiderman adalah karakter yang sangat dekat. Dia bukan orang kaya, dia bukan makhluk asing. Dia seperti kita-kita, Peter Parker punya masalah yang sama dengan kita. Bedanya, dia juga adalah superhero; sesuatu yang kita semua impi-impikan sejak kecil.

 

 

Jika topeng superheronya kita buka, maka di lapisan terdasar kita akan melihat bahwa ini adalah cerita tentang KEHIDUPAN ANAK REMAJA. It’s very clear while watching it bahwa film ini mengambil inspirasi dari film-film anak SMA. Literally ada adegan ketika Spiderman berlari melintasi pekarangan rumah yang dikontraskan dengan klip film remaja klasik Ferris Bueller’s Day Off (1986) yang terlihat di televisi rumah temen Peter. Sebagian besar waktu kita akan ngikutin Peter dealing dengan masalah anak sekolah. Keren melihat Spiderman beraksi, does whatever a spider can, dan sesungguhnya adalah experience yang sama-sama menyenangkan untuk melihat tokoh ini dalam cahaya yang lebih grounded. Dalam, katakanlah, pergerakan yang lebih lambat. Ada banyak downtime dalam narasi, di mana alih-alih aksi pahlawan berkostum, kita melihat Peter berinteraksi sebagai anak normal. Dia naksir cewek, dia yang nerd dibully oleh teman sekelas, people don’t like him. Bahkan ia diacuhkan oleh mentornya sendiri. Spidey pengen dilibatkan; bayangkan punya jiwa muda on top of punya kekuatan dan gaul dengan Ironman, namun gak bisa bilang ke siapa-siapa. Itulah yang dirasakan oleh Peter. Dan film ini berani untuk mengambil banyak waktu untuk mengeksplorasi supaya kita bisa menumbuhkan apresiasi terhadap tokoh ini. Momen-momen Peter sebagai anak biasa inilah yang merupakan elemen penting, elemen yang menyeimbangkan tokohnya seperti pada komik.

Namun, memang aku bisa melihat anak-anak kecil akan cukup bosan menonton ini. Aku nonton ini bareng adekku yang baru 8 tahun, dan dia fokus ke layar hanya pada saat Spidey beraksi. Bisa dimaklumi karena anak kecil ingin liat Spiderman menjadi Spiderman. Penonton dewasa tentunya akan bisa mengapresiasi perjalanan karakter Peter Parker yang ditulis dengan mendalam. Sejatinya, penggemar komiknyalah yang akan sangat terpuaskan sebab kita akan melihat our friendly neighborhood Spiderman diportray sesuai dengan yang di komik, persis seperti kita mau. But also, ada beberapa perubahan yang dibuat kepada beberapa karakter penting, yang mana berpotensi untuk bikin fans garis keras yang hanya mau segalanya sempurna ngamuk-ngamuk ngomel di kolom komen internet. While adalah angin segar melihat Bibi May versi yang lebih muda, aku bisa mengerti kenapa ada yang protes soal tokoh The Shocker dan The Tinkerer yang dijadikan lebih sebagai sidekick penjahat utama. Aku gak mau spoiler, tapi menurutku tokoh MJ di sini adalah cewek yang keren, walaupun film ini mengangkat sisi awkward antara Peter dan MJ dari angle yang berbeda.

Kalo ada yang benar-benar jadi keren, maka itu adalah The Vulture. Marvel Cinematic Universe selalu kepayahan dalam menghadirkan tokoh penjahat yang meyakinkan, dan akhirnya dahaga kita terhadap villain yang bisa kita peduliin terpuaskan sudah. Michael Keaton did a really great job menghidupkan tokoh ini, mungkin karena dia udah terbiasa mainin peran manusia bersayap hhihi. The Vulture punya kedalaman karakter, perkembangan tokoh ini mengejutkanku, karena ternyata dia diberikan hubungan personal dengan Spiderman, yang mana membuat adegan mereka ngobrol di mobil menjadi adegan yang hebat. Bahkan jauh sebelum adegan tersebut terjadi, kita sudah diberikan alasan untuk mengerti motivasi The Vulture, untuk memahami cara pikirnya. Part paling menarik dari tokoh ini tentu saja adalah gimana penamaannya sangat pas dengan apa yang ia kerjakan; The Vulture basically ngumpulin dan mencuri benda-benda rongsokan bekas alien dan para Avengers untuk ia gunakan memperkuat diri, persis kayak apa yang dilakukan oleh burung hering beneran sebagai burung pemakan bangkai.

Aku juga paham kenapa banyak yang mempermasalahkan soal spider sense yang ada-tapi-tiada dalam cerita. Sepintas dalam percakapan disebutin Spiderman di sini memiliki kemampuan tersebut, akan tetapi tidak pernah ada adegan yang menunjukkan demikian. Terlalu banyak adegan Spidey disergap dari belakang oleh The Vulture, Spidey bahkan enggak tahu temennya ada di kamar ketika dia menyelinap masuk. Lalu of course, adegan Spiderman ngendarai mobil yang punya sistem deteksi rem. Belum lagi kostumnya yang dilengkapi komputer kayak kostum Iron Man. Dan dia punya teman yang nunjukin arah. I mean, buat apa teknologi itu kalo Spidey punya alarm natural? Semuanya memang terasa ‘mengurangi’ kemampuan Spiderman, but yeah, ini integral dengan apa yang mau disampaikan; bahwa Peter Parker adalah remaja, dia belum pernah ngendarain mobil, dia masih perlu banyak bantuan,  baik sebagai pahlawan super maupun sebagai seorang manusia.

Tema terpenting film ini adalah apa yang membuat seorang menjadi kuat. Apakah Peter Parker butuh kostum untuk menjadi Spiderman, bisakah dia menjadi Spiderman tanpa kostum? Stark menyebutkan jika tidak bisa apa-apa tanpa kostum, maka itu berarti Peter tidak pernah pantas untuk mengenakannya. Ini kayak kita pengen punya blog, tetapi kita enggak bisa nulis. Kita harus mengasah kemampuan dulu untuk layak menyandang, apalagi memanfaatkan fasilitas. Ibaratnya bersusah dahulu, bersenang kemudian.

 

 

Dan ngomong-ngomong, blogger itu bukan wartawan beneran.

 

Kepolosan dan naifnya Peter Parker  ditangkap sempurna oleh Tom Holland, aktor ini sukses berat menjadi both Spidey yang amazing dan Peter yang everyday kid dengan segudang masalah. Tokoh ini superkocak dan amat likeable. Hubungannya dengan Tony Stark juga menarik. Susah untuk tidak terhibur melihat Robert Downey Jr. sebagai Tony Stark. Namun, memang kadang perannya di sini acap terasa seperti device yang memudahkan saja. Actually, salah satu masalahku buat film ini adalah porsi aksinya yang enggak pernah benar-benar terlihat susah untuk si Spiderman. Tidak intens seperti apa yang diperlihatkan oleh Sam Raimi; tidak ada momen seperti Spidey babak belur dan Green Goblin ngancem bakal ngebunuh Mary Jane, tidak ada urgensi aksi seperti Spidey dengan topeng terbuka menahan kereta yang nyaris mengoyak tubuhnya menjadi dua. Action pada film kali ini menyenangkan dan light-hearted, enggak brutal dan intens. Cerita menuntut supaya Spidey kerap dibantu agar nanti bisa belajar sendiri pada sekuen resolusi.

 

 

 

Marvel bisa membuat film solo yang berdiri sendiri yang baik seperti Winter Soldier (2014), ataupun sebuah extravaganza universe seperti Civil War (2016). Dan film ini terletak di antara keduanya. Pada lapisan drama, sesungguhnya film ini kokoh untuk berdiri sendiri – dia berbeda dari penceritaan Spiderman yang lain. Namun, lebih sering ketimbang tidak kita ngerasa, “oh itu anu dari film ono!” Ada kepentingan yang berkurang karena it feels kayak kita nonton serangkain event yang digunakan untuk ngesetup film Spiderman dan MCU berikutnya. Poin bagusnya adalah ini adalah cerita set up yang sangat menarik, teramat menghibur, seru, dan cenderung ringan. Tokoh-tokohnya dimainkan dengan luar biasa, dengan interpretasi yang bisa bikin fans girang. Namun juga ada beberapa perubahan, terutama pada casting dan karakterisasi, yang dapat memancing fans untuk protes. However, tidak banyak korban jatuh dalam film ini. It could use some intensity dan actual stakes sebenarnya bisa lebih diamplify lagi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SPIDERMAN: HOMECOMING

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

 

JAILANGKUNG Review

“See yourself as a soul with a body rather than a body with a soul.”

 

 

Di mana ada film horor, aku akan duduk ngejogrok di sana tanpa perlu dijemput atau diantar. Kayak Jailangkung yang ngeliat ada pesta kecil-kecilan. Horor selalu adalah objek cerita yang menarik, maka tak heran genre ini menjadi penjualan mudah untuk bisnis bioskop. Buktinya, liat deh box office film Indonesia tahun 2017 ini; horor naik tahta kembali dengan gampangnya. Film Jailangkung terbaru ini sempat menyinggung bahwa tubuh dan sukma harus berimbang. Harus sehat dua-duanya. Dan ketika kebutuhan fisikal kita sudah terpenuhi, maka kita merasa dorongan keperluan untuk memuaskan dahaga atas keingintahuan spiritual. Di sinilah film horor seperti Jailangkung memiliki peran besar.

Kita demen ditakut-takuti, Kita penasaran melihat hantu. Kita bahkan mencoba berkomunikasi dengan hantu, lewat permainan jailangkung. Karena kita adalah makhluk jiwa dan raga.

