POWER RANGERS Review

“Don’t expect to see a change if you don’t make one.”

 

 

Ayayayay, Zordon! Mereka sekali lagi membuat reboot dari acara tv anak-anak jadul dengan nuansa yang cukup kelam dan karena mereka ingin membangun franchise yang baru jadi kita harus duduk dulu mantengin cerita asal muasal sebelum kita dapat bagian aksi penuh nostalgia yang notabene hanya porsi itulah yang mendorong kita buat datang ke bioskop. Jadi, gimana nih Zordon? Kita pasti nonton dong ya?! Yayayaya!!

Buat anak-anak yang gede di tahun 90an, Power Rangers bisa jadi adalah bagian yang tak-terpisahkan dari kenangan masa kecil. I mean, setiap anak cowok pasti pengen jadi kayak Tommy si Ranger Hijau. And their first crush pastilah Kimberly. I know I did haha.. Dulu aku dan temen-temenku setiap sore keluar pake kaos warna-warni dan kami main Power Rangers, berantem-berantem di rumput. Ada juga yang kebagian jadi monster. Ceritanya kami karang bareng, bahkan karena yang main terlalu banyak, kami sampai nyiptain Ranger sendiri, kayak Ranger Orange atau Ungu. Yang cewek-cewek pun akhirnya ikutan main, dan karena kehabisan warna, kami bikin cerita tentang Power Rangers yang ketemu sama geng Sailor Moon.

It was so fun back then, jungkir-jungkir balik, mengangguk-angguk, meng’wush-wush’ setiap pukulan karena memang begitulah film Power Rangers. Over-the-top, seratuspersen hiburan, dan filmnya sendiri benar-benar nikmatin memposisikan diri sebagai personifikasi dua kata tersebut: Fun dan Lebay. Film pertamanya yang keluar tahun 1993 was so bad it’s good. Jadi aku masuk ke bioskop nonton versi reboot ini dengan girang, expecting hal cheesy yang sama, dan turns out aku mendapat lebih. Dan sayangnya aku enggak bisa bener-bener bersuara bulat bilang aku suka sama film ini.

Sincerely yours, The Power Rangers Club

 

Adegan pembuka film ini terlihat menjanjikan. Tim Power Rangers yang dipimpin oleh Ranger Merah Zordon kalah telak. Salah satu teman mereka, Ranger Hijau Rita Repulsa, turn on against them dan pada detik-detik krusial, meteor menghantam medan pertempuran – memisahkan Zordon dan Rita, dan kita dibawa ke masa kini. Mengetahui Rita akan bangkit dan kembali menghancurkan dunia dengan kekuatan emasnya, Zordon berusaha mencari pasukan Power Rangers yang baru. Unfortunately for Zordon, lima orang yang berhasil menemukan koin morphingnya, lima manusia yang pantas menyandang kekuatan sebagai Rangers, ternyata adalah remaja. Masih anak kemaren sore yang labil, dengan segala masalah dunia darah muda mereka. Jadi mereka perlu digembleng terlebih dahulu. Kita akan melihat kelima tokoh kita berusaha untuk saling mengenal dan menumbuhkan rasa persahabatan. Karena bukan saja mereka tidak mengenal satu sama lain, masing-masing mereka actually adalah anak-anak bermasalah dengan mental either pemberontak ataupun terlalu indiviualistis.

Ini seperti film The Breakfast Club (1985) mendapat kekuataan berubah wujud dan menjadi Chronicles (2012), dan kemudian bertarung dengan robot-robot seperti di Pacific Rim (2013).

 

Power Rangers garapan Dean Israelite bukan hanya berjuang pada konsistensi naskah, namun juga kesulitan buat nentuin pijakan ke mana film ini akan dijual. Babak pertama dan kedua Power Rangers terasa LEBIH COCOK BUAT DITONTON OLEH REMAJA yang udah lumayan dewasa, karena there’s no way anak kecil bisa betah dicekokin cerita pengembangan karakter dengan pacing seperti ini. Sedangkan babak terakhir adalah big-action total yang enggak peduli lagi sama kedaleman tokoh dan lain-lain. But actually, dua babak pertama itulah yang jadi bagian favoritku. Iya, film ini niru The Breakfast Club dengan tokoh-tokoh kita kena detensi segala macem, namun selama itu jadi alasan supaya para tokoh ini jadi punya karakter dan backstory, aku toh seneng-seneng aja. Paling enggak, filmnya sendiri jadi jauh lebih berbobot ketimbang Kong Skull Island (2017). Kalo ada orangtua yang ngajak anak-anak kecil nonton film ini, maka mereka pastilah canggung ketika film ngebahas siapa para tokoh. Mereka bukan the perfect hero, mereka remaja bermasalah, like in, masalah yang lebih dewasa. And in the end, orangtua dan anak kecil pada sepakat mereka ingin film ini cepet-cepet beralih ke adegan robot berantem melawan monster.

