SPIRAL: FROM THE BOOK OF SAW Review

“The police must obey the law while enforcing the law”

 

Franchise atau serial film Saw, dulu setia mengisi Oktober kita dengan horor penyiksaan yang sadis, tapi sering juga bisa membukakan mata. Karena setiap film Saw terkenal oleh dua hal. Jebakan-jebakan mautnya. Dan John Kramer; dalang – mastermind yang melakukan semua permainan mematikan tersebut dengan alasan moral yang kuat di baliknya. Walau Kramer telah mati sejak di film ketiga, tapi pengikut-pengikutnya (bahkan peniru dirinya) tetap selalu bermunculan dengan jebakan penuntut keadilan versi mereka. Legacy karakter tersebut seperti jadi perangkap atau jebakan sendiri bagi para pendukungnya, seperti halnya legacy franchise ini menjadi perangkap bagi pecinta filmnya.

Walau seri utamanya sudah usai bertahun-tahun yang lalu, ternyata masih banyak orang yang penasaran dan merasa perlu untuk membuat kembali film lanjutannya. Tahun 2017 yang lalu kita dapat, katakanlah, sekuel terbaru dari Saw. Film Jigsaw tersebut hadir dengan cerita karakter baru dan tampilan yang lebih ‘mahal’, namun masih terkesan sekadar ‘meniru’.  Kali ini, adalah aktor komedi Chris Rock yang bermaksud melanjutkan permainan maut tersebut. Rock yang jadi salah satu eksekutif produser di sini, menggaet Darren Lynn Bousman (sutradara Saw II, III, dan IV), untuk mewujudkan visinya menceritakan kisah Saw ke dalam dunia kepolisian yang sedang berpilin menurun seperti yang kita rasakan sekarang.

Dan tentu saja, sekali lagi aku dengan suka rela melangkah masuk ke ‘perangkap’ alias film terbaru dari dunia Saw ini!

Spiralcreen-Shot-2021-03-30-at-9.30.34-PM
Jadi ini adalah cerita tentang pembunuhan berencana, bukan tentang keluarga berencana

 

Dan, ya, sekali lagi aku merasakan penderitaan seperti sedang disiksa saat nonton film ini.

Saw adalah salah satu seri thriller favoritku. Film-film Saw malah salah satu yang membuat aku jadi tertarik sama yang namanya nonton film. Perjalanan nonton filmku dimulai dari genre horor dan thriller, dan Saw ada di sana mengawal experienceku. It is actually very painful untuk melihat sesuatu yang kita suka, yang kita pedulikan, yang kita merasa harus berterima kasih kepadanya, terus ada tapi tidak akan pernah bisa sebagus dirinya yang dulu.

Ide Chris Rock sebenarnya menjanjikan. Karena yang dia usulkan di sini adalah cerita yang relate dengan permasalahan yang masih hangat. Chris Rock menempatkan dirinya sebagai seorang detektif polisi. Ezekiel “Zeke” Banks. Anak dari mantan kepala polisi yang dihormati rekan-rekannya. Tapi Zeke sendiri, well, di bawah tekanan mental untuk menjadi sehebat ayahnya, Zeke malah semacam dijauhi oleh rekan-rekan polisi. Atau mungkin lebih tepatnya, dia yang menjauhi. Begini, Zeke orangnya intens banget. Dulu dia pernah memenjarakan rekan polisinya sendiri yang ia ketahui melanggar garis hukum. Sejak itulah, Zeke selalu beroperasi sendiri. Sampai kasus Spiral terjadi. Zeke dipasangkan dengan detektif muda, untuk mengusut pembunuhan berantai yang korban-korbannya actually adalah rekan-rekan polisi di precint Zeke, yang satu persatu menghilang saat melaksanakan tugas. Zeke pun lantas menemukan dirinya sebagai pusat dari permainan maut ala jigsaw.