 

Meskipun digarap oleh duo yang sama, Jailangkung adalah cerita yang sama sekali terpisah dan tidak ada sangkut pautnya dengan Jelangkung yang sukses mengangkat pamor horor di sinema Indonesia tahun 2001 lampau. Pada kesempatan ini, Rizal Mantovani dan Jose Poernomo memilih untuk menggarap horor yang LEBIH GROUNDED. Bukan lagi soal pengungkapan mitos urban oleh sekelompok remaja, Jailangkung bercerita seputar keluarga yang harus menyelidiki misteri seputar penyakit ayah mereka. Naturally, cerita keluarga seperti ini mudah untuk kita relasikan. Kita akan melihat Bella dan saudari-saudari nyabergerak sebagai satu unit menghadapi masalah supranatural, mereka harus bermain jailangkung, dan ultimately, narasi juga akan menyinggung budaya lokal saat mitos hantu Matianak mulai mengambil tempat sebagai ‘penjahat utama’. Jadi, film ini punya amunisi yang tepat untuk menjadi sesajen horor untuk ditonton merinding bareng keluarga.

Kemunculan hantunya lumayan seram. Suara cekikikan hantu itu sanggup membuat kita merinding. Kalo mau iseng, coba deh sekalian hitung detak jantung masing-masing saat adegan Bella di tangga darurat rumah sakit. Timing penampakannya diatur dengan tepat. Penggunaan beberapa overhead shot membuat film ini terlihat sangat profesional. But there’s not much reflecting or reasoning behind those scenes except just to show that the filmmakers have enough budget so they can use drone to do the filming. Ditambah dengan scoring yang maksain feel banget, lucunya, shot-shot cantik itu malah bablas terlihat seperti video musik atau malah potongan iklan ketimbang sebuah media penceritaan.

Kreativitas oleh film ini ditampakkan dari betapa lihainya mereka menemukan cara untuk menggunakan adegan-adegan flashback. Lewat kenangan lah, lewat kaset video lah. Dan buat yang gak bisa nangkep nada ironisku; flashback adalah cara tergampang yang bisa dipikirkan oleh filmmaker untuk menjelaskan misteri dan backstory di dalam film horor. Serius deh, sedari awal aku sudah meragukan segi kreativitas film ini sebab dari banyaknya hal yang bisa dilakukan untuk memasarkan film tentang papan pemanggil arwah dengan cara yang berbeda, film ini berpuas diri comes up dengan mantra “Datang gendong, pulang bopong” yang terdengar konyol. I mean, musti bangetkah judulnya Jailangkung (beda ejaan doang)? Selain alasan komersial, aku gak bisa nemuin alasan kreatif di balik pemilihan itu. Dan setelah menonton filmnya, yang melimpah oleh flashback dan eksposisi, dugaanku terhadap kreativitas film ini terbukti sudah.

Hantunya bisa ngeja b-o-r-i-n-g gak ya?

 

Kita tidak bisa membuat penonton instantly peduli sama tokoh hanya karena tokoh-tokoh tersebut dimainkan oleh orang-orang kece. Tokoh tersebut perlu diberikan karakter, mereka perlu dihadapkan kepada tantangan dan pilihan yang sulit, yang nantinya akan membentuk mereka menjadi pribadi yang baru. So people could latch onto them. Dua bintang muda yang lagi hits-hitsnya, Amanda Rawles dan Jefri Nichol, tidak diberikan banyak hal yang bisa mereka lakukan. Film ini enggak membantu banyak untuk usia akting mereka yang masih belia dan butuh banyak perkembangan. Penokohan Bella dan Rama sangat hampa. Rama hanya ada di sana untuk dua alasan; sebagai sarana untuk eksposisi, dan supaya ada sosok yang bisa ‘didambakan’ oleh Bella. Aku sempat ngakak sih, Bella bersikeras untuk menjaga ayahnya di rumah sakit, dia membujuk kakaknya pulang dan beristirahat. Tapi setelahnya kakaknya pulang, Rama pun turut minta diri pamit pulang, dan di situ ekspresi Bella kayak kecewa banget seolah Rama gak ngerti ‘kode’ darinya yang pengen jaga berduaan hhihi.

Bella sesungguhnya punya akar motivasi. Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudari dalam keluarga yang sudah lama ditinggal mati oleh ibu. Sebagai anak tengah, tentu dia haus untuk membuktikan diri, bahwa dia juga capable untuk mengurus diri serta keluarganya, bahwa dia juga bisa seperti kakaknya yang mandiri. Pengarakteran ini disinggung sedikit sekali, sehingga di akhir film tidak ada perubahan yang dialami oleh karakter Bella. Seolah filmnya malu malu menyolek bahu Amanda Rawles. Semua kejadian tidak diset up untuk nantinya resolve around penokohan Bella. Sebagai seorang tokoh utama, Bella enggak ngapa-ngapain; bukan dia yang menggendong, bukan dia yang ngebopong. Malahan, di akhir, justru dia yang harus diselamatkan. Motivasi tokoh ini jadi sia-sia belaka, seperti terlupakan.

Dan bukan motivasi tokoh lead saja yang dilupakan oleh film ini. Ada banyak elemen yang hanya disinggung sekilas tanpa ada penyelesaian atau kontinuitas yang masuk akal. Sejak dari adegan pembuka yang terasa rushed banget, film ini tidak mampu untuk membuat kita bertapak kepada momen horor yang hendak dibangunnya. Hantu Matianak tersebut tidak pernah dijelaskan tuntas apakah dia menyerang silsilah keluarga mereka, let alone the reasons behind it. Plot poin soal ibu mereka juga enggak ada penyelesaian. Banyak penonton yang aku kenal juga mempermasalahkan soal ayah Bella yang tadinya nyasar di hutan, kemudian di adegan berikutnya dia sudah main jailangkung di dalam ruangan. Jangankan pemain-pemain muda, pemain senior semacam Lukman Sardi dan Wulan Guritno aja terlihat payah, terima kasih kepada penulisan tokoh dan naskah yang kayak diketik oleh anak kecil. Ngomong-ngomong soal anak kecil, tentu saja tokoh cilik di film ini tidak mendapatkan jiwa sama sekali. Mereka cuma jasad untuk media horor, jadi kenapa musti bersikap manusiawi, kan?

ada pesta, ada jailangkung

 

Kualitas dialognya juga mempersulit para tokoh untuk mendapatkan bobot yang berarti. Ada adegan ketika Rama kebingungan bertanya kenapa boneka jailangkungnya nutup sendiri padahal jelas-jelas dia yang goyangin. Mantra pemanggilannya juga dilafalkan oleh para aktor dengan little to no weight, sehingga tidak menimbulkan kesan apa-apa. Padahal tokoh yang diperankan Butet Kertaradjasa udah literally nyontohin gimana cara dan intonasi yang dramatis dan menimbulkan efek seram.

Segalanya terasa setengah-setengah. Ada momen ketika Bella berlari, dan aku mengira kita bakal mendapat long continuous take dari udara yang kreatif saat mereka mencari kakak di dalam rumah. Ternyata enggak. Mereka melakukanya di tempat paling mudah, yakni di areal pekuburan. Sepertinya film ini bisa lebih baik jika dipush menjadi lebih dewasa. Karena film ini menyinggung soal kehamilan, it would be better kalo Bella sendiri yang ngalamin apa yang dialami oleh Angel. Mereka bisa menggali banyak drama dari sana, Rama juga bisa jadi punya peran yang lebih berarti. Dan tentu saja horornya akan lebih kena, karena apa yang dialami Angel dalam film ini adalah hal yang sangat menyeramkan, apalagi buat wanita. Sayangnya, film ini – mungkin karena mengingat batasan usia penonton – tidak bisa menggali elemen tersebut. Membuatnya hanya sepintas dan terasa rushed out.

 

 

 

Ada kisah horor yang mumpuni dan berpotensi sangat seram terkubur di dalam film ini. It was a grounded story, diwarnai oleh mitos dan budaya pula. Aku gak tau apa yang terjadi di dapur produksi mereka, but the end product yang kita tonton sangatlah mengecewakan. Semuanya generik, gak seram, karakternya membosankan. Selayang pandang memang terasa profesioal, namun tidak ada bobot di dalamnya. Horornya digarap dengan buru-buru, meninggalkan banyak kesempatan demi jumpscare yang benar-benar out-of-place dan gak perlu. Karena semestinya film horor adalah soal jiwa, ketakutan dari dalam, alih-alih ketakutan fisik semata. Jika filmmaker lain memutuskan untuk mengikuti ‘kesuksesan’ film ini, maka bisa dipastikan masa depan film horor Indonesia akan sangat gelap dan mengerikan.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for JAILANGKUNG.

 

 

 

That’s all we have now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

SURAT KECIL UNTUK TUHAN Review

“I thought that you would be the hero come in save the day, but you’re the villain.”

 

 

Anak terlantar dipelihara oleh negara. Begitu kata buku UUD 1945 yang kuhapalin pas pelajaran PPKN. Surat Kecil untuk Tuhan menuliskan anak-anak jalanan sepeti Angel dan abangnya, Anton, dipelihara oleh Om Rudy. Sosok yang Angel sangka pahlawan, yang memberi mereka atap dan makanan. But he was unforgiven. Om Rudy bukanlah jawaban dari surat yang ditulis Angel untuk Tuhan. Oleh Om Rudy,, mereka disuruh mengamen di jalanan yang tak berbelas kasih. Dan dihukum keras jika uang setoran kurang. Bahkan saat Angel tertabrak mobil sehingga musti dilarikan ke rumah sakit, Om Rudy enggak mau repot-repot membayar biaya pengobatan. Mengakibatkan Angel harus terpisah dari abang yang berjanji untuk terus menjaga dirinya.

Sounds depressing enough? Atau malah terdengar familiar?