Jason adalah atlet sekolah yang udah ngecewain ayahnya lantaran ketangkep tangan dalam sebuah tindak prank, dan sekarang kelangsungan prestasinya dipertaruhkan. Kimberly dijauhin oleh temen-temen setelah insiden penyebaran foto tak-senonoh. Zack adalah penyendiri yang salah-dimengerti oleh orang lain, dia actually taking care ibunya yang sedang sakit. Triny adalah anak baru yang rebelling against semua stereotipe, dan film ini berani banget mengangkat Triny sebagai pahlawan anak-anak yang openly admit that she’s gay. Dan sebagai heart of the group, ada Billy; autis, korban bully, kena detensi lantaran kotak makan siangnya meledak. Film benar-benar menyempatkan waktu supaya karakter kelima anak ini terbangun dengan baik, sehingga pada akhirnya kita memang menjadi peduli kepada mereka. Menjadi Ranger enggak sekonyong-konyong bisa berubah dan bertarung, kita akan melihat mereka kesusahan untuk berubah. Mereka gagal bekerja sebagai sebuah tim, di sinilah letak hook cerita; tentang gimana remaja ini berusaha saling mengenal satu sama lain, despite of their angst and their problems. Kita terinvest kepada mereka, momen saat mereka beneran bisa berubah (and that’s not until 90 minute into this movie) terasa sangat menghentak.

Adegan api unggun semestinya adalah salah satu adegan terpenting di film ini, namun sayangnya adegan tersebut tidak terasa lebih dari sekedar tiruan The Breakfast Club. Alasan kenapa dalam Power Rangers development karakter seperti begini tidak maksimal adalah karena ada perbedaan kebutuhan tokoh dari kedua film ini. Pada The Breakfast Club, remaja-remaja tersebut kudu bisa melihat bahwa di balik label mereka adalah pribadi yang sama, so in the end they wear the labels proudly together karena mereka tahu label-label tersebut tidak berarti apa-apa. Pada Power Rangers, label ini coba diaddress but it doesn’t do anything karena pada akhirnya para tokoh menggunakan topeng untuk menutupinya. Mereka berubah, literally, mereka mencari sisi baik dari sifat mereka. Mereka enggak bisa berubah, sebelum mengubah ‘diri’ mereka masing-masing. They hide their labels instead.

 

Sebagaimana terdapat shot-shot yang diambil dengan keren – aku suka kerja kamera yang acapkali bikin kita ngerasa so-in-the-moment – penampilan akting para pemain yang kece pun cukup mumpuni. Enggak ada yang keliatan kayak akting level FTV. Mereka semua capable menyampaikan emosi meskipun memang penulisan ceritanya tidak pernah berhasil menjadi sesuatu yang punya dampak yang kuat. Ada begitu BANYAK PERGANTIAN TONE yang membuat cerita ini menjadi labil; ini mau serius apa gimana sih? Kayak di pembuka tadi, image api ledakan meteor terdissolve menjadi lambang tim sekolah dan menit berikutnya kita dapet adegan konyol soal Jason yang ‘memerah’ sapi jantan. Duh! Atau ketika setelah magnificent momen kita ngeliat Zord dan para Ranger bersiap, kita lantas disuguhi adegan Zack yang diem-diem nyobain zordnya, menghancurkan pegunungan for no reason. Di satu saat kita coba dibuat terenyuh oleh pengakuan dan rasa bersalah Kimberly, dan di saat lainnya kita diliatin Rita Repulsa sedang mengunyah donat. Film ini berpindah dari serius ke sepele tanpa tedeng aling-aling, dan itu bukanlah gimana film yang bagus dibuat.

Bicara soal Rita Repulsa, Elizabeth Banks bermain cukup total sebagai penjahat utama. Penampakannya nyeremin. Tapi ada yang kurang pada tokohnya ini. Dengan pahlawan kita yang enggak lurus-lurus amat, Rita juga enggak terasa terlalu jahat. Motifnya standar, dia enggak benar-benar ngelakuin hal yang membuatnya menjadi sosok penjahat yang berbeda. Sukur waktu Rita kalah dan ditampar ke luar angkasa, film ini enggak ngebikinnya kayak adegan kekalahan Team Rocket di kartun Pokemon hhihi

Goldar “Crush” is about to visit the Suplex City

 

Action yang kita tunggu-tunggu dateng barengan sama perasaan nostalgia. Ada sensasi di hati begitu lagu tema Power Rangers terdengar. Aku ngikik ngeliat mereka berantem sambil nyeletuk-nyeletuk lucu. Aku terlonjak ngeliat ‘the real’ Tommy dan Kimberly muncul sebagai cameo di menjelang akhir. Koreografi berantemnya terlihat menyenangkan dan power ranger banget. Aku pada akhirnya bisa memaklumi perihal penampakan kostum baru mereka yang tampak terlalu ngerobot, karena ternyata film berhasil ngejual aspek kostum ini sebagai sesuatu yang benar-benar dibutuhkan oleh Rangers. Efeknya juga keren. Terlihat berat beneran. Saat mereka lari dari markas ke mulut goa, aku kepikiran kayaknya berat banget memakai kostum tersebut.

Dan memang hanya nostalgialah yang jadi andelan babak ketiga. Segala build up tuntas remeh begitu saja. Adegannya memang seru namun tidak ada apa-apa lagi di sana. Standar huge-explosive-big-fight-scene. Penampakan Zordnya aneh, aku heran kenapa zord Ranger Hitam bukan Mastodon kayak di original. Megazordnya terlihat rapuh dan enggak gagah. Begitu juga dengan Goldar. Karakter-karakternya juga mundur jadi cheesy. Bagian inilah yang paling mudah dinikmati oleh anak kecil, karena yang kayak beginilah the real Power Rangers. But at this point, kita sudah nunggu terlalu lama, capek oleh pergantian warna cerita, sehingga kita enggak bisa lebih peduli.

