VAMPIRES VS. THE BRONX Review

“Capital is dead labour, that, vampire-like, only lives by sucking living labour, and lives the more, the more labour it sucks”
 

 
 
Ketika Miguel bilang Murnau Properties mengunyah kota mereka, yang dimaksud Miguel adalah perusahaan konglomerat kulit-putih tersebut membeli bangunan-bangunan di kota Bronx – mengimingi pemilik bangunan dengan uang yang banyak supaya mau pindah. Bahkan toko favorit Miguel dijadikan sasaran dan terancam untuk berubah menjadi sesuatu yang asing; mungkin jadi kafe milennial atau semacamnya, yang orang-orang tidak mengerti yang bakal dijual itu apa. Miguel sendiri, saat mengatakan itu, belum sadar bahwa pernyataannya tadi juga bermakna literal. Karena perusahaan Murnau diam-diam – di malam hari!- memang beneran menguyah para pemilik bangunan yang mereka beli. Bisnis properti dan real estate Murnau cuma kedok. Murnau Properties nyatanya adalah perusahaan vampir pemangsa manusia yang bermaksud menjadikan kota Bronx sebagai sarang mereka yang baru!

Memang, sudah lama perilaku kapitalisme diibaratkan sebagai tindakan orang kaya menghisap darah rakyat jelata. Penggalan kalimat yang kujadikan penghantar ulasan ini kukutip dari tulisan Karl Marx perihal kapitalisme. Kita tidak perlu repot jauh-jauh membayangkan bagaimana perusahaan bisa menyedot habis pekerjanya. Karena keadaan di negara kita sekarang sudah mendekati, dengan disahkannya RUU Cipta Kerja oleh pemerintah. Ini jadi salah satu contohnya karena menurut RUU tersebut para karyawan dan buruh tidak akan lagi mendapat upah minimal, tidak lagi diberi pesangon saat pensiun ataupun di-PHK, tidak dikasih cuti berbayar untuk pekerja yang hamil, dan kebijakan lain-lain lagi yang lebih menguntungkan pihak bisnismen.

 
Metafora klasik vampir-kapitalis inilah yang digunakan sutradara Osmany Rodriguez sebagai landasan untuk membangun cerita horor komedi. Rodriguez juga ingin menyentil permasalahan kekuasaan kapitalis, dan dia tahu cara nyentil yang terbaik adalah dengan komedi. Yang diangkatnya di sini adalah permasalahan perombakan sebuah daerah lokal menjadi kawasan real estate lewat taktik pengenyahan warga. Mereka dibeli propertinya, yang kemudian properti tersebut diubah menjadi tempat usaha, dan seringkali kita dapati bentuk miris dari kejadian tersebut yaitu si pemilik asli justru nanti akan jadi karyawan di tempat usaha kapitalis yang membeli propertinya. Oleh Rodriguez, pihak perusahaan tamak seperti itu digambarkan sebagai vampir beneran. Orang-orang yang mereka hisap dibuat menghilang begitu saja – walaupun mungkin lebih pas kalo diubah menjadi vampir juga, tapi dapat dimengerti mati menghasilkan misteri yang lebih urgen. Karena film juga ingin menekankan satu hal; bahwa tidak ada yang peduli sama mereka, karena Bronx juga adalah tempat yang nyaris demikian marjinal sehingga ada karakter yang lugas menyebutkan tidak ada yang akan peduli sama penduduk di sini. Rodriguez menambahkan lapisan untuk membuat permasalahan itu semakin kompleks lagi. Lapisan berupa ras. Penduduk Bronx adalah mayoritas kulit hitam, yang enggak jauh dari tempat tumbuhnya para ‘gangster’. Pihak pendatang – para vampir itu – adalah kulit putih. Dulunya bangsawan dengan gaya hidup yang tentu saja jauh berbeda dengan kehidupan ‘hood’ di Bronx. Jadi film ini juga bercerita tentang mempertahankan tradisi atau gaya hidup di suatu tempat.

Cerita yang cukup gendut untuk horor-ko…. Hmmm… gendut.. seperti nadi di lehermu…. WAAARRRGGH!! *terkam*

 
 
Membuat anak-anak sebagai tokoh cerita adalah langkah yang tepat. Miguel dan teman-temannya membuat film ini jadi punya vibe petualangan horor yang sama dengan cerita-cerita seperti Stranger Things ataupun It yang sudah terbukti ngehits. Nontonin mereka terasa seru dan mengasikkan. Miguel dan teman-temannya juga memberikan ruang bagi film untuk mengeksporasi gagasannya dengan lebih leluasa. Komentar-komentar tentang kapitalisme itu jadi tidak lagi seperti beban yang harus diucapkan ketika meluncur keluar lewat sudut pandang anak-anak yang hanya ingin menyelamatkan toko tempat mereka bisa bebas bermain game dan menonton horor-horor rated R. Film ini sepertinya paling dekat dengan Attack the Block (2011); sekelompok anak muda yang mempertahankan neighborhood mereka dari serangan alien. Kedua film ini sama-sama mencuatkan semangat persatuan mempertahankan daerah. Semangat yang mungkin saja memang paling kuat dirasakan oleh anak/remaja karena merekalah yang paling merasakan keterkaitan dengan lingkungan tempat tinggal.
Vampires vs. The Bronx memang memusatkan persoalan tersebut sebagai plot utama. Hanya saja, film malah menempatkan itu kepada salah satu sahabat Miguel. Bukan kepada Miguelnya sendiri sebagai tokoh utama. Dan ini membuat Miguel kalah menarik. Miguel tidak mengalami banyak perkembangan sepanjang cerita. Stake yang ia rasakan juga kalah kuat dibandingkan tokoh lain, karena Miguel tidak berkenaan langsung dengan masalah properti itu sedari awal. Sebagai pelindung kota, dia juga tidak tampak punya kedekatan khusus karena kita diperkenalkan kepada Miguel saat dia semacam dibully oleh seisi kota; cewek-cewek menertawakannya, ibu memarahinya – di depan cewek-cewek, gangsta tak tertarik kepadanya. Justru yang paling punya ikatan dengan kota adalah si teman Miguel yang bernama Bobby. Dia punya plot yang personal; dia ingin bergabung dengan gangsta tapi berkonflik dengan masa lalu ayahnya yang kini diceritakan sudah tiada. Bobby jualah yang punya momen emosional terkait hal tersebut dengan familiar suruhan para Vampir. Secara karakter, Miguel kalah menarik dan kalah ‘penting’ dibandingkan Bobby. Miguel hanyalah karakter trope; anak kecil yang tidak dipercaya orang lain padahal apa yang ia katakan benar.
Miguel bersepeda keliling kota, bertemu dengan tetangga-tetangganya, memungkinkan kita untuk mendapat gambaran tentang kehidupan di Bronx. Kota itu sendiri memang penting untuk ditampilkan karena kita tidak bisa bicara tentang kapitalis yang mengubah satu kota jika tidak memperlihatkan seperti apa kota tersebut; seperti apa kekeluargaan dan kebiasaan di sana. Karena ini komedi, Rodriguez memberikan kita karakter-karakter yang kocak sebagai napas kota Bronx sebagai tokoh tersendiri. Mulai dari Pastor yang jengkel sama anak-anak nakal hingga ke abang-abang yang nongkrong di jalanan, semua tokoh pendukung di film ini diset untuk memancing komedi. They just do funny things, dan memang sebagian besar dari mereka tidak diberikan fungsi apa-apa lagi. Misalnya seperti tokoh anak cewek yang ngevlog; tadinya kupikir tokoh ini akan masuk ke geng Miguel dan ikut bertualang melawan Vampir. Tapi ternyata tidak, dia hanya dimunculkan saat-saat film butuh untuk nyerocosin beberapa eksposisi dan untuk nampilin informasi yang dibutuhkan oleh Miguel dalam mengungkap Vampir.
Ketika seluruh kota menerapkan mosi tidak percaya kepada dirimu

 
 
Mitologi Vampir itu sendiri digambarkan sangat lengkap. Dan dipikirkan matang-matang penempatannya. Aku suka karena beberapa hal terangkai dengan mulus. Kita mungkin sempat bertanya kenapa Vampir ingin menguasai real estate dan membeli semua bangunan di kota itu. Film ini punya jawaban yang simpel nan masuk akal untuk pertanyaan tersebut. Jawabannya karena menurut mitologi, Vampir gak bisa masuk ke suatu tempat tanpa diundang. Maka, supaya bisa memangsa sesuka hati, para Vampir itu tentu saja perlu untuk memiliki rumah dan toko-toko di situ – mereka gak perlu minta izin dulu untuk bisa masuk.
Aku mau melihat film ini melewati efek visualnya, karena meskipun memang terlihat ‘murah’ tapi masih konsisten dengan nada konyol yang ditampilkan film sebagai komedi. Nyawa film ini justru di pembangunan dunianya. Begitu film mengimplementasikan mitos-mitos kayak gini ke dalam gerak plot, di situlah ketika film ini hidup. Membuatnya cerdas. Namun sayangya, film ini katakanlah sebagai makhluk hidup yang bernapas; ia tidak benar-benar satu spesies yang unik. Vampires vs. The Bronx lebih seperti seorang Frankenstein. Makhluk yang tersusun atas bagian-bagian makhluk lain. Karena alih-alih membangun dari sesuatu yang benar-benar baru, film ini terlalu mengandalkan mitos dan hal-hal lumrah, dan juga referensi, yang kita ketahui tentang Vampir dari film-film lain. Menebak hal-hal yang kita kenali saat menyaksikan suatu film memang mampu menghasilkan kesenangan tersendiri. Nama Murnau yang mengacu pada sutradara Nosferatu; yang kalo aku gak salah adalah film pertama tentang vampir, teknik montase cepat-cepat yang mengingatkan kepada teknik khas sutradara Shaun of the Dead; yang arguably film mayat hidup terkocak dekade modern ini, dan bahkan nunjukin dengan terang-terangan perihal film Blade yang menginspirasi karakter anak di film ini (ras kulit hitam yang keren dalam memburu Vampir). Terasa sekali kekurangorisinilan yang membayangi film ini
 
 
 
Memang, minimnya penggalian dan elemen baru tersebut tidak bakal menyurutkan unsur fun dan keseruan kita dalam menonton film ini. Hanya saja, secara eksistensi, film ini sesungguhnya mampu menjadi sesuatu yang spesial. Pun hadir dengan level kerelevanan yang tinggi. Sayangnya, setelah menonton, ia cuma terasa sebagai ‘just another horror-comedy’. Terlalu banyak kesamaan dan pengingat kita terhadap film-film lain. Tokoh utamanya pun tidak begitu membantu karena juga kalah spesial dengan tokoh pendukungnya. Aku suka implementasi gagasan ke mitologi Vampir yang dilakukan oleh film ini. Harusnya film ini lebih berani lagi untuk keluar dari bayang-bayang genrenya. Supaya efek cerita dan keberadaan film ini jadi semakin terasa lagi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for VAMPIRES VS. THE BRONX

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan kapitalis sebagai setan penghisap darah? Bagaimana pendapat kalian tentang Omnibus Law yang baru disahkan tersebut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ENOLA HOLMES Review

It means I’m strong enough to handle things all by myself.”
 

 
 
Enola adalah kebalikan dari ‘Alone’. Remaja cerdas itu tadinya kurang paham kenapa ibu menamainya seperti itu. Karena nama kedua abangnya jelas-jelas tidak bisa dibolak-balik begitu; Mycroft dan Sherlock. Ya, Sherlock yang itu. Yang detektif terkenal itu. Jadi setidaknya misteri pertama dari cerita ini terungkap sudah. Enola adalah adik bungsu dari Sherlock Holmes. Dan dalam film ini kita akan melihat Enola punya kemampuan memecahkan misteri yang gak kalah mengesankan dari abangnya tersebut. Film yang diadaptasi dari novel karangan Nancy Springer – yang clearly sangat menghormati Sir Arthur Conan Doyle sebagai sumber imajinasi dunia Holmes versi dirinya – mengisahkan petualangan Enola yang punya pesona dan warna berbeda dari petualangan Sherlock Holmes. Sutradara Harry Bradbeer mengemasnya sebagai cerita petualangan detektif wanita yang bahkan lebih ceria dari Nancy Drew, dengan mengedepankan isu feminisme untuk membuat ceritanya semakin relevan.
Namanya jadi misteri yang menarik baginya, sehingga si bungsu Holmes ini jadi menggemari cipher alias sandi/teka-teki susunan kata. Ia awalnya tidak mengerti kenapa sang ibu menamainya ‘alone’ padahal mereka selalu bersama. Setelah ayah meninggal dunia dan dua abangnya merantau ke berbagai penjuru Eropa, Enola tinggal berdua dengan ibu. Mereka menghabiskan hari dengan berbagai aktivitas. Ibu ngajarin Enola bermacam-macam. Mulai dari menenun, main tebak kata, bereksperimen kimia, hingga main tenis – di dalam rumah! Saking deketnya mereka, Enola sama sekali gak kebayang dia hidup sendirian. Hingga sang ibu menghilang dari rumah. Misterius sekali. Dua abang Enola pun pulang untuk memecahkan misteri ini. Tapi kedatangan mereka membawa ancaman kungkungan kepada Enola, karena kedua abangnya kurang terkesan dengan hasil didikan ibu terhadap Enola. Mycroft ingin mengirim Enola pergi ke sekolah wanita untuk menjadikan Enola wanita yang ‘seharusnya’. Sebelum itu kejadian, Enola yang berhasil menemukan petunjuk yang ditinggalkan ibu, pergi diam-diam, dengan menyamar sebagai anak cowok. Dalam memulai petualangannya mencari ibu di London, Enola bertemu dengan kasus pertamanya. Kasus yang membuat ia memikirkan ulang makna dari kesendirian dan menjadi wanita yang kuat.