See, cerita Chris Rock ini seperti mengambil halaman dari buku Saw dan meletakkan ke panggung yang lebih luas. Misteri kejadian apa di masa lalu, apa hubungannya dengan kasus sekarang; Ini jadi full-blown investigation story ketimbang cerita sekelompok orang terjebak seperti biasa. Film ini bahkan fokusnya bukan bener-bener pada perangkap atau jebakan mematikan lagi. Tentu, dalam selang tertentu kita akan melihat polisi yang tertangkap kemudian dipaksa untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari perangkap maut (potong lidah/potong jari-jarimu untuk bisa selamat!) Perangkapnya masih sanggup bikin ngilu yang nonton, dan bahkan direkam lengkap dengan ke-cheesy-an khas sekuel-sekuel Saw; cut-to-cut cepat dengan gerakan yang juga dipercepat, untuk menghasilkan kesan panik si orang yang kena perangkap. Tapi perangkap-perangkap di film ini tidak mencuat. Kalo ada yang bikin list ’10 Perangkap Termaut Dalam Film-Film Saw’, perangkap-perangkap dalam film ini pasti gak akan ada yang masuk. Karena memang dibikin biasa aja. Karena memang, film ini memfokuskan kepada siapanya. Siapa yang dijebak ituSpiral is more about characters study. At least, niatnya sih sepertinya begitu.

Yang kita lihat disiksa di sini bukanlah penjahat, melainkan polisi yang seharusnya menangkap penjahat. Dan itu karena polisi-polisi ini justru telah atau pernah berbuat jahat. Maka, film ini bicara kepada kita tentang kebobrokan polisi. Nerima suap, korupsi, ringan tangan (alias nembak/mukul dulu baru nanya) adalah ‘penyakit-penyakit oknum’ yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan menegakkan hukum. Apalagi melindungi rakyat. Melainkan justru memperkaya kriminalitas yang ada.

 

Seharusnya film membiarkan kita meresapi apa yang terjadi pada polisi-polisi tersebut. Apa yang telah mereka lakukan. Apakah mereka pantas mendapatkan ganjaran. Apakah sebenarnya justice itu. Seharusnya film memberikan waktu kepada Zeke untuk berefleksi, untuk berpikir. Jika film ini memang meniatkan untuk menjadi lebih seperti studi karakter ketimbang torture porn, maka film seharusnya memberikan ruang untuk eksplorasi karakter dan reaksi dan perkembangan mereka. Tapi nyatanya, Spiral sama sekali tidak memberikan itu. Tempo dan iramanya digenjot untuk intens terus. Hampir di semua adegan isinya orang-orang berteriak. Mau itu marah, panik, atau malah saat ngelontarin jokes aja karakter dalam film ini nadanya tinggi. Film yang baik itu seperti roller coaster, kita dibawa naik turun seiring karakter yang juga merasakan naik turun. Spiral ini, sedari perangkap di opening selalu menurun tajam. Yang kita dengar itu jadi seperti hanya suara-suara keras yang bising. 

spiral013360_966x543_637554024029131057
Tidak membantu pula Chris Rock yang suaranya khas banget sebagai suara komedi

 

Bintang komedi yang mencoba untuk keluar dari zona nyaman dengan bermain di peran yang lebih dramatis, atau lebih serius, atau sekadar lebih jauh berbeda dari perannya yang biasa. Tentu ini adalah hal yang bagus, yang harusnya berani dilakukan oleh lebih banyak penampil (atau studio). Baru-baru ini, misalnya, kita melihat Adam Sandler jadi gambling addict, Kevin James jadi bos kriminal, Bob Odenkirk jadi bintang laga! Dan sekarang, gilirannya Chris Rock. Spiral ini mestinya bisa jadi kendaraan yang mengukuhkan posisinya sebagai aktor luwes film panjang. Namun dari tone film ini yang didesain intens terus menerus, sepertinya mereka sendiri gak yakin Chris Rock bisa menangani peran yang lebih serius. Intensnya Zeke di sini itu translasinya pada layar adalah, Zeke teriak-teriak terus. Melotot-melotot. Tak ketinggalan, bibirnya dimonyong-monyongin. Seolah film try too hard untuk membuat Zeke tampil intens. Kamu ngomongnya harus keras biar kelihatan emosional. Padahal untuk menunjukkan emosi karakter, untuk membantu Chris Rock menemukan ‘suara’ dramatisnya, yang perlu dilakukan film ini cuma satu; Menggali hubungan karakter Zeke dengan ayahnya. Put it out front-and-center.

