THE WALL Review

“You can’t see me.”

 

 

Poster film ini enggak bohong ketika ia bilang “Ini bukan perang. Ini adalah permainan.” Walau sejatinya setiap pihak yang terlibat peperangan bakal selalu ngalamin dilema moral, The Wall memfokuskan eksplorasinya kepada apa yang sebenarnya dilakukan orang saat berperang. Dari bentuknya yang paling polos, memang, perang tak lebih adalah permainan bunuh-bunuhan yang melibatkan strategi. Kadang kita gak peduli lagi soal kenapa kita mulai saling menyerang, kita cuma mau mengalahkan musuh. Seperti permainan catur, but worse. Kehorriblean perang enggak seketika berakhir ketika para pemimpin sudah menyerah. Ini lebih seperti permainan Yugioh, di mana kedua duelist sudah mengerahkan kartu-kartu terkuatnya, namun kedua pihak tetap bertahan dengan sisa seratus life point. They want to break each other mentally, bersilat lidah menggunakan siasat, dengan harapan pihak lawan keceplos mengungkapkan kelemahan. Duduk diam, stalling, menunggu pihak seberang salah langkah. The Wall adalah sebuah MIND GAME.

Sersan Isaac (kalo dipanggil Ize juga nengok) dan Sersan Matthews (te-ret-te teeet! Tet te-re-teeet!) bangkit dari pos pengintaian mereka di site di tengah gurun Irak. Kepanasan dan lelah. Perang sudah hampir berakhir, sekitar mereka terlihat sepi. Selain mereka berdua, manusia yang tampak hanyalah tubuh-tubuh tak bernyawa di bawah sana, dekat pipa-pipa, mobil, dan reruntuhan tembok. Jadi, mereka turun mengecek keadaan. Out in the open, Sersan Matthews jatuh ditembaki. Isaac yang berusaha menolong juga kena tembus peluru entah dari mana. Serabutan, dia terjun berlindung ke balik reruntuhan tembok. Apa akal? Yes exactly! Sersan Isaac harus berpikir keras mengerahkan segala pengetahuan yang ia tahu, sebab si sniper Irak misterius itu dengan pinternya menghubungi radio tentara Amerika tersebut. Permainan kucing-kucingan mental mereka dimulai as si sniper menggunakan kelihaiannya bicara to get the soldier to show themselves, sementara Ize (namanya dilafalkan “eyes”) membuka mata lebar-lebar mencari tahu di mana posisi maut yang mengintainya.

Peluru bisa melihat John Cena

 

The Wall adalah FILM YANG AMAT KECIL. Durasinya singkat. Lokasinya di gurun thok, dan pemainnya hanya tiga orang. Satu di antaranya adalah suara di radio. Dari segi produksi, film ini terlihat relatif sederhana. Apalagi jika dibandingkan dengan karya-karya Doug Liman sebelum ini; aku terutama suka ama The Bourne Identity (2002) yang benar-benar menunjukkan talenta super yang dimiliki oleh sutradara ini. Tapi dari segi emosi, film yang berelemen thriller-pada-satu-lokasi kayak gini bisa menjadi sangat menarik sebab kita akan melihat cerita yang sangat personal. Sejak nonton 12 Angry Men (1957) yang keren banget, aku selalu tertarik sama contained-thriller. Dan The Wall, meskipun miskin aksi dan ledakan, film ini kaya oleh sudut pandang manusia yang berseberangan, namun essentially mereka adalah orang yang sama-sama terikat, katakanlah pada sumpah setia, dan struggling menjaga ‘kesetiaan’ berbangsa dan beragama tersebut dalam keadaan yang buruk.

Si sniper Irak, at one point, bilang bahwa semuanya tergantung dari sudut mana kita melihat. Namun sebenarnya dalam perang semuanya sama aja. Kalah jadi abu, menang jadi arang. The Wall mengambil resiko mengangkat soal ketidakgunaan perang dengan memberikan perspektif ‘duluan-ayam-atau-telur’, membangun tembok tersendiri, figuratively, di dalam struktur cerita.