 

 
Ini adalah action superhero movie yang cukup seru. Berusaha menjadi dewasa, meski tidak menyumbangkan hal yang baru dalam elemen berceritanya. Dari semua remaja berattitude tersebut, Ranger favoritku adalah Triny, si basketcase of the group. CGI bekerja lumayan baik, tampilan Zordon, Alpha, dan kostum Rangernya keren dan terlihat kekinian. Zord, robot, dan monster, sebaliknya, terlihat parah dan generic. Jika saja film ini ‘tahu diri’, jika saja film ini tidak terlalu banyak berganti-ganti tone, jika saja film ini enggak labil dan masukin banyak elemen film lain yang lebih sukses, kita akan bisa lebih mengapresiasinya. But no, jurus Megazord melawan Goldar adalah German Suplex, kayak di film Dangal (2016), aku enggak ngerti kenapa jurusnya mesti itu; tokohnya enggak ada yang pegulat padahal. Film ini kesulitan bahkan untuk mastiin buat siapa dirinya dibuat. Mestinya Jason dan teman-teman belajar berubah dari film ini, karena ada begitu banyak perubahan tone di sepanjang narasi. Alih-alih menjadi fun dan cheesy seperti biasa, film ini berubah menjadi dua hal lagi; aneh dan sedikit tidak-nyaman untuk ditonton.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for POWER RANGERS.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

ULAR TANGGA Review

“Virtue always pays and vice always punished”

 

 

Dunia permainan ular tangga sejatinya adalah dunia peradilan yang teramat adil.

Pada puncaknya kita akan mendapat hadiah, kita naik tangga buat meraihnya. Hukuman permainan ini adalah apabia kita menyentuh ekor ular, dan meluncur turun, menjauh dari puncak. Ini adalah permainan anak-anak yang enggak sekadar permainan keberuntungan. Pada papan permainannya sendiri, tangga biasanya diikuti ilustrasi tokoh kartun yang melambangkan kebaikan, sedangkan ular diikuti oleh tindak tokoh yang berkonotasi degradasi, keserimpet kulit pisang yang dibuangnya sendiri, misalnya. Ada pesan moral dalam ular tangga. Berakar dari kebudayaan India, ular tangga mempunyai metafora yang lebih luas lagi. Di sana, permainan ini diasosiasikan dengan karma. Pembebasan dan emansipasi. Setiap kolom tangga melambangkan sifat kebajikan dan kolom ular represents sifat terburuk manusia. Naik tangga berarti melakukan kebaikan dan kita akan mendapat reward. Do bad things, kita bisa saja berakhir dengan mengulang langkah dari awal. Seluruh perjalanan dalam ular tangga, aslinya, adalah perjalanan mencapai nirwana.

Dude, that’s deep.

 

Sayangnya, tidak ada satupun mitologi ataupun simbolisme permainan ular tangga yang disangkutpautkan ama film Ular Tangga garapan Arie Azis. Ini adalah film tentang board game yang nyaris nothing to do with the actual game. Maksudku, kita bahkan enggak nemu ular tangga hingga menit ke tiga puluh. Sedari menit awal film malah dengan gencarnya memaparkan soal mimpi dan mekanisme dunia dalam cerita, yang enggak pernah benar-benar make sense. Usaha make believe film ini gagal total karena ceritanya tidak punya lapisan apapun. Film horor ini MELEWATKAN KESEMPATAN YANG LUAR BIASA BESAR dengan tema yang mestinya bisa diolah menjadi cerita psikologikal dan spiritual. But walaupun horor, film ini enggak ada seram-seramnya sama sekali. Dan karakter-karakternya, hehehe.. karakter apaaan? There is no single soul in the movie yang bisa bikin kita peduli.

Aku suka banget permainan ular tangga. Aku sering bikin sendiri pake kertas buku kotak-kotak buat dimainin sama keluarga kalo lagi pulang libur lebaran. Ular tangga yang aku bikin biasanya pake tema mash up dari video game ataupun film kartun, misalnya Pokemon. Makanya aku jadi ngebet nonton film ini. Meski begitu aku juga sadar reputasi film horor Indonesia yang masih muter-muter di tempat. Jadi, aku masuk ke bioskop dengan keadaan jantung yang sudah siap banget buat dikaget-kagetin. Mungkin karena udah berprasangka buruk duluan itulah, alih-alih berasa happy kayak abis naik tangga, aku malah merasa merosot di punggung ular turun jauuuuhh banget setelah beberapa menit duduk menonton film ini.

my favorite landing spot: balik ke start!

 

Ular Tangga menceritakan tentang sekelompok anak muda pecinta alam yang pergi naik gunung buat ngeliat sun rise. Kisahnya sendiri kata posternya diangkat dari kejadian nyata di Curug Barong, tapi kita enggak ngeliat curugnya, jadi aku enggak tahu seberapa besar porsi cerita-beneran film ini. Premis yang mendasari cerita sangat sederhana; pengen naik gunung, hambatannya adalah mereka nyasar dan kemudian menemukan permainan ular tangga dari kayu yang membawa petaka meminta jiwa. Cara ringkas jelasin film ini adalah banyangkan film The Forest (2016) dengan elemen Insidious. Tokoh utama kita, Fina (so boring sehingga Vicky Monica tidak bisa sekalipun kelihatan meyakinkan), adalah orang yang punya bakat indigo. Dia mendapat penglihatan tentang keselamatan teman-temannya. Dia juga berkomunikasi dengan dua hantu anak kecil. Dengan belajar menggunakan kemampuannya tersebutlah, Fina memecahkan misteri di balik semua kejadian gak make sense yang menimpanya.