Padahal Samuel L. Jackson loh yang jadi ayah Zeke itu. Bayangin, Chris Rock dan Samuel Jackson jadi ayah-anak polisi, interaksi mereka seharusnya bisa endless. We could watch that all day! Tapi film ini justru membatasi interaksi mereka. Adegan mereka interaksi di film ini tuh gak lebih dari lima kali, kayaknya. Hubungan Zeke dengan ayahnya, yang clearly punya pengaruh besar dalam hidup dan karirnya, hanya diperlihatkan lewat flashback.

Flashback yang, by the way, dilakukan dengan enggak bener pula. Aneh perspektifnya. Karena, editing yang dilakukan film ini seperti membuat bahwa flashback yang kita lihat itu adalah memori atau pengalaman yang sedang diingat ulang oleh Zeke. Misalnya, kita melihat Zeke terduduk, dan kita masuk ke flashback – seolah masuk ke ingatannya. Nah, dengan begitu, seharusnya kita hanya melihat yang diingat oleh Zeke saja, karena itu adalah perspektif dirinya. Tetapi, adegan flashback itu terus berjalan, terus kita lihat, padahal Zeke udah gak ada pada adegan flashback tersebut. Bagaimana Zeke bisa mengingat kejadian yang tidak dia saksikan in the first place. Dengan perspektif gak jelas seperti itu, jelaslah sudah bahwa film ini  menggunakan flashback sebagai cara mudah untuk mengeksposisi kejadian. Film tidak concern sama development karakter sama sekali.

 

 

Pada tau iklan obat nyamuk Hit gak? Nah film ini persis kayak slogan iklan tersebut. Yang lebih mahal banyak. Karena memang film ini hanya menang lebih mahalnya saja dibanding film Saw yang pertama. Lebih mentereng dan terasa lebih luwes. Secara kualitas cerita dan penceritaan, film ini adalah penurunan. Tidak bisa memanfaatkan ide – dan aktor – yang bagus dengan maksimal. Perangkap-perangkapnya biasa aja, karena mau fokus di karakter. Tapi karakternya itu pun tidak berhasil digali. Film lebih memilih ngegas terus untuk menjadi intens, tapi kejadiannya tidak diberikan waktu untuk benar-benar berdampak pada cerita. namun pada akhirnya hanya berakhir sebagai kebisingan yang enggak terasa apa-apa.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SPIRAL: FROM THE BOOK OF SAW

 

 

That’s all we have for now.

Amerika menggunakan kata ‘pigs’ sebagai konotasi negatif untuk polisi. Bagaimana pendapat kalian tentang polisi-polisi di Indonesia? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

POHON TERKENAL Review

“..It is emphatically no sacrifice, say rather it is a privilege.”

 

 

 

Kalo ada yang bilang kebahagiaan orangtua itu bukan tanggung jawab anak; bahwa berkorban demi kebahagiaan orang lain itu bukanlah kewajiban kita, maka aku akan seratus persen setuju. Film tentang kehidupan anak remaja di akademi polisi garapan Monty Tiwa dan Annisa Meutia juga setuju dengan pernyataan demikian. Malahan, drama yang merupakan produksi dari Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia punya gagasan – sudut pandang – lain yang melengkapi pernyataan tersebut.

Mengorbankan diri supaya orang lain bahagia bukanlah bentuk dari kewajiban yang harus kita lakukan, melainkan adalah sebuah hak; sebuah kesempatan yang tidak bisa didapat oleh semua orang.