Ajarkan feminisme sejak dini

 
 
Aku gak bohong kalo ada bagian dari film ini yang membuatku jadi teringat sama Mulan (2020). Terutama karena kedua film ini vokal sekali dengan suara pemberdayaan perempuan. Untungnya, Enola Holmes adalah cerita yang jauh lebih menyenangkan untuk diikuti. Film ini punya dunia yang lebih vibrant dan gak takut menampilkan humor. Dengan karakter yang lebih hidup; dan terutama karakter-karakternya lebih relatable. Agenda feminisme dalam film Enola Holmes ini dimasukkan tidak dengan paksa, melainkan dengan tetap memikirkan dampaknya terhadap narasi. Ada satu adegan yang aku suka karena benar menunjukkan konsistensi pada Enola yakni ketika Enola selamat nyawanya karena korset yang ia kenakan; ini konsisten dengan gagasan wanita menjadi dirinya sendiri, Enola selamat dengan menjadi wanita. Tidak seperti pada Mulan yang gak konsisten dengan adegan Mulan harus menjadi wanita tapi malah menunjukkan dirinya justru diselamatkan ketika ia mengenakan armor lelaki. Enola juga tidak pernah tampil sebagai Mary Sue – istilah buat karakter cewek yang dibuat sempurna yang serba-bisa sampai-sampai melemahkan karakter lain hanya untuk membuatnya terlihat semakin ‘kuat’. Dan buatku inilah kelebihan Enola Holmes dibanding film-film feminis kebanyakan. Film ini masih memikirkan bagaimana menuangkan agendanya ke dalam naskah dengan merata sehingga tidak membuat karakternya demikian sempurna.
Karakter Enola ditampilkan sebagai remaja yang vulnerable, dengan banyak hal yang masih harus ia pelajari di dalam petualangannya.  Ketika Enola digambarkan panjang akal, jago berantem, dan sangat mandiri, naskah menyeimbangkan karakter ini dengan menunjukkan bahwa ia sudah mempelajari semua itu sedari kecil. Dan bahkan dengan segala kemampuan itu, Enola masih diperlihatkan kurang pengalaman. Dia tidak serta merta berhasil. Masih ada kegagalan, lalu berpikir ulang. Karakter ini masih perlu belajar banyak. Konflik pada dirinya terutama adalah tentang ibu yang ia yakini tidak akan meninggalkan dirinya. Namun hal tersebut selalu ditentang saat beberapa kali Enola ditampilkan tertohok oleh pertanyaan dari berbagai karakter mengenai kenyataan bahwa sekarang ia tidak tahu di mana ibunya berada.
Di situlah permainan peran dari Millie Bobby Brown (aktor muda temuan, dan kuyakin sekarang kebanggaan, Netflix) mengangkat film ini setinggi-tingginya. Di tangannya, Enola tampil sebagai karakter utama sejati; kita peduli padanya, kita berempati kepada konfliknya. We just love to cheer for her. Millie adalah Enola yang ceria, funny in her own way, sedikit pemberontak tapi tak pernah annoying. Sutradara Bradbeer tidak menyia-nyiakan karisma dan pesona yang dibawa oleh Millie kepada karakternya. Bradbeer sudah mempersiapkan konsep ‘breaking the fourth wall’ sebagai device untuk menghadirkan Enolanya Millie langsung face-to-face kepada kita. Ini membuat semua eksposisi yang dibutuhkan cerita tersampaikan lewat cara yang kita semua gak bisa tolak. Emangnya siapa juga yang gak mau diajak ngobrol sama Enola, kan? Millie begitu mulus berpindah dari ngomong kepada kita dan ngomong ke karakter-karakter di film. Aktor muda berbakat itu hampir membuat kita merasa seperti bagian dari diri si Enola itu sendiri. Kita bukan cuma sebagai penonton, kita turut jadi bagian dari karakterisasinya.
Millie doesn’t even flinched when the script asks her to do some action. Memang, selain berwarna, lucu, dan berbobot agenda, film ini juga punya muatan aksi. Film ini menampilkan beberapa adegan ketika Enola berantem tangan kosong dengan penjahat. Dan adegan-adegan aksi ini punya rentang tone yang cukup drastis. Ada yang penuh ledakan tapi berbau mirip fantasi. Bahkan ada juga yang lumayan violent. Like, real murder attempt kind of violent. Tingkat kekerasannya yang cukup tinggi tersebut membuat tone cerita film ini secara keseluruhan agak sedikit gak seimbang lagi. Cerita ini memang sedari awal dibangun dengan dibayangi oleh subteks kriminal, tapi menurutku resolusi yang berupa berantem beneran tersebut seharusnya lebih dibangun atau setidaknya dunia yang jadi panggung Enola bisa lebih digelapkan sedikit, supaya menyeimbangkan atau memperkecil rentang tone yang ditampilkan di awal dengan di konfrontasi akhir.
“Jangan sampai jurus Demogorgon Killer gue keluar ya!”

 
 
Sebagaimana film-film petualangan adaptasi novel lainnya, Enola Holmes juga dihadapkan pada tantangan memuat-banyak-dalam-durasi-terbatas. Dan boleh jadi, ini adalah perlawanan yang lebih berat ketimbang memperjuangkan gerakan perempuan. Karena meskipun film ini berhasil membuat tokoh perempuan yang benar-benar kuat dan respectable, di sisi lain film ini masih tersandung saat bercerita hal yang kompleks meski diberi durasi yang sudah cukup panjang. Ada banyak karakter pendukung, ada banyak plot sampingan, yang harus disampaikan tetapi film ini tidak benar-benar mulus dalam menyampaikannya.
Soal fokus ceritanya, film ini jadi seperti terbagi dua. Yang diangkat di awal adalah persoalan mencari ibunya. Namun di pertengahan, seiring dengan perkembangan karakter Enola, fokus cerita berpindah ke menolong seorang anak bangsawan yang diburu oleh seseorang. Meskipun memang naskah sekuat tenaga untuk membuat dua ‘main objectives’ ini saling berkaitan, tetapi tetap saja ini memecah motivasi tokoh utama. Sehingga berakibat pada berkurangnya urgensi pada petualangan besar si protagonis ini secara keseluruhan. Tidak ada, katakanlah deadline, yang mengejar atau menjepit Enola untuk menemukan ibunya secepat mungkin. Begitupun dengan kasus perburuan yang ia tangani; tidak ada urgen yang membuat kita ingin Enola berhasil karena kasus tersebut tidak benar-benar berbahaya bagi Enola. Itulah sebabnya kenapa cerita di bagian akhir dibuat jadi sedemikian violent; Supaya Enola bisa benar-benar tampak dalam bahaya. Thus, stake cerita diharapkan jadi naik. Karena sepanjang cerita, stake yang dimiliki Enola cuma dia gak boleh sampai ketahuan oleh dua abangnya. Sekolah khusus wanita yang strict tersebut tidak kuat atau tidak cukup dramatis untuk dijadikan ganjaran. Misteri hilangnya sang ibu pun pada akhirnya tidak diberikan konklusi yang sebanding dengan build upnya.

Being independent dan mempercayai kekuatan sendiri bukan berarti kita harus mengerjakan semuanya sendirian, ataupun hanya demi diri sendiri. Petualangan yang ditempuh oleh Enola mendewasakan dirinya terhadap hal tersebut. There’s no shame jika dalam perjalanan pemberdayaan, kita menemukan cinta dan malah menunjukkan kebutuhan untuk bekerja sama dengan orang. Karena bisa berdiri sendiri bukan berarti kita harus memilih untuk sendiri.

 
Karakter-karakter pendukung yang cukup banyak jumlahnya itupun masih belum dihidupkan secara maksimal. Salah satu yang niscaya jadi pusat banyak perhatian tentunya adalah karakter Sherlock Holmes. Namun tak banyak dilakukan oleh Henry Cavill sebagai tokoh ini. Melawan pakem karakter eksentrik dan cueknya, Sherlock di sini ditempatkan sebagai low-key mendukung Enola. Namun ini justru membuat tokohnya berada ngambang di tengah-tengah. Di antara Enola yang free-spirited dengan abang tertua mereka yang total strict. Dari sini saja mungkin kita sudah bisa melihat bahwa karakter-karakter di cerita ini sebenarnya bisa untuk padetin lagi. Sherlock dan Mycroft bisa saja dirapel menjadi satu karakter yang lebih bakal terasa lebih flesh out. Bikin aja, misalnya, Sherlock yang strict dan jadi antagonis utama buat Enola. Sehingga ia akhirnya akan mengalami perkembangan dan punya lebih punya banyak hal untuk dilakukan. Mestinya sih bisa jadi lebih menarik, I mean, kapan lagi kan kita melihat Sherlock dalam cahaya yang lain.
 
 
 
Perhaps, jebakan terbesar yang berhasil dilompati oleh film ini adalah jebakan untuk tampil seperti fan-fiction dari cerita Sherlock Holmes. Enola dan karakter-karakter lain boleh jadi bukan kanon dalam semesta Sherlock Holmes, tetapi film ini sendiri berhasil membuktikan diri sebagai cerita utuh yang layak dinanti pengembangannya lebih lanjut. Keberadaan film ini layak untuk ditetapkan sebagai semesta alternatif dari tokoh ikonik yang sudah ada. Tokoh utamanya sendiri benar-benar menarik, kuat, dan adorable. Dia adalah heroine (jagoan cewek) yang ideal, baik dalam narasi detektif maupun dalam agenda feminis. Film ini bisa kita lihat sebagai introduksi yang cukup kuat jika memang ceritanya masih akan dibuat terus berlanjut. Dengan beberapa catatan kecil soal problem yang lumrah ditemukan dalam cerita-cerita petualangan adaptasi buku, film ini tetap menghibur berkat penampilan akting dan nuansa fresh yang dibawa.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ENOLA HOLMES

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian seberapa penting sih ‘merasakan kesendirian’ itu bagi diri kita?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

UNPREGNANT Review

“If you want something done, ask a woman”
 

 
 
Dua remaja putri melakukan perjalanan lintas negara-bagian. Secara diam-diam tanpa sepengetahuan orangtua masing-masing. Karena salah satu mereka memilih untuk melakukan aborsi. Dalam perjalanan yang mereka tempuh, keduanya mendapat cukup banyak rintangan, yang menyimbolkan betapa sukarnya bagi seorang wanita untuk mendapatkan kembali otonomi dirinya sen… Tunggu. Kenapa rasanya deja vu. Perasaan belum lama ini kita udah pernah deh nyaksiin cerita seperti ini..
Itu karena Unpregnant hasil adaptasi sutradara Rachel Lee Goldenberg dari novel ini memang punya premis yang persis ama film Never Rarely Sometime Always (2020) karya Eliza Hittman. Beda kedua film ini terletak pada arahan dan tone cerita secara keseluruhan. Jika Never Rarely Sometime Always diarahkan untuk bicara lantang dalam kesunyian karakternya mengarungi keadaan yang lebih realistis, maka Unpregnant ini lebih dekat ke kalimat ‘karena because selalu always’, alias bernada komedi. Karakter-karakter dalam Unpregnant ‘membicarakan’ masalah mereka dengan suara keras; film ini diarahkan seperti road trip movie pada umumnya.
Yang diketahui hamil pada cerita ini adalah Veronica. Siswi SMU yang bukan cuma pintar, tapi juga termasuk geng populer di sekolah. Setelah hasil test packnya menunjukkan dua garis biru, Veronica mulai panik. Karena gendong bayi sudah barang tentu bakal mengandaskan kesempatannya untuk kuliah di universitas favorit. Jadi kedua orangtuanya yang penganut taat agama itu tentu tidak boleh sampai tahu. Weekend ini, Veronica nyusun rencana untuk road trip ke kota terdekat yang memperbolehkan aborsi tanpa persetujuan orangtua. Veronica lantas minta dianter sama mantan-sahabat baiknya, Bailey. Keduanya bakal menempuh perjalanan penuh debat konyol dan mereka bertemu dengan banyak orang-orang dengan pandangan yang berwarna-warni, menjadikan weekend itu sebuah petualangan komikal sebelum pagi aborsi.

Cerita aborsi kini lebih ceria dengan lagu Since You Been Gone!

 
Hati dari cerita ini jelas adalah hubungan persahabatan antara Veronica dan Bailey. Bayangkan dinamik antara dua tokoh sentral film Booksmart (2019), Veronica dan Bailey persis seperti demikian, dengan tambahan bumbu mereka berdua kini sudah tak sedekat dulu lagi. Chemistry Haley Lu dan Barbie Ferreira klop banget ngidupin kedua tokoh ini. Veronica-nya Haley digambarkan kontras dengan Bailey-nya Ferreira. Veronica ini kayak tipikal remaja yang sedikit memaksa diri jadi yang terbaik; dia mulai memilih pergaulan seperti dia memilih sekolahnya ke depan, dia clearly careful dan memikirkan masa depan. Sementara Ferreira lebih nyantai dan blak-blakan apa adanya, dia yang gamer itu juga tergolong cupu atau ‘freak’ di mata teman-teman Veronica yang populer. Persahabatan keduanya bakal gampang untuk relate dengan penonton, karena sebagian besar dari kita pasti pernah punya sahabat akrab yang kini hubungan kita dengannya sudah jauh karena perbedaan pandang itu mulai terasa memberikan jarak. Makanya, persoalan Veronica dan Bailey yang kemudian menjadi perlahan akrab kembali – dalam nostalgia masa kecil di perjalanan, mereka seakan sama-sama mengakui saling rindu satu sama lain – akan terasa menyentuh.
Film juga melandaskan bahwa kedua karakter ini punya kesamaan. Jika Veronica punya orangtua konservatif dan merahasiakan ke-geek-an (dan tentu saja kehamilannya), maka Bailey yang dibesarkan oleh single mother juga memendam ‘kejutan’ bahwa dia suka ama cewek. Kedua karakter ini adalah sama-sama wanita muda yang berjuang dalam lingkungan yang masih mengeja mereka harus bertingkah dan bertindak seperti apa. Perjalanan yang mereka lakukan bukan hanya penting karena mendekatkan mereka berdua karena benar-benar memposisikan mereka sehingga kesamaan keduanya mencuat, dan mereka harus worked through that. Menunjukkan support kepada masing-masing, despite their differences.

Itulah yang mendasari gagasan atau tema yang diusung. Bahwa perempuan itu ya sudah seharusnya saling support. Karena merekalah yang biasanya paling gercep merasakan simpati – dan juga karena permasalahan mereka selalu kurang lebih sama. Bailey adalah orang yang paling tepat untuk diminta bantuan oleh Veronica. Bukan semata karena mereka dulunya sobatan. Melainkan lebih karena dua-duanya ternyata berada dalam posisi yang sama. And they surely will get the job done.

 
 
Misadventure mereka menghasilkan banyak cerita yang membuat film ini asik untuk diikuti. Mereka akan bertemu, ditolong, dan disusahkan oleh berbagai karakter dan mereka belajar banyak dari pengalaman tersebut. Terlalu banyak cerita seperti begini kadang membuat kita lupa sesaat bahwa ini adalah perjalanan seorang perempuan muda yang ingin menggugurkan kandungannya. Unpregnant bukan mau menyepelekan soal aborsi. Paling tidak, film ini masih menampilkan prosedur dan syarat-syarat yang beneran berlaku di dunia nyata. Bahwa praktik tersebut memang tidak digampangkan untuk remaja sekolahan seperti Veronica. Cuma memang, sama seperti Never Rarely Sometime Always, Unpregnant pun tidak menjadikan aborsi itu sebagai sebuah keputusan besar yang harus diputuskan oleh Veronica. Dalam film ini, bagi Veronica, jauhnya jarak tempuh dan susahnya untuk ke klinik yang memperbolehkan itu  sudah seperti hukuman. Dan aborsi itu sendiri akan menjadi reward bagi dirinya yang telah belajar banyak dari rintangan alias hukuman-hukuman yang ia tempuh tersebut.