Clearly, film ini berhasil menerapkan pelajaran berharga soal bercerita dari salah satu nominasi Oscar, Lion (2017). Surat Kecil untuk Tuhan membagi porsi narasinya menjadi dua, ketika Angel kecil di jalanan dan paruh terakhirnya adalah tentang Angel yang sudah dewasa dan bekerja ngurusin kasus-kasus kekerasan terhadap anak, baik di rumah tangga maupun di luar sana di perempatan. Aku suka gimana film ini berusaha sekuat tenaga untuk tidak menggunakan alur bolak-balik, meski memang ada sisipan adegan kenangan yang tidak mampu ia hindari. Ini adalah resiko yang mereka ambil, karena membuat film seolah baru dimulai di babak kedua; motivasi Angel baru jelas banget di poin ini.

Terkadang ketika berhenti di lampu merah, kita suka dilema sendiri. Melihat anak jalanan yang mestinya lagi kepergok nyontek dan disetrap di depan kelas itu, malah nyanyi-nyanyi dengan alat musik rombeng. Mau ngasih duit, ragu. Ntar duitnya pasti dipalak. Atogak dipakai buat yang enggak-enggak. Mau membantu kok pikir-pikir. Benarkah dengan tidak membantu, kita bisa membantu mereka. ‘Gimana dengan pihak yang ‘mempekerjakan’mereka, salahkah mereka membesarkan dan mendapat balas jasa?Manakah yang lebih ‘for the greater good?’

 

Film ini mampu memantik pertanyaan moral dengan eksplorasi perspektif anak jalanan yang terasa fresh. Apa yang dilakukan dengan baik oleh film ini adalah menanamkan bibit-bibit karakter semenjak paruh di mana mereka masih muda. Sehingga ketika kita melihat dan bertemu dengan mereka kembali setelah time jump, perkembangan karakter mereka – menjadi seperti apa mereka sekarang – terasa masuk akal. Kita akan melihat Angel dengan gigih berusaha mengungkap sindikat anak jalanan yang dipimpin oleh Om Rudy, kita mengerti darimana dorongan tersebut datang, apa yang membuat semua itu sangat personal dan begitu urgen dilakukan oleh Angel. Relationship antarkarakter juga terjalin dan tergambarkan dengan kuat. Semuanya diberikan pay-off yang ampuh menarik-narik heartstring kita. Karena film ini tahu persis dirinya adalah drama yang secara natural sangat emosional. Aku suka adegan ketika Angel Dewasa yang diperankan oleh Bunga Citra Lestari untuk pertama kalinya bertemu kembali dengan Om Rudy. They played it off so good. Mata BCL sukses banget mancarin rasa takut yang masih bersisa dari masalalu itu. She barely could say any words. Lukman Sardi sebagai Om Rudy juga terlihat takut di balik tokohnya yang tenangnya menguarkan aura menacing.

but to be honest, aku kaget ngeliat Dorman Borisman masih aktif main film, kirain udah vakum XD

 

 

Penampilan akting yang mengisi paruh kedua film mampu membuat kita melupakan rasa bosan, karena memang bagian ini lebih serius. Dan serius digabung dramatis biasanya adalah gabungan yang ampuh untuk bikin kita nyalain hape. Setelah gede actually adalah film di puncak paling menarik, sebagian besar lantaran film Indonesia memang kelihatannya masih kepayahan mencari aktor anak kecil yang mampu bermain dengan meyakinkan. Penampilan yang paling juara dalam film ini datang dari Joe Taslim yang memerankan pacar Angel yang berprofesi sebagi dokter jantung. Joe Taslim sangat kharismatik dan bersimpati di sini. Tokoh Martin pun mendapat backstory dan eksplorasi yang berbobot sehingga dia benar-benar punya purpose untuk ada di sana. Bukan hanya sebagai device, he actually adds much. In fact, malahan tokoh lead kitalah yang paling kurang konsisten di sini. Aku merasa aneh aja sama aksen Inggris dari Bunga Citra Lestari. Tokohnya gede di Australia, sudah cukup aneh dia enggak develop any accent. Ditambah pula at one time, dia menjawab telepon dengan ”who is it?” yang terdengar aneh alih-alih natural dan lebih cocok dengan kehidupan profesionalnya dengan jawaban “who is this?”

Tentu saja ada bagian ‘pertarungan’ di pengadilan. Film ini menghandlenya dengan memasukkan elemen di mana Angel harus mengumpulkan dan meyakinkan saksi-saksi yaitu orang-orang yang berasal dari masa lalu tragisnya. Sudut pandang dari saksi-saksi tersebut memberikan suntikan perspektif yang semakin menambah kadar dramatis. Yang mana, juga menimbulkan masalah kepada narasi sebab film ini mengarah kepada JALUR YANG HITAM-PUTIH. Yang jahat benar-benar jahat, yang baik benar-benar tertindas. Ruang thought-provoking semakin menyempit, kemakan oleh porsi dramatis yang terus dibesar-besarkan. Tadinya aku mengira film ini paling enggak jadi kayak versi dramatis dari anime The Boy and the Beast |(2015), taunya enggak. Malah dramatisnya lebih seperti Grave of the Fireflies (1988) digabung dengan Lion.

Kita tidak akan pernah kehilangan orang yang tulus menyayangi kita. Sebab, once there, mereka tidak akan pernah pergi dari sana.

 

Ini adalah film tentang pencarian kebenaran, namun TONE YANG DIOLAH DENGAN TERLALU OVER membuat film ini tidak bisa mencapai level Lion. Baik over di bagian editing tone visual, maupun pada tone cerita yang kerap amat sangat sappy, kalo gak mau dibilang cengeng. Dalam Lion, kita tidak melihat Saroo kecil ujan-ujanan. Dalam Surat Kecil untuk Tuhan, dalam 15 menit pertama, Angel dan Anton terus saja kehujanan, dengan lagu Ambilkan Bulan, Bu yang diaransemen ulang menjadi sangat sedih dimainkan nyaris non-stop. Film ini terus ngepush drama seputar tema kekerasan terhadap anaknya sampai-sampai aku tidak lagi mempertanyakan kenapa film ini tidak diberikan rating sensor yang lebih dewasa. Aku malah jadi keheranan kenapa film ini dijadikan tontonan lebaran keluarga in the first place.

Menjelang akhir akan ada pengungkapan yang disertai dengan adegan yang, sebenarnya, sangat kontroversial. As in, bisa bikin trauma anak kecil yang menontonnya. Walaupun enggak digambarkan eksplisit banget, namun tetep aja ekuivalen ama adegan kontroversial serial 13 Reasons Why (2017) yang tayang di Netflix. Because we talk about children here. Surat Kecil Untuk Tuhan menunjukkan anak kecil yang – sulit untuk tidak mengasumsikan dia – disuntik mati. Asumsi lain yang timbul dari sekuen itu adalah penonton disajikan adegan anak kecil yang dibedah hidup-hidup off-screen, dan di layar kita melihat reaksi orang dewasa yang muntah menyaksikan tindak kriminal tersebut. Aku langsung ngeliat ke arah keluarga beranak dua yang nonton di sebelahku; mamanya nutupin mata anak yang gede, sementara papanya menutup mulut sendiri sambil menggendong anak bungsu mereka dengan memposisikan si anak membelakangi layar.

endingnya meski ketebak, tapi tetep terasa ‘ajaib’’kayak episode Beyond Belief Fact or Fiction

 

Beberapa menit kemudian adegannya nampilin anak bawah umur merintih diperkosa. Dan kedua orangtua di sebelahku tadi saling berpandangan.

 

 

 

 

Punya emosi yang sangat kuat, film ini mengexamine moral kita terhadap anak jalanan lewat perspektif orang pertama yang benar-benar menawarkan sesuatu yang baru. Tema kekerasan anak bergulir kuat, da terus diamplify. Penampilan yang di bawah standar dengan cepat tergantikan oleh performa yang sangat meyakinkan yang menatap kita straight to our heart. Bisa saja menjadi thriller yang hebat, yang thought provoking, jika dirinya tidak memfokuskan diri membuat penonton banjir air mata sebagai tujuan utama. Film ini berani mengambil resiko dalam penulisan, namun not so much pada departemen arahan. Tonenya terlalu cengeng, enggak tegar seperti film Lion, film yang banyak dibanding-bandingkan terhadapnya. Karena tentu saja orang akan mudah sedih melihat anak-anak yang menangis di bawah hujan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SURAT KECIL UNTUK TUHAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

47 METERS DOWN Review

“For whatever we lose, it’s always ourselves we find under the sea”

 

 

“Kayak di kebun binatang, cuma bedanya kalian yang dikurung di kandang.”
Kata-kata dari pemandu tersebut sedikit berhasil menetramkan cemas di hati Lisa, memantapkannya untuk masuk ke dalam kandang yang bakal direndem di laut lepas perairan Mexico. Aman, kok. Lisa dan Kate, adiknya, memang lagi liburan. Mereka ingin bersenang-senang, foto-fotoin Hiu Putih dalam habitat aslinya. Pengalaman sekali seumur hidup buat Lisa itu menjelma jadi benar-benar harafiah, sebab derek yang menahan kandang karatan satu-satunya pelindung mereka dari gigi hiu tiba-tiba patah. Mengirim Lisa dan Kate empat-puluh-tujuh meter ke dasar lautan, terjebak di sana. Seolah terpaket rapi di dalam kandang kotak persis hadiah yang menunggu dibuka oleh hiu-hiu yang kelaparan.

“under the sea~ where the sharks singing, waiting your body, under the sea~”

 

Konsep cerita yang keren. Terkurung di bawah laut. Tuntutan oksigen yang membuat keadaan para tokoh jadi punya urgensi yang tinggi. Dan hiu-hiu. Wow. Aku selalu tertarik sama film yang ada hiu-hiunya. Tapi hiu yang di bawah laut loh, ya. Bukan hiu yang menclok di angin tornado ataupun hiu yang terbang di angkasa. Aku terperangah aja ngeliat warna merah pekat dikontrasin sama biru jernih lautan. Film 47 Meters Down juga punya visual yang JERNIH NAN EERIE seperti begitu. Jika tahun lalu kita sudah berenang di perairan dangkal bersama hiu lewat film The Shallows (2016), maka kali ini kita akan menyelami kengerian lebih jauh lagi. Pemandangan dan suasana dasar laut yang mencekam akan jadi suguhan yang film ini harapkan bisa mengisi mimpi buruk kita sehabis menonton. Visually, film ini berhasil mencapai level kengerian itu.

Bawah laut adalah tempat yang membuat manusia paling merasa manusiawi. Kita akan merasa takut, merasa kecil, merasa cemas tak-berdaya oleh kegelapan tak berujung. Dan tentu saja ada harapan, sebagaimana karakter film ini kehilangan sesuatu dan balik menemukan dirinya di dalam sana.

 

Untuk mencari jawaban dari pertanyaan “Kenapa sih setelah Jaws (1975), kita enggak lagi menemukan film tentang hiu yang benar-benar keren sehingga bisa bikin kita ketagihan dan penasaran dan pengen punya hiu serta sekaligus jadi ngeri berenang di laut?” sebenarnya enggak susah-susah amat. Kita enggak perlu jauh-jauh menyelam ke lantai samudera. Kita cuma perlu menyelami sekian banyak sekuel dan film-film rip off gagal, dan menanyakan kepada diri sendiri; apa yang membuat kita terus bertahan ngikutin cerita meski ketakutan semakin merayap dengan perlahan. Itu semua bukan karena pertengahan terakhir di mana hiu anatagonis Jaws keluar menyerang terang-terangan. Dalam 47 Meters Down, kita melihat Lisa dan Kate kegirangan ketika melihat hiu mendekat datang setelah ember umpan dilempar ke air. Itu adalah mentality orang yang lagi liburan; mereka pengen lihat hiu. Namun saat kita menonton film; mentalitynya adalah kita pengen ngeliat karakter. Kita nonton Jaws bekali-kali, it’s not exactly because we want to see the shark, kita nonton demi melihat karakter manusianya struggle, overcoming their fears, dan mengarungi journey bersama mereka. Mengalahkan musuh yang disimbolkan sebagai hiu.

Sayangnya, sebagian besar dari pembuat film mengenyampingkan faktor karakter. Mereka memperlakukan film hiu layaknya wahana. Kita yang menontonnya udah persis kayak lagi shark diving, nontonin aksi hiu dari balik kandang. Namun lebih parah, lantaran tak jarang, nonton film hiu berarti kita harus ngikutin perjalanan karakter yang ‘bego’, yang annoying, yang mengerikan – dalam makna yang buruk, yang ditulis dengan sangat sederhana. Seperti karakter-karakter yang kita temukan dalam 47 Meters Down. Lupakan tokoh minor/sampingan, mereka cuma ada di sana karena tokoh kita benar-benar butuh orang sebagai pemandu. Tokoh sentral kita, dua kakak beradik Lisa dan Kate, dituliskan punya sifat yang berseberangan. Kate ini anaknya berjiwa petualang banget, dia udah pernah scuba diving dan pergi ke mana-mana sebelumnya. Sebaliknya, Lisa sang kakak, lebih ‘pasif’, dia belum pernah ngelakuin hal-hal ‘fun’ sebelumnya. Sebenarnya formula bikin karakter yang udah benar, hanya saja film ini mengolah mereka dengan cara yang sangat over dan mereka dibikin, yah; ‘bego’

One thing about karakter adalah mereka harus diberikan motivasi yang kuat supaya kita peduli. Saat mereka sudah terjebak di bawah laut, jelas, motivasinya adalah pengen hidup. Yang jadi masalah adalah motivasi kenapa Lisa mau ngelakuin scuba diving bersama hiu pada awalnya. Cewek ini baru aja diputusin ama cowoknya karena Lisa ini terlalu bosenin dalam ngejalanin hubungan. Jadi, Lisa ingin melakukan sesuatu yang exciting, terus difoto buat dikasih liat sama cowoknya, like, “Nih liat, keren kan liburan gue! Jeles kan, lo!? Jeles, kan!!!” Motivasi yang sangat menggerakkan hati sekali, bukan? Bikin kita semua peduli banget kan? Iya, kan!!!

Anyway, ada sih satu momen tokoh yang aku suka. Yakni ketika Kate yang tetap terlihat tenang setelah kandang mereka karam, kemudian barulah dia mengeluh takut saat menghubungi kapal, dan itu dilakukannya saat sudah jauh di luar jangkauan pendengaran transmisi baju selam Lisa. Tokoh Kate yang diperankan hampir fierce oleh Claire Holt memang diniatkan untuk lebih likeable, tapi buatku treatment kecil seperti demikian adalah sentuhan bagus yang sangat dibutuhkan oleh film ini.

Kakaknya boring banget sampesampe aku yakin adeknya sengaja nyabotase kandang biar copot dari kapal

 

 

Kedua tokoh ini punya kebiasaan ngejatuhin benda-benda yang mereka pegang, terutama benda yang penting. Dan itu ngeselin banget. Kualitas penulisan mereka pun klop banget ama penampilan aktingnya; berasa FTV. Eh, ada gak sih di barat sono istilah FTV? Yang jelas, Mandy Moore memainkan Lisa dengan over-the-top sekali. Bahkan, jika kita menonton percakapan kedua kakak-adik di film ini tanpa ngeliat gambar, suaranya doang, maka kita bisa salah menyangka lagi mendengar potongan dialog dari film Barbie.

“Lisaa, aku sudah berhasil menghubungi kapal!”
“Benarkah!? Waaah”
Lokasi adegan: dasar laut gelap dengan keberadaan hiu yang mengancam.

Enggak ada sedikitpun kesubtilan dari bantering mereka. Perasaan thrillernya enggak kebawa di dalam dialog film yang sebagian besar ditulis seperti demikian. Ada satu lagi; setelah adegan Lisa selamat dari kejaran hiu dengan bersembunyi di dalam gua, dan kalimat pertama yang terucap dari mulutnya adalah “The shark almost got me..” Well, I was like, no shit lady! Dan aku bersumpah aku seakan bisa mendengar ekspresi “huhuuu” keluar darinya di akhir kalimat tersebut.

 

Film ini menganggap dirinya lebih seram daripada yang sebenarnya. Padahalnya sebenarnya yang dimaksud horor oleh film ini adalah suara musik yang keras. Hiunya sendiri tampak mengerikan, meyakinkanlah sebagai makhluk hidup. Hanya saja, hiu-hiu tersebut tidak melakukan banyak selain sekali-kali muncul tiba-tiba entah dari mana ngagetin kita semua. Sejujurnya aku malah lebih percaya Lisa dan Kate akan mati kehabisan oksigen ketimbang mati dimakan hiu, sebab hiu dalam film ini were so bad at biting preys. Serangan mereka seringkali luput, dan yang kena pun pada akhirnya enggak berarti apa-apa. Tentu saja, semua itu berkat kehadiran endingnya, yang entah kenapa film ini merasa perlu untuk ngetwist. Sedari awal aku sudah susah peduli sama tokoh utamanya, dan setelah twist ini muncul, aku gak bisa untuk lebih gak peduli lagi.

 

 

 

 

Aaah, that sinking feeling yang kurasakan saat antusias perlahan terus menurun setelah sepuluh-menit pertama set up yang biasa – malahan ala FTV – banget…. Ini adalah jenis film yang punya konsep bagus namun dalam eksekusinya sukar untuk dikembangkan. Tokoh-tokoh film ini enggak bisa punya banyak ‘kegiatan’ setelah mereka karam di bawah laut dan tersebutlah hiu-hiu putih di sana. Narasi butuh banget karakter yang kuat, namun film ini memandang hal tersebut sebelah mata. Dibuatnya penokohan dan dialog yang over-the-top, dengan penampilan akting yang juga gak terlalu bagus dan meyakinkan. Hasilnya adalah film thriller yang tidak mencekam, film horor yang tidak seram, dan film hiu yang tidak punya ‘daging’ di dalamnya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 47 METERS DOWN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE WALL Review

“You can’t see me.”

 

 

Poster film ini enggak bohong ketika ia bilang “Ini bukan perang. Ini adalah permainan.” Walau sejatinya setiap pihak yang terlibat peperangan bakal selalu ngalamin dilema moral, The Wall memfokuskan eksplorasinya kepada apa yang sebenarnya dilakukan orang saat berperang. Dari bentuknya yang paling polos, memang, perang tak lebih adalah permainan bunuh-bunuhan yang melibatkan strategi. Kadang kita gak peduli lagi soal kenapa kita mulai saling menyerang, kita cuma mau mengalahkan musuh. Seperti permainan catur, but worse. Kehorriblean perang enggak seketika berakhir ketika para pemimpin sudah menyerah. Ini lebih seperti permainan Yugioh, di mana kedua duelist sudah mengerahkan kartu-kartu terkuatnya, namun kedua pihak tetap bertahan dengan sisa seratus life point. They want to break each other mentally, bersilat lidah menggunakan siasat, dengan harapan pihak lawan keceplos mengungkapkan kelemahan. Duduk diam, stalling, menunggu pihak seberang salah langkah. The Wall adalah sebuah MIND GAME.