 

Yang paling efektif yang dilakukan film ini adalah bagaimana dia membuat kita tetap tertarik dan terinvest ke dalam tokoh-tokohnya. Sebagai filmmaker, Liman lumayan underrated, so it’s understandable dia pengen bikin film yang kecil-namun-intim seperti film ini. Dalam menggarap The Wall, Liman memilih untuk tidak membuat presentasi yang terlalu Hollywood. Dia menggunakan teknik pacing yang sama dengan yang dilakukan oleh BW Purba Negara dalam film Ziarah (2017); deliberately slow. Kamera enggak akan dipindah-pindah, dia akan jarang sekali ngecut adegan. Liman tidak ingin mempersingka waktu, dia hanya ingin kita semua lebih terinvest ke dalam hal-hal sesimpel bikin tali laso ataupun turniket untuk membebat pendarahan. Meskipun film ini enggak exactly real time, kadang Isaac kehilangan kesadaran dan kita meloncati dimensi waktu. Namun pada sebagian besar waktu, semua peristiwa diperlihatkan sehingga kita bisa turut ngerasain frustasi yang dialami oleh tokoh utama. Dan semua adegan pengulur waktu itu akan terbayar tunai oleh emosi .

Elemen perang psikologis antara Isaac dengan Sniper misterius Irak (“Elo Juba kan, ngaku!”) mengangkat film ini menjadi semakin menarik. Tidak banyak adegan aksi dalam film ini, yang mana bisa jadi membosankan untuk beberapa penonton, but it was a contained-psychological- thriller, tiga istilah yang kalo digabungkan maka sudah pasti akan ada aku duduk manis di sana menontonnya. Tapi bukan berarti film ini tidak akan mempengaruhi kita secara fisik. I mean, coba deh nonton ini siang-siang pas puasa. Wuihhh. Matahari film ini terasa memanggang kita. Debu dan pasir di mulut mereka membuat kita ingin meludah. Hausnya para tentara beneran kontan terasa. Nonton film ini rasanya getir sekali.

“unless you’re a professional”

 

Tentu saja penampilan akting para aktor menjadi hal yang paling signifikan jika kau punya film yang tidak banyak menjual ledakan. To be honest, aku enggak naruh harapan gede ke John Cena. But oh wow, dia jadi biggest surprise buatku dalam film ini. Karisma Cena membuatnya sangat likeable sebagai sersan Matthews. Dengan gampangnya dia dipercaya sebagai tentara, karena di WWE pun gimmicknya adalah seseorang yang menjunjung tinggi patriotisme. Di sini, Cena punya bermain intens dan kocak bersamaan. Dan karakternya di sini punya ‘weight’ yang tidak kita lihat di dalam ring. Ngeliat Cena merangkak dramatis adalah hal biasa di episode WWE, tetapi di film ini adegan tersebut benar-benar kejual dengan real olehnya. Aaron Taylor-Johnson, pada awalnya aku enggak ngeh, sebab aksen redneck dan literal kamuflase menyamarkannya. He is that good in this movie, melebur sempurna. Adegan-adegan yang harus ia lakukan kebanyakan adalah adegan yang menjurus ke horor, you know, like in body-horror, di mana dia harus mencongkel keluar peluru dari kakiknya. Grueling to watch banget. Dan kita benar-benar merasakan derita dan sakitnya.

Sebagai antagonis, suara di radio yang terus ngajak Isaac ngobrol terdengar sangat licin dan berbahaya. Dia punya agenda untuk mencari sisi lemah dari tentara yang berusaha dia bunuh, dia ingin memancing mereka keluar, dan yang ia lakukan bukan semata talk trash kayak pegulat yang mau bertanding. Sniper Irak ini tahu banyak tentang Amerika, dia belajar banyak dari korban-korbannya, dan mendengar Isaac ngobrol dengan suara itu membuat kita ngeri sendiri perihal siapa yang akan terpengaruh oleh siapa.