Entah bagaimana ceritanya jadi seolah hamil dan punya anak itu jadi penghalang seorang wanita untuk maju, sehingga setiap wanita berhak untuk aborsi

 
 
Unpregnant menampilan rintangan atau hukuman tersebut dalam wujud yang lucu, yang komikal. Yang unrealistis – kalo boleh dibilang. Misalnya, di satu kota, Veronica dan Bailey menumpang mobil milik pasangan suami istri, yang ternyata mereka adalah golongan pro-life, alias golongan yang tidak setuju dengan praktik aborsi. Oleh film, kejadian dengan pasangan ini dibuat over-the-top. Dibikin seolah mereka adalah pasangan fanatik atau semacam cult freak. Humor yang ditampilkan memang tidak pernah terlalu receh apa gimana, melainkan masih berakar pada emotional feeling yang dirasakan oleh para tokoh. Namun tetap saja, melihatnya sebagai gambar besar, Unpregnant ini tampak seperti petualangan sepihak yang tidak menggali dua sudut pandang terhadap aborsi, melainkan berat ke satu paham dan menjadikan sudut pandang lain sebagai bukan hanya antagonis melainkan juga lucu-lucuan.
Toh ada satu hal menarik yang diangkat oleh Unpregnant, yang menurutku berakhir menjadi bumerang bagi film ini sendiri. Soal laki-laki yang bertanggungjawab atas kehamilan Veronica. Dalam Never Really Sometime Always, tokoh utamanya diberikan backstory kehamilan yang membuat si tokoh ini mau gak mau harus menggugurkan janin. Karena benar-benar sebagai sesuatu yang tidak diinginkan – ada sedikit hint bahwa janin itu adalah buah dari sebuah paksaan dan relationship yang buruk alias toxic. Dalam Unpregnant ini, cerita kehamilannya tidak seperti itu. Veronica, meskipun gak berganti-ganti pasangan, tapi hubungan yang ia lakukan semuanya atas dasar suka sama suka. Namun dia hamil karena kondomnya bocor, cowoknya tahu dan sengaja gak ngasih tahu karena si cowok bersedia bertanggungjawab. Dengan kata lain, kehadiran si bayi tidak akan menjadi masalah, tetapi Veronica tetap ingin menggugurkan karena pertama; punya anak akan berpengaruh kepada statusnya sebagai pelajar top. Kedua; dia gak berencana untuk hidup mengasuh bayi bersama si cowok – film lantas bertindak semakin jauh dengan membuat si cowok ini rada bloon dan jadi bahan candaan.
Ini membuat tokoh utama kita jadi tampak egois, dan agak munafik. Karena plot utama si Bailey adalah soal dia mengunjungi ayahnya, tapi si ayah mengacuhkan dan gak nganggep. Dan Veronica membela Bailey dan langsung memberi pelajaran pada si ayah. Veronica gak sadar, bahwa dengan menggugurkan dia sebenarnya jadi sama dengan ayah Bailey; hanya mementingkan diri sendiri dan cuek sama nyawa yang harusnya jadi tanggungjawabnya. Mestinya cerita film ini lebih berfokus kepada mencari jalan tengah dari semua persoalan aborsi dan bayi itu.
 
 
 
Sajian yang lebih asik untuk ditonton ternyata tidak lantas menaikkan kualitasnya sebagai sebuah film. Jika aku menyebut Never Rarely Sometime Always mirip iklan layanan masyarakat yang serius untuk mendukung aborsi, maka cerita Veronica ini tuh kusebut udah kayak iklan tentang aborsi, yang lucu. Benar-benar tidak ada argumen, selain menunjukkan yang kontra itu sebagai sebuah candaan. Film ini justru bekerja terbaik saat menampilkan dua orang perempuan yang belajar untuk saling support.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UNPREGNANT.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Masih adilkah sesuatu kita sebut sebagai otonomi tubuh atau mengambil keputusan atas tubuh sendiri jika itu ternyata berkaitan dengan hidup orang lain?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MULAN Review

“You’re created not to conform”
 

 
 
Mulan adalah seorang anak yang gesit. Berani. Dia jago bela diri. Kekuatan chi-nya tergolong kuat, selevel dengan kekuatan seorang warrior. Namun Mulan tidak membuat orangtuanya bangga. Karena ada satu masalah. Mulan ini ‘cah wedok!
Anak cewek gak pantes lari-larian ngejar ayam di atas genteng. Kata ibunya, anak cewek ngasih kehormatan bagi keluarganya ya dengan bersikap lemah lembut, anggun, elegan, kalem, sopan, dan patuh, supaya kalo udah gede bisa langsung dijodohin. Bukan dengan berperang mengangkat senjata. Seperti yang persis dilakukan oleh Mulan begitu titah dari kaisar datang mengharuskan setiap keluarga ‘menyumbang’  satu pria untuk jadi pejuang memberantas pasukan pemberontak di garis depan peperangan. Menggantikan ayahnya yang sudah terlalu tua dan pincang untuk berperang, Mulan pergi diam-diam di tengah malam. Mengambil pedang, baju zirah, dan kuda sang ayah. Melanggar tiga kode kehormatan seorang pejuang. Setia, Berani, dan Jujur.
Aku masih terlalu kecil untuk dapat menyadari pentingnya cerita Mulan sewaktu menonton versi animasinya dulu. For me it was; cewek yang nyamar jadi cowok dan ada naga lucu, I’m sold! Jadi menonton Mulan versi live-action ini kurang lebih seperti benar-benar pengalaman baru bagiku, karena sekarang aku melihatnya dengan pemahaman dan konteks yang lebih mendalam daripada nonton animasinya dulu. Disney patut diapresiasi karena melakukan tindakan yang berani. Mereka tidak mengambil adegan per adegan dengan sama persis ama versi animasi. Mulan kali ini diarahkan untuk jadi lebih serius. Tidak ada lagi naga yang bisa bicara di sini, bahkan adegan musikal juga gak ada. Sayangnya, tidak semua pilihan yang diambil oleh Disney di film ini membuahkan hasil yang manis.

Yang lucunya, kesan pertamaku saat menonton ini adalah betapa Mulan ini seperti cerita Kartini, jika Kartini bisa kung-fu.

 
 
Film Mulan kali ini beneran terasa seperti film-film kung-fu. Sutradara Niki Caro tampak mengincar ke gaya yang lebih realis, walau dengan masih menggunakan elemen-elemen fantasi sebagai device dalam cerita. Absennya naga diisi oleh penyihir dengan segala kekuatannya mulai dari menjelma jadi makhluk lain hingga jurus-jurus berantem yang penuh muslihat. Padahal tokoh penyihir ini menarik, dia punya kesamaan dengan Mulan. Dan tentunya hubungan di antara keduanya jadi elemen fresh yang dipunya oleh cerita. Namun ternyata tokoh atau karakter ini memang hanya device saja. Tak banyak berbeda dengan beberapa penampakan burung phoenix sebagai simbol dari kekuatan Mulan. Jadi aku tidak yakin gaya realis itu benar-benar tercapai. Film ini juga malah menggunakan efek-efek cahaya yang membuat film semakin lebih ‘bo’ongan’ lagi. Misalnya, lensa blur/flare yang digunakan saat menyorot Mulan pada salah satu momen di pertarungan terakhir. Efek di momen itu berfungsi untuk membuat Mulan tergambar menjadi sosok yang bahkan lebih spesial lagi. Namun sesungguhnya dijadikan ‘spesial’ itu justru hal terakhir yang dibutuhkan oleh Mulan.
Gagasan cerita ini boleh saja berakar dari pandangan bahwa perempuan itu sejajar dengan laki-laki. Dalam pengembangannya, Mulan jadi mengusung banyak pesan moral yang sangat relatable buat semua penonton, tak terbatas pada penonton perempuan saja. Adegan ketika Mulan bangkit, dia membuka semua penyamaran; menggerai rambut dan kini hanya bertempur dengan robe merah tanpa armor apapun bisa kita terjemahkan sebagai pesan untuk menjadi diri. Untuk tidak lagi meredam diri, tidak mengikuti tuntunan sosial yang mengeja kita harus seperti apa, dan jadi siapa diri kita.

Kita tidak diciptakan untuk mengikuti aturan ‘cewek harus begini, cowok bagiannya itu’. Tentu, ada batasan alami yang tidak bisa dilanggar oleh keduanya. Namun batasan tersebut tidak pernah berarti kita harus mengecilkan diri jika kita bisa melakukan sesuatu melebihi dari harapan atau kebiasaan sosial. Kita bisa jadi apapun yang kita ‘mampu’. Masalahnya justru pada seberapa ‘mau’ kita?

 
Maka menjadikan atau menampilkan Mulan sebagai makhluk spesial, justru menjauhkannya dari kita. Sebab pesannya jadi seolah Mulan bisa setara seperti itu ya karena dia bukan manusia sembarangan. Padahal gak semua orang kayak Mulan; gak semua orang dianugerahi chi yang luar biasa dan disuruh meredam kekuatannya sedari kecil. Inilah pilihan paling aneh yang dibuat oleh sutradara Niki Caro yang jadi sumber masalah pada film ini: Membuat Mulan spesial alih-alih manusia biasa seperti pada animasinya dulu. Mulan kuat sedari awal. Momen-momen latihan perang tempat dia nyamar jadi cowok itu tidak lagi dalem dan emosional karena dari sudut pandangnya, cerita kali ini simply adalah soal dia bohong saja. Tidak seperti pada versi animasi. Di sana Mulannya adalah soal orang normal yang bekerja keras biar dapat diterima, biar dia membuktikan dirinya mampu mendobrak dinding yang menolak mengakui ekualitas itu. Mulan terasa seperti kita semua yang berjuang keras untuk bisa berhasil. Sedangkan pada Mulan yang baru, ini adalah soal orang yang gak boleh maju karena gender-nya tidak mengharapkan dia untuk begitu, jadi dia ngerepres siapa dirinya. Perkembangan tokoh di sini adalah tentang Mulan yang belajar untuk berani mengakui siapa dirinya di hadapan semua orang, melawan semua pandangan sosial yang mungkin mengekangnya. Perbedaan besar antara Mulan versi animasi dan versi live-action ini adalah soal normal dan spesial tersebut. Pada Mulan yang sekarang ini pesannya jadi terlemahkan oleh agenda ‘spesial’ itu. Bagaimana dengan ‘kerja keras’ itu sendiri?

Kamulah makhluk Tuhan yang paling sakti

 
Semua aspek dalam film ini terasa tidak natural. Tadi aku sempat nyebut mirip Kartini, dan memang Mulan (si Yifei Liu yang meraninnya aja kadang-kadang sekilas mirip Dian Sastro hihi) mengalami ‘kekangan’ yang sama – bahkan ia juga disuruh kawin. Namun tentu saja wanita yang tidak boleh mengecam pendidikan tinggi terasa lebih alami ketimbang wanita tidak boleh berjuang dengan kung-fu jurus tenaga dalam. Dampaknya cerita Mulan jadi tidak dramatis. Stakenya enggak kuat karena kita tahu Mulan tidak dalam bahaya, toh dia sedari kecil sudah jauh lebih hebat daripada siapapun di layar. Film juga dengan lincahnya melompati adegan-adegan yang mestinya bisa membantu Mulan untuk lebih beresonansi ke kita. Dalam film ini tidak lagi kita mendapati adegan sedramatis Mulan mengambil pedang diam-diam, memotong rambutnya, bimbang sebelum memutuskan pilihan paling penting sehubungan dengan kehormatan keluarga. Adegan Mulan memilih untuk menggantikan ayahnya dalam film ini terasa sangat datar, dengan pengadeganan sesederhana Mulan menunjuk kamera dengan pedang itu lalu kemudian fade out bentar dan voila dia sudah siap berangkat dengan baju zirah terpasang.
Karena ini basically udah jadi film kung-fu, maka mau tak mau kita harus membandingkan aspek action-nya dengan film kung-fu hebat semacam Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000), which triumphantly kick Mulan action’s in the ass. Ada beberapa momen keren, tapi adegan-adegan berantem di film Mulan ini dilakukan dengan terlalu cepat dan terlalu banyak editing. Sehingga kesannya hingar-bingar. Di sini juga film menunjukkan kekurangtajaman matanya terhadap penggalian kesan dramatis. Mulan berpindah tempat gitu aja, tidak benar-benar diperlihatkan perjuangan dan pemikirannya soal strategi seperti ketika dia begitu saja (dan begitu mudahnya) dapat taktik melongsorkan gunung es. Yang sekali lagi juga menunjukkan membuat Mulan seorang yang berkekuatan spesial hanya membuahkan kegampangan pada cerita. Film semakin tak alami, apalagi dengan beberapa batasan produksi yang harus dipatuhi oleh film. Seperti soal violence, atau darah: agak aneh menyaksikan film yang basically tentang perang, dengan banyak adegan aksi berantem pake jurus-jurus kung-fu fantastis, tetapi terasa jinak karena didesain untuk tampil ‘aman untuk tontonan keluarga’. Ataupun batasan seperti bahasa. Dengan cast nyaris semuanya Asia (ada Jet Li!), dan bersetting di Asia, terdengarnya aneh saja film memilih menggunakan dialog bahasa Inggris. Normalnya, bahasa enggak pernah jadi masalah buatku, hanya saja di momen menangnya Parasite – film berbahasa asing – di Best Picture Oscar kupikir film-film akan lebih terbuka atau setidaknya lebih berani dalam menggunakan bahasa.
 
 
 
Pilihan yang diambil oleh Disney untuk membuat film ini jadi sedikit berbeda dari versi animasinya pada akhirnya menyebabkan film ini terasa tidak alami. Tokoh utamanya yang sedari awal kuat dan spesial menjadikan development flawed-nya – dan gagasan cerita – kurang ngena, kalo gak mau dibilang tereduksi dan gak fit lagi. Hubungan tokoh utama dengan tokoh-tokoh lain sesama prajurit juga dikurangi sehingga semakin menjauhkan si tokoh dengan ‘kenormalan’ yang beresonansi dengan kita. Versi animasinya masih jauh lebih superior, bercerita dengan lebih baik, dan terasa lebih natural. Disney seperti mengulangi kesalahan yang sama pada sebagian besar live-action-nya yang gagal: membuat sebuah fantasi menjadi realis.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MULAN.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian adakah batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar ketika kita membicarakan perihal sesuatu yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

A WHISKER AWAY Review

“But you are always perfectly lovable”
 

 
 
Jadi kucing sepertinya menyenangkan. Bisa bermalas-malasan sepanjang hari, tanpa ada yang nyindir. Bangun-bangun langsung dikasi makan. Dielus-elus. Bisa bermain dengan apapun, like, kardus aja bisa jadi arena panjat-panjatan yang super menyenangkan. Kalo jatuh, bisa mendarat mulus dengan dengan keempat kaki. Lelah main, tinggal tidur lagi. Not a single worry given. Kucing punya sembilan nyawa, jadi tak perlu takut pada apapun. Tapi benarkah kita rela menggantikan kehidupan manusia dengan kehidupan kucing?
Miyo beruntung mendapat kesempatan untuk mengetahui bagaimana rasanya menjadi berkumis, punya empat kaki, bermata biru, berbulu putih, dan bertampang imut. Dia bertemu dengan kucing raksasa yang memperkenalkan diri sebagai ‘Penjual Topeng’, yang memberikannya topeng kucing ajaib. Dengan topeng tersebut, setiap kali Miyo yang di luar tampak superceria ini merasa sedih dan kesepian dan bermasalah di rumah, ia bisa kabur sejenak dari dirinya sendiri. Ia menjadi kucing yang disayang banyak orang. Terutama oleh Hinode. Cowok keren teman sekelasnya yang cuek abis itu ternyata sayang banget ama kucing. Makanya Miyo jadi betah setiap hari melipir ke rumah Hinode, sebagai kucing tentunya. Merasa hidupnya bakal jauh lebih baik saat menjadi kucing – Hinode memanggilnya Taro, sedangkan di sekolah Hinode gak pernah sudi nyapa Miyo duluan – Miyo setuju untuk memberikan wajah manusianya kepada si Penjual Topeng. Yang artinya dia bakal jadi kucing selamanya. Namun begitu seekor kucing menggantikan posisi Miyo sebagai manusia, Miyo menyadari bahwa cinta itu masih ada. Sehingga Miyo harus buru-buru mencari Penjual Topeng yang culas hingga ke dunia gaib khusus kucing, sebelum semuanya terlambat.

Bukan cinta monyet tapi cinta kucing

 
 
Gak perlu jadi pecinta kucing untuk dapat menikmati anime terbaru di Netflix ini. Serius. A Whisker Away memuat banyak emosi, tokoh-tokohnya akan mudah untuk direlasikan kepada kita. Terutama bagi anak-anak atau remaja karena deep inside film ini membahas masalah di kehidupan rumah dan sekolah. Dengan warna-warni anime dan fantasi yang tinggi, film yang sarat akan pelajaran berharga ini jadi menyenangkan untuk ditonton. Pada menit-menit awal film terasa seperti ambigu karena mengaburkan fantasi dan realita, tapi dengan segera keraguan kita terjawab. Miyo beneran jadi kucing, dan fantasi di sini adalah realita. Keajaiban flm ini bahkan semakin menguat lagi pada saat kita masuk babak ketiga, saat lokasi cerita berpindah ke dunia kucing di atas awan. Kita belum bisa menyebutnya surga karena masih ada depresi menggantung di sana, but it was magical, berisi karakter-karakter ajaib yang membantu Miyo dan cerita mencapai keseruan sebagai klimaks. Dan ketika semua selesai, kita sudah benar-benar siap untuk tangisan bahagia. Karena arahan Jun’ichi Satô dan Tomotaka Shibayama ini memang dramatis seperti demikian.
Jika kita lepas cerita film ini dari elemen kucing yang jadi identitas utamanya, maka kita akan mendapati cerita yang persis sama dengan Mariposa (2020) jika film tersebut turut dicopot dari elemen olimpiade dan dibuat dengan lebih banyak hati. Cerita A Whisker Away juga tentang cewek yang ngejar-ngejar cowok dingin yang gak suka padanya. Hanya saja kartun Jepang ini terasa jauh lebih manusiawi karena benar-benar memanusiakan dan menghormati para tokohnya. Miyo sama kayak Acha; pecicilan, rusuh, can’t take a hint, nyaring. Annoying. I mean, Miyo dijuluki Muge oleh teman-temannya di sekolah, yang merupakan kepanjangan dari Miss Ultra Gaga and Enicmatic; yang sangat mencerminkan betapa hebohnya Miyo di mata mereka. Namun tokoh ini diberikan layer. Dia diberikan alasan untuk jatuh cinta sama Hinode. Dia diberikan motivasi yang lebih dari sekadar pingin punya pacar. Dan ini jadi pembeda yang signifikan. Kita jadi peduli dan bersimpati kepada Miyo – sesuatu yang tidak mampu kita lakukan terhadap Acha di Mariposa yang tidak punya masalah apa-apa di dalam hidupnya selain kebelet penasaran sama Iqbal.
Cinta Miyo kepada Hinode muncul saat Hinode menunjukkan perhatian kepada dirinya yang sedang dalam wujud kucing. Keduanya sharing a beautiful dan personal momen bersama di bawah cahaya kembang api festival. Cowok penyayang hewan itu memberikannya kasih sayang tatkala Miyo lagi menyendiri dalam pelariannya karena capek menjadi manusia. Jadi wajar, at that exact moment, Miyo langsung cinta mati meskipun ia tahu yang disayangi Hinode adalah kucing. Wajar Miyo ketagihan merasakan cinta karena selama ini ia percaya tidak ada yang mencintai dirinya, not even her own mother. Begini, sikap ceria dan semangat-berlebihan yang Miyo tunjukkan kepada sekitarnya bukan tanpa alasan. Melainkan karena dia terluka di dalam. A Whisker Away juga mengeksplorasi soal parenting – sebagaimana yang juga di-claim oleh Mariposa – dan melakukan ini dengan lebih dalam daripada hanya memperlihatkan orangtua yang satu dimensi. Miyo dibesarkan bukan dalam keluarga sempurna. Justru kebalikannya. Ibu kandung Miyo meninggalkannya waktu masih kecil, sehingga sekarang Miyo tinggal bersama ayah dan ibu tiri. Ini menyakitkan buat Miyo; bukan karena ia punya ibu tiri, tetapi karena kenyataan bahwa ia merasa ibu aslinya tak sayang padanya.
Perasaan seperti ini tentu saja devastating bagi siapapun. Jika ibu sendiri tak sayang, maka gimana kita mau percaya ada orang lain yang sama kita. Miyo jadi tries so hard untuk dicintai. Dia mengubur deritanya dalam-dalam dan mencoba menjadi ceria sehingga ia disukai orang serta tidak membuat orang di sekitarnya bersedih. Namun jelas itu cara yang salah. Film ini berani mempertontonkan sikap Miyo sebagai hal yang ganjil dan aneh dan gak-cute. Bahwa kita tidak diniatkan untuk mendukungnya mengejar Hinode yang gak tertarik. Adegan penolakan pada film ini terasa beneran membekas dan jadi titik balik bagi Miyo. Ini mengubah Miyo, karena sekarang dia percaya beneran gak ada yang suka sama dia. Makanya Miyo mau ditawari menjadi kucing. Bayangkan untuk mau menukar hidup jadi kucing, pastilah hidupmu sebagai manusia amat sangat menderita.

Miyo adalah karakter yang sangat sengsara. Bisa dibilang ‘jadi kucing’ itu adalah metafora halus untuk ‘mau bunuh diri’. Inilah mengapa anime ini penting untuk ditonton oleh keluarga. Karena sekarang kita hidup di jaman di mana bunuh diri telah terdramatisasi. Orang sekarang membiarkan diri mereka tenggelam dalam depresi dan lebih memilih untuk mengakhiri hidup karena merasa atensi itu didapat dari sana. Padahal bukan. Film ini menunjukkan kita hal yang sebenarnya. Yang Miyo butuhkan adalah untuk dicintai oleh orang – satu orang saja, sehingga dia bisa menyadari bahwa hidupnya bermakna. Oh boy, bahwasanya itu hal yang tak perlu ia atau siapapun minta. Semua orang pasti dicintai, asalkan menjadi diri mereka sendiri.

 
Hinode exactly adalah Iqbal, karakternya punya arc yang sama persis hingga ke resolusi yang dilalui. Bedanya adalah tokoh ini ditulis dengan sangat hormat. Tak pernah sekalipun dia dimanipulasi oleh orang-orang sekitar untuk menyukai Miyo sehingga berpikir jangan-jangan ia suka Miyo. Hinode dibiarkan berkembang sendiri. Mengatasi masalah keluarganya dengan pembelajaran sendiri. Keluarganya juga gak ditulis satu-dimensi. In fact, tidak ada tokoh ayah atau ibu yang mutlak otoriter dan maksain kehendak di film ini. Selalu ada situasi yang menimbulkan pilihan, dan kondisi alami yang mendorong karakter memilih putusan atas pilihan tersebut. Bahkan tokoh ‘penjahat’ – si Penjual Topeng itu pun tidak dibuat total licik dan serakah. Sebagai pedagang, dia bahkan termasuk pedagang yang jujur.

Kalah deh pokoknya penjual-penjual penimbun masker.

 
 
Kendati punya cerita yang lebih berlapis dan penceritaan yang lebih menarik, still, problem film ini juga masih sama ama problem Mariposa. Anak-anak dan remaja nonton film ini sebaiknya ditemani oleh orang yang lebih dewasa. Gambaran cewek ngejar cowok, meski memang di sini diperlihatkan gila dan gak sehat, tetap harus ditekankan bahwa hanya akan benar jadi romantis kalo si cowok memang kebetulan punya masalah dalam mengungkapkan diri. Lain kata, dalam kondisi yang sangat ideal-lah romansa ini bisa terjadi. Menjadikan mereka pasangan sebagai bentuk dari reward tetaplah merupakan sesuatu yang dilebihkan, karena reward berupa perasaan dicintai gak mesti ditunjukkan dengan jadian dan membuat tokoh utama selama ini benar atas feelingnya terhadap Hinode sehingga tidak perlu mengucapkan maaf atas tindakannya. Poinku adalah cerita seperti ini bakal tetap bekerja jika pada akhirnya kedua tokoh tidak menjadi pasangan. Mereka bisa jadi teman akrab, romance masih bisa dipantik dari ‘tempat’ lain tho, dan pesan cerita masih akan sama dan sama suksesnya tersampaikan.
Hubungan yang paling menyentuh, bagi pecinta kucing, besar kemungkinan adalah bukan antara Miyo dengan Hinedo. Film ini juga membahas hubungan antara kucing peliharaan dengan majikan yang menganggapnya sudah seperti anak sendiri. Eh, salah. Yang menganggap kucing peliharaan lebih dari anak sendiri. Film ini menunjukkan betapa hubungan majikan-peliharaan ini dapat mencapai level emosional yang sangat mendalam karena memang kucing ataupun peliharaan sejatinya bukan sekadar mainan. Apa yang tadinya ‘hanya’ berupa emotional companion, bisa jadi lebih attach daripada itu. Di film ini ada tokoh yang lebih suka kucing peliharaanya kembali daripada si kucing itu berubah menjadi manusia dan menjadi anaknya diam-diam. It is such a beautiful relationship; film ini berhasil menggambarkannya dengan sama indahnya.
 

Dan karena itu maka review ini aku dedikasikan untuk Max, kucing oren yang sudah kupelihara sejak bayi dua tahun yang lalu, yang currently menghilang – Max yang sedang masa kawin gak pulang ke rumah. Aku gak tau apa dia tersesat atau udah berubah pakai topeng wajah manusia.

 
 
 
Beginilah cara yang benar dalam menyajikan cerita komikal, atau bahkan fantastical tentang yang mengejar cinta seorang cowok. Dengan memberinya karakter yang manusiawi, konflik yang personal, dunia yang menarik. Singkat kata; memberikannya hati. Anime ini penting ditonton karena membahas isu soal depresi terkait dengan menjadi diri sendiri – problematika yang senantia menghantui pikiran setiap remaja, bahkan orang dewasa sekalipun. Do I matter? Apakah aku pantas mendapat cinta. Film ini menawarkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Membawa kita melihat dari sudut pandang luar untuk menemukan jawaban itu. Jadi ya, buat yang merasa depresi dan tidak-dicintai, cobalah tonton film ini. Buat yang suka kucing apalagi. Ada sih, satu-dua hal yang jangan lantas ditelan mentah-mentah – yang jangan dijadikan panutan (jangan lompat dari atas atap sekolah demi membela yayangmu, for instance), but still ini adalah film kucing yang sweet dan emosional dan amat manusiawi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A WHISKER AWAY.

 

 
 
That’s all we have for now.
Apakah kalian punya hewan peliharaan kesayangan? Menurutmu kenapa beberapa dari kita butuh hewan peliharaan?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DA 5 BLOODS Review

“And the whole thing is that you’re treated like a step-child”
 

 
 
Spike Lee memang sangat vokal menyuarakan kesetaraan sosial kulit hilam. Dari Malcolm X (1992) hingga BlacKkKlansman (2018), dia terus membangun cerita berdasarkan soal pandangan politik dan kritikannya terhadap isu-isu tersebut. Maka tidak ada waktu yang lebih tepat lagi daripada sekarang ini – ketika #BlackLivesMatter kembali digemakan karena pelanggaran oleh seorang polisi kulit putih di Amerika – untuk film terbaru Spike Lee tayang. Da 5 Bloods, drama yang turns out to be a genre action-adventure tentang para veteran perang Vietnam, dibuat oleh Spike Lee untuk membahas nasib tentara kulit hitam selepas perang. Bahwa mereka tidak mendapat apa-apa selain trauma. Bahkan tidak pula terima-kasih. Apalagi sebuah kata maaf.
Begini gambaran besar kondisi mereka yang pada poin tertentu diutarakan lewat karakter fiktif dalam film ini: Kulit hitam adalah minoritas di Amerika, tapi di medan perang – di Vietnam sana – kulit hitam mendominasi. Kebanyakan mereka dikirim memperjuangkan kebebasan bangsa asing, padahal di negara sendiri mereka sama terkekangnya. Atas bahaya perang, kekerasan yang terpaksa dilakukan – karena dalam perang, setiap perbuatan adalah mengerikan, para tentara ini menanggung semua trauma sementara kebebasan bagi mereka tak kunjung datang. Perang bagi mereka sendiri tak-pernah berakhir.
Empat dari mereka itu adalah Paul, Otis, Melvin, dan Eddie. Empat tentara yang sudah menjadi seperti saudara karena semua yang telah mereka lalui di belantara Vietnam sana. Da 5 Bloods adalah cerita tentang keempat orang ini, yang tadinya berlima. Satu ‘blood’ lagi, teman, sahabat, sekaligus junjungan mereka semua, Norman, gugur di medan perang. Untuk dialah geng Bloods yang kini udah gaek itu berkumpul kembali di kota Ho Chi Minh. Mereka akan menyusur hutan, menjemput jasad Norman, sekaligus mengambil harta karun, like, literally emas batangan, yang tertimbun di tempat terakhir mereka berperang. Namun tentu saja perjalanan itu tidak bakal sedamai yang mereka duga. Sebab pencarian harta karun ini membuat mereka menapaki kembali tragedi dan kecamuk personal di masa lalu. Sekali lagi mereka harus berperang. Orang bilang emas mampu mengubah manusia menjadi yang terburuk. tapi itu bukan satu-satunya ‘musuh’ yang harus mereka kalahkan. For each of them punya kepentingan personal; kebutuhan yang harus disegerakan dalam usaha berdamai dengan masa lalu. Particularly menarik adalah dua orang tokoh; Otis yang served as protagonis sekaligus hero, dan Paul sebagai tokoh utama. Dan masalah kedua orang ini berkaitan dengan anak, yang bisa kita tarik garis keparalelan dengan gagasan yang ingin disampaikan oleh film dalam isu penduduk kulit hitam yang selama ini diperlakukan seperti anak tiri oleh negara.