Sersan Isaac (kalo dipanggil Ize juga nengok) dan Sersan Matthews (te-ret-te teeet! Tet te-re-teeet!) bangkit dari pos pengintaian mereka di site di tengah gurun Irak. Kepanasan dan lelah. Perang sudah hampir berakhir, sekitar mereka terlihat sepi. Selain mereka berdua, manusia yang tampak hanyalah tubuh-tubuh tak bernyawa di bawah sana, dekat pipa-pipa, mobil, dan reruntuhan tembok. Jadi, mereka turun mengecek keadaan. Out in the open, Sersan Matthews jatuh ditembaki. Isaac yang berusaha menolong juga kena tembus peluru entah dari mana. Serabutan, dia terjun berlindung ke balik reruntuhan tembok. Apa akal? Yes exactly! Sersan Isaac harus berpikir keras mengerahkan segala pengetahuan yang ia tahu, sebab si sniper Irak misterius itu dengan pinternya menghubungi radio tentara Amerika tersebut. Permainan kucing-kucingan mental mereka dimulai as si sniper menggunakan kelihaiannya bicara to get the soldier to show themselves, sementara Ize (namanya dilafalkan “eyes”) membuka mata lebar-lebar mencari tahu di mana posisi maut yang mengintainya.

Peluru bisa melihat John Cena

 

The Wall adalah FILM YANG AMAT KECIL. Durasinya singkat. Lokasinya di gurun thok, dan pemainnya hanya tiga orang. Satu di antaranya adalah suara di radio. Dari segi produksi, film ini terlihat relatif sederhana. Apalagi jika dibandingkan dengan karya-karya Doug Liman sebelum ini; aku terutama suka ama The Bourne Identity (2002) yang benar-benar menunjukkan talenta super yang dimiliki oleh sutradara ini. Tapi dari segi emosi, film yang berelemen thriller-pada-satu-lokasi kayak gini bisa menjadi sangat menarik sebab kita akan melihat cerita yang sangat personal. Sejak nonton 12 Angry Men (1957) yang keren banget, aku selalu tertarik sama contained-thriller. Dan The Wall, meskipun miskin aksi dan ledakan, film ini kaya oleh sudut pandang manusia yang berseberangan, namun essentially mereka adalah orang yang sama-sama terikat, katakanlah pada sumpah setia, dan struggling menjaga ‘kesetiaan’ berbangsa dan beragama tersebut dalam keadaan yang buruk.

Si sniper Irak, at one point, bilang bahwa semuanya tergantung dari sudut mana kita melihat. Namun sebenarnya dalam perang semuanya sama aja. Kalah jadi abu, menang jadi arang. The Wall mengambil resiko mengangkat soal ketidakgunaan perang dengan memberikan perspektif ‘duluan-ayam-atau-telur’, membangun tembok tersendiri, figuratively, di dalam struktur cerita.

 

Yang paling efektif yang dilakukan film ini adalah bagaimana dia membuat kita tetap tertarik dan terinvest ke dalam tokoh-tokohnya. Sebagai filmmaker, Liman lumayan underrated, so it’s understandable dia pengen bikin film yang kecil-namun-intim seperti film ini. Dalam menggarap The Wall, Liman memilih untuk tidak membuat presentasi yang terlalu Hollywood. Dia menggunakan teknik pacing yang sama dengan yang dilakukan oleh BW Purba Negara dalam film Ziarah (2017); deliberately slow. Kamera enggak akan dipindah-pindah, dia akan jarang sekali ngecut adegan. Liman tidak ingin mempersingka waktu, dia hanya ingin kita semua lebih terinvest ke dalam hal-hal sesimpel bikin tali laso ataupun turniket untuk membebat pendarahan. Meskipun film ini enggak exactly real time, kadang Isaac kehilangan kesadaran dan kita meloncati dimensi waktu. Namun pada sebagian besar waktu, semua peristiwa diperlihatkan sehingga kita bisa turut ngerasain frustasi yang dialami oleh tokoh utama. Dan semua adegan pengulur waktu itu akan terbayar tunai oleh emosi .

Elemen perang psikologis antara Isaac dengan Sniper misterius Irak (“Elo Juba kan, ngaku!”) mengangkat film ini menjadi semakin menarik. Tidak banyak adegan aksi dalam film ini, yang mana bisa jadi membosankan untuk beberapa penonton, but it was a contained-psychological- thriller, tiga istilah yang kalo digabungkan maka sudah pasti akan ada aku duduk manis di sana menontonnya. Tapi bukan berarti film ini tidak akan mempengaruhi kita secara fisik. I mean, coba deh nonton ini siang-siang pas puasa. Wuihhh. Matahari film ini terasa memanggang kita. Debu dan pasir di mulut mereka membuat kita ingin meludah. Hausnya para tentara beneran kontan terasa. Nonton film ini rasanya getir sekali.

“unless you’re a professional”

 

Tentu saja penampilan akting para aktor menjadi hal yang paling signifikan jika kau punya film yang tidak banyak menjual ledakan. To be honest, aku enggak naruh harapan gede ke John Cena. But oh wow, dia jadi biggest surprise buatku dalam film ini. Karisma Cena membuatnya sangat likeable sebagai sersan Matthews. Dengan gampangnya dia dipercaya sebagai tentara, karena di WWE pun gimmicknya adalah seseorang yang menjunjung tinggi patriotisme. Di sini, Cena punya bermain intens dan kocak bersamaan. Dan karakternya di sini punya ‘weight’ yang tidak kita lihat di dalam ring. Ngeliat Cena merangkak dramatis adalah hal biasa di episode WWE, tetapi di film ini adegan tersebut benar-benar kejual dengan real olehnya. Aaron Taylor-Johnson, pada awalnya aku enggak ngeh, sebab aksen redneck dan literal kamuflase menyamarkannya. He is that good in this movie, melebur sempurna. Adegan-adegan yang harus ia lakukan kebanyakan adalah adegan yang menjurus ke horor, you know, like in body-horror, di mana dia harus mencongkel keluar peluru dari kakiknya. Grueling to watch banget. Dan kita benar-benar merasakan derita dan sakitnya.

Sebagai antagonis, suara di radio yang terus ngajak Isaac ngobrol terdengar sangat licin dan berbahaya. Dia punya agenda untuk mencari sisi lemah dari tentara yang berusaha dia bunuh, dia ingin memancing mereka keluar, dan yang ia lakukan bukan semata talk trash kayak pegulat yang mau bertanding. Sniper Irak ini tahu banyak tentang Amerika, dia belajar banyak dari korban-korbannya, dan mendengar Isaac ngobrol dengan suara itu membuat kita ngeri sendiri perihal siapa yang akan terpengaruh oleh siapa.

Kata-kata bisa dijadikan tembok yang paling efektif dalam rangka menyamarkan diri, baik sadar atau enggak. Bukan sekali-dua kali kita sengaja menggunakan kalimat yang bermakna mendua untuk menyembunyikan maksud ataupun buat cari celah untuk ngelak komit dari sesuatu nantinya. Orang banyak memutarbalikkan kata, putting words onto people’s mouth, menjadikan kata-kata sebagai senjata yang berbahaya. Dan kita bisa alami sendiri gimana orang mengucapkan alasan untuk menjustifikasi perbuatan yang mereka lakukan. Tembok yang paling berbahaya tercipta dari mulut manusia adalah tembok alasan agama. Mata untuk mata, katanya. But really, semua itu sebenarnya adalah kedok yang tidak sadar mereka kenakan dengan bangganya.

 

Bukan helikopter saja yang jatuh di babak akhir film. Keseluruhan ceritanya juga. Sangat pilu dan mengecewakan menyaksikan film ini kebingungan mengakhiri narasinya. Resiko yang diambilnya membuahkan ujung yang enggak enak. Character-arc yang mestinya bisa kokoh dibangun, malah runtuh begitu saja. In fact, malah segala yang usaha yang dilakukan tokoh utama terasa sia-sia. Inner journeynya menjadi hampa, meninggalkan kita kebingungan apakah ini psiko-thriller yang sangat lemah ataukah ini action yang gagal meledak. Semuanya jadi terasa enggak realistis, tidak menyisakan ruang reaching bagi kita. Terkadang, aku mikir film ini sengaja enggak total ngasih perspektif karena kan jarang banget ada film yang mempersembahkan Amerika sebagai underdog tanpa memperlihatkan mereka sebagai pahlawan, dan film ini masih ragu-ragu untuk menampilkan hal tersebut. So film ini kindof terbentur dinding serupa yang ia bangun pada narasinya.

 

 

 

 

Punya performance akting yang sangat kuat, diarahkan dengan fantastis. Terutama; punya kesempatan buat menjadi studi sosial yang sangat intens yang membuat kita duduk di posisi karakter di ujung perang, namun film ini kesulitan untuk melanjutkan langkah yang dipilihnya. Untuk dua babak awal, film akan terus membuat kita tertarik, karena ini adalah perang psikologis. Ini adalah tentang gimana sebuah pemikiran dapat menyingkap tembok yang dibangun seseorang di dalam dirinya. Saat penyelesaiannyalah film terasa seperti kembang api yang masuk angin. Meletup pelan alih-alih meledak. Tidak memberikan penyelesaian ataupun decisive journey sebagai sebuah pesan dan insight yang berharga.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for THE WALL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE BELKO EXPERIMENT Review

“Morals – all correct moral laws – derive from instinct to survive.”

 

 

Jika kalian kerja sebagai pegawai kantoran, maka kemungkinannya adalah kalian lagi baca ulasan ini secara diam-diam di dalam kubikel kecil yang layar komputernya nyaris penuh oleh kertas-kertas kecil berisi catatan kerja dan foto-foto orang tersayang. Aku sendiri belum pernah ngerasain, mainly because I sill live in the edge of rainbow at fantasy world, tapi dari yang kudengar ruang persegi yang not exactly privat itu bisa menjadi penjara tersendiri khususnya bagi karyawan yang kerja pagi pulang nyaris pagi lagi enam hari seminggu. Kubikel adalah sel, dan kantor beserta segala rutinitasnya adalah penjara.