-Naik gunung.
-Ular tangga ada NAIK tangganya.
-Ular melambangkan setan.
Semua koneksi sederhana terhampar di sana, tinggal nyambungin. Dan film ini entah bagaimana bisa gagal melihatnya! Hasilnya kita mendapat cerita luar biasa poornya sehingga memanggil dirinya film adalah pujian yang terlalu manis.

 

Film ini begitu enggak kompeten dan sangat males sehingga penulisannya terasa kayak dikerjakan oleh anak kecil. I dunno, mungkin dua hantu cilik di film ini bosen main ular tangga dan memutuskan untuk ngetik naskah, dan tidak ada yang beranjak untuk melarang mereka. Dialog seadanya, tidak berbobot, dan cenderung bikin kita ngikik. At one time si tokoh cowok jagoan bilang gini “Kotak ini pasti penting” dan dia melanjutkan kalimatnya dengan “Kita buka besok” tanpa rasa bersalah whatsoever hhihi. I mean, kalo memang penting, kenapa ngebukanya mesti nunggu ampe besookk???? Tidak ada effort dalam narasi film ini. Antara plot poin, ceritanya tinggal meloncat-loncat gampang banget. The whole actual script sepertinya memang cuma sesederhana: mereka naik gunung -> nyasar ke rumah tua -> ngikutin hantu -> dapetin ular tangga. Mimpi dan jump scares adalah kombinasi maut yang justru jadi senjata utama film ini. Environment enggak pernah dimanfaatkan sehingga hutan yang mengurung mereka jadi sama membosankannya dengan para tokoh yang ada.

Tidak ada motivasi pada tokoh-tokohnya, terutama yang bernapas. Mereka cuma going around ngelakuin pilihan-pilihan yang dogol. Aku enggak bisa mutusin mana yang lebih bloon antara masuk ke rumah tua, atau setelah masuk malah milih tidur di pekarangan rumahnya. Tidak ada stake. Tidak ada development. Tokoh yang diperankan Alessia Cestaro yang nyebut hutan dengan “hyutan” diperlihatkan jutek ama tokoh Shareefa Daanish, namun tidak pernah dibahas kenapa dan apa alasannya, lantas mereka jadi saling bersikap normal begitu saja. Tidak ada arc yang dibangun. Kita tidak tahu siapa tokoh-tokoh ini, hubungan mereka secara personal. Para pemainnya cuma punya satu job; tampak ketakutan, dan mereka semua gagal mengerjakan tugas mereka. Tidak ada emosi tersampaikan.

Dalam film ini ada penampilan dari beberapa aktor yang cukup mumpuni, namun mereka hanya diutilize sebagai tokoh pemberi info. Pengecualiannya si Shareefa Daanish. Dia terlihat kompeten enough memainkan tokoh seadanya. Film ini nekat masukin twist, yang saking maksainnya, malah terasa kayak mereka sadar cerita mereka boring dan belokin cerita dengan harapan para penonton enggak menduga. Namun memang soal twist tersebut masih bisa aku maafkan, lantaran it eventually leads us ke adegan yang paling ingin kita lihat seantero durasi film; aku yakin orang-orang yang tertarik nonton film ini pasti ingin liat this particular scene; Shareefa Danish ngelakuin hal yang creepy!

Joget Lingsir Wengi

 

Jam rusak yang mati pun sesungguhnya benar dua kali dalam sehari. Selain the very last scene, ada satu dua shot film ini yang terlihat cukup meyakinkan. Aku suka momen ketika tokohnya Shareefa Daanish duduk di ruangan penuh lilin, di sana ada lemari yang punya cermin, dan tampak sosok hantu nenek pada pantulan cermin tersebut. Shot pohon besar dan adegan ketika Fina berjalan dengan lentera juga lumayan surreal.

Namun buat sebagian besar film, production designnya terkesan amatir. Enggak detil. Aku enggak tau kalo cekikan bisa menimbulkan luka sayatan pada leher. Memilih untuk menggunaan efek praktikal buat sebagian hantu sesungguhnya adalah usaha yang patut diacungi jempol, hanya saja eksekusinya terlihat agak kasar. Film ini berusaha menggabungkannya dengan efek komputer, resulting penampakan yang enggak mulus. Kelebatan hantu malah jadi komikal dengan gerakan yang dipercepat dengan over. Editingnya juga terasa enggak klop. Film ini menggunakan tone warna keabuan yang mungkin buat menimbulkan efek misterius. Lagu pengisi yang digunakan, tho, terkadang terasa berbenturan keras dengan nuansa yang dibangun. Film ini sepertinya sudah turut siap untuk diputar di televisi karena ada beberapa jeda yang seolah sengaja dijadikan slot buat pariwara.

Fina dan teman-temannya melanggar batas wilayah yang seharusnya tidak boleh dimasuki oleh penjelajah. Sama seperti filmnya yang melanggar satu garis batasan yang semestinya dihindari jauh-jauh oleh film horor. Yakni menjadi gak-sengaja lucu. Ada banyak momen ketika tawa malah memenuhi studio bioskop tempat aku menonton, misalnya ketika salah satu teman Fina kepayahan menggotong tubuh rekannya. Atau ketika tangan hantu anak kecil itu dipegang oleh mereka. Buatku ada satu momen yang bikin aku kesulitan berhenti terbahak, yaitu ketika kamera memperlihatkan peta pendakian gunung yang Fina dan teman-teman bawa. PETANYA KAYAK PETA DI UNDANGAN NIKAHAN!!! Hahahaha.. Gak heran kenapa mereka tersesat. Gak heran perasaan Fina enggak enak about perjalanan mereka. Kocak banget mereka mampu nyediain papan kayu ular tangga tapi enggak bisa ngasih peta yang lebih proper. It’s just a lazyness, people!