‘Emas hitam’ itu adalah darah persahabatan

 
Meskipun dimulai dengan berondongan montase video Muhammad Ali yang menolak enlist jadi soldier dan cuplikan-cuplikan foto sejarah perang Vietnam lengkap sama nama dan tanggal-tanggal penting (cuplikan ini bisa bikin tidak nyaman karena nampilkan mayat korban dan eksekusi real), dan aksi-aksi protes terhadapnya, Da 5 Bloods yang sarat akan komentar politik ini tidak terasa berat untuk dinikmati. Lee sukses mengaduk ketegangan isu ras, emosi, kemarahan di dalamnya, dengan momen-momen menyentuh dan komedi yang akrab, dan lalu menutupnya dengan aksi brutal ala film laga. Tidak akan susah bagi kita untuk mengikuti drama yang melatarbelakangi cerita film ini. Simpati itu juga tidak diminta kepada kita, film tidak mengemis belas kasihan kita kepada para tokoh kulit hitam dan ketidakadilan yang mereka terima. Instead, yang kita lihat di sini adalah karakter-karakter yang bercela karena dampak perang. Kadang kita takut kepada mereka. Kadang kita ingin mereka mendapat keadilan. But mainly, kita semua akan merasakan deep connection, apalagi ketika film mulai membahas hubungan karakter dengan anaknya.
Lewat tokoh Otis yang diperankan oleh Clarke Peters, film mengangkat topik anak yang berasal dari hubungan tentara dengan penduduk lokal selama perang. Sebelum berangkat ke hutan, Otis mengunjungi perempuan Vietnam yang dulu pernah berhubungan dengannya. Di rumah perempuan itu, unexpectedly Otis bertemu dengan anak gadis yang tidak-lain-tidak-bukan adalah buah hubungannya dengan si perempuan. Namun tidak satupun dari mereka yang berani menyebutkan hal tersebut kepada si anak. Bohong diciptakan untuk menutupi hal tersebut, dan Otis hanya bisa diam. Dia ingin ‘menyapa’ anak kandungnya ini so bad,  kita jadi peduli kepadanya, kita ingin mereka benar-benar ‘bertemu’. Dan ini dikontraskan sekali dengan hubungan antara Paul dengan anaknya, David, yang diam-diam menyusul ke Vietnam dan ikut serta dalam perjalanan mereka. David gak pernah diaku anak oleh Paul, sepanjang dua jam lebih film ini kita akan melihat perlakuan Paul kepada David – sekali waktu dia cemas ketika David nginjek ranjau, dan kali lainnya dia tidak lagi menganggap David anaknya hanya karena David menolak untuk ikut meninggalkan kelompok. Tapi film membiarkan kita tetap lekat kepada Paul supaya kita bisa mengerti akar dari permasalahannya dengan David.
Dan oh boy, betapa Paul adalah tokoh yang kompleks, dan dimainkan dengan luar biasa oleh Delroy Lindo!

 
 
This is my favorite acting performance so far this year. Lindo berhasil memaksimalkan intensitas dari karakter Paul yang benar-benar… haunting. Paul adalah yang paling terpengaruh oleh kematian Norman dibanding tiga rekannya yang lain. Dia yang paling terpukul oleh dampak perang. Bayangkan amarah, takut, sakit, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, lalu hidup. Itulah Paul. Paul ini kayak ngeliat Big Show di WWE, kadang dia baik, kadang jahat banget. Kadang kita mencemaskan dirinya saat PTSD-nya kumat. Kadang kita bisa merasakan kebencian tulen menguar dari dirinya. Untuk membuatnya lebih ruwet lagi, Lee menuliskan Paul sebagai seorang supporter Trump. Menunjukkan rasa patriotnya yang tinggi, yang kontan menjadi tambahan konflik buatnya once he realized itu tidak membuat hidup menjadi lebih mudah baginya. Malahan makin susah, bukan hanya baginya tapi juga bagi keluarga – bagi anaknya. Transformasi karakter ini diperlakukan dengan sangat unik. Lindo akan banyak melakukan monolog, dan pada beberapa monolog Lee membuat Lindo secara close up bicara langsung kepada kamera. Sehingga efek yang dihasilkan menjadi luar biasa. Yang membuat monolog itu unik adalah yang ditampilkan bukanlah tokoh yang perlahan menjadi gila karena perbuatannya. Melainkan tokoh yang mengalami sebuah penyadaran dahsyat. Paul menjadi a better man, sekaligus dia sadar seberapa banyak dosa-dosanya.

Paul adalah ayah, yang harusnya mengayomi anak seperti negara mengayomi warganya. Tapi Paul membunuh ‘orang’nya sendiri. Seperti negara yang kerap membunuhi warganya sendiri, for no reason. Arc Paul beres begitu dia meminta maaf, yang membuatku berpikir jangan-jangan inilah seruan Lee kepada negaranya. Bahwa yang dibutuhkan adalah meminta maaf. Kemudian mengakui warga selayaknya anak, tanpa pandang bulu, tanpa pandang warna.

 
 
Menyadari betapa pentingnya bagi kita para penonton untuk tetap berpegang kepada para tokoh, untuk melihat mereka sebenar-benarnya diri mereka, Spike Lee enggak repot-repot mencari dua pemain untuk memerankan dua versi karakter. Dia juga tidak menggunakan efek untuk memudakan, yang beresiko membuat tokohnya tidak tampak alami dan melepaskan kita dari mereka. Da 5 Bloods dari waktu ke waktu akan membawa kita ke masa lalu, masa perang saat Paul, Otis, dan teman-teman sebagai tentara muda, dan dia menampilkan mereka benar-benar seperti mereka tidak pernah berubah lagi setelah perang mengubah mereka terlebih dahulu. Kontras karakter versi muda dan tua ini cuma di kekuatan fisik – in modern day kita melihat Otis harus berjalan dengan bantuan tongkat karena pinggangnya udah gak kuat, sedangkan di masa lalu ia kuat berlarian. Lee menghandle dua masa itu dengan sangat mulus. Dia juga menggunakan perbedaan ratio pada layar. Adegan perang di masa lalu punya ratio yang lebih kecil sehingga menimbulkan kesan seperti melihat rekaman masa lalu.
Perpindahan masa ini tidak pernah terasa mengganjal karena Lee tidak melakukannya dengan berlebihan. Melainkan dia melakukannya dengan timing yang precise, dia tahu kapan untuk ngeflashback sehingga terasa impactful. Ada satu flashback yang terus diulur, adegan sebenarnya antara Paul dan Norman di medan perang, kita punya dugaan tentang adegan ini, kita ingin konfirmasi, tapi film tidak melakukannya sehingga kita terus terbuild up, dan dying for the flashback. Aku biasanya gak demen sama flashback, tapi di film ini aku jadi merasa butuh. Dan BAMM! ketika beneran tiba, efek adegannya menjadi berkali lipat. Buatku ini adalah cara yang pintar dalam menggunakan flashback; tidak berlebihan melainkan yakinkan dulu penonton sudah terinvest dan buat mereka merasa butuh untuk melihat flashback.
Sisipan dalam film ini bukan hanya flashback, melainkan juga footage-footage adegan nyata, yang seperti sudah kusinggung di atas; dapat menjadi disturbing untuk kita lihat. Korban-korban perang, mayat wanita, balita… Ini ditampilkan oleh film bukan untuk ajang biar edgy atau menarik penonton haus darah. Ini harus ada sebagai penekanan atas narasi yang dibentuk oleh film. Mayat-mayat itulah yang dipikirkan para tentara, itulah oleh-oleh yang dibawa pulang kalo kita berperang. Film menekankan bahwa mereka melakukan itu semua untuk apa. Secara konsep juga film menunjukkan mereka tidak segan-segan untuk menampilkan aksi kekerasan. Ada banyak adegan tembak-tembakan disebar – penggemar film perang akan enjoy main tebak-tebakan reference saat nonton ini – dan di babak akhir ada konfrontasi gede sebagai final-fight yang buatku sedikit terlalu ngegenre, tapi diperlukan oleh salah satu karakter sebagai full-circle arcnya.
 
 
 
 
Dalam durasi dua setengah jam, Spike Lee membawa kita mengarungi perjalanan emosi. Membuat kita berpikir tentang keadilan dalam sudut yang baru. Mengenai makna sebenarnya dari sebuah patriotisme. Ada banyak yang bisa kita pikirkan dari karakter-karakter di sini. Yang membuat ini menjadi tontonan bergizi yang mengasyikkan adalah ia tidak berhenti hanya sebagai komentar soal politik. Film ini menyentuh dunia nyata keras-keras, menjitaknya kalo boleh dibilang, tapi tidak lupa untuk menjadi menghibur. Tanpa mengurangi bobot pesannya. Ini kemampuan yang gak semua sutradara mampu, dan kupikir dunia sangat berterima kasih atas kehadiran film ini.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DA 5 BLOODS.

 

 
 
That’s all we have for now.
Para tentara itu bertanya kepada diri mereka sendiri kenapa mereka mau berperang untuk negara yang tetap saja memperlakukan mereka seperti warga kelas-dua saat kembali nanti. Bagaimana menurut kalian, apakah itu adalah bentuk pengabdian kepada negara?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ARTEMIS FOWL Review

“Trust is that rare and priceless treasure…”
 

 
 
Menyebut cerita fantasimu seperti gabungan Harry Potter dengan Spy Kids seharusnya merupakan pujian. I mean, otomatis kita akan berasumsi itu adalah pujian karena bayangkan saja sebuah dunia dongeng hunian makhluk-makhluk sihir yang mentereng oleh teknologi-teknologi canggih! Tapi entah bagaimana, sutradara Kenneth Branagh mengacaukan imajinasi tersebut. Film Artemis Fowl yang ia adaptasi dari salah satu novel fantasi populer ini seperti penggabungan yang terburuk, karena arahannya justru membuat dunia khayal tersebut jadi tak-berbobot, tak-berhati, dan tak-berjiwa.
Ceritanya malah begitu amburadul, sehingga menuliskannya ke dalam sinopsis akan membuat paragraf ini seperti racauan gelandangan bermulut bau alkohol murahan yang sering kita temukan nongkrong di sudut kota. Tersebutlah Artemis Fowl, anak dua-belas tahun putra seorang jutawan barang antik. Tapi ada sesuatu yang mencurigakan dari ayahnya yang hobi nyeritain dongeng. Suatu hari ayah Fowl diculik dari ‘perjalanan dinas’ dan disekap oleh seorang misterius yang meminta tebusan berupa Aculos. Artifak berkekuatan super milik bangsa peri. Yea, ternyata di bawah tanah, merahasiakan diri dari manusia hiduplah bangsa peri, kurcaci, troll, dan-kawan-kawan, dengan teknologi yang jauh lebih maju daripada manusia. Artemis Fowl harus memaksa dirinya mempercayai dongeng yang ia dengar sejak kecil, dan berusaha menangkap satu peri, supaya dia bisa mendapatkan Aculos untuk nego membebaskan ayahnya dari penculik misterius. Masalahnya adalah, bahkan bangsa peri sendiri tidak tahu di mana Aculos yang sudah lama hilang dari dunia mereka, dibawa ke dunia manusia. Jadi keseluruhan film pertama dari apa yang diniatkan sebagai seri film Artemis Fowl ini akan membahas perebutan ‘The Lost Aculos’ di atas fungsinya sebagai origin atau perkenalan sebuah dunia magis yang baru.

Dan ‘aku-lost’ oleh hiruk pikuk cerita film ini

 
 
Film ini udah sekitar dua-puluh tahunan mengembara di dapur produksi. Begitu novelnya rampung, sudah banyak yang ngebet pengen memfilmkan ini sebelum dibeli oleh Disney. Gak tau deh berapa banyak draft untuk film ini sejak saat itu. Namun yang jelas, poster ‘coming soon’nya mulai mejeng dari tahun lalu di bioskop. Dan akhirnya Disney merilis ini di tengah pandemi. Di saat film-film unggulan Disney yang lain ditunda hingga bioskop buka, Artemis Fowl muncul begitu saja di layanan streaming official Disney+, sehingga lantas saja menimbulkan pertanyaan kenapa sekarang menjadi waktu yang tepat? Mereka udah nunggu bertahun-tahun, apalah arti menunggu sedikit lagi supaya tayang di bioskop? Melihat keseluruhan film ini, kita boleh lancang menjawab karena Disney sendiri tau hasilnya jelek, sehingga menunggu lebih lama akan makin memperbesar ekspektasi orang-orang, maka to lessen the inevitable damage dirilislah sekarang. Akan tetapi, kalo boleh bersikap positif sedikit, mungkin film ini ditayangkan hari-hari ini karena ceritanya mengandung sedikit pesan yang relevan dengan keadaan.

Bangsa peri dan manusia terpisah karena masing-masing takut dengan yang lain. Ada rasa tidak percaya yang tumbuh. Aculos yang berakhir menjadi pemersatu dua bangsa ini adalah simbol dari trust. Ia adalah harta tak-ternilai, yang punya kekuatan super, yang berhasil menyelamatkan semua berkat dua makhluk; manusia dan peri, yang sepakat untuk saling percaya menjaga dan menyimpannya jauh dari tangan-tangan jahat.

 
Dalam ngereview film, biasanya aku selalu menggunakan formula ‘utarakan nilai plus filmnya dulu, ceritakan yang baik-baik di atas, lalu kemudian ditutup dengan kekurangan dan nilai minus film’. Namun untuk Artemis Fowl ini aku benar-benar kesusahan mencari nilai positif untuk disampaikan kepada pembaca. Karena sama seperti suasana wow dan magis, pencapaian bagus film ini juga sama sekali gak ada. Pesan yang kutulis di atas tadi besar kemungkinan adalah long-reach, yang justru terasa karena menontonnya di tengah masa-masa berita #BlackLivesMatter santer alih-alih karena filmnya memang menyematkan pesan untuk keadaan itu. Karena faktanya, film ini tidak pernah melakukan banyak hal terhadap tokoh-tokohnya yang beragam rupa tersebut.
Aku ingin bisa bilang bahwa petualangan dan pencarian Aculosnya seru, mengasyikkan, ataupun menegangkan, tapi gak bisa. Sebab film ini tidak punya adegan petualangan itu sendiri. Lucu gak sih. Ini benar-benar cocok sebagai film yang ditayangkan di masa pandemi karena Artemis Fowl ini adalah FILM PETUALANGAN YANG TOKOH UTAMANYA DI RUMAH AJA! Artemis gak ke mana-mana. Dunia peri bawah tanah itu, dia tidak ke sana. Tidak ada momen dia tercengang oleh dunia atau makhluk-makhluk yang sama sekali belum pernah ia lihat, not to mention mereka adalah eksistensi yang selama ini tidak ia percayai ada di muka bumi. Kita, penonton doang, yang tau-tau dipindah dari rumah gede Artemis ke bawah tanah melihat bangsa peri. Kita melihat teknologi mereka, di bawa masuk ke antara barisan pasukan peri yang bersenjata unik. Namun kita tidak diberikan waktu untuk meresapi semua itu. Hal-hal berlalu begitu cepat, lenyap dalam lontaran-lontaran eksposisi. Lupakan soal eksplorasi, kita bahkan enggak pernah benar-benar diperkenalkan kepada tokoh-tokoh yang muncul satu persatu. Film cuma menampakkan mereka di layar, sementara informasi tentang siapa mereka, apa yang mereka lakukan, semuanya disebutkan. Kita enggak belajar apapun. Fantasi dan wonder itu sama sekali enggak nyangkut, sehingga film ini tumpul secara emosional.
Padahal setidaknya ada beberapa karakter yang menarik. Komandan peri yang udah beratus tahun membenci manusia kemudian menyadari hal penting. Dwarf yang gak diterima oleh bangsanya sendiri karena punya fisik yang berbeda. Pejuang peri yang diremehkan karena ayahnya melakukan sesuatu di masa lalu sehingga dicap pengkhianat. Film tidak pernah sepenuhnya stop untuk mereka. For the sake of Artemis yang benar-benar membosankan. Tokoh utama kita ini enggak punya sesuatu yang spesial. Sikapnya standar anak orang kaya yang bisa jadi annoying atau sedikit brengsek kepada orang lain. Dia diperlihatkan suka surfing, tapi apa hubungannya itu dengan ini semua. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai ‘criminal-mastermind’, tapi sama seperti banyak hal pada film, semua itu hanya diucapkan tanpa pernah diperlihatkan buktinya. Visual storytelling film ini sungguh gak-jalan. Sutradara sendiri sepertinya bingung untuk menggali karakter ini, bagaimana membuat sebuah anak-kriminal sebagai tokoh film anak-anak, jadi dia memberikan petunjuk kepada Ferdia Shaw – aktor cilik yang memerankan Artemis – untuk diam berekspresi kaku saja setiap kali berbicara. Aku berharap dia terus-terusan memakai kacamata hitam, soalnya paling tidak matanya tak lagi terlihat mengawang menghapal dan nunggu dialog berikutnya.
Untuk sebuah dunia fantasi yang supposedly luas, film memaksa kita untuk mendengarkan saja narasi. Menonton ini seperti terikat kepada paparan yang dicuapkan oleh seorang karakter – dan ini adalah konsep yang benar-benar aneh untuk bercerita tentang sebuah petualangan fantasi. Begini, cerita yang kita ikuti di sini basically adalah flashback yang dikisahkan oleh seorang dwarf raksasa (bayangkan Hagrid, tapi less-simpatik). Di raksasa sedang diinterogasi karena punya hubungan dengan keluarga Fowl dan dia disuruh menjelaskan semua kejadian. Yang ia ceritakan itulah yang kita tonton, dengan konteks yang meragukan karena di menjelang akhir ia menjelaskan bahwa penangkapan dirinya sudah direncanakan, dan dia memang diberikan tugas untuk membeberkan informasi sehingga kita gak bisa yakin semua yang kita tonton beneran terjadi atau cuma karangan berbumbu dari si dwarf. Mungkin inilah pembelaan film; penceritaan mereka begitu simpang siur, kita tidak pernah benar-benar kenal dengan si Artemis yang jadi tokoh utama, kita malah melihat lebih banyak dan lebih tertarik sama bangsa peri, karena si dwarf-lah yang mendongeng dan ia adalah pendongeng yang buruk.

More like, ‘Artemis Foul’

 
 
Dari situ aja, film ini udah sedikit cacat pada logika. Salah satu alasan bangsa peri mencari Aculos adalah supaya rahasia keberadaan mereka tidak terbongkar. Tapi kemudian, setelah Aculos berhasil terselamatkan dan Artemis dan bangsa peri menjadi ally, si dwarf tadi disuruh untuk membeberkan cerita pertempuran mereka kepada manusia? Membuka rahasia bangsa peri dan kemudian pergi dari sana dengan cara yang tidak bersahabat? Aku tidak mengerti endgame si bocah kriminal itu sama sekali. Dan bicara soal aksi, mau bilang porsi action film ini keren, aku juga gak bisa, karena adegan pertempuran gede-gedean di rumah Fowl itu sungguh sukar untuk diikuti dengan mata telanjang kita yang gak dibekali teknologi peri. Semua hanya berlangsung se’duar-duar’nya pembuat film aja, segimana yang kira-kira bikin penonton bengong dan berhenti sejenak mengumpat film ini. Begitu banyak yang beterbangan ditangkap oleh kamera, mulai dari tokoh-tokoh yang tidak kita pedulikan hingga hal-hal kecil yang tidak terjelaskan. Misalnya, kenapa Artemis dan pengawalnya tidak terpengaruh time freeeze, ataupun kenapa kemudian time freeze itu mendadak rusak, dan udah tau rusak mereka semua masih diem di sana aja. Dan ketika ada satu tokoh yang terluka, dan mau-tak-mau kita mulai peduli padanya, film membantah itu semua dengan elemen penyelamat; bangsa peri bisa menyembuhkan segalanya. Dan hey, kalopun ada apa-apa, Aculos bisa memperbaiki apapun karena sangat kuat!
 
 
 
 
Hal paling parah dari film ini adalah dia tidak tau mau menjadi apa. Katanya ini adalah film pertama yang seharusnya membahas origin, tapi banyak hal esensial yang terskip dan hanya disebutkan oleh eskposisi, dan film langsung merapel ke konflik pada buku berikutnya. Katanya ini adalah film petualangan, tapi tokoh utamanya sama sekali tidak ke mana-mana untuk mencari benda yang harus dicari. Dan ultimately, film ingin kita menyukai tokoh utama – mereka mengubah cukup drastis karakter tokoh ini dibandingkan dengan novel – tapi si tokoh sama sekali tidak menarik dan gak ngapa-ngapain, kita juga lebih banyak mengikuti tokoh yang lain. Ini bahkan tidak terlihat seperti film dengan narasi dan karakter-karakter yang hidup, melainkan hanyalah rangkaian adegan-adegan gak spesial. My final words, ini adalah kekacauan storytelling yang mentereng.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for ARTEMIS FOWL.

 

 
 
That’s all we have for now.
Kenapa sekarang kebanyakan justru polisi atau yang bersenjata semakin tidak percaya dan semakin takut kepada orang biasa?
Who can we trust now?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SCOOB! Review

“If your best friend is not jealous of your other friends, then you have no bestie”
 

 
 
Simon Cowell membuat geng Mystery Inc. terpecah di film animasi terbaru Scoob! Shaggy dan Scooby Doo dianggap sebagai beban yang tidak punya kontribusi apa-apa kepada grup (sementara Fred berfungsi sebagai otot, Velma sebagai otak, dan Daphne sebagai PR). Tapi bagaimana dengan persahabatan mereka – yang ternyata sudah terjalin secak kecil? “Persahabatan tidak akan bisa bertahan karena orang berubah”, begitu kata juri acara nyanyi yang bersedia jadi investor bagi Mystery Inc tersebut. Inilah yang kemudian menyebabkan Shaggy mengajak Scooby cabut. Kemudian terlibat masalah yang membuat Scooby Doo dan rest of the gang berada dalam bahaya.
Keseluruhan film ini adalah tentang menghargai dan memaknai persahabatan dengan cara yang benar. Doesn’t matter entah sahabatmu itu manusia, atau (especially dalam kasus Shaggy) binatang peliharaan, seperti Scooby. Sutradara Tony Cervone memulai cerita pada masa kecil para tokoh. Kita melihat pertemuan yang menghangatkan hati. Shaggy Kecil yang gak punya teman bertemu dengan anjing coklat yang lagi ngumpet diuber polisi karena nyolong makanan. Persahabatan dapat bermula dari hal kecil, seperti saling berbagi makanan, kayak yang terjadi pada Shaggy dan Scooby. Atau dari saling menolong dalam kesusahan, seperti ketika Shaggy dan Scooby dibantu oleh Fred, Velma, Daphne mengambil makanan Shaggy yang dibuang oleh bully ke rumah kosong – yang lantas menjadi tempat pertama geng ini memecahkan kasus supernatural bodong. Shaggy akhirnya mendapat teman; tiga sahabat manusia dan satu sohib berkaki-empat yang sangat ia sayangi. Namun setelah dewasa, mendadak teman-teman Shaggy menjadi lebih penting daripada dirinya. Velma, Fred, dan Daphne lebih berskill. Dan Scooby diincar oleh Dick Dastardly (dari Wacky Races; satu lagi kartun favoritku semasa kecil) karena dianggap sebagai kunci membuka gerbang harta karun Cerberus, serta dijadikan pahlawan super oleh superhero favorit mereka; Blue Falcon (another karakter dari kartun 90an produksi Hanna-Barbera)
Kesetiaan dalam film ini dilambangkan oleh hubungan persahabatan antara anjing dengan manusia. Bukan hanya Shaggy, Blue Falcon dan penjahat Dick Dastardly juga punya anjing yang mereka anggap lebih dari sekadar peliharaan. Melainkan teman bagi mereka. Rekan. Elemen persahabatan manusia dan teman-terbaiknya ini memang gampang untuk menjadi menyentuh. Bahkan si Dastardly aja hampir-hampir jadi bikin kita simpati padanya begitu kita sadar motivasi ia yang sebenarnya di balik pengen harta karun dan mengunleashed hantu Cerberus. Hanya saja, animasi komputer yang mulus ini bertekad kuat untuk menjadi ‘hitam-putih’. Ia tidak ingin menjadi terlalu complicated untuk dicerna anak-anak. Cerita hangat dan menyentuh di awal, di bagian para tokoh masih kecil, dengan cepat tergantikan oleh fast-paced attempt untuk menjadi seperti petualangan superhero. Yang setiap adegannya semakin konyol dan gak make sense. Kita semua tahu Scooby Doo memang berawal dari kartun, dengan adegan lelucon khas kartun, dan film toh berusaha menghadirkan sebanyak mungkin elemen aslinya supaya penonton dewasa bisa bernostalgia, tapi tetap saja film ini melupakan satu hal krusial yang membuat Scoob! itu Scooby Doo.

bersembunyi di balik kedok superhero

 

Mempertahankan sesuatu memang lebih sulit daripada meraih. tak terkecuali dalam hal persahabatan. Seiring kita dewasa, akan ada banyak perubahan yang terjadi bersama sahabat. Perjalanan Shaggy dalam film ini dapat mewakili permasalahan yang paling dekat bagi anak-anak yang menjadi target ceritanya. Bagaimana jika sahabat kita lebih baik daripada kita? Bagaimana jika sahabat kita punya sesuatu yang kita tidak punya? Bagaimana jika sahabat kita punya kenalan baru, punya kegiatan baru yang tidak bisa kita ikuti?
In the end, film ini akan mengajarkan untuk normal untuk merasa jealous sama sahabat sendiri, tapi kita harus ingat untuk tidak merasa rendah diri, dan tidak terjerumus menjadi dengki