Perasaan terperangkap tersebut diamplify oleh film The Belko Experiment; dijadikan premis yang teramat menarik di mana kedelapan puluh karyawan perusahaan non-profit Belko di Colombia literally dikurung di dalam gedung kantor. Dan mereka semua diperintah untuk membunuh sejumlah orang oleh suara misterius dari intercom. Jika gagal, mereka akan ditumpas satu demi satu secara acak lewat bom yang unknowingly telah terpasang di tracker pada kepala mereka.

Ide ngurung orang dan menyuruh mereka bunuh-bunuhan selalu adalah ide yang hebat. It’s an easy sell. Film ini basically kayak Battle Royale (film Jepang keluaran tahun 2000), dicampur The Hunger Games, dicampur lagi sama The Purge (2013) – yang satu ini juga garapan rumah produksi yang sama, yang numplek plek di komunitas kecil lingkungan kantoran. Konsep yang menarik. Dalam film ini kita akan melihat gimana berbagai macam orang punya respons yang berbeda-beda ketika dihadapkan kepada situasi di bawah tekanan yang sangat ekstrim. Kita diberi kesempatan untuk mengenal sepintas beberapa kepala dari delapan-puluh, sehingga kita tahu siapa yang berada di pijakan moral yang bagaimana. Ada yang berusaha berpikir jernih untuk keluar dengan selamat dari sana, seperti tokoh hero kita, Mike Milch (John Gallagher Jr jadi mr. goody two shoes di sini). Ada yang langsung resort ke nembakin orang-orang; untuk nyelametin dirinya, John C. McGinley yang meranin si boss Wendell Dukes secara ironis menjadi musuh bagi bawahannya yang helpless. Tentu saja, juga ada yang semacam ‘pemikir’ teori konspirasi yang percaya bahwa kejadian tersebut adalah scam dan semuanya disebabkan karena mereka minum air mineral dari perusahaan, so pecahkan saja galonnya sampai tumpah!

oh tidak, jangan minuumm!!!

 

To be honest, kalo aku terjebak di sana, aku akan jadi salah satu orang ikutan si Marty ngumpulin bom dari kepala mayat-mayat. Menariknya film ini memang karena ia mampu membuat kita berandai-andai gimana pabila situasi tersebut datang kepada kita. Elemen KEKERASAN YANG DIJADIKAN SOROTAN UTAMA membuat kita tidak bisa untuk tidak menikmati The Belko Experiment. Film ini nyaris seperti film-film jadul John Carpenter, dari segi gory grindhousenya.

Apa yang akan kita lakukan ketika kita dipaksa untuk melakukan sesuatu yang kita tahu itu salah. Langkah apa yang kita lakukan untuk membela diri. Akankah kita menarik pelatuk itu? Ataukah kita akan mendahulukan moral untuk melakukan yang benar di tengah-tengah situasi yang menekan dan mengerikan.

 

 

Sebetulnya hal tersebut menimbulkan sedikit kontra, The Belko Experiment adalah film yang menjual violence dan situasi serta komentar sosial yang timbul membuat kita memikirkan dengan khidmat at the moment. Namun kita seharusnya melihat film sebagaimana kita melihat dunia; not for what it is, but rather for what it should be, sehingga kita bisa mengubahnya menjadi lebih baik. The Belko Experiment terasa lebih cocok jika diarahkan ke jalur yang lebih ‘ringan’, dengan sudut satir dan dark-comedy yang lebih tajam. Sebab, untuk sesuatu yang mengeksplorasi situasi yang terrifying seperti demikian, film ini terlalu serius, terlalu over-the-top sehingga tidak ada hal-hal kreatif yang muncul dari penggarapan tema tersebut.

James Gunn yang menulis The Guardians of the Galaxy satu dan dua, juga dipercaya untuk menulis screenplay dari film garapan Greg McLean. Dan dalam film ini memang terasa ada sesuatu yang bagus tertulis di dalamnya, hanya saja eksekusinya enggak berhasil menunjukkan itu. Kita mengenal Gunn dari selera humor unik yang ia sematkan dalam karyanya, however, dalam film ini sense humornya enggak benar-benar terasa, kecuali pada satu, dua baris dialog. Social study tentang perilaku manusia yang mestinya bisa lebih menarik diceritakan secara nyindir oleh komedi cerdas, malah terbebani oleh betapa serius semua elemen terasa. Fokusnya terutama kepada memancing drama dengan cara paling biasa yang bisa dipikirkan. Misalnya, ketika para pekerja itu terbagi menjadi kelompok-kelompok, mereka seketika menjadi kelompok baik dan kelompok jahat. Persoalan mengenai mana yang ‘benar’ tidak pernah benar-benar digali, mengakibatkan film jadi kurang menantang. Hanya sekilas ketika film memberikan justifikasi terkait keberadaan keluarga yang menunggu di rumah, tetapi tentu saja susah untuk kita merasakan simpati ke kubu yang berpistol dan berisi orang-orang penguntit dan kasar.

Menunjukkan dengan sadis gimana sebuah perusahaan secara fundamental mampu ‘bermain-main’ dengan hidup karyawannya. Mendorong mereka untuk melakukan sesuatu lebih jauh tanpa perlu terseret secara emosi lewat struktur manajemen yang faceless. Serta menunjukkan secara implisit lewat diversity tokoh dan seting lokasi ceritanya, bahwa dalam bisnis gede, kebangsaan pada akhirnya hanyalah pembatas dan kebaikan moral tidak pernah ada di dalamnya.

 

Bahkan ketika film ini goes full-on blood and gore, korban-korban itu totally mati sia-sia. I mean, adegan bunuh-bunuhannya membosankan. Ada adegan yang literally mereka barisin orang untuk ditembaki. Mengenai efek, beberapa bakal bikin kita kagum juga, efek prostetik kayak tengkorak yang remuk sukses bikin meringis. Namun kecenderungan film ini untuk memilih langkah yang paling enggak kreatif dalam tiap kesempatan, membuat adegan-adegan pembunuhan tidak memiliki dampak yang diinginkan. Tokoh yang mati hanya terasa mereka ada di sana untuk menuh-menuhin kuota manusia. Ada beberapa tokoh yang dibuat seolah-olah punya kans dan punya saga, adegan kerap dipotong menunjukkan usaha dan pilihan mereka, namun ternyata gak berakhir ke mana-mana. Begitu pun ada banyak plot device yang dilempar begitu saja ke kita tanpa diikuti dengan penyelesaian yang kreatif ataupun berbeda.

“he said to not touch his stapler…”

 

Endingnya adalah bagian yang paling “..meh.” Bland dan sangat konvensional. Yang paling mengecewakan adalah film ini diakhiri dengan sekuens yang didedikasikan untuk ngeset up film selanjutnya. I cannot stress this enough; mental film yang sengaja banget ngejual sekuel alihalih bercerita untuk film itu sendiri adalah mental yang harus dimentalin jauh-jauh. Sama seperti dengan The Mummy (2017), kalo kita ngerasa nonton ini hanya karena biar di kemudian hari gak nyesel “aduh, belum nonton yang pertama”, itu berarti kita udah played right into their pocket. Ini kayak kalo kita mau beli rumah, namun bangunannya ala kadar, dan si agen rumah sukses membujuk kita untuk beli dengan alasan nanti di kompleks situ bakal dibangun mall. Begitulah persisnya film ini; enggak ada yang bisa kita ambil di akhir, selain pengetahuan bahwa film ini bakal ada sekuelnya.

 

 

 

Horor bisa menjadi sangat menarik jika diolah dengan benar. Dan film ini punya konsep dan ide yang sangat compelling dan menantang, hanya saja mereka mengambil langkah yang paling biasa dalam mengolahnya. Bahkan ketika menjadi sadis, adegannya juga enggak kreatif dan enggak sepenuhnya memuaskan penggemar genre ini. Cerita tentang eksperimen sosial, tapi sedihnya, enggak punya banyak untuk dikatakan. Argumen yang sempat bangkit dinegasi oleh keputusan untuk menjadikan ini baik melawan jahat. It’s really nothing kecuali adalah eksperimen untuk meihat seberapa besar orang-orang penasaran menunggu filmnya yang kedua.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE BELKO EXPERIMENT

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

RAW Review

“The unexpressed will come forth later in uglier ways.”

 

 

Anjing kesayangan milik keluarga Justine terpaksa disuntik mati lantaran “berbahaya bila binatang sudah nyicipin daging manusia.” Enggak ada yang bisa menjamin anjing tersebut enggak bakal doyan ampe ketagihan sehingga mencoret kata peliharan dari statusnya dan embrace kodratnya sebagai binatang. Namun, kita mestinya tahu lebih baik daripada itu; bahwa manusia adalah –hanyalah- binatang yang punya nurani dan kesadaran. Yang membuat kita, bukan hanya paling cerdas, melainkan juga predator yang paling mengerikan di puncak rantai makanan. Rasa lapar dan nafsu yang tak-kunjung terpuaskan manusia dieksplor dengan sangat mendalam dan buas oleh film ini sewaktu kita melihat tokoh utama yang vegetarian menjadi sangat penasaran dengan yang namanya ‘daging’.

Raw bukanlah film yang bisa enjoy untuk ditonton sambil ngemil, apalagi buat penonton yang perutnya gampang jungkir balik kayak Rey Mysterio di dalam mesin cuci. Definitely sebaiknya film ini jangan ditonton siang-siang pas puasa, untuk banyak alasan. Ini adalah body horror yang dibuat dengan begitu menarik sehingga kita ngerasa pengen muntah namun di saat bersamaan enggak ingin melepaskan perhatian darinya. Film ini akan menyiksa kita secara fisik, baru kemudian menghidangkan nutrisi pikiran, di mana kita akan mulai tertegun dan mikirin maksud di balik ceritanya.