 

Tengok Bara, tokoh utama dalam cerita kita. Diperankan oleh Umay Shahab yang dengan sukses menangkap tengil karakternya, Bara kelewat bernazar untuk masuk Akpol jika ibunya sembuh – yang oleh film dimainkan sebagai komedi saat ibunya langsung sembuh setelah Bara bernazar. Bara tidak mau berada di sana, siapa sudi guling-guling ampe badan kotor, push-up ampe idung keringetan, diospek oleh senior-senior galak yang malah harus dia anggap sebagai kakak asuh. Tapi dia harus, karena ya dia udah terlanjur bilang mau, mesti hatinya gak mau. Karena setengah hati begitulah, maka Bara jadi sering kena hukum. Tokoh ini udah kayak si ‘Gomer Pyle’ Leonard di film Kubrick yang berjudul Full Metal Jacket (1987). Sampai akhirnya Bara kenal ama Ayu (terjawab sudah kenapa Laura Theux rela berbondol ria), seorang taruni anak jenderal yang semangat banget untuk mengisi hari-hari akademinya dan jadi lulusan terbaik mendapat penghargaan Adhi Makayasa. Shahab secara perawakan memang mirip si Gomer Pyle, tapi meskipun sama males dan ‘lemah’nya, tokoh Bara di film ini enggak setwisted itu. Malahan saat dia bicara setelah bertemu Ayu yang cantik, Bara jadi lebih mirip seperti Dilan. Hubungan dengan Ayu membuka mata Bara dalam melihat keadaan hidupnya.

Bara juga jago ‘nembak’.

 

Keparalelan plot dua tokoh ini menjadi sentral cerita. Dan kita musti menjangkau cukup panjang untuk dapat menangkap pesan di balik drama, komedi, juga kepentingan citra polisi yang tergabung dengan mulus. Di satu sisi kita punya Bara yang enggak mengerti kenapa dia harus ada di sana, selain karena nazar. Film bahkan membuat zero stake buat Bara; masuk Akpol gratis sehingga Bara sebenarnya bisa kabur keluar begitu dia punya kesempatan, dan tidak rugi apa-apa. Malahan hampir seperti dia sengaja berbuat ulah dan kesalahan, supaya dikeluarkan. Di sisi lain, Ayu punya konflik personal sebagai anak Jenderal. Orang-orang mengira dia gak bisa apa-apa dan hanya ada di sana karena bokapnya. Ibu Ayu sudah meninggal saat melahirkan dirinya. Jadi, Ayu begitu bedeterminasi untuk mengisi hidup yang sudah diberikan kepadanya oleh sang ibu, mengisi kesempatan yang diberikan padanya oleh sang ayah, untuk menjadi manusia yang berguna. Bagi Ayu, just being there – baik itu di Akpol dan di dunia – adalah hak yang tidak bisa dimiliki oleh sembarang orang. Adegan debat bahasa Inggris yang mempersoalkan aborsi bayi menjadi begitu personal buat Ayu, makanya dia mendadak jadi intens dan emosional. Ayu merasa bersalah karena ibunya meninggal lantaran memilih untuk melahirkan dirinya. Ini berseberangan sekali dengan Bara yang justru merasa disusahkan gara-gara ibunya.

Kedua tokoh ini sama-sama tidak mau berada di tempat mereka berada sekarang, literally dan figuratively, dan cerita menuntun mereka untuk menyadari bahwa mereka berhak berada di sana. Ayu menyadari ini lebih cepat. Seperti ibu yang dia anggap pahlawan, betapa bangga sesungguhnya jadi manusia yang berkesempatan untuk berkorban sehingga berguna bagi orang lain. Makanya Ayu jadi orang yang paling menentang Bara melakukan desersi. Dia ingin Bara melihat kesempatan yang sudah diberikan kepadanya, karena masuk Akpol juga gak sembarang orang yang bisa. Bagi Ayu, Bara justru menyia-nyiakan kesempatan untuk berkorban dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Dan di sinilah kenapa Bara menjadi seorang tokoh utama yang begitu annoying. Cowok ini gak mau belajar. Naskah mengambil resiko yang sangat besar saat membuat tokoh utamanya gak punya motivasi. Tentu, lucu melihat dia cari-cari alesan untuk enggak ikutan latihan. Tapi sebagian besar waktu, Bara enggak ngapa-ngapain. Perjalanan tokohnya kalah menarik ama Ayu yang punya backstory yang detil, punya sesuatu yang ingin diraih, punya stake berupa nama baik Ayah dan pembuktian bagi dirinya sendiri. Bahkan tokoh Yohanes yang diperankan oleh komika Raim Laode yang nyata-nyata hanya sebagai pemantik komedi utama, terasa lebih menarik dan hidup, dan punya motivasi (pengen gabung band dong si Glenn Fredly haha!) ketimbang Bara. Pilihan arahan cerita pun sebenarnya juga aneh. Midpoint cerita ini, you know, point of no return bagi Bara adalah ketika dia jatuh cinta; itu pun karena dicium duluan oleh Ayu. Bara knowingly memakan umpan ‘cinta’ dari Ayu. tidak pernah untuk menjadi lulusan yang polisi yang baik, buat Bara. Cerita berubah jadi drama cinta remaja sejak titik ini untuk membangun gimana pada akhirnya Bara melihat pengorbanan diri sebagai suatu pilihan, alih-alih keharusan. Film ini bisa terjun sangat jauh, karena sudut pandang cerita ini nyaris berganti dari Bara ke plot Ayu yang lebih menarik dan dominan. Namun film menyelamatkan diri dengan memperlihatkan bahwa Bara adalah yang paling drastis berubah karena dukungan dan pengaruh orang-orang di sekitarnya.

ceritanya hampir jadi ftv remaja berjudul Hatiku Ditangkap Taruni Cantik

 

Film benar-benar ngepush diri untuk bisa dengan gampang disukai dan diterima oleh banyak penonton. Kadang romantisasi itu dilempar begitu saja ke muka kita, kayak pas adegan dihukum sit-up seharian, kemudian hujan turun dan Bara menemukan Ayu ikutan sit-up di dekatnya. Dan kemudian mereka bangun, Ayu pergi, dan Bara gak lanjutin hukumannya karena dia memang gak pernah peduli sama semua itu. Elemen komedi film ini datang dari dialog yang seringkali fresh sebab berada di panggung yang jarang kita lihat. Akademi polisi, kita lihat proses latihan yang keras dan upacara-upacara yang khas. Tradisi dan batasan yang tak boleh mereka langgar, juga jadi informasi yang menyenangkan untuk kita terima. Mungkin bagi penonton cukup terlihat aneh gimana Bara yang salah tapi temannya yang turun push-up. Tapi actually, hal tersebut juga paralel terhadap pesan yang ingin film ini lontarkan.

Aku dulu kuliah di Fakultas Teknik Geologi, dan kami mendapat ospek yang kami menyebutnya  dengan istilah ‘mabim – masa bimbingan’ selama enam bulan. Yang dipleset lanjut oleh anak-anak sebagai ‘masa bimbingan kayak gitu’. Ospek kami mungkin gak sekeras latihan Akpol beneran, namun banyak miripnya dengan yang kita lihat di film ini. Dibentak-bentak, disuruh lari, dihukum ketika ada teman yang melakukan kesalahan. Aku masih ingat dulu temanku pernah ada yang ketawa saat senior lagi bentak-bentak drama, maka kami dipush-up beberapa seri (satu seri sama dengan sepuluh kali) sementara mereka yang tertawa tadi disuruh berdiri ngiterin pohon, disuruh ngetawain tuh pohon sekeras-kerasnya barulah kami boleh berhenti push-up. Pohon Terkenal adalah istilah bagi taruna yang sering ‘nyusahin’ teman-temannya, atau dalam istilah yang kukenal adalah Penjahat Angkatan. Aku sendiri dulu termasuk Penjahat Angkatan di masa kuliah, karena aku sering ngeles bolos ospek kayak si Bara. Back to the point, tradisi seperti itu memang tak berguna, tapi buat yang pernah ikutan ospek atau semacamnya – jadi peserta dan pada akhirnya gantian jadi senior – pasti akan bilang ospek ada gunanya. Dan memang, semua aktivitas itu ada filosofinya. Atau paling tidak, di film ini ada. Menghukum teman-teman Bara adalah untuk menumbuhkan mental tidak egois. Karena apapun yang kita lakukan akan terefleksi kepada keluarga, teman-teman, atau satu angkatan. Hidup saling berkegantungan, film ingin menjadikan ini sebagai pokok penyadaran, serta sebagai pembanding hak dan kewajiban itu sendiri.

 

 

Film ini punya gagasan, punya mindset yang menjawab apa yang disebut dengan ‘paradoks pengorbanan’. Ketika kita selama ini bertanya kenapa pada mau masuk polisi padahal lingkungannya keras, kenapa mau diospek padahal kegiatannya gak jelas dan merendahkan. Tokoh film ini mengorbankan masa muda mereka, dan kita diberikan pemahaman kenapa mereka mau melakukannya. Mungkin ada yang menyebutnya propaganda, silahkan saja. Film ini toh berusaha menceritakan semua itu lewat hubungan tokoh yang lumayan menyatu dengan elemen komedi yang mampu menghibur banyak lapisan penonton, sehingga rasanya ringan dan enggak terlalu pencitraan. Film ini juga mengambil resiko dengan membuat tokoh utamanya annoying, dan buatku ini jadi titik lemah ceritanya; tokoh utamanya jadi kalah dominan – hampir seperti Ayu lah yang bisa jadi tokoh utama yang lebih menarik. Karena tokoh-tokohnya udah sering dilatih, mental film ini pun pastilah sudah sangat kuat, jadi aku enggak akan menarik pukulan dari penilaian.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for POHON TERKENAL.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian setuju dengan ospek? Bagaimana pandangan kalian tentang tradisi seperti demikian? Apakah menurut kalian pengorbanan itu adalah privilege atau justru pengorbanan berarti menggugurkan privilege?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

BLACKKKLANSMAN Review

“There is life after hate.”

 

 

 

Manusia bisa jadi adalah satu-satunya spesies yang ngucilin sesamanya atas alasan berpikir bahwa golongan mereka lebih hebat daripada sebagian golongan lain yang berbeda. Mungkin aku salah, mengingat toh memang hewan ada yang punya sistem hierarki ala kasta, tapi rasa-rasanya aku belum pernah mendengar seekor zebra ngomong “Eh Kucrit, yang laen pada putih belang item, elu malah item garis-garis putih. Sono lu, nguli di pojokan!”. Aku belum pernah ngelihat singa albino dilemparin kerikil ama teman-temannya, diolok-olok “Anak bule! Anak bule!” (lagian siapa juga yang berani ngelempar singa hihihi) Dan aku seratus persen yakin belum pernah nemuin berita di koran tentang hewan-hewan kebun binatang menggelar aksi protes menuntut untuk enggak dikandangkan bareng hewan-hewan oposisi partai politiknya.

Tapi kita, karena kemampuan berpikir yang lebih canggih dengan kesadaran dan nurani yang lebih berkembang, gemar melakukan diskriminasi. Manusia tidak bertumbuh dalam kesamaan. Kondisi yang berbeda-beda, menyebabkan ketidakmerataan menjadi fitrah bagi manusia. Dan ini menciptakan perbedaan yang lebih jauh lagi. Ada orang-orang yang memandang perbedaan sebagai kekuatan, karena tujuannya adalah mencapai kesetaraan, seperti semboyan negara kita. Namun ada juga, perbedaan tidak seharusnya di-embrace; hanya ada satu kesempurnaan yakni kelompok mereka.

nonton bokep aja kadang kita suka rasis; lebih suka barat daripada jepang atau sebaliknya

 

 

KKK yang kalo dipanjangin berbunyi Ku Klux Klan adalah salah satu contoh dalam sejarah sebuah organisasi yang punya paham ekstrim mengenai kesempurnaan kelompok mereka; ras kulit putih. Berdiri sejak 1865, mereka ini anti semuanya deh, anti-Islam, anti-Yahudi, anti-komunis, anti-LGBT, anti-immigrant, mereka ini menjunjung tinggi supremasi kulit putih bangsa Amerika. Throughout history, kita dapat membaca kiprah mereka membantai warga kulit hitam, bahkan sesama kulit putih yang melindungi kulit hitam, dan catatan klan ini masih berlanjut hingga sekarang. Memang terdengar seperti dalam cerita-cerita horor sih ya, bahkan anggota klan ini tampil dengan seragam berupa topeng dan jubah putih, lengkap dengan simbol mereka. Aksi KKK memuncak di tahun 1960an, dan mendapat perlawanan dari african-american di Amerika. Marthin Luther King muncul, Malcolm X turun tangan. Menyerukan persamaan hak; bahwa manusia tetaplah manusia yang punya derajat yang sama.

Cerita yang diangkat oleh Spike Lee dalam film ini adalah bentuk ‘perjuangan’ yang berbeda. Begitu outrageous, malah. Sehingga membuatku terheran; betapa kerennya kejadian ini pernah beneran terjadi, dan saking kerennya sampai-sampai “kok baru kali ini loh ini difilmkan?” BlacKkKlansman menceritakan tentang Ron Stallworth (John David Washington berhasil keluar dari bayang-bayang bokapnya, Denzel, yang bermain di Malcolm X – film lain tentang Ku Klux Klan garapan Spike Lee), ia adalah seorang polisi yang berusaha menyusup ke dalam sebuah kelompok lokal yang diketahui bagian dari KKK, ia ingin tahu apa rencana mereka, sehingga bisa menyetop kekacauan sedini mungkin. Menariknya adalah, Ron adalah orang kulit hitam. Pada tahun segitu, sudah cukup dipandang miring gimana dia bisa dilantik sebagai anggota polisi. Apalagi gimana cara dia masuk ke dalam KKK tanpa diberondong peluru? Ron berkomunikasi dengan para anggota lewat telefon. Mencoba berakrab-akrab ria, menjadi teman mereka, memahami jalan pikiran dan langkah mereka. Dan ketika dibutuhkan untuk hadir ke dalam pertemuan KKK, Ron ‘diwakilkan’ oleh rekan polisinya, Flip Zimmerman (Adam Driver suprisingly kocak di sini), yang memang sih relatif aman karena dia berkulit putih, tapi bukan berarti tak ada resiko karena Flip seorang Yahudi. Sungguh gila situasi yang mereka alami. Film ini sejatinya punya cerita yang berlatar begitu kelam, namun oleh sang sutradara, semuanya dipresentasikan dengan keseimbangan hiburan yang menakjubkan.

Sebagian besar keasyikan kita menonton dua jam film ini berkat interaksi antara John David dengan Adam Driver. Mereka beradu pikiran soal bagaimana mereka akan melakukan penyusupan tersebut. Ada lapisan akting yang terjadi di sini. You know, John David musti berusaha terdengar sebagai orang kulit putih saat bicara di telefon, dia menutupi dialeknya. Film juga memancing kita dengan pertanyaan, seberapa beda sih gaya bicara golongan ini. Aku suka gimana polisi yang ditanyai oleh Ron soal perbedaan suaranya tidak bisa menjawab di mana persisnya letak perbedaan tersebut, dan sebaliknya, si Grand Wizard – pemimpin – KKK punya teori sendiri gimana cara membedakan dialek mereka, padahal kita melihat sendiri dia sedang ditipu mentah-mentah saat menjabarkan teori cerdasnya tersebut. Juga Adam Driver yang harus berakting sebagai orang yang berakting membenci kulit hitam dengan segala resikonya karena setiap pertemuan KKK, tokoh yang ia perankan selalu diancam dugaan dan ditodong oleh alat pendeteksi kebohongan.

kau tidak bisa pake Jedi Force, loh, di sini

 

 

Tapi bukan lantas berarti tokoh utama kita, si Ron, enggak benar-benar terekspos oleh bahaya. Dia pun masih harus menyusup ke dalam lingkaran orang-orang rasnya sendiri. Perannya dengan Flip sama, berundercover ria menjadi seorang yang bertentangan dengan pandangan mereka sendiri. Ron actually ingin menggiring saudara-saudara sebangsanya untuk melihat bahwa menyerukan “Black Power” bukan berarti musti bertindak sama dengan ‘musuh’ yang mereka lawan. Bahwa tidak semua polisi brengsek, bahwa kesetaraan itu bukan berarti ‘jika keinginan minoritas tidak dipenuhi, maka itu disebut semena-mena dan tidak toleransi’.

Ron yang kulit hitam menyusup di antara orang-orang kulit hitam. Flip yang kulit putih, juga berpura-pura di antara kulit putih. Tapi mereka berdua punya pandangan berbeda dari kelompok mereka. Inilah tema yang mendasari film ini; gimana wujud kita, rupa kita, akan mengarah kepada asumsi tindakan yang kita lakukan. Gimana orang-orang menilai apa yang kita percayai dari fisik semata. Beginilah kita setiap hari. Kita melihat yang berkulit gelap, berambut keriting, berbibir tebal, kita akan berpikir mereka tidak akan menjawab salam dengan Walaikumsalam. Kita melihat yang bermata sipit, kita mengira mereka jago main bulutangkis. Asumsi-asumsi fisik tersebut, tidak bisa dihilangkan karena fitrah kita adalah perbedaan. Yang harus disadari adalah asumsi-asumsi tersebut toh bisa digunakan untuk mejembatani hubungan yang lebih baik antara sesama manusia.

 

 

Bukan hanya dua aktor tersebut yang menyuguhkan penampilan akting luar biasa, bahkan aktor-aktor yang memerankan anggota KKK, ataupun polisi ‘babi’, mereka disuruh komit untuk melakukan ataupun mengucapkan sesuatu yang bakal bikin kita menyipit ngeri. Dan mungkin juga, jijik. Satu adegan, kita akan risih duduk mendengar apa yang sudah dilakukan oleh salah satu tokoh. Di adegan berikutnya, ketidaknyamanan itu sirna karena betapa kocaknya film ini mempersembahkan diri. Ron pernah ditanyai “apa yang kau lakukan jika nanti polisi di sini memanggilmu negro?” dan jawaban Ron akan mengundang tawa yang keras. Isu rasisme dipersembahkan oleh film ini sebagai sesuatu yang aneh dan berbahaya, maka penceritaan pun dibuat sama seperti demikian. Film akan membuat kita tertawa sekaligus waspada akan bahaya dari situasi, yang masih relevan sampai sekarang. Potongan adegan dari kejadian nyata situasi pemerintahan Trump di akhir film, membuat kita sadar kengerian yang sedang dihadapi oleh warga di sana. Tapi bukan berarti kita yang di sini aman-aman saja.

Untuk mencapai keseimbangan tone cerita seperti demikian, tentu saja ada keputusan yang diambil oleh Spike Lee, yang membuat cerita sedikit berbeda dari kejadian nyata. Ada aspek-aspek yang didramatisir, dilebih-lebihkan, dibuat menjadi lucu. Pendekatan yang diambil Lee adalah pendekatan bercerita yang lumayan mainstream. Dibuat untuk menyenangkan hati penonton. Ada ‘hukuman’ buat ‘orang jahat’. Ada imbalan buat yang baik. Pacing cerita, tak pelak, jadi sedikit terganggu dengan up dan down yang terkadang diulur demi romantisasi. Beberapa orang mungkin akan mengritik kekurangakuratan film ini. Tapi sebagai pembelaan, buatku tidak masalah apabila film yang diangkat dari kejadian dan orang nyata, diberi sedikit bumbu-bumbu untuk menyampaikan maksud cerita. Karena yang penting adalah pesan cerita. BlacKkKlansman penting untuk ditonton oleh sebanyak mungkin orang, dan cerita yang gelap ini enggak akan ditonton orang jika stay dark. Harus ada cahaya menyenangkan yang bersinar ke dalam ceritanya.

 

 

 

Menakjubkan gimana film ini berhasil mencapai keseimbangan sempurna antara kelucuan dengan tragedi. Tak muluk jika kita sebut ini adalah karya terbaik Spike Lee semenjak Inside Man (2006). Dari yang kita tertawa sampai menitik air mata, film akan membawa kita merneung menahan air mata lewat potret kemanusiaan yang tidak banyak berubah hingga sekarang. Cerita sepenting ini berhasil dibawa ke ranah merakyat. Jikapun ada sesal, maka itu adalah kenapa film ini enggak tayang di bioskop Indonesia.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for BLACKKKLANSMAN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Gimana sih menurut kalian hubungan antara kecerdasan dengan superioritas manusia? Apakah ilmu padi itu cuma mitos?

Menurut kalian, apa yang dipikirkan orang ketika mereka menyuarakan kebencian?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017