Kata-kata bisa dijadikan tembok yang paling efektif dalam rangka menyamarkan diri, baik sadar atau enggak. Bukan sekali-dua kali kita sengaja menggunakan kalimat yang bermakna mendua untuk menyembunyikan maksud ataupun buat cari celah untuk ngelak komit dari sesuatu nantinya. Orang banyak memutarbalikkan kata, putting words onto people’s mouth, menjadikan kata-kata sebagai senjata yang berbahaya. Dan kita bisa alami sendiri gimana orang mengucapkan alasan untuk menjustifikasi perbuatan yang mereka lakukan. Tembok yang paling berbahaya tercipta dari mulut manusia adalah tembok alasan agama. Mata untuk mata, katanya. But really, semua itu sebenarnya adalah kedok yang tidak sadar mereka kenakan dengan bangganya.

 

Bukan helikopter saja yang jatuh di babak akhir film. Keseluruhan ceritanya juga. Sangat pilu dan mengecewakan menyaksikan film ini kebingungan mengakhiri narasinya. Resiko yang diambilnya membuahkan ujung yang enggak enak. Character-arc yang mestinya bisa kokoh dibangun, malah runtuh begitu saja. In fact, malah segala yang usaha yang dilakukan tokoh utama terasa sia-sia. Inner journeynya menjadi hampa, meninggalkan kita kebingungan apakah ini psiko-thriller yang sangat lemah ataukah ini action yang gagal meledak. Semuanya jadi terasa enggak realistis, tidak menyisakan ruang reaching bagi kita. Terkadang, aku mikir film ini sengaja enggak total ngasih perspektif karena kan jarang banget ada film yang mempersembahkan Amerika sebagai underdog tanpa memperlihatkan mereka sebagai pahlawan, dan film ini masih ragu-ragu untuk menampilkan hal tersebut. So film ini kindof terbentur dinding serupa yang ia bangun pada narasinya.

 

 

 

 

Punya performance akting yang sangat kuat, diarahkan dengan fantastis. Terutama; punya kesempatan buat menjadi studi sosial yang sangat intens yang membuat kita duduk di posisi karakter di ujung perang, namun film ini kesulitan untuk melanjutkan langkah yang dipilihnya. Untuk dua babak awal, film akan terus membuat kita tertarik, karena ini adalah perang psikologis. Ini adalah tentang gimana sebuah pemikiran dapat menyingkap tembok yang dibangun seseorang di dalam dirinya. Saat penyelesaiannyalah film terasa seperti kembang api yang masuk angin. Meletup pelan alih-alih meledak. Tidak memberikan penyelesaian ataupun decisive journey sebagai sebuah pesan dan insight yang berharga.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for THE WALL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

LIFE Review

“… the only form of life we have created so far is purely destructive.”

 

 

Jake Gyllenhaal di luar angkasa? C’mon gimana aku bisa bilang “tidak” kepada film ini!

Jadi ceritanya, Jake bersama Deadpool dan empat astronot lain harus stay di orbit buat mengawasi misi Mars Pilgrim 7; mencari sampel kehidupan di Planet Merah. Keenam kru harus menjemput dan memastikan spesimen organis dari planet Mars itu bisa nyampe Bumi dengan selamat, karena tentu saja itu merupakan penemuan yang sangat luar biasa. Dibawalah organisme tersebut ke stasiun luar angkasa mereka, diteliti, dirawat baik-baik. Enggak ada yang curiga dong, ketika alien imut tersebut mulai bergerak. Jake dan teman-teman malah girang, begitu juga orang-orang di Bumi. Si alien diberi nama Calvin. Namun, apa yang tadinya hanya satu sel dengan cepat berkembang menjadi susunan jaringan otot, otak, dan indera. Dan horor! Sekarang misi enam manusia itu berputar 180 derajat menjadi menjauhkan makhluk cerdas, highly adaptable, dan berbahaya ini dari Bumi, dan dari diri mereka sendiri.