Nyaris tidak ada redeeming quality, film ini kalo dijadiin permainan ular tangga pastilah isinya ular melulu. Cuma ada satu tangga pendek. Adalah sebuah problem besar jika film horor malah jatohnya unintentionally funny dan enggak seram. Penulisan, penokohan, penampilan, semuanya terlihat tidak kompeten. Tidak ada bobot apapun. Mungkin diniatkan sebagai petualangan horor, tapi gagal dalam penyampaian. Film ini melewatkan kesempatan yang begitu besar karena Ouija: Origin of Evil (2016) sudah membuktikan board game bisa dijadikan materi horor yang compelling jika digarap dengan sungguh-sungguh dan enggak males.
The Palace of Wisdom gives setengah dari kocokan dadu ‘snake eyes’ for ULAR TANGGA. 1 out of 10 gold stars!

 

 





That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.


KONG: SKULL ISLAND Review

“You have enemies? Good. That means you’ve stood for something, sometime in your life.”

 

 

Bertamu ke rumah orang, kita mestinya sopan. Kita enggak gedor pintu depan rumahnya. Kita enggak nyelonong boy masuk tanpa permisi, apalagi kalo belum kenal. Kita enggak lupa nyiram kamar mandi sekiranya kita numpang ‘ngebom’. Heck, kita should never ngebom beneran rumah orang yang kita datengin. Tapi tim ekspedisi dalam film Kong: Skull Island terbang masuk ke pulau misterius yang baru saja ditemukan lewat citra satelit sembari memborbardir daratan. Tim yang terdiri dari beberapa ilmuwan dan sekelompok tentara itu dikirim dalam  sebuah misi pemetaan. Tentu saja, misi tersebut punya tujuan lain dan dengan segera investigasi mereka berubah menjadi acara penyelamatan diri lantaran pulau tersebut ternyata dihuni oleh monster-monster superbesar. Dan yang paling gede di antara mereka, Kong si primata raksasa, enggak demen daerahnya kemasukan tamu asing yang kasar. Berisik pula!

Beberapa sekuens aksi dan kejar-kejaran yang dihadirkan oleh film ini sangat impresif. Dan menyenangkan juga, bikin kita geregetan sendiri. Selalu menarik melihat makhluk-makhluk gede saling berantem. Actually, reboot film King Kong klasik (1933) ini adalah bagian kedua dari, atau katakanlah, ‘sekuel terpisah’ dari seri monster yang dimulai oleh Godzilla (2014). Sepertinya memang mereka berniat buat bikin cinematic universe ala-ala yang dilakukan oleh Marvel. Film ini bahkan PUNYA ADEGAN EKSTRA SEHABIS KREDIT loh. Dan kalo nantinya dunia cerita ini (mereka menyebutnya MonsterVerse) berujung dengan Kong bertemu Godzilla, well kupikir kita sudah tahu siapa yang akan menang. Kita, para penonton!

Monkey see Marvel, Monkey do Marvel

 

Ngeliat Kong menumbuk monster-monster lain adalah hiburan mutlak. It looks very cool. It’s a gigantic monster versus gigantic monster. Kalo itu enggak menghibur maka aku enggak tahu lagi apa kriteria untuk bisa masuk kotak berjudul menghibur. Adegan PERTARUNGAN TERAKHIR SI KONG ADALAH YANG TERBAIK. Sekuensnya selalu disyut dalam wide shot yang panjang dan benar-benar kerasa epik. Jordan Vogt-Roberts, sutradara film indie keren; The Kings of Summer (2013), kepilih untuk ngegawangi film ini. Kayaknya sekarang memang sudah jadi kebiasaan Hollywood buat ngegaet sutradara muda yang udah sukses nelurin karya independen. Godzilla sebelum ini, disutradari oleh Gareth Edwards yang ngeroket dengan film indienya; Monsters (2010). Film Jurassic World (2015) jugak ditangani oleh sutradara indie. It’s nice Hollywood ngasih kesempatan. Namun berkaca dari hasil akhir proyek-proyek blockbuster yang mereka tangani, aku jadi suudzon kepikiran; jangan-jangan Hollywood iri dan sengaja ngasih skrip seadanya buat sutradara-sutradara ini kerjakan.

Mas Hollywood: “Selamat yaah buat 500 Days of Summers”
Mark Webb: “Makasih, Mas. Ajak-ajak dong kalo ada proyek hehehe”
Mas Hollywood: “Oh boleh. Nih!”
(Ngasih naskah The Amazing Spiderman)
Mas Hollywood: “Coba kita lihat bisa enggak kamu bikin jadi lebih bagus”
Mark Webb: (ragu-ragu abis baca skrip sekilas) “Anu..dicoba ya, Mas…”
Mas Hollywood: “Sanggup ya sanggup, enggak ya enggak. Kamu mau gak?!”
Mark Webb: “….Oke deh…”

 

Aku enggak tahu apakah kejadiannya beneran seperti itu, namun setelah selesai menyaksikan Kong: Skull Island, pikiran negatif memang tak terbendung lagi. I kinda feel bad buat sutradara film ini. You know, seolah sutradara-sutradara indie adalah tamu di scene Hollywood, dan penghuni-penghuninya enggak suka kemudian lantas mengospek dengan memberikan materi yang banyak kurangnya.

Ketika di atas tadi aku nulis soal final battle Kong adalah yang terbaik, sebenarnya yang aku maksudkan adalah literally seperti demikian.  Adegan berantem Kong, terutama yang di akhir itu, bener-bener adalah kerja terbaik yang diberikan oleh film ini dari awal sampai akhir. Arahan film ini nyatanya lumayan jelek. Ketika kamera ngeliatin Kong, ya semuanya keren dan seru dan fun. Tetapi ketika kita nunduk ngeliat para tokoh manusia, maka kita akan ngeliat tubuh-tubuh yang siap jadi karung tinju Kong beserta penghuni pulau lainnya. Tidak ada karakter sama sekali. Film ini sempat nyinggung soal hollow earth, well yea, padahal dirinya sendiri sangat kopong dalam pengkarakteran. Editing filmnya juga terlihat kasar, dengan perpindahan yang agresif secara visual. Sebenarnya aku sedih juga ngerasa annoyed sama cara film ini disambung.

Pada bagian action, film ini banyak makek gaya slow-motion yang membuat kita jadi teringat sama film-film action Michael Bay. Sekuen berantem di bar di babak awal diedit dengan begitu parah sehingga kayak film kelas amatir. Mendengar dari musik pada banyak adegan, film ini pengen mengeluarkan suasana layaknya film perang, hanya saja terdengar enggak klop sama ‘dunia’ yang berusaha dibangun oleh ceritanya. Apocalypse Now dengan Moby Dick enggak bisa nyatu sempurna hanya karena kita muterin lagu CCR sebagai latar. And don’t make me start on the humor. Lelucon-lelucon yang terujar di sepanjang film, nyaris semuanya enggak lucu, garing. Film ini berusaha keras buat jadi lucu, but it just doesn’t work. Karena kita enggak dibuat peduli sama tokoh-tokohnya. Karena film ini tidak berhasil menghasilkan tone yang selaras.

 

Hanya dua karakter yang bisa dibilang menarik di dalam film ini. Tokoh yang diperankan oleh Samuel L. Jackson dan John C. Reilly. Cuma mereka juga yang berhasil bikin kita terkekeh ketawa. Tapi itu pun bukan karena penulisan yang oke, melainkan karena dua aktor ini actually sudah sangat kompeten dan lucu. Kharisma merekalah yang membuat dialog yang mereka ucapkan jadi ngena dan berbobot.

Hank Marlow yang diperankan John C. Reilly punya backstory cukup kompleks sebagai pejuang Perang Dunia Kedua yang terdampar di pulau ini bersama seorang tentara Jepang. Musuh menjadi teman ketika orang ngadepin masalah yang sama. Sejarah tokohnya ini sebenarnya bisa jadi landasan yang compelling sebagai pemantik emosi, namun film memutuskan bahwa Marlow paling suitable jadi karakter eksposisi semata. Marlow yang udah tinggal di pulau sejak Perang tersebut, hanya ditujukan sebagai pemberi info. Dia jadi bintang cuma di adegan eksposisi gede saat dirinya ngajak para tokoh lain ke sebuah ruangan yang banyak gambar-gambar di dinding batu, di sana dia nyeritain sejarah pulau dan peran Kong di pulau tersebut.
Tokoh Samuel L. Jackson, Jenderal Packard, ditulis punya semacam hubungan spesial dengan perang. Dia terlihat bergairah ketika mendapat panggilan tugas ke Pulau, padahal tadinya dia lesu sebab kloternya akan dipulangkan dari medan pertempuran. Penokohannya menarik, ada sesuatu di dalam dirinya, kita bisa rasakan kenapa dia butuh banget berperang. Dia menanamkan rasa dendam hanya supaya dia bisa terus punya misi. Dia ngerasa enggak hidup jika enggak mengangkat senjata, ataupun jika enggak ada perintah.

Apa yang membuat sesuatu kita anggap musuh. “Musuh itu tidak ada, sampai kita mencarinya”, film ini menggelitik kita dengan kalimat tersebut. Pertanyaan yang penting adalah kenapa kita merasa perlu mencari musuh. Dalam film ini, kita melihat Jenderal Packard terus mencari ‘musuh’ karena dia ingin menunjukkan bahwa dia punya prinsip di dalam hidup. Dia punya sesuatu yang ia lindungi, begitu juga dengan Kong. Tapi yang harus disadari adalah kita juga perlu membuka diri karena tidak semua intervensi adalah serangan; bahwa kita bisa unite dalam menghadapi sesuatu yang lebih besar lagi.”

 

Selebihnya, populasi film ini adalah tokoh-tokoh manusia yang kosong. Mereka membosankan. Ada sih yang dibikin punya anak yang menunggu di rumah, tapi kita enggak peduli. Mereka ini adalah tokoh yang diciptakan supaya Kong dan monster-monster lain punya kerjaan. Karakter yang diperankan oleh Tom Hiddleston adalah veteran keren yang jago ngetrack orang dan piawai berantem pake tongkat biliar. That’s it. Dia diajak ke Pulau karena kemampuannya ngelacak. Cuma ada satu adegan di mana dia ngobrol hati-ke-hati mengenai apa yang terjadi di masa lalunya. Tokohnya Brie Larson lebih parah lagi, cewek ini adalah fotografer. Titik, itu karakternya; liat tulang gede, dijepret. Liat suku asli, dijepret. Liat Kong berantem, dijepret. Dia enggak benar-benar ngelakuin apapun, she’s so bland.

syarat casting film ini: cakep, bisa lempar granat, dan bisa lari slow motion.

 

Visualnya juga enggak bagus-bagus amat. Beberapa momen malah terlihat palsu, kelihatan kayak tidak benar-benar ada di sana. Aku mengucek mata ketika melihat satu adegan di babak tiga, di mana Conrad dan Mason berada di antara Kong dengan Packard, karena adegan tersebut kelihatan kayak the worst green screen, kayak yang pernah kita tengok di prekuel Star Wars. Juga ketika Mason mencoba menyentuh Kong, seharusnya adegan ini sangat emosional, tapi jangankan kita, tokoh Masonnya sendiri kelihatan tidak konek dengan adegan tersebut. Jika The Jungle Book (2016) yang disyut di green room dan kelihatan kayak di hutan beneren, maka Kong: Skull Island ini kebalikannya; sebagian besar berlokasi di lapangan betulan, namun malah seluruhnya kayak ditake di dalam studio. Padahal mestinya mereka bisa bermain banyak dengan environment Skull Island yang misterius dan keren.

 

 

 

Usaha yang dilakukan oleh film ini buat nutupin kehampaan karakternya adalah dengan mendedikasikan babak ketiga sepenuhnya sebagai babak aksi dahsyat. Persis kayak yang dilakukan oleh Rogue One (2016). Mereka mengisi film dengan hal-hal yang ngereferensiin sesuatu yang sudah kita kenal sehingga kita excited, dan membawa sebanyak mungkin tokoh-tokoh yang enggak mateng digarap ke sekuens impresif di babak akhir supaya kita ngerasa “wuihhh!” dan berpikir bahwa ini adalah film yang bagus. Tapi enggak. Ini cuma usaha lain dalam mengulang dan meniru dunia sinematik Marvel demi mendulang uang. Buat yang suka ngeliat Kong berantem lawan monster doang, film ini akan menghibur berat. Namun jika suka liat monster kelahi dan actually peduli sama karakterisasi dan hal lain semacamnya, kalian enggak rugi kok kalo enggak nyempatkan waktu singgah ke hollow world film ini.
The Palace of Wisdom gives 4.5 gold stars out of 10 for KONG: SKULL ISLAND.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Dhanurveda – Preview Buku

dhanunnamed

 

Katniss Everdeen kedatangan saingan baru, nih! Dari Indonesia pula.

Kalo biasanya tidak banyak novel Indonesia, atau malah film Indonesia, yang berani berandai-andai seperti apa negara ini ke depannya, maka Dhanuverda ini beda. Fiksi ini bercerita tentang seorang wanita muda yang memimpin kelompok massa, mereka mencoba mencari tahu sebab tragedi politik terbesar dalam sejarah umat manusia. Nama tokoh utamanya masih dirahasiakan, aku enggak tahu, mungkin nanti bakal ada big reveal apa gimana. Namun, tema bukunya sih udah cerita dystopia banget yakan? Dhanurveda mengambil setting pasca perang dunia ketiga, saat Indonesia dipimpin oleh Presiden kesepuluh. Siapa presidennya? Gimana keadaan Indonesia saat itu? Gimana negara ini bisa survive dari perang dunia ketiga?? Seneng enggak sih akhirnya ada penulis yang ngajak kita berimajinasi sekaligus mungkin berkontemplasi, karena kata penulisnya sih, novel ini penuh dengan sentimen; mulai dari sentimen politik hingga sentimen agama.

Ngomong-ngomong siapa ya yang ngarang novel ini?

Dhanurveda adalah novel pertama yang ditelurkan oleh Zahid Paningrome. Tapi tenang, walaupun bisa nelur, mas Zahid ini manusia kok, kayak kita-kita. Mas Zahid juga aktif nulis di blognya; zahidpaningrome.blogspot.com. Biasanya dia suka nulis cerpen, puisi, cerita bersambung, dan tulisan kreatif nan-berbobot yang lain. Bahkan di blognya tersebut, mas Zahid juga lumayan cerewet mengulas film. Samaan deh ama blog kesayangan kalian ini (idiih, ngaku-ngaku). Reviewan mas Zahid, bisa kita baca, selalu tajam melihat detil-detil. Ya teknis, ya cerita, visi sutradara juga tak luput dari pengamatan. Apalagi detil mengenai isu sosial yang membayangi sebuah film. Dan tentu saja, kita bisa mengharapkan ketajeman yang serupa hadir dalam penuturan cerita Dhanurveda.

Kata mas Zahid ketika diwawancara di kediamannya di Semarang (via internet!), nama Dhanurveda dipilih karena kecintaannya pada ajaran bela diri dan penggunaan senjata (panah) di medan perang yang terdapat pada KItab Weda (sastra Hindu). Dan kata mas Zahid lagi, sesungguhnya novel ini sangat personal buat dirinya. Katanya, novel ini termasuk perjalanan panjang dalam sejarah dirinya menulis.

Ah, daripada kebanyakan ber’kata-katanya’, marilah kita beri kesempatan sebebas-bebasnya buat Mas Zahid. Berilah waktu supaya dia bisa menuturkan sendiri cerita tentang karya debutnya di dunia sastra. Bicaralah, Mas!