 
Selain adegan awal dan beberapa elemen nostalgia (mereka nge-recreate opening kartun 90annya!), buatku film ini jadi terlalu standar. Saking standarnya, kita bisa lupa ini film Scooby Doo. Karena film ini memiliki cerita kartun generik dan terlalu banyak elemen-elemen nostalgia dari kartun Hanna-Barbera lainnya. Menonton adegan pembuka tersebut, aku sudah sempat merasa senang “akhirnya ada film misteri anak-anak lagi”. Mereka masuk rumah hantu, berhadapan dengan ‘hantu’ yang penampakannya seram, menguak misteri di baliknya. Begitulah Scooby Doo tontonan anak-anak generasi 90an dulu. Horor dan misteri jadi staple untuk tontonan dan bacaan anak. Kartun Scooby Doo merupakan salah satu yang berperan membentukku jadi suka cerita horor dan, bahkan, menulis. Waktu SD aku punya buku tulis khusus untuk mengarang cerita horor dengan tokoh-tokoh kartun Scooby Doo, yang judulnya kuambil dari buku-buku Goosebumps. Mengingat itu semua, aku senang gede di tahun segitu, karena aku gak yakin aku bakal tumbuh jadi suka horor dan suka nulis kalo gede di tahun generasi Z seperti sekarang. Tidak ada lagi yang seperti Goosebumps atau Scooby Doo. Sekalinya ada horor yang melibatkan anak, either horornya adalah eksploitasi terhadap tokoh anak – mereka jadi korban, atau horornya less fantasi dan lebih ke teknologi.
Zaman sudah berubah, dan Scooby Doo tempatnya adalah di 90an. Film Scoob! ini membuktikan relic tahun terdahulu itu tidak bisa dipindahkan, diremajakan dengan semudah itu. Mungkin malah lebih baik untuk dibiarkan saja. Scoob! ingin beresonansi dengan anak-anak generasi sekarang. Para tokoh diubah, bukan lagi hippie, melainkan anak kekinian. Mereka gede dengan internet, dan film mencerminkan itu dari dialog mereka yang menyebut sosial media dan pop-culture masa kini. Impresi ini dikuatkan oleh film dengan tidak lagi menggunakan pengisi suara yang lama untuk sebagian besar tokoh-tokohnya. It could be weird for us mendengar suara baru Shaggy yang canggung bilang “Zoink!” atau suara Velma yang kini gak lagi aneh dengan “Jinkies!“nya, tapi itu bukan masalah sebenarnya pada film ini. Napas dari keseluruhan Scooby Doo tersebut juga ikut diubah. Tidak lagi ceritanya membahas misteri ‘siapa-pelaku’, tidak lagi bertempat di tempat-tempat kuno seperti kastil atau museum berhantu. Setting Scoob! terlihat sangat futuristik, karena film kini menjadikan superhero sebagai appeal. Bukan horor, melainkan petualangan pahlawan super, karena superhero-lah yang sedang ngetren di kalangan anak jaman sekarang.
Mystery Inc berhadapan dengan musuh yang jelas. Tidak ada pemecahan misteri. Instead, mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat lain berburu benda. Tempo dan adegan bergerak cepat, plot poin film ini basically aksi satu ke aksi lain, tempat satu ke tempat lain. Mereka berbuat begitu supaya penonton kecil enggak cepat bosan. Film ini percaya anak-anak generasi internet punya attention-span yang pendek, sehingga mereka membuat alur jadi sangat frantic. Dan ada banyak tokoh yang kita jumpai pada film ini. See, film kartun produksi Hanna-Barbera sudah dikenal untuk sering melakukan cross-over. Sebelum ini kita melihat Scooby Doo ketemu Flinstone, Flintson ketemu Jetson, bahkan WWE pernah bikin kartun cross-over bareng Scooby Doo. It’s just, mereka punya begitu banyak seri kartun sehingga cara apa lagi yang paling bagus untuk mempromosikannya sekaligus, kan. Dan sekarang, saat cinematic universe jadi tren berkat jagad superhero, Scoob! pun sepertinya diarahkan untuk menjadi seperti demikian. Sehingga film fokus menampilkan banyak elemen dari kartun-kartun Hanna-Barbera, hampir seperti cerita film ini dibuat around those characters; bagaimana supaya bisa memuat banyak mereka. Kalo ini game, maka ia adalah sebuah party game. Karakter dari berbagai judul ada. Dan saat penonton lama akan menggelinjang nostalgia (dan mungkin bereaksi persis meme Leonardo lagi nunjuk), penonton anak-anak gak akan tahu siapa tokoh-tokoh itu.

aku hanya bersyukur mereka gak masukin si annoying Scrappy di film ini

 
Hal tersebut boleh saja bekerja memenuhi fungsinya sebagai clean-slate. Scoob! besar kemungkinan dijadikan reboot buat franchise dan keseluruhan kartun Hanna-Barbera, yang jika anak-anak penontonnya gak kenal, maka di sinilah mereka pertama kali kenalan ama tokoh-tokoh yang completely diberikan nafas yang berbeda. Namun tetap saja tidak berarti film ini bekerja dengan baik sebagai penceritaan keseluruhan. Tidak diberikan ruang untuk karakter-karakter ini diperkenalkan dengan benar. Mereka muncul, ada di sana, dan kita langsung bertualang. Film ini hanya memberikan sepuluh menit untuk anak kecil mengenal geng Mystery Inc, sebelum akhirnya para tokoh dilepas berlarian dan melucu dan apapun yang mereka lakukan – dan itu tidak termasuk memecahkan misteri selayaknya kartun Scooby Doo yang dulu kita kenal. Sepuluh menit awal itulah pencapaian tertinggi film ini, dengan genuine heart, pengenalan karakter menarik. Film should have just stay that way.
Scooby Doo dalam sejarah keberadaannya di film, bisa dibilang selalu mengalami krisis eksistensi. Ini sesungguhnya lebih cocok untuk abg-abg awal. Film live-action-nya malah terlihat terlalu dewasa daripada yang seharusnya. Dengan begitu banyak ‘belahan’ dan innuendo yang menjurus. Poinku adalah, kalo film ini memang diniatkan untuk anak-anak, sebagai reboot dari semuanya, kenapa tidak menjadikan tokoh-tokohnya masih kecil saja. Kreator bisa membuka banyak kemungkinan eksplorasi baru dengan ini. ‘Petualangan anak-anak yang menjadi detektif kasus hantu’ sekiranya lebih unik dan segar dibandingkan petualangan-superhero-serabutan-dengan-banyak karakter-yang-hanya-dikenal-oleh-orangtuamu
 
 
 
 
Tidak mempertahankan tone yang lebih grounded dan fokus ke geng memecahkan misteri supernatural palsu, dan mengganti arahan. So much sehingga film ini tidak lagi terasa seperti Scooby Doo, melainkan film petualangan dengan tokoh yang ada Scooby Doo-nya. Dalam upaya menghidupkan kembali, membuatnya menjadi menarik untuk tontonan anak masa kini, film ini sayang sekali terdorong keluar dari genre-nya. Sehingga dia tidak terasa genuine lagi. Ini seperti melihat pamanmu yang sudah tua nyebutin dan ngelakuin semua hal-hal kekinian demi berlagak muda.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for SCOOB!

 

 
 
That’s all we have for now.
Kata orang, kalo belum pernah iri sama sahabat sendiri berarti mereka bukan sahabatmu. Benarkah begitu? Apa pengalaman terkocakmu jealous ama sahabat/teman sendiri?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

FANTASY ISLAND Review

“Revenge is best left to fantasy”
 

 
 
Dalam imajinasi pembuatnya, tentulah sebuah karya akan sangat keren. Kita senang berpikir ide kita groundbreaking, akan bikin semua orang kagum; bahwa kita sangat cerdas dan punya jawaban atas semua masalah yang bakal menghadang. Namun kenyataan seringkali berkata lain. Film Fantasy Island pastilah dianggap pembuatnya sebagai reboot yang unik. Sutradara Jeff Wadlow memastikan tim penulis menelurkan alur yang gak tertebak, dengan balutan dialog komedi yang happening. Dalam fantasinya, film ini cerdas dan efektif sebagai horor mainstream yang seru menegangkan. Kenyataan menghantam keras-keras. Setelah ditonton, mata kita akan terbuka atas seperti apa rupanya film yang uninspiring, boring, dan sok keren.
Fantasy Island mengusung konsep yang serupa dengan serial televisi awal 80-an yang sedang berusaha ia tiupkan napas baru ini. Tentang sebuah pulau yang bisa ‘mendengar’ keinginan terdalam hati manusia dan mewujudkannya ke dunia nyata. Pulau tersebut dikelola oleh Mr. Roarke, seorang pria misterius berstelan putih. Pada setiap episodenya dibuka dengan pesawat yang datang ke pulau, membawa beberapa tamu sebagai ‘pasien’ dari Mr. Roarke; yakni orang-orang yang bakal hidup dalam fantasi masing-masing, dan belajar bahwa imajinasi bisa begitu liar sehingga menjadi tak-terkontrol dan bagaimana seharusnya kita tidak terlena oleh khayalan. Film Fantasy Island terbaru ini mencoba untuk menekankan kepada aspek horor supranatural dari konsep kekuatan pulau tersebut. Kita akan melihat lima orang tamu datang ke pulau untuk ‘terapi’. Mereka bersalaman dengan Mr. Roarke (yang miscast banget diperankan oleh Michael Pena; ini kayak kalo Dwi Sasono disuruh meranin tokoh misterius) dan bersiap-siap untuk bersenang-senang dengan imajinasi mereka, hingga fantasi tersebut menjadi terlalu mengerikan dan nyata-nyata berbahaya!

karena ini rated PG-13, maka bahkan ngayal pun ada aturan dan etikanya

 
Konsep orisinal Fantasy Island itu lantas dengan segera membuat film ini kewalahan. Naskahnya enggak cukup kompeten untuk merangkul segitu banyak tokoh – segitu banyak kepala dan motivasi. Arahannya pun tidak tampak cukup peduli untuk menghasilkan sesuatu tontonan yang lebih berarti daripada sekadar pengisi dompet dan produk generik. Fantasy Island kekinian ini bingung, film seperti tidak bisa memutuskan tokoh mana yang jadi karakter utama. Posisi sebagai protagonis cerita akan dipingpong dari satu tokoh ke tokoh lain sepanjang durasi, karena ada begitu banyak twist and turn dalam alur cerita. Jadi, kita yang nonton juga bengong. Siapa yang harus ‘dijagokan’. Kita tidak tahu mana yang sudut pandang utama yang menjadi batang tubuh cerita. Apakah ini tentang Mr. Roarke yang memilih untuk jadi abdi pulau karena ia punya gelora desire pribadi yang tak kunjung padam. Atau tentang salah satu dari lima tamunya. Kita punya cowok pengecut yang pengen mencoba jadi tentara supaya bisa ketemu ayahnya yang pahlawan perang. Lalu ada seorang wanita yang menyesal menolak lamaran dari pria yang ia cintai. Berikutnya ada dua bersaudara (Candy Andy dari 2 Broke Girls dan Jian-Yang Silicon Valley jadi kakak-adek di sini hahaha!) yang pengen ngerasain hidup mewah dan berpesta sepanjang malam. Lalu ada Lucy Hale yang jadi korban bully semasa sekolah, jadi sekarang ia pengen mewujudkan imajinasinya menyakiti si pembully, tapi nantinya dia harus berkonfrontasi dengan si pembully yang sekarang sudah insaf dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.
Tidak satupun dari lima (atau tepatnya, tujuh) sudut pandang tersebut yang inspiring karena mereka semua gak punya motivasi yang jelas. Film banyak menutup-nutupi demi tujuan ngetwist. Journey masing-masing jadi tidak bisa kita ikuti sebagai akibat dari tujuan tersebut. Karena kita tidak pernah benar-benar mengenal para tokoh. Mereka cuma spektrum-spektrum yang diurai bebas, yang bahkan antara satu dengan yang lain tidak ada benang merah atau keparalelan selain bahwa mereka semua bercela karena rakus dan terbuai oleh imajinasi.

Bagi kebanyakan manusia, fantasi adalah tempat paling aman untuk melampiaskan balas dendam. Karena balas dendam itu sendiri sama persis dengan hutan – kita akan mudah tersesat dalam mengarunginya. Terlalu jauh berkubang dalam misi balas dendam akan membuat kita kehilangan jejak terhadap siapa diri kita dan tujuan pada awalnya. Maka dari itulah, sebaiknya balas dendam itu jangan diwujudkan. Biarkan saja jadi imajinasi, supaya memotivasi untuk memperbaiki diri. Bukannya melampiaskan, sebab sesuatu yang telah terjadi tak akan bisa kita tarik kembali.

 
Banyaknya tokoh ini biasanya akan berujung ketidakseimbangan tone jika digarap oleh arahan dengan visi tidak kuat dan cerita yang ala kadar. Inilah yang persis terjadi pada Fantasy Island. Masing-masing fantasi punya tone yang berbeda. Ada yang lebih ke drama. Ada yang petualangan. Ada yang torture-horror level ‘balita’. Dan ada komedi yang gak-lucu. Komedi adalah salah satu usaha terburuk yang dilakukan oleh film ini. Tek-tokan dialognya garing, terlalu sok nge-hip dengan referensi pop-culture. Para tokoh gak punya karakter, mereka cuma makhluk-makhluk sok asik. Tokohnya si Lucy Hale, misalnya, tanpa alasan dia ngeflirt dengan agresif begitu saja. Ketika bicara fantasy experience, bagian tokohnya memang cukup seru. Begitu juga dengan bagian tokoh yang berfantasi di hutan perang. Namun begitu film membawa kita ke fantasi pesta di rumah, kegaringan akan kembali menyatroni. Dan ketika film membawa kita ke drama wanita yang ingin ngerasain hidup bahagia berumah tangga, film seketika menjadi dead-beat membosankan. Bahkan film ini sendiri tahu cerita tokoh wanita yang berfantasi menikah itu going nowhere, maka setelah pertengahan, film membuat tokoh ini mengubah permintaan fantasinya – yang membuat film melanggar sendiri aturan yang sudah ia tetapkan sebagai mekanisme konsep pulaunya.
Pulau itu punya aturan. Ada syarat dalam menampilkan fantasi kepada pengunjungnya. Maka, pulau dalam film ini seharusnya bertindak sebagai karakter tersendiri. Dia digambarkan punya aksi dan jalan pikiran sendiri. Tapi lagi-lagi, film tidak mampu untuk mengembangkan ini. Peraturan yang menjadi mekanisme dan karakter pulau, dilanggar begitu saja. Jika di awal kita mungkin sedikit tertarik pada bagaimana sebenarnya pulau ini bekerja, maka semakin ke akhir ketertarikan itu menguap ke udara karena clearly film hanya mampu menampilan pulau sebagai gimmick dan alasan untuk keberadaan zombie mata-item yang sama sekali enggak mengerikan.

sudah bisakah kita pindah ke Pleasure Island?