Seperti kamera yang berkesinambungan ngesyut aktivitas di dalam stasiun luar angkasa pada sepuluhan menit pertama, film ini pun akan terus mendera kita dengan perasaan teror dan terkurung begitu Calvin mulai menjebol kotak penangkarannya. Discovery yang kita dapati adalah bahwa ternyata film ini enggak berniat membahas hal-hal filosofis. Ini bukan jenis film di mana Jake Gyllenhaal punya kembaran ataupun mimpi didatengin kelinci dan dia harus mencari tahu makna di balik semuanya. There’s really nothing beyond pembahasan bahwa di dunia ini kita enggak sendirian dan setiap makhluk hidup berhak atas yang namanya bertahan hidup. Life adalah HOROR SURVIVAL DI LUAR ANGKASA. Dengan kehadiran tropes standar, dirinya mungkin akan mengingkatkan kita sama Alien (1979) atau malah premisnya bikin teringat dengan game jadul Game Boy Advance; Metroid Fusion, film digarap dengan sangat capable dan punya perspektif penceritaan yang cukup berciri. I mean, kita enggak bisa ngeshoot down film ini “enggak original!” begitu saja. For once, gimana tokoh film ini ngetreat Calvin saja sudah membuatnya agak berbeda dengan survival horor kebanyakan.

“we’re not alone.. there’s more to this I know”

 

Pace yang lumayan cepet, namun tetep terasa contained. Setnya terlihat compelling dan memenjarakan, meskipun mungkin mata kita masih terbuai oleh menterengnya pesawat Passengers (2016). Kita akan menikmati perasaan terkungkung dan mencekam yang dialami oleh para tokoh. Aku enjoy ngeliat mereka main kucing-kucingan dengan Calvin yang bisa nyelip masuk ke mana-mana. In fact, ada banyak waktu ketika aku malahan ngecheer si alien yang kayak gabungan gurita dengan amuba tersebut. Karena dalam film ini, kita enggak benar-benar yakin mesti ngedukung tokoh yang mana.

Semenjak Alien memang terbit semacam tren di dalam genre survival horor bahwa semakin penonton enggak bisa menerka tokoh mana saja yang bakalan selamat, maka itu artinya film semakin sukses ngedeliver elemen aksi dan horornya. Life juga sukses bikin kita nerka-nerka siapa yang mati duluan, aku kecele juga karena tadinya kukira tokoh kulit hitam yang bakal mati duluan, malahan kayaknya di trailer aja dia udah game over hhihi, tapi enggak. Namun faktor enggak bisa nebak yang selamat ini tidaklah lantas dijadikan alasan untuk sengaja tidak mengembangkan para tokoh manusia. It would be suck buat ngeliat tokoh-tokoh hanya jadi korban gitu aja tanpa kita merasa kehilangan atas mereka. Film butuh supaya skripnya memegang satu karakter sebagai pondasi agar strukturnya bisa kuat. Dalam Life, kita bisa menyaksikan ada usaha untuk memberikan personality kepada para tokoh manusia.

Dari enam, ada tiga yang diberikan backstory. Well, ya lumayanlah dibanding kosong melompong. Yang paling menarik adalah ahli biologi Hugh Derry yang diperankan oleh Ariyon Bakare. Hugh yang kakinya cacat merasa lebih hidup di luar angkasa, dia enggak perlu pakai kursi roda di atas sini. Dan kemudian, sebagai orang yang bertanggung jawab langsung dalam mengurus Calvin, Hugh memberikan pandangan yang menarik ketika dia merasa bersalah atas apa yang sudah dilakukan oleh alien tersebut. At one point, Hugh tampaknya sudah terattach secara emosional kepada Calvin.

Sudah seperti orangtua dengan anaknya sendiri. Hugh ngerasa bertanggung jawab karena dia yang sudah memberikan kesempatan hidup buat Calvin. Eventually ini menjadi konflik moral yang sempet disinggung sekilas banget oleh film; seperti apakah tepatnya tanggungjawab tersebut, apakah dengan memberikan hidup maka kita juga yang bertugas untuk menghentikannya. Tidak seperti hape – setiap kali kita ngecharge, kita meniupkan kehidupan kepada baterainya, Calvin actually adalah makhluk hidup yang berhak untuk bertahan. Sayang memang film ini tidak menggali lebih jauh soal hubungan menarik yang terbentuk antara Hugh dengan Calvin.