 

“Teman-teman, sebetulnya saya membuat cerita Dhanurveda dalam keadaan gundah. Bukan gundah yang robot-robotan Jepang, itu Gundam! Gundah yang disebabkan dari melihat politik di Indonesia yang penuh intrik dan trik yang culas dan kasar. Saya mencoba menuliskan akibat dari itu semua di tahun sekarang untuk ditarik ke tahun-tahun berikutnya. Membuatnya menjadi bom waktu. Untuk itulah maka saya memilih genre novel yang bersifat futuristik. Kita musti berani membicarakan masa depan, utamanya masa depan Indonesia.

“Saya juga gundah gulana menyadari dunia literasi atawa sastra, khususnya di Indonesia, sedang sekarat. Karena dipenuhi metro-pop ringan yang membuat perempuan-perempuan yang membacanya berteriak kegirangan. Tapi sejatinya tidak mengubah pemikiran siapa-siapa. Padahal kan, membaca berarti juga memahami isi, bukan sekadar membaca dan terpuaskan. Hati girang, buku lantas dibuang. Metro-pop yang sudah sangat menjamur tersebut selalu saja bercerita tentang kisah cinta ringan dan aneh, menjadikan dunia ini tidak lagi punya varian yang banyak. Sedihnya lagi, fenomena pop ringan ini juga terjadi di dunia musik dan, tentu saja, film. Jadi ya, tentu saja kehadiran Dhanurveda, dengan cerita mencekam berbahasa pop science dan dibumbui kisah cinta khas ini siap untuk menjadi koleksi buku terbaru setiap anak muda dan pembaca yang berani bertualang. Saya menyebut cerita buku ini ‘ROMANTIC TRAGIC-COMICO’.”

bakal ada tiga matahari di masa depan?
bakal ada tiga matahari di masa depan?

 

“Novel ini mulai masuk proses pencatatan ide sejak Juli 2016. Kemudian mulai ditulis bener-bener sekitar bulan Agustus 2016 dan selesai pada akhir November 2016. Hingga pertengahan Desember, novel ini disemayamkan memasuki proses editing. Akhirnya rilis pada 14 Februari 2017. Tanggal perilisannya memang sengaja saya pilih tanggal empat-belas Februari karena saya ingin teman-teman ingat betul bahwa tanggal segitu bukanlah Hari Valentine, melainkan hari kelahiran Dhanurveda. Duh, bangganya buah karya saya diperingati!

“Umm.. sebetulnya ini rahasia, tapi karena ada desakan dari si penanya, terutama dari penumpang kereta api yang suka mudik lebaran berdesak-desakan, akhirnya saya mau juga bercerita perihal yang sedikit ‘pribadi’. Novel Dhanurveda adalah persembahan bagi perempuan yang saya cintai sepenuh hati. Saya menjadikan perempuan itu sebagai tokoh utama cerita novel ini. Jadi yaa, namanya bisa sama bisa enggak hehehe. Yang jelas perempuan ini, saya berikan tempat tersendiri. Juga terlihat dari paragraf terakhir di Kata Pengantar Dhanurveda. Sosok perempuan ini sudah sangat lama menghilang dan tidak bisa lagi saya temui sejak pertengahan 2015. Hingga kini, saya masih belum bisa bertemu dan berkomunikasi dengannya.

“Di Dhanurveda ini ada uniknya juga loh. Salah satu babnya ada yang saya tulis berdasarkan pengalaman nyata yang saya alami di dalam mimpi di suatu malam. Baca novelnya, deh (red: beli dong!), cari bab yang saya namai ‘Ruang Mimpi’. Memang, sejak memilih jalan untuk menulis di ranah cerita fiksi, saya sering mengalami masa-masa transendental. Maksudnya, saya seperti hidup di dalam mimpi sendiri, menjadi arsitek bagi mimpi. Di dalam mimpi, saya melihat diri saya sendiri yang lagi tertidur. Aneh? Enggak juga. Saya percaya setiap dimensi kehidupan selalu punya ruang, tak terkecuali dimensi mimpi. Bagi saya, mimpi adalah dimensi yang memiliki ruang yang sangat bercabang.”

..

“Ya, kayaknya statement saya sudah cukup kepanjangan. Sejak awal, Teman-teman, hanya satu tujuan saya menulis; Untuk membangkitkan gairah membaca yang mulai pudar karena perkembangan zaman, khususnya di kalangan anak muda. Saya masih akan terus konsisten dengan gerakan #MariBaca yang sering saya kumandangkan di setiap tulisan yang rilis di blog saya. Dua-ratus rilisan pos, sejak 2013 akhir dan masih terus menambah jumlah hingga kini, karena saya juga sembari berharap kepada Tuhan supaya tujuan saya bisa tercapai.”

 

 

 

 

Novel futuristik yang bisa jadi bukan saja bakal nyaingin The Hunger Games, tapi juga sanggup sejajar ama 1984nya George Orwell. Membawa banyak pengharapan dari penulisnya, semoga buku ini bisa menjadi breakthrough yang amat sangat dibutuhkan oleh scenery sastra Indonesia kekinian.  Dan kalian tahu, it’s all up to us the readers to make it all come true. Untuk detil pemesanan, silahkan kunjungi http://zahidpaningrome.blogspot.co.id/2017/02/hari-lahir-dhanurveda.html Kalian juga boleh menghubungi Mas Zahid langsung lewat facebook, twitter, dan instagram @Zahidpaningrome

Semoga dengan dirilisnya novel ini, kita bisa menemukan kembali kecintaan membaca, sebagaimana perempuan yang ia cintai bisa melihat keseriusan Zahid dalam mencintainya.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.