 
Setelah nonton, di Twitter aku actually ngepost cuplikan adegan dari dua menit pertama film ini. Adegan yang langsung dengan tepat melandaskan kebegoan naskah dari kesimpelan tokoh dan penulisan dialognya. Adegannya berupa seorang cewek lari dikejar-kejar seseorang di malam hari, dia masuk ke rumah, ngumpet di balik meja, dan kemudian telefon di atas meja itu berdering, yang ia lantas jawab; dengan panik minta tolong ke siapapun penelfon itu.
Setidaknya ada dua kebegoan pada adegan tersebut. Pertama; Si cewek memilih sembunyi di balik meja yang tengahnya bolong (hanya karena naskah butuh dia untuk menjawab telepon). Dan kedua adalah; Kalimat si cewek saat ngangkat telfon masuk “Aku diculik di pulau aneh” – ini adalah kalimat yang tidak akan terjadi di logika nyata. Melainkan adalah dialog yang sangat artifisial. ‘Di pulau aneh’ itu adalah informasi yg sebenarnya disampaikan buat penonton – cara film menyampaikan/menanamkan setting cerita yang tergambar pada naskah. Si penelpon tak butuh informasi itu. Karena mana ada orang yang nelfon suatu tempat tapi tidak tahu tempat yg ia telfon. Sehingga reaksi si cewek yang lagi dikejar-kejar tak tepat (gak make sense). Normalnya adalah ia akan bilang “Tolong aku diculik, ini di mana?”, ia tidak perlu membuang kesempatan berharga menjelaskan tempat seperti apa kepada orang yang menghubungi tempat itu. Dialog itu lebih tepat jika adegannya adalah si cewek yang menelepon duluan. Jadi, sedari menit awal aja film ini udah nunjukin kecenderungan untuk spouting information, alih-alih bercerita.
Dan memang sampai akhir, isi dialog film ini adalah tokoh-tokoh yang nyerocos info aja. Setiap adegan ngobrol isinya pasti seseorang ngebeberin kisah hidupnya ataupun alur cerita yang tidak mau repot-repot digambarkan oleh film. Oh sepertinya itu ibu si anu. Benar, aku melihat mata mereka mirip. Kalo begitu dialah yang jahat. Ya, dia sengaja blablabla. Film gemar sekali menjelaskan hal-hal gak penting, mengejakan kepada kita informasi apa yang harus kita mengerti untuk saat itu, karena beberapa adegan kemudian informasi yang sudah dijejelin ke kepala itu jadi tidak berguna karena selalu bakal ada twist. Twist ini nanti dijelaskan lagi – para tokoh akan ngobrol lagi, ngadep ke kamera biar kita merasa bagian dari mereka – mereka akan nyebut hal-hal yang tidak pernah dibuild up lagi kepada kita, untuk kita percaya, dan kemudian akan ditwist lagi. Begitu seterusnya. Misteri film ini adalah omong-kosong yang bergerak semau pembuatnya aja. Dan bahkan dengan penjelasan terus-menerus tersebut, twist pamungkas film ini tetap saja gagal untuk dimasukakalkan. Kita bukannya tidak mengerti alur ceritanya. Kita hanya tidak mengerti kenapa film seperti ini bisa eksis tayang di bioskop.
 
 
 
Aku tahu banyak dari kalian yang sudah mendengar betapa jeleknya film ini, atau sudah mengalami sendiri betapa memalukannya tayangan ini. Aku sendiri bahagia sudah melewatkan ini di bioskop. Dan sekarang, aku di sini untuk menjelaskan kenapa film ini begitu bego. Karena filmnya enggak berniat bercerita. Film ini terobsesi menjadi hits maka ia masukkan banyak komedi cringe, banyak twist-and-turn gak masuk akal, banyak tokoh-tokoh bloon supaya penonton bisa merasa lebih baik daripada mereka. Keseluruhan paket film ini bukanlah tontonan yang menyenangkan. Kuharap film ini hanyalah fantasi pembuatnya aja. Sayangnya, ini adalah kenyataan yang harus kita endure bersama.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for FANTASY ISLAND.

 

 
 
That’s all we have for now.
What’s your deepest fantasy? Seberapa besar fantasi itu berperan dalam hidup kalian?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

TROLLS WORLD TOUR Review

“When people talk, listen completely.”
 

 
 
Dengan lagu-lagu cover yang ngehits dan vocal Anna Kendrick, Trolls – semenjak film pertamanya di 2015 dan kini, World Tour – udah kayak Pitch Perfect buat anak-anak. And by that I mean, film ini lebih berwarna. Lebih imajinatif. Dan juga lebih annoying.
Poppy, yang sekarang udah jadi Ratu, mendapat undangan untuk berkeliling dunia mengadakan konser besar-besaran dari seseorang bernama Barb, Ratu dari Troll Rock. Undangan tersebut menguak sejarah bahwa ternyata Poppy, Branch, Biggie, dan teman-teman di desa warna warni itu bukan satu-satunya Troll di dunia. Ada enam ‘jenis’ Troll lagi, dan masing-masing mereka menyanyikan musik yang berbeda. Ada rock, funk, country, classic, techno, dan tentu saja; pop, yang merupakan musik bangsa Troll Poppy. Mengetahui hal tersebut, Poppy berniat datang walaupun dilarang oleh ayahnya, karena Poppy yakin musik akan menyatukan perbedaan di antara keenam bangsa Troll yang terpisah karena leluhur masing-masing menyangka musik merekalah yang paling baik. Poppy pun berangkat diam-diam tanpa mengetahui bahwa Barb juga punya rencana seperti dirinya. Hanya saja rencananya jahat. Barb ingin mengambil Senar dari masing-masing bangsa (mengambil dalam artian merebut dan menghancurkan kota mereka), menyatukan keenamnya, sehingga nanti seluruh dunia akan bersatu di bawah kepemimpinannya.

One nation under rock!

 
Trolls selalu merupakan tipe film yang sangat cocok ditonton dalam masa-masa kita bosan gak ngapa-ngapain di rumah, karena memang tujuan film ini hanya pengen menghibur. Ini adalah teman bagi anak-anak untuk bernyanyi dan ketawa-tawa. Kita bisa saja menontonnya dengan kritis, but it would be pointless karena keseluruhan film ini vibe-nya adalah ‘we just don’t care selain buat mengisi waktu’. Tadinya aku juga gak kepikiran mau bikin review; aku ingin give it a pass, seperti yang kulakukan pada film pertama. Aku suka sama singing voice Kendrick sejak di Pitch Perfect, jadi aku nonton aja. Tapi Trolls World Tour ini ternyata sedikit spesial keberadaannya. Dia nongol saat semua dunia practically mengurung diri, dan tak-pelak menjadi film besar pertama yang beneran tayang sesuai jadwal di bioskop; di saat film-film lain mundur, Trolls World Tour dengan nekat ‘pindah’ dari bioskop ke VOD (Video on Demand). Jadi, film ini sekarang adalah bagian dari sejarah – siapa yang tahu pandemi ini bakal sampai kapan, film-film bioskop cepat atau lambat akan ngikutin langkah film ini – ia adalah pioneer, dan aku harus mencatat film ini di blog. But I’m not gonna go easy on this movie.
Sama seperti pada film pertama, Trolls World Tour sangat memanjakan mata anak-anak. Dunia yang tampak lucu, lembut, dan aman. Air terjun dari plastik yang berkilau, pohon dan bukit yang seperti dari gulungan benang, buku yang tampak begitu empuk terjahit dengan rapi. Dunia Troll yang lain pun tergambar dengan sama ‘manja’nya, benar-benar membuat kita berada seperti di dunia troll mainan. Setiap dunia diberikan kekhasan yang memuaskan imajinasi anak-anak. Film ini dengan niat dibuat untuk mereka. Bahkan dengan semua keimutan visual tersebut, demi menjamin anak kecil enggak cepat bosan, film menyiapkan banyak lagu-lagu cover. Pola film ini adalah cerita dikit – nyanyi – cerita dikit – nyanyi. Cerita kok dikit-dikit. Bagi penonton dewasa yang mengharapkan cerita yang lebih dikembangkan, film ini memang akan cukup menjengkelkan. Karena film seperti lebih tertarik untuk bernyanyi ketimbang bercerita. Dan yang lebih jengkel lagi adalah, lagu-lagu yang dinyanyikan begitu random. Lagu populer yang dipilih, bukan lagu original alias lagu yang diciptakan untuk film ini. Pemilihan lagunya tidak banyak melewati proses berpikir. Film memasukkan yang catchy dan enggak bikin bosen. Kreatif yang diperlihatkan hanya sebatas mengganti lirik bila diperlukan (seperti ‘girl’ menjadi ‘troll dalam lagu Girl Just Wanna Have Fun) biar lebih cocok dengan karakter.
Dari enam troll dengan musik yang berbeda-beda, pesan film untuk dibawa bersosialisasi oleh anak-anak terpampang cukup jelas. Bahwa semua orang berbeda dan kita harus merayakan perbedaan tersebut karena semua punya kekuatan dan kelemahan masing-masing. Enam bangsa Troll yang berbeda rupa karena ras dan golongan mengajarkan kepada anak menghormati dan mengenali setiap perbedaan, memberinya kesempatan untuk berkembang; bertoleransi alih-alih menyeragamkan. Tapi juga tak kalah pentingnya dari kiasaan tersebut adalah perbedaan yang literally dipampang oleh film, yakni perbedaan selera musik. Like, selain pop dalam film ini ada banyak genre musik yang ditampilkan. Trolls World Tour dapat membuka wawasan anak terhadap musik dengan cara yang simpel – ntar mereka pas udah dewasa bisa mempelajari sejarah musik beneran, but for now film ini berfungsi dengan baik sebagai penghantar. Dan personally aku senang film ini memperkenalkan musik rock kepada anak-anak jaman sekarang yang tahunya hanya musik-musik yang pakek auto-tune. Saat begitulah tepatnya aku sadar soal musik dalam film ini juga penting.
Musik adalah soal selera, dan saat bicara selera orang bakal cenderung fanatik. Kita terkotak-kotak karena hal-hal seperti selera film atau musik. Anak indie kopi senja ngeledek anak K-Pop. Anak rock ngeledek anak EDM. Anak punk ngeledek anak jazz. Anak hiphop ngeledek anak dangdut. Padahal toh semestinya tidak begitu. Film ini menunjukkan bahwa semua musik sama pentingnya karena mereka semua berasal dari hati. Film mengajarkan kita untuk berdampingan dengan selera orang lain, karena perbedaan menghasilkan harmoni yang lebih hebat dari apapun yang berjalan sendirian di muka bumi. Kita tidak harus mengotakkan diri pada perbedaan, ataupun tidak menyuruh perbedaan menjadi bersatu agar sama. Melainkan biarkan dan kenali perbedaan. Dengarkan nada-nada yang berbeda tersebut, karena di situlah persatuan yang sesungguhnya

Musik itu kayak orang. If you love them, you’d listen to them. Saat orang lain berbicara, maka dengarkanlah dengan tuntas. Masalahnya, kita cenderung seperti Poppy. Kita seringkali belum mendengarkan dengan baik. Kebanyakan kita hanya mendengarkan dengan tujuan untuk menjawab, untuk membalas. Padahal mendengarkan dengan baik itu maksudnya adalah kita mendengar mereka dengan niat untuk dapat mengerti apa yang sedang diutarakan.

 
 
Soal harmoni dan mengembrace perbedaan sebenarnya sudah duluan kita dapatkan dari film musikal anak buatan lokal tahun lalu. Jika kalian sempat menonton Doremi & You (2019) maka kalian akan menemukan banyak kesamaan gagasan modern juga disampaikan lewat mash up lagu-lagu. Gagasan film itu semakin terasa progresif karena tayang berbarengan dengan Rumah Merah Putih; film anak lain yang mengusung tema perbedaan tapi dengan cara yang lebih tradisional. Film tersebut memandang perbedaan sebagai sesuatu yang harus diseragamkan; anak dari suku bangsa berbeda bicara dengan logat yang sama, mereka berpakaian seragam, hormat dalam upacara bendera. Doremi & You hadir dengan warna-warna. Pakaian seragam sekolah tokohnya enggak sama persis, melainkan dengan corak dan warna berbeda. Para tokoh bernyanyi dan bicara dengan kekhasan daerah masing-masing. Meskipun konflik Doremi & You dengan Trolls World Tour jauh berbeda, akan tetapi inner journey tokoh Putri dan tokoh Poppy sama persis. Mereka tadinya sama-sama pengen menyatukan kelompok, mengambil persamaan dalam setiap perbedaan. Mereka sama-sama enggak mendengarkan dengan baik. Namun di akhir cerita, mereka sama-sama belajar cara yang benar dalam merayakan perbedaan; cara yang benar untuk menghormati semua orang.

Petualangan mengumpulkan Infinity Ston… eh, Six Strings!

 
 
Dari perbandingan dua karakter tadi, kita akan menemukan Doremi & You merupakan penceritaan yang sedikit lebih baik dibandingkan Trolls World Tour. Putri merepresentasikan tokoh anak masa kini dengan lebih pas; ‘cacat’ karakternya bisa kita pahami dan tidak tampak seperti kemalasan naskah. Sedangkan Poppy tergambar sebagai karakter dengan kesalahan dan outright annoying. Sikapnya yang berusaha selalu optimis terasa tidak genuine karena setiap pilihan yang ia lakukan just don’t make sense. Ketika Putri meyalahkan teman-temannya padahal salah dirinya lah mereka jadi bermain dan sembrono sehingga menyebabkan duit kas hilang, kita tahu dia anaknya ngeboss, dan memang ada anak yang berkarakter seperti demikian di luar sana; maka film itu bisa jadi pembelajaran yang berharga buat anak-anak seperti demikian. Namun pada kasus Poppy, Ratu yang berusaha menjadi ratu yang baik dan didengarkan oleh rakyat, kebanyakan pilihan dan perintahnya mengada-ada. Ketika Branch mau membaca manual menerbangkan balon udara, Poppy membuang buku dan menyuruhnya untuk ‘just do it’ sambil tertawa-tawa. Kita melihat mereka hampir nabrak karena ulahnya ini. Kita tidak menemukan alasan untuk berada di belakang Poppy, mengikuti journeynya, karena kita tidak dapat melihat ada representasi nyata dari karakter Poppy. Kita lebih gravitate ke arah Branch karena tokoh yang disuarakan Justin Timberlake ini simply lebih ‘manusiawi’.
 
 
 
Itu semua karena film tidak meluangkan banyak waktu untuk develop karakter-karakternya. Momen untuk film ini benar-benar banyak tidak banyak, karena sebagian besar durasi didedikasikan untuk lagu-lagu cover yang bahkan enggak punya pesan paralel dengan kejadian yang sedang terjadi selain mereka berusaha menyanyikan satu genre di tempat yang enggak menghargai genre tersebut. Lagu-lagunya hadir begitu saja, tanpa banyak alasan. Seolah kitalah yang bego dan gak-asik karena mikirin gimana ceritanya Gangnam Style termasuk lagu paling penting dalam kamus Poppy tapi kemudian mereka menganggap K-Pop sebagai hal asing dan bukan bagian dari Pop. Film ini, yang mestinya adalah petualangan, menjadi repetitif yang annoying. Lagu, kenaifan Poppy, lagu lagi. Film jadi seperti lebih ingin mengajak kita bernyanyi dan melihat desain-desain tokoh yang unik nan imut untuk dijadikan mainan. Dan ini tentunya bakal sangat menghibur, terutama di saat-saat kita semua sedang terkurung entah-sampai-kapan. But as far as film goes, ada banyak film anak-anak musikal lain yang sanggup menyampaikan pesan yang baik dalam penceritaan yang lebih asyik daripada film ini.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for TROLLS WORLD TOUR.

 
 
 
That’s all we have for now.
What’s your favorite kind of music? Jika kalian adalah troll, kalian bakal jadi Bangsa yang mana?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.