 

Sesungguhnya ada orangtua beneran dalam ensemble ini, tokoh yang dimainkan oleh Hiroyuki Sanada adalah seorang yang baru saja menjadi bapak. Namun backstory personal ini tidak berkembang lebih jauh karena kelahiran putranya tersebut hanya digunakan sebagai pemantik emosi. Kesempatan besar juga dilewatkan dalam penanganan karakter Jake Gyllenhaal. Dia memerankan David, seorang dokter yang actually sudah berada di sana selama 473 hari, paling lama di antara rekan-rekannya. David begitu betah di luar angkasa, dia enggan balik ke Bumi, dan alasan di balik itu semua cukup menarik; dia enggak tahan melihat apa yang bisa kita lakukan terhadap sesama. Dokter ini sangat terpukul setelah apa yang ia saksikan saat dikirim ke medan peperangan. Sayangnya, motivasi dan traits personal David enggak pernah sekalipun dikaitkan sebagai lapisan cerita. Hanya dibahas begitu saja, dan tidak hingga di akhir backstorynya ini memberikan impact.
Selebihnya ya, mereka cuma ada di sana, dengan peran minimal masing-masing. Ryan Reynolds di sini hanyalah seorang astronot realis yang keren penuh komentar lucu. PENGARAKTERAN YANG TIPIS BANGET. Kharisma dan kemampuan para aktor yang membuat film ini watchable.

Atau mungkin, kita beneran betah duduk lantaran ingin melihat gimana aktor-aktor tersebut menemui ajal. Bukan bermaksud sadis, tapi memang film ini mendadak menjadi KREATIF SAAT PARA TOKOH MENEMUI AJAL. Cara matinya, gimana mereka ngesyut adegan mati tersebut, lumayan unik. Lagian, kita juga enggak bisa jadi lebih peduli lagi sama mereka. So much for survival thing, kita malah dibuat penasaran pada apa yang bisa dilakukan oleh Calvin. Meskipun disebutkan sebagai makhluk karbon seperti manusia, sepanjang film kita akan melihat alien ini ngelakuin hal luar biasa, dia tahan api, dia bisa mencerna tikus dengan cepat bulat-bulat, dia bisa ‘tahan napas’ di outer space. Kontras banget sama tokoh manusia yang kerap mengambil keputusan-keputusan yang bego. Pada satu sekuen Calvin meloloskan diri, ada seorang tokoh yang terus mengambil tindakan yang bakal bikin kita jerit-jerit stress. Satu sekuen loh itu bayangkan, apa yang mau didukung dari karakter manusianya coba! Orang-orang pintar ini kayak pada berlomba nyari cara paling bloon buat mati.

“dumb ways to die, so many dumb ways to die”

 

Soal twist endingnya, aku enggak tahu, it did feels like they want to push it into a sequel tapi aku enggak yakin. Apakah endingnya resolving a plot? Aku enggak mau spoiler banyak, tapi in a way, iya, ada tokoh yang plotnya, istilahnya, ‘kebales’. Apakah ending ini stupid? Jawabannya iya juga, wakwaw banget, kerasa film ini dibuat ya cuma supaya mereka bisa seru-seruan dengan bagian akhir ini. Kayak saat pitching mereka bilang gini “gimana kalo kita bikin film alien seru kayak Alien, tapi endingnya dibikin mirip-mirip Gravity, gini nih sini deh aku bisikin…” dan voila, film ini lantas diperjuangkan untuk hidup supaya adegan surprise ini terlaksana. Apakah endingnya ini worked? Iya juga, ini bekerja sebagai paradoks tentang kehancuran manusia akan datang sebagai akibat dari apa yang kita hidupkan.

Hidup adalah proses. Bukan hanya pengciptaan, melainkan juga kehancuran. Pada akhirnya ini adalah soal siapa yang memiliki naluri bertahan yang paling kuat. Siapa yang rela menghancurkan demi kelangsungan. Apakah manusia akan punah jika suatu saat ada spesies yang lebih ‘canggih’ sekaligus lebih ‘primal’ seperti Calvin? Atau sebaliknya, apakah kehancuran adalah satu-satunya bentuk kehidupan yang bisa kita ‘hidupkan’?

 

 

 
Film ini mengembalikan kita kepada citarasa alien tradisional setelah kedatangan Arrival (2016) yang begitu berbeda. It is a fast-paced, confined-space survival horror yang tau persis apa yang ia lakukan. Tone dan arahannya ketat menghasilkan petualangan hidup-mati yang mendebarkan. Namun tidak banyak yang terkandung di dalamnya. Enggak kosong total sih; setengah berisi, dan film ini pun tidak ingin disibukkan dengan mengisi sampai penuh. Dia malah kelihatan lemah saat berusaha menjadi sedikit berbobot. Ditambah dengan banyaknya bad decisions yang dilakukan oleh para tokoh, film ini tampaknya justru hidup dengan membiarkan mereka mati.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for LIFE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

SHUT IN Review

“Mother love is the fuel that enables a normal human being to do the impossible.”

 

shut_in_ver2

 

Bagi seorang ibu cuma sedikit hal di dunia yang horornya melebihi perasaan ketika melihat anak yang ingin di’selamatkan’ malah berakhir celaka. Apalagi jika si ibu tersebut punya profesi sebagai psikologis anak. Rasa bersalahnya dateng barengan ama rasa gagal, tuh. Sesek numpek di dada pasti ada, dan kita bisa melihat itu semua dari gimana Naomi Watts memainkan perannya sebagai Mary Portman dalam film Shut In.

Anak tiri Mary lumpuh setelah ngalamin kecelakaan mobil enam bulan yang lalu; Kejadian tragis yang juga merenggut nyawa suaminya. Mary sekarang ngerawat anak remajanya tersebut. Dia memandikan Stephen, mengurus keperluan sehari-hari, namun kebutuhan Mary sebagai seorang ibu – terlebih ibu yang merasa bersalah – tidak terlampiaskan karena kondisi anaknya tidak memungkinkan buat mereka untuk kembali bisa menjalin hubungan emosional yang aktif. Jadi Mary mencari koneksi ke pasiennya yang kebanyakan memang masih anak-anak. Mary mau bisa nolong semua anak-anak bermasalah itu. Terutama, dia ingin ‘menolong’ Tom (Jacob Tremblay memerankan bocah tunarungu yang suka berkelahi).
Suatu malam, Tom muncul gitu aja di rumah Mary dan Stephen, untuk kemudian ia hilang dengan sama mendadaknya. Di luar badai salju, dan di dalam rumah, pada malam hari, Mary mulai mendengar suara-suara aneh. Dia sort of ngeliat penampakan. Apparently, Mary enggak benar-benar yakin misteri apa yang sedang terjadi kepadanya.

 

Badai salju yang menderu dari luar rumah menjadi elemen yang mengurung karakter dalam film ini. Mereka tidak bisa keluar dari dalam rumah. Secara estetis, kita juga merasakan perasaan klaustrofobiknya. Kita seperti ikutan berada di dalam rumah mereka, untuk kemudian rumah tersebut terasa mengurung kita lewat beberapa momen sound designnya. I love that contained aspect of this movie. Aku lumayan excited waktu mau nonton. Apalagi psikologikal horor ini dimainkan oleh Naomi Watts yang kerap muncul di film-film horor yang lumayan bagus. In fact, Naomi Watts main di film terfavoritku sepanjang-waktu, Mulholland Drive(2001), so yea I naturally drawn in oleh setiap film yang ia perankan. Arahan yang didapatkan oleh film ini cukup lumayan, meski there’s nothing really much to it. Ada shot-shot yang perfectly capture momen yang bikin kita merasa in-the-moment. Satu adegan yang aku suka pengambilan gambarnya, yaitu aerial shot menjelang akhir di adegan yang involving bayangan dan tangga. That’s a great shot.

Kasian amat Jacob Tremblay terjebak di dalam ruangan lagi
Kasian amat Jacob Tremblay terjebak di dalam ruangan lagi

 

Nyawa film terutama terletak pada screenplay. Kelihatan deh pokoknya sebuah film yang punya skenario buruk dan sutradara berusaha keras buat menjadikannya baik, namun tetep enggak bisa, karena apa sih yang bener-bener bisa dilakuin jika naskahnya sedari awal sudah begitu jelek dan keliatan banget ngarang. Kalo Mary bingung ke mana perginya Tom, maka kita sebagai penonton akan terbengong-bengong berkat BETAPA TERRIBLENYA FILM INI DITULIS. Banyak banget ketidakkonsistensian sehingga sebagian besar waktu film ini was just bad. Dua babak pertama dipenuhi oleh adegan-adegan mimpi, diselingi dengan jump-scares yang sok ngecoh. Dengan cepat film ini akan terasa menyebalkan. Dan bicara soal ngecoh, ini adalah jenis film yang bangga banget punya twist. Film yang tujuan utamanya memang ingin terlihat heboh dengan twist, mereka kayaknya nulis dari twistnya duluan kemudian baru ngembangin ceritanya, yang mana semua elemen dipaksa nyambung banget, sehingga twist yang dihasilkan malah jadi bego alih-alih bikin takjub. Semua yang terjadi di dua-puluh-menit terakhir membuat everything else yang sudah terjadi sebelumnya menjadi total gak masuk-akal.

Jika semua klise dan trope film horor bisa bermanifestasi menjadi manusia, mereka tumbuh tangan dan punya jari jemari, kemudian mereka mutusin buat ngetik, maka “voila!” Jadilah skenario film Shut In.

 

Semua taktik scare yang dilakukan oleh film ini adalah TAKTIK FALSE SCARE. Kita ngeliat penampakan, eh taunya Mary lagi mimpi. Kita ngeliat adegan berdarah, eh taunya Mari sedang ngigo. Kita denger suara-suara aneh, eh taunya ada rakun loncat dari balik kayu diiringi suara musik yang lantang yang bikin Mary dan seisi bioskop jantungan. Kita ngecek kegelapan malam, ngikutin Mary nyebrangi halaman bersalju, eh taunya cowok yang tadi pagi naksir ama Mary muncul dari balik pintu sambil menyapa “Hey, ini gue!!”. Keras-keras. Itulah ‘hal-hal mengerikan’ yang bakal kita hadapi dalam film ini. Efektif sekali, bukan? Yeah, efektif buat bikin kita TERTIDUR!!!!

Shut In enggak mau repot-repot bahas soal psikologis, atau perspektif, atau moral, atau apalah. Detil-detil backstory enggak penting bagi film ini. Kita enggak pernah yakin kenapa malam itu si Tom bisa nongol di rumah Mary. Kita enggak pernah dihint soal latar belakang Mary dan keluarganya. Film ini enggak peduli saat kita mengernyit berusah mengira-ngira kenapa Mary sering banget skype-an ama tokoh Dr. Wilson yang diperankan oleh Oliver Platt. Kita enggak sempat kenalan sama beliau, apakah dia temen lama Mary, atau dia psikologis Mary, or heck film ini enggak mau tau perihal gimana Mary terlihat so bad at her job, both as child psychologist and as a mom, dibuat oleh presentasi ceritanya.

Mari ngobrol sebentar soal adegan dengan skype. Biar kelihatan remaja dan relevan, film-film jaman sekarang memang hobi banget masukin adegan para karakter facetime-an via skype. Adegan skype actually bisa saja bekerja dengan baik, kita udah nyaksiin contohnya pada film The Visit (2015). Adegan ngobrol lewat skype bisa bagus jika (dan hanya jika!) obrolannya bagus. Dialoglah yang memegang kunci. Dalam film ini, sayangnya, penulisannya begitu minimalis.

Mary: “Etau enggak, akhir-akhir ini aku susah tidur, nih”
Wilson: “Yaah, kamu masih trauma dan sering baper sih”
Mary: “Eng-GAaaKK! Beneran, ih, kayaknya ada sesuatu yang lain di sini”
Wilson: “What-the-kamsut?”
Mary: “Kayaknya… di rumahku…. ada hantu!”
Wilson: “Masa orang dewasa terpelajar kayak kita percaya hantu sih?”
Mary: “Tapi aku sering denger-denger suara gitu, pernah ngeliat malah”
Wilson: “Gurl! Please. You’re just being silly”
Mary: “CK! Bye. Brb Sibuk.”

Ya kurang lebih begitulah obrolan mereka. Gitu terus lagi dan lagi, adegan percakapan skype mereka muter-muter di situ melulu. Mengerikan!

This is also jenis film yang setiap tindakan yang dipilih karakternya bikin kita jambak-jambak rambut dengan geram.
This is also jenis film yang setiap tindakan yang dipilih karakternya bikin kita jambak-jambak rambut dengan geram.

 

Yang terpenting buat film ini adalah gimana memancing rasa kaget kita, alih-alih takut. Fokus utama nya adalah gimana supaya so-called twist mereka enggak ketahuan.

Padahal despite ‘usaha’ mereka, kita sedari pertengahan udah bisa menebak hanya dengan mengacu kepada apa yang disebut kritikus terkenal Roger Ebert sebagai The Law of Economy of Characters. Atau Hukum Ekonomi Karakter; teori tentang kebiasaan film ini menjelaskan bahwa oleh sebab budget, film tidak akan pernah diisi oleh karakter yang tidak berguna, setidakpenting apapun kelihatannya peran mereka. Apalagi kalo diperankan oleh aktor yang cukup punya nama. Karakter-karakter tersebut sudah pasti akan direveal punya peran yang penting. Jadi, yaaa, kalo kita ngeliat cast yang familiar dengan peran yang minimal, maka niscaya mereka adalah twist yang dirahasiain oleh film.

Coba deh, tonton ini dan tebak apa yang sebenarnya. Wait, actually… Jangan tebak. Tepatnya maksudku, jangan bersusah payah luangkan waktu dan uang buat nonton. Aku beberin aja twistnya di sini:

 


Jadiii, anak tiri si Mary yang lumpuh ternyata enggak lumpuh. Stephen selama ini hanya pura-pura lumpuh. That’s the big twist. Film ini ngasih arti baru buat kalimat “Cinta ibu mampu membuat orang normal ngelakuin hal yang enggak masuk akal.” Stephen sangat ingin perhatian dan kasih sayang ibunya, sehingga ketika Tom datang dan perhatian Mary jadi bergeser ke ngurusin bocah malang tersebut, Stephen jadi iri. Dia bangkit dari kursi rodanya, menangkap Tom, dan menyekapnya di suatu tempat di dalam rumah. Suara-suara yang didengar Mary adalah suara Tom yang berusaha keluar. Penampakan, blurry vision, dan mimpi-mimpi yang dialami oleh Mary adalah ulah Stephen yang diem-diem masukin obat ke dalam minuman ibu tirinya tersebut. That’s it. Seriously, twistnya bikin revealing film The Boy (2016) jadi terlihat enggak parah-parah amat.


 

 

 

 

Apa coba persamaan antara Naomi Watts dengan kita-kita yang nonton film ini?
Sama-sama kejebak!
That’s how I felt during this entire film. Penampilan dan arahan yang acceptable tidak akan berarti banyak jika sumber penyakit ada di skenarionya. Tidak ada bagian yang bagus; babak satu dan duanya plainly bad, dan babak ketiganya sukses menghantarkan ini sebagai salah satu dari film horor terburuk yang pernah aku tonton. Atau psikologikal thriller terburuk. Whatever. This movie is horrible, people!
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for SHUT IN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.