Sukar untuk taat kepada your own code jika berada di tengah-tengah komunitas yang menuntut. Terlahir di keluarga dengan diet vegetarian yang ketat, Justine (dalam debut layar lebarnya, Garance Marillier berikan penampilan yang menggemparkan) menolak mentah-mentah ketika dia diwajibkan untuk memakan potongan kecil ginjal kelinci sebagai bagian dari ospeknya di kampus Peternakan. But to her surprise, kakaknya yang jadi senior di sana, juga turut memaksa menelan jeroan tersebut. Awalnya, reaksi Justine adalah muntah-muntah. Kemudian seluruh badannya gatal-gatal. Tapi bukan kelinci yang ia santap, the problem comes from herself. Justine ngedevelop sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Suatu malam, dia kepergok oleh teman sekamarnya sedang ngacak-ngacak isi kulkas. Justine ngemil daging ayam mentah sebagai snack tengah malam, dan dari pancaran matanya kita paham; dia belum puas.

Aku bukan sepenuhnya vegetarian, namun semenjak tiga tahun lalu – the times when I’m struggling ngurangin berat badan yang udah nyampe 72 kilo – aku jadi sedapat mungkin menjauhi daging. Kecuali ikan. Aku hanya makan ayam kalo kepepet alias gak nemu sayur dan lai-lain. Hal demikian aku lakukan karena aku tau daging itu enak, dan aku gak mau Arya yang kerjaannya makan melulu kembali mengambil alih hari-hariku. Jadi kurang lebih, aku bisa relate kepada apa yang terjadi kepada Justine yang selama ini makan non-protein, mulai mengecap daging untuk pertama kalinya.

Film ini juga bukan semata bicara soal nafsu, ini adalah tentang menemukan diri sendiri, mendapatkan apa yang sebenarnya kita mau, dan sejauh mana kita bertindak untuk mendapatkan itu.

 

Horor dari Perancis ini adalah PERAYAAN DARI KEKUATAN WANITA. Kita melihat Justine bertransformasi dari gadis innocent, yang fokus kepada nilai dan prestasi kuliah menjadi cewek yang liar dan tampaknya dikendalikan oleh nafsu – digambarkan dengan visual yang berdarah-darah. Dan perubahan tersebut dipicu oleh penemuannya terhadap apa yang sebenarnya dia mau. Justine berani mengejar apa yang dia inginkan, enggak peduli jalan yang ditapakinya bukanlah yellow brick road. It was a bloody red path. Walaupun, kita bisa melihat jelas, Justine enggak tahu pasti apa yang ia lakukan. Karakter tokoh ini justru kuat oleh hal tersebut. Raw akan senang hati membaurkan kebangkitan seksual ke dalam ceritanya, only to make it more disturbing. Daging yang diinginkan Justine adalah daging apapun utuh seutuh-utuhnya, dan film ini akan memproyeksikan tersebut tanpa judgment dan tanpa malu-malu.

biar kayak iklan jaman dulu: “ku tau yang ku mau!”

 

Kamera arahan Julia Ducournau, sutradara cewek yang juga baru memulai debut film panjang ini, akan menangkap visual yang striking dan pemandangan yang bakal bikin ngamuk orang-orang yang OCD. Eits, bukan OCD yang diet itu, tapi OCD yang control disorder. Semua yang di layar enggak pernah tampak simetris. Dari opening aja, kita akan menatap environment yang dengan sengaja dibikin disturbingly timpang, mengisyaratkan keabnormalan yang akan datang di menit-menit selanjutnya. Ducournau memanfaatkan momen-momen ini untuk dengan perlahan ngereveal setiap tangga evolusi karakter Justine sehingga kita terpana oleh kecantikan sekaligus ‘kebrutalan’ imajeri yang teraasa nyata. Dan, ngerinya, juga somehow relatable.

Ada banyak adegan yang belum pernah kita lihat dieksplorasi dengan berani dan sementah ini sebelumnya. Aku bukan bicara semata mewakili sekuen-sekuen ketika Justine ngemil jari, ataupun semacam itu, while they are also hypnoticly beautiful. Momen-momen kecil seperti Justine menangis di tempat tidur dan kita mengawasinya dari lipatan selimut, atau Justine menari to a slutty song di depan cermin, atau ketika Ducournou menge-mute audio ketika para freshmen merangkak, benar-benar menguatkan sense of discovery dari point of view kita, juga sekaligus membuat nuansa disturbing dan creepy itu merasuk ke dalam diri kita yang siap sedia kantong plastik menontonnya.

Ketika orang memilih untuk melakukan hal-hal yang membutuhkan pembenaran, terutama ketika hal tersebut sangat sulit untuk dibenarkan, maka mereka akan mulai melakukan penyangkalan. Bahkan enggak-jujur terhadap diri sendiri. Raw mengexamine dinamika antara keputusan seorang memilih menjadi vegetarian dengan kesadaran untuk memenuhi panggilan siapa diri kita sebenarnya. You can’t repressed who you truly are. Lingkungan Justine selalu telling her what to do, makanya melihat perjalanan tokoh ini mengejar apa yang dia mau terasa melegakan, tidak peduli seberapa brutalnya. Horor datang dari ketika kita sadar apa yang harus dilakukan untuk menjadi diri sendiri.

 

Saat pemutaran di Gothenburg Film Festival, banyak penonton yang walk out, dan lebih banyak lagi yang muntah-muntah, bahkan pingsan. Jangan biarkan gaung reputasi tersebut menahanmu dari mencicipi seperti apa rasanya film ini. Ya, film ini banyak adegan gory dan disturbing. Tapi ada seni di balik betapa grossnya perilaku manusia-manusia. Adegan kulit yang mengelupas saja sebenarnya adalah sebuah simbol bahwa Justine mulai berubah, dia harus mencabik kulitnya untuk menemukan siapa dirinya yang sebenarnya. Untuk wanita, menjadi dewasa adalah perubahan yang menyakitkan, fisik dan mental, dan film ini menceritakan hal tersebut dengan brutally honest. But again, film ini enggak seseram penjelasan yang kalian baca di ulasan-ulasan tentangnya. In fact, ada banyak elemen cerita yang dibalut dengan tone-tone yang enggak selamanya bikin kita bergidik. Film juga adalah drama keluarga, as much as it is a hauntingly self-discovery journey towards maturity. Dialog dan interaksi tokoh-tokohnya kerap ‘memaksa’ kita tertawa oleh betapa benarnya semua kejadian awkward yang kita temukan ketika kita mulai mengurusi diri sendiri.

Bukan, ini bukan Raw yang ada Roman Reigns dan John Cena nya.

 

Aku suka sekali gimana film ini ngehandle hubungan antara Justine dengan kakaknya. It was played as kakaknya berusaha membantu Justine melewati masa-masa sulit sebagai maba, memastikan Justine melakukan semua tugas ospek supaya adeknya itu enggak dikucilkan oleh Himpunan (yang pernah kuliah dan ngerti diospek pasti ngerti ‘beban’ maba yang satu ini) dan she was rather annoyed sama sikap adiknya. Interaksi mereka menghantarkan kita ke banyak momen-momen lucu. Kemudian some revealing yang subtil terjadi, dan mereka sort of jadi rival. Namun menariknya, kita tahu ada banyak kesamaan di antara mereka, dinamika hubungan sisterhood dua orang ini terus digeber sebagai emosional core yang actually menambah banyak kepada cerita.

 

 

Wajar jika setelah merasakan sesuatu yang baru, kita ketagihan dan ingin lagi, lagi, dan lagi. Nonton film pun begitu. Setelah menyaksikan cerita yang original, begitu berani, haunting, dan membuat kita berpikir, seperti film ini, enggak salah dong kalo kita minta film-film yang lain dibuat dengan semenantang dan semenarik horor Perancis-Belgia yang judul aslinya Grave ini. Bukan sekedar coming-of-age story, film ini tampil dengan brutal, filled with layers dan metafora sehingga walaupun shocking dan disturbing, kita enggak bisa untuk enggak terus menatap. Performance dan arahannya juga sangat luar biasa. Kita akan ngeri sendiri akan betapa grounded dan real dan relatablenya film ini terasa.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for RAW.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners .
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE MUMMY Review

“The hardest thing in the world is to accept that something is wrong with you, face the uphill road to recovery ahead, and realize that none of it makes you less than human”

 

 

Dalam The Mummy, kita akan diingatkan bahwa masa lalu enggak bisa dikubur selamanya. Yes, selamat deh buat yang berusaha move on, hidup pasukan “Always” Snape. Past will always find a way to bite us in the butt, dalam film ini masa lalu, ya, harafiah datang dalam sesosok mayat (or not, jeng jeng!!) kuno yang terkubur di dalam bumi, berbalut perban, dan beretina dua, per bola mata.

I love The Mummy (1999) with Brendan Fraser. Walaupun saat menontonnya aku belum tau mana film yang bagus, mana film yang jelek, namun paling enggak film itu menghibur. Ia seru, lucu, dan ketika beranjak ke elemen seram, whenever Imhotep berteriak menggelegar, aku sukses ngumpet di belakang sofa. Karena lagi puasa, aku gak boleh su’udzon bahwa franchise ini direboot demi lembaran tunai belaka. Faktanya, memang, The Mummy adalah bagian dari Dark Universe, dunia cinematic penuh oleh Gods and Monsters yang lagi digiatkan oleh Universal. Kalian tahu monster-monster klasik kayak Frankenstein atau Drakula? Nah, mereka semua dibuat ulang untuk kita pelototin sama-sama di bioskop.

