“The police must obey the law while enforcing the law”
Franchise atau serial film Saw, dulu setia mengisi Oktober kita dengan horor penyiksaan yang sadis, tapi sering juga bisa membukakan mata. Karena setiap film Saw terkenal oleh dua hal. Jebakan-jebakan mautnya. Dan John Kramer; dalang – mastermind yang melakukan semua permainan mematikan tersebut dengan alasan moral yang kuat di baliknya. Walau Kramer telah mati sejak di film ketiga, tapi pengikut-pengikutnya (bahkan peniru dirinya) tetap selalu bermunculan dengan jebakan penuntut keadilan versi mereka. Legacy karakter tersebut seperti jadi perangkap atau jebakan sendiri bagi para pendukungnya, seperti halnya legacy franchise ini menjadi perangkap bagi pecinta filmnya.
Walau seri utamanya sudah usai bertahun-tahun yang lalu, ternyata masih banyak orang yang penasaran dan merasa perlu untuk membuat kembali film lanjutannya. Tahun 2017 yang lalu kita dapat, katakanlah, sekuel terbaru dari Saw. Film Jigsaw tersebut hadir dengan cerita karakter baru dan tampilan yang lebih ‘mahal’, namun masih terkesan sekadar ‘meniru’. Kali ini, adalah aktor komedi Chris Rock yang bermaksud melanjutkan permainan maut tersebut. Rock yang jadi salah satu eksekutif produser di sini, menggaet Darren Lynn Bousman (sutradara Saw II, III, dan IV), untuk mewujudkan visinya menceritakan kisah Saw ke dalam dunia kepolisian yang sedang berpilin menurun seperti yang kita rasakan sekarang.
Dan tentu saja, sekali lagi aku dengan suka rela melangkah masuk ke ‘perangkap’ alias film terbaru dari dunia Saw ini!
Dan, ya, sekali lagi aku merasakan penderitaan seperti sedang disiksa saat nonton film ini.
Saw adalah salah satu seri thriller favoritku. Film-film Saw malah salah satu yang membuat aku jadi tertarik sama yang namanya nonton film. Perjalanan nonton filmku dimulai dari genre horor dan thriller, dan Saw ada di sana mengawal experienceku. It is actually very painful untuk melihat sesuatu yang kita suka, yang kita pedulikan, yang kita merasa harus berterima kasih kepadanya, terus ada tapi tidak akan pernah bisa sebagus dirinya yang dulu.
Ide Chris Rock sebenarnya menjanjikan. Karena yang dia usulkan di sini adalah cerita yang relate dengan permasalahan yang masih hangat. Chris Rock menempatkan dirinya sebagai seorang detektif polisi. Ezekiel “Zeke” Banks. Anak dari mantan kepala polisi yang dihormati rekan-rekannya. Tapi Zeke sendiri, well, di bawah tekanan mental untuk menjadi sehebat ayahnya, Zeke malah semacam dijauhi oleh rekan-rekan polisi. Atau mungkin lebih tepatnya, dia yang menjauhi. Begini, Zeke orangnya intens banget. Dulu dia pernah memenjarakan rekan polisinya sendiri yang ia ketahui melanggar garis hukum. Sejak itulah, Zeke selalu beroperasi sendiri. Sampai kasus Spiral terjadi. Zeke dipasangkan dengan detektif muda, untuk mengusut pembunuhan berantai yang korban-korbannya actually adalah rekan-rekan polisi di precint Zeke, yang satu persatu menghilang saat melaksanakan tugas. Zeke pun lantas menemukan dirinya sebagai pusat dari permainan maut ala jigsaw.
See, cerita Chris Rock ini seperti mengambil halaman dari buku Saw dan meletakkan ke panggung yang lebih luas. Misteri kejadian apa di masa lalu, apa hubungannya dengan kasus sekarang; Ini jadi full-blown investigation story ketimbang cerita sekelompok orang terjebak seperti biasa. Film ini bahkan fokusnya bukan bener-bener pada perangkap atau jebakan mematikan lagi. Tentu, dalam selang tertentu kita akan melihat polisi yang tertangkap kemudian dipaksa untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari perangkap maut (potong lidah/potong jari-jarimu untuk bisa selamat!) Perangkapnya masih sanggup bikin ngilu yang nonton, dan bahkan direkam lengkap dengan ke-cheesy-an khas sekuel-sekuel Saw; cut-to-cut cepat dengan gerakan yang juga dipercepat, untuk menghasilkan kesan panik si orang yang kena perangkap. Tapi perangkap-perangkap di film ini tidak mencuat. Kalo ada yang bikin list ’10 Perangkap Termaut Dalam Film-Film Saw’, perangkap-perangkap dalam film ini pasti gak akan ada yang masuk. Karena memang dibikin biasa aja. Karena memang, film ini memfokuskan kepada siapanya. Siapa yang dijebak itu. Spiral is more about characters study. At least, niatnya sih sepertinya begitu.
Yang kita lihat disiksa di sini bukanlah penjahat, melainkan polisi yang seharusnya menangkap penjahat. Dan itu karena polisi-polisi ini justru telah atau pernah berbuat jahat. Maka, film ini bicara kepada kita tentang kebobrokan polisi. Nerima suap, korupsi, ringan tangan (alias nembak/mukul dulu baru nanya) adalah ‘penyakit-penyakit oknum’ yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan menegakkan hukum. Apalagi melindungi rakyat. Melainkan justru memperkaya kriminalitas yang ada.