Kali ini, tokoh utama kita adalah sejenis tentara yang suka ‘mengutil’ emas dan benda-benda berharga yang bisa ia temukan (dan cari) di medan perang, yang diperankan oleh Tom Cruise. Karena perangainya itu, Tom Cruise dan temennya yang berpangkat Kopral dikejar-kejar oleh pemberontak Irak, hingga mereka memanggil bantuan udara. Namun bukan hanya tentara ISIS saja yang kocar-kacir ditembak oleh helikopter, sejumlah besar massa tanah kota tempat mereka berada pun turut sirna. Menampakkan makam rahasia di baliknya. Seperti pada film pertama, mereka membuka makam tersebut, sehingga terlepaslah raga busuk jahat yang bersemayam di dalamnya. Tom Cruise dan teman-temannya, including cewek arkeolog yang kerjaannya diselametin melulu, musti berburu relik kuno. Sembari diuber-uber oleh badai pasir berwajah si mumi cewek.

“gue cium, kering lo!”

 

Meski memang ini bukan kali pertama ada mumi cewek, still Ahmanet sebagai main villain adalah sebuah tiupan angin segar. Sofia Boutella ngejual peran ini dengan amat baik. Dia adalah salah satu spot cerah dalam film ini. Dia nyeremin, dia sadis, pada satu titik dia berusaha terlihat baik menipu daya dalam menjustifikasi aksinya – tapi tetep aja I was like, “go away spider-mummy-woman!!”, dan dia kadang mirip Jupe. Film ini memainkan sudut baru dalam hubungan antara protagonis dengan antagonisnya, di mana ‘Sang Terpilih’ dalam cerita ini justru adalah cowok yang diuber untuk dikorbankan oleh wanita.

Film baru ini punya banyak sekuen aksi yang exciting dan menawarkan hal-hal fun. Desain produksinya juga kelas atas, filmnya terlihat keren. Spesial efek sekuen-sekuen tersebut are so good. Menurutku akan ada banyak penonton yang terhibur oleh aksi-aksi seru yang melibatkan tokoh-tokoh horor. Adegan pesawat jatuh adalah highlight terkeren sepanjang presentasi dan Tom Cruise sekali lagi membuat rekan-rekannya menderita lantaran dia enggak tanggung-tanggung dalam menjalankan adegan, terutama bagian action. Tom Cruise sekali lagi menunjukkan dedikasinya. Dia melakukan berbagai adegan dengan maksimal like no one else. Di sini, dia bukan hanya karismatis, tapi juga kocak. Tokohnya diberikan banyak dialog lucu, yang sebagian besar bergantung kepada waktu penyampaiannya. Dan his comedic timing is actually really excellent. Nick ia perankan sehingga menjadi gampang untuk disukai sebab tokoh ini juga bukan seperti peran-peran hero yang Tom Cruise biasa mainkan. Nick is a kind of dick. Dia lebih seperti penjarah daripada tentara yang mengayomi, serius deh, pada dasarnya dia bukan hero. Dia lebih kayak terjebak situasi, dia ada di sana, jadi sekarang dia harus deal with it. Tapi justru di situlah letak daya tariknya. Aku ngakak ngeliat Nick kabur gitu aja naik mobil, ninggalin ceweknya di tengah hutan, dia benar-benar gak berhenti, si cewek yang musti ngejar. Dan ketika dia bilang “kupikir parasutnya ada dua..” kita tahu itu jujur dari hatinya – ngorbanin diri enggak terlintas dalam pikirannya saat itu.

Kejahatan diibaratkan sebagai penyakit yang diam-diam bersarang di dalam diri manusia. Makanya, kejahatan juga bisa disembuhkan. Hal paling sukar di dunia adalah mengakui ada yang salah pada diri kita. Dan tentu saja, dibutuhkan keberanian yang luar biasa gede untuk mencari pertolongan saat kita menyadari kita punya ‘penyakit’ di dalam diri. Dan menerima kenyataan akan dua hal tersebut tidak mengurangi nilai kita sebagai manusia.

 

 

“Kita harus segera keluar dari sini, Nick!”
“Nick, gue digigit laba-laba!”
“Nick, let’s go, Nick!”
“Niii~~~iiickkk!!”

Sebagai sidekick, ada Jake Johnson. Di sini perannya sebagai sobat yang terus ngikutin ke mana tokoh utama kita pergi dengan komentar-komentar komikal. Pada awalnya, aku juga terbahak. You know, aku ngikutin serial New Girl, dan di sana Jake berperan sebagai tokoh yang bernama Nick. So begitu di film ini, dia kayak sengaja nyebut nama tokoh Tom Cruise setiap kali merengek, and it’s really funny hearing how he says it. Tapi tentu saja, karakter sidekick yang terlalu komikal seperti ini dengan cepat menjadi annoying. Kemunculan si Chris Vial actually dikurangi setelah babak satu, dan tetap saja setiap kali kesempatan langka di mana ia menampakkan diri, adegan dan komedinya enggak benar-benar bekerja dengan baik.

Ada dinamika yang dimainkan terkait dua tokoh wanita satu-satunya dalam film ini. Si mumi digambarkan sangat ‘aktif’, dia langsung mengincar cowok-cowok di titik terlemah kodrat mereka, sedangkan Jenny, si cewek arkeolog yang diperankan oleh Annabelle Wallis, diportray sebagai cewek baik-baik yang lebih kalem, yang jadi love interest tokoh utama. Ketika aku nulis tokoh ini ‘kalem’, ketahuilah itu sebenarnya aku berusaha ngebaik-baikin, karena tokoh Jenny ini, faktanya, adalah salah satu tokoh paling annoying dan paling enggak berguna dalam sejarah perfilman dalam kurun waktu dekat ini. Beneran, setelah kita melihat Wonder Woman (2017) yang tentang cewek luar biasa mandiri dan kuat yang diarahkan oleh sutradara yang juga cewek, The Mummy punya nyali untuk membawa kita mundur ke jaman jahiliyah di mana tokoh cewek yang dimilikinya completely totally useless. Jenny enggak nambah banyak buat cerita. Dia butuh untuk diselamatkan pada setiap kesempatan. Dia jarang sekali ngelakuin sesuatu yang berguna, dia enggak mecahin teka-teki, dia cuma ‘pesawat-sederhana’ yang membantu tokoh utama bepergian ke tempat yang dibutuhkan, dan kalo lagi enggak pingsan, kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya eksposisi belaka. JENNY ADALAH CONTON MODEREN DAMSEL IN DISTRESS PALING PAYAH.

“dunia belum berakhir, bila kau mumikan aku”

 

 

Secara garis beras, eh sori efek puasa hemm,… secara garis besar, narasi film ini tersusun oleh formula EKSPOSISI, AKSI, EKSPOSISI, AKSI, SETUP FOR DARK UNIVERSE, AKSI, EKSPOSISI, SETUP, DAN GITU SETERUSNYA. Sepuluh menit pertama actually adalah menit-menit panjang paparan melelahkan yang diceritakan langsung kepada kita oleh tokoh yang bukan tokoh utama. It just doesn’t make sense dalam hal gimana storytelling yang baik dan benar. Film ini memang terlihat sebagai usaha untuk memperkenalkan Universe yang sedang dibangun oleh Universal, sehingga mereka lupa untuk bercerita dengan asyik, seperti layaknya film yang berdiri sendiri. Tokoh di awal film, akan muncul lagi di pertengahan, dan meski sebenarnya aku gak ada masalah sama Russel Crowe – he’s really good seperti biasa dan tokoh yang ia perankan benar-benar menarik – namun tetap saja kehadirannya menambah sesak suasana. Malahan, melihat Russle Crowe dan Tom Cruise ngobrol berdua di film ini, rasanya amazing banget, kayak ngeliat dua main eventer WWE just kill it on the mic.

The Mummy tidak punya arahan emosional yang lurus. NARASINYA SUMPEK. Fokusnya pada set up untuk film berikutnya, juga tentu saja ada homage untuk seri terdahulu. Adegan-adegan aksi yang exciting diselingi oleh eksposisi yang memberatkan – mereka bahkan ngerasa perlu untuk benar-benar mengungkapkan seberapa jauh jarak dari Mesir ke Persia. Dan semua itu adalah karena film ini ditulis dengan keroyokan. Cek deh ke imdb, writernya ada enam kepala. Ceritanya dikembangkan oleh banyak pendapat dan memang kelihatan; jadi gak heran kenapa screenplay film ini jadi terasa tidak teroganisir dengan baik. Film ini lebih ke action, despite naturally punya elemen horor, dan malah resort ke jumpscare-jumpscare.

Kalo ada yang bisa dipelajari oleh orang Mesir, maka itu adalah gimana mereka memperlakukan si Jahat dengan respek. Mereka membuatkan makam yang indah dengan arsitektur yang sangat cermat. Walaupun segala sistem dari makam tersebut ditujukan supaya yang di dalam enggak keluar lagi, tapi itu menunjukkan bahwa yang terburuk dari kita pun tidak bisa dipandang sebelah mata.

 

 

 

Dimulai dengan cukup enggak-enak, dan berakhir dengan bikin hati makin masygul. I mean, kalo mau ditutup dengan ‘iklan buat the next installment’ seperti itu, at least lakukan setelah closing credit bergulir. Film ini hanya berupa paparan-aksi-setup. Namun, desain produksinya membuat kita enggak bisa semena-mena mengutuk film ini jelek. Beberapa adegan aksinya genuinely menarik dan seru. Penampilan Tom Cruise berada di atas yang lain, di mana jadinya kita enggak mendapatkan chemistry yang asik dari hubungan para karakter. Film ini padat tanpa ada arahan emosi yang jelas. It’s loud, berantakan, sampe-sampe saat menonton kita akan kepikiran “kayaknya mejamin mata enak, nih!” Tapi film ini masih bisa ditonton dengan ‘okelah’ kok, terutama kalo kalian sebodo amat sama storytelling, lagi gak punya tontonan lain, atau lagi nyari kesibukan dalam rangka nungguin bedug maghrib.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THE MUMMY.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.