Seharusnya film membiarkan kita meresapi apa yang terjadi pada polisi-polisi tersebut. Apa yang telah mereka lakukan. Apakah mereka pantas mendapatkan ganjaran. Apakah sebenarnya justice itu. Seharusnya film memberikan waktu kepada Zeke untuk berefleksi, untuk berpikir. Jika film ini memang meniatkan untuk menjadi lebih seperti studi karakter ketimbang torture porn, maka film seharusnya memberikan ruang untuk eksplorasi karakter dan reaksi dan perkembangan mereka. Tapi nyatanya, Spiral sama sekali tidak memberikan itu. Tempo dan iramanya digenjot untuk intens terus. Hampir di semua adegan isinya orang-orang berteriak. Mau itu marah, panik, atau malah saat ngelontarin jokes aja karakter dalam film ini nadanya tinggi. Film yang baik itu seperti roller coaster, kita dibawa naik turun seiring karakter yang juga merasakan naik turun. Spiral ini, sedari perangkap di opening selalu menurun tajam. Yang kita dengar itu jadi seperti hanya suara-suara keras yang bising.
Bintang komedi yang mencoba untuk keluar dari zona nyaman dengan bermain di peran yang lebih dramatis, atau lebih serius, atau sekadar lebih jauh berbeda dari perannya yang biasa. Tentu ini adalah hal yang bagus, yang harusnya berani dilakukan oleh lebih banyak penampil (atau studio). Baru-baru ini, misalnya, kita melihat Adam Sandler jadi gambling addict, Kevin James jadi bos kriminal, Bob Odenkirk jadi bintang laga! Dan sekarang, gilirannya Chris Rock. Spiral ini mestinya bisa jadi kendaraan yang mengukuhkan posisinya sebagai aktor luwes film panjang. Namun dari tone film ini yang didesain intens terus menerus, sepertinya mereka sendiri gak yakin Chris Rock bisa menangani peran yang lebih serius. Intensnya Zeke di sini itu translasinya pada layar adalah, Zeke teriak-teriak terus. Melotot-melotot. Tak ketinggalan, bibirnya dimonyong-monyongin. Seolah film try too hard untuk membuat Zeke tampil intens. Kamu ngomongnya harus keras biar kelihatan emosional. Padahal untuk menunjukkan emosi karakter, untuk membantu Chris Rock menemukan ‘suara’ dramatisnya, yang perlu dilakukan film ini cuma satu; Menggali hubungan karakter Zeke dengan ayahnya. Put it out front-and-center.
Padahal Samuel L. Jackson loh yang jadi ayah Zeke itu. Bayangin, Chris Rock dan Samuel Jackson jadi ayah-anak polisi, interaksi mereka seharusnya bisa endless. We could watch that all day! Tapi film ini justru membatasi interaksi mereka. Adegan mereka interaksi di film ini tuh gak lebih dari lima kali, kayaknya. Hubungan Zeke dengan ayahnya, yang clearly punya pengaruh besar dalam hidup dan karirnya, hanya diperlihatkan lewat flashback.
Flashback yang, by the way, dilakukan dengan enggak bener pula. Aneh perspektifnya. Karena, editing yang dilakukan film ini seperti membuat bahwa flashback yang kita lihat itu adalah memori atau pengalaman yang sedang diingat ulang oleh Zeke. Misalnya, kita melihat Zeke terduduk, dan kita masuk ke flashback – seolah masuk ke ingatannya. Nah, dengan begitu, seharusnya kita hanya melihat yang diingat oleh Zeke saja, karena itu adalah perspektif dirinya. Tetapi, adegan flashback itu terus berjalan, terus kita lihat, padahal Zeke udah gak ada pada adegan flashback tersebut. Bagaimana Zeke bisa mengingat kejadian yang tidak dia saksikan in the first place. Dengan perspektif gak jelas seperti itu, jelaslah sudah bahwa film ini menggunakan flashback sebagai cara mudah untuk mengeksposisi kejadian. Film tidak concern sama development karakter sama sekali.
Pada tau iklan obat nyamuk Hit gak? Nah film ini persis kayak slogan iklan tersebut. Yang lebih mahal banyak. Karena memang film ini hanya menang lebih mahalnya saja dibanding film Saw yang pertama. Lebih mentereng dan terasa lebih luwes. Secara kualitas cerita dan penceritaan, film ini adalah penurunan. Tidak bisa memanfaatkan ide – dan aktor – yang bagus dengan maksimal. Perangkap-perangkapnya biasa aja, karena mau fokus di karakter. Tapi karakternya itu pun tidak berhasil digali. Film lebih memilih ngegas terus untuk menjadi intens, tapi kejadiannya tidak diberikan waktu untuk benar-benar berdampak pada cerita. namun pada akhirnya hanya berakhir sebagai kebisingan yang enggak terasa apa-apa.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SPIRAL: FROM THE BOOK OF SAW
That’s all we have for now.
Amerika menggunakan kata ‘pigs’ sebagai konotasi negatif untuk polisi. Bagaimana pendapat kalian tentang polisi-polisi di Indonesia?
Share with us